
Borderline
-Bentuk lain dari pemicu sakit hati-
Karya : Fey Mega.
-Bentuk lain dari pemicu sakit hati-
Karya : Fey Mega.
PROLOG
Terdengar suara musik yang begitu parau, alunan-alunan penghantar kematian. Instrumen lagu-lagu retro yang melatar-belakangi kamar kosan yang tak begitu luas juga tak begitu sempit itu. Pencahayaan yang sangat minim, kepulan asap-asap rokok yang mengudara; hilir mudik tanpa pamrih. Kondisi ruangan yang serba berantakan. Tak terkendali.
Dinding yang dihiasi beberapa puisi cinta, lebih tepatnya puisi cinta yang tak tersampaikan.
Ada lima foto wajah seorang wanita, empat diantaranya sudah dia coret dengan spidol warna merah; menggunakan simbol silang. Semua foto itu dia beri judul— ‘Annual of rejection’.
Laki-laki dengan tingkat frustasi yang meledak-ledak. Melawan norma yang ada. Tertawa dan terkadang menjerit, menangis bahkan meraung-raung. Sambil memegangi kepalanya yang sudah kelewat vertigo itu.
Laki-laki malang itu membungkuk, memegang keras pipi seorang perempuan yang tak kalah malangnya itu. Perempuan yang terkapar dilantai kamar; sama sekali tak berdaya. Darah yang sudah bersimbah kemana-mana. Laki-laki itu mengelus lembut rambut panjang si wanita, perlahan lalu menjambaknya keras. Perempuan itu menjerit kesakitan.
Laki-laki itu tersenyum puas, licik.
Laki-laki bernama Sastra, yang memang menyukai segala hal tentang sastra itu berdiri, setelah melempar keras kepala si perempuan ke lantai sampai merintih kesakitan.
Sastra berjalan santai ke arah dinding, mencopot paksa salah satu puisi karyanya. Tersenyum getir kali ini. ekspresi muka yang lelah, menahan rasa sakit yang berkepanjangan. Cinta bertepuk sebelah tangan yang berakhir dengan penolakan adalah neraka baginya. Sastra kembali mendekati si perempuan, terduduk di hadapannya, perempuan yang sudah tampak sekali kesakitan, air mata yang terjun bebas.
Sastra menangis, air matanya turun perlahan. Dia mengusapnya, kemudian tersenyum kembali. Senyum picik. Lalu meremas kertasnya, melemparnya ke wajah si perempuan, yang masih memasang wajah kesakitan.
Kali ini wajah Sastra berubah sangat menyeramkan, dia berjalan cepat kearah lemari, membuka laci dan membawa sebilah pisau.
(Flashback adegan-adegan penolakan yang dilakukan Lina terhadap Sastra— Sastra menculik Lina dan membawanya ke markasnya).
Sastra terbahak-bahak, menghampiri Lina yang sudah tak berdaya dilantai. Lalu menikamnya dengan beberapa puluh tikaman sadis. Seketika Lina terbujur kaku tak berdaya.
Sastra melemparkan pisaunya kesembarang arah, menyentuh pipi Lina yang berdarah. Mengoles, lalu mencium tangannya sendiri. Kali ini bibirnya penuh dengan campuran darah segar.
Tersenyum kemenangan.
Berjalan ke dinding. Kemudian menyilangkan spidol pada foto terakhir; foto Lina.
Kemudian dia mematikan lampu dan hendak hibernasi, tertidur.
Dinding yang dihiasi beberapa puisi cinta, lebih tepatnya puisi cinta yang tak tersampaikan.
Ada lima foto wajah seorang wanita, empat diantaranya sudah dia coret dengan spidol warna merah; menggunakan simbol silang. Semua foto itu dia beri judul— ‘Annual of rejection’.
Laki-laki dengan tingkat frustasi yang meledak-ledak. Melawan norma yang ada. Tertawa dan terkadang menjerit, menangis bahkan meraung-raung. Sambil memegangi kepalanya yang sudah kelewat vertigo itu.
Laki-laki malang itu membungkuk, memegang keras pipi seorang perempuan yang tak kalah malangnya itu. Perempuan yang terkapar dilantai kamar; sama sekali tak berdaya. Darah yang sudah bersimbah kemana-mana. Laki-laki itu mengelus lembut rambut panjang si wanita, perlahan lalu menjambaknya keras. Perempuan itu menjerit kesakitan.
Laki-laki itu tersenyum puas, licik.
Quote:
Sastra : “Ohhhh, babe. Maafin ya. Tadi itu baru latihan aja kok, sabar ya.”
Sastra : “Ohhhh, babe. Maafin ya. Tadi itu baru latihan aja kok, sabar ya.”
Laki-laki bernama Sastra, yang memang menyukai segala hal tentang sastra itu berdiri, setelah melempar keras kepala si perempuan ke lantai sampai merintih kesakitan.
Sastra berjalan santai ke arah dinding, mencopot paksa salah satu puisi karyanya. Tersenyum getir kali ini. ekspresi muka yang lelah, menahan rasa sakit yang berkepanjangan. Cinta bertepuk sebelah tangan yang berakhir dengan penolakan adalah neraka baginya. Sastra kembali mendekati si perempuan, terduduk di hadapannya, perempuan yang sudah tampak sekali kesakitan, air mata yang terjun bebas.
Quote:Sastra : “Tenang, sayangku.... Akan aku bacakan satu puisi indah untukmu. Bersabarlah lagi....—
-My Angel-
-Puisi karya Sastra-
Hai, Selamat pagi.
Embun itu kau. Terik matahari juga kau.
Indahnya senja masih kau.
Bulan purnama pun masih juga kau.
Kau adalah keseluruhan dari hidup.
Kau tega menolak? Hidup menolakku.
Hadiah dari penolakan adalah sepi.
Terimakasih, My Angel.
You were the one but you’re born to say goodbye.
Forever....
-Puisi karya Sastra-
Hai, Selamat pagi.
Embun itu kau. Terik matahari juga kau.
Indahnya senja masih kau.
Bulan purnama pun masih juga kau.
Kau adalah keseluruhan dari hidup.
Kau tega menolak? Hidup menolakku.
Hadiah dari penolakan adalah sepi.
Terimakasih, My Angel.
You were the one but you’re born to say goodbye.
Forever....
Sastra menangis, air matanya turun perlahan. Dia mengusapnya, kemudian tersenyum kembali. Senyum picik. Lalu meremas kertasnya, melemparnya ke wajah si perempuan, yang masih memasang wajah kesakitan.
Quote:Lina : “Stop, Sas. Pleaseeeeeeeee. Kamu tuh udah gila gitu Sas?— Tolooong!!!”
Quote:
Sastra : “Teriak ajah, babe. Gak bakal ada yang denger juga. Kita ada di tengah hutan. Hahahaha. Aku gila? Haha tak lebih gila dari para keparat tak punya hati yang hanya bisa memanfaatkan kebaikan hati seorang yang tulus sepertiku. Sakit hati membawa kamu kemari, Lin.”
Sastra : “Teriak ajah, babe. Gak bakal ada yang denger juga. Kita ada di tengah hutan. Hahahaha. Aku gila? Haha tak lebih gila dari para keparat tak punya hati yang hanya bisa memanfaatkan kebaikan hati seorang yang tulus sepertiku. Sakit hati membawa kamu kemari, Lin.”
Kali ini wajah Sastra berubah sangat menyeramkan, dia berjalan cepat kearah lemari, membuka laci dan membawa sebilah pisau.
Quote:Lina : “Kalo masalahnya cuma gara-gara ditolak kenapa ga bilang dari awal, aku hampir menyukaimu, Sas! Jangan belaga konyol.”
(Flashback adegan-adegan penolakan yang dilakukan Lina terhadap Sastra— Sastra menculik Lina dan membawanya ke markasnya).
Quote:Sastra : “Bullshit, tak ada re-mistake dalam kamus manapun. Sekali mati tetap akan mati juga (menghela napas) ada kata-kata terakhir?”
Quote:
Lina : “Biadab, neraka untukmu!”
Lina : “Biadab, neraka untukmu!”
Sastra terbahak-bahak, menghampiri Lina yang sudah tak berdaya dilantai. Lalu menikamnya dengan beberapa puluh tikaman sadis. Seketika Lina terbujur kaku tak berdaya.
Sastra melemparkan pisaunya kesembarang arah, menyentuh pipi Lina yang berdarah. Mengoles, lalu mencium tangannya sendiri. Kali ini bibirnya penuh dengan campuran darah segar.
Tersenyum kemenangan.
Berjalan ke dinding. Kemudian menyilangkan spidol pada foto terakhir; foto Lina.
Quote:
Sastra : Kata-kata selamat tinggal yang rumit. Neraka untukku? Atau mungkin untuk kita berdua. Haha. Selamat tinggal semuanya, hari yang begitu indah.”
Sastra : Kata-kata selamat tinggal yang rumit. Neraka untukku? Atau mungkin untuk kita berdua. Haha. Selamat tinggal semuanya, hari yang begitu indah.”
Kemudian dia mematikan lampu dan hendak hibernasi, tertidur.