gilbertagung
TS
gilbertagung
Bagaimana Mekanisme Pengaturan Kurs Mata Uang Suatu Negara?





Dalam 4 tahun terakhir, pembahasan mengenai kurs rupiah, terutama terhadap dolar AS, menjadi hal yang sangat serius diperbincangkan di khalayak ramai, terutama berhubungan dengan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia. Namun, sebenarnya bagaimana mekanisme pengaturan kurs mata uang sebuah negara, termasuk Indonesia? Secara umum, ada tiga jenis sistem kurs mata uang yang berlaku di dunia. Pertama, sistem kurs tetap. Kedua, sistem kurs mengambang terkendali. Ketiga, sistem kurs mengambang bebas. Dalam 73 tahun sejarahnya, Indonesia sudah menerapkan ketiganya yang memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk pembahasan lebih lanjut, silakan lanjutkan membaca threadini.


Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Sistem Kurs Tetap

Sistem kurs tetap adalah sistem kurs yang mematok nilai mata uang lokal terhadap mata uang lain pada level tertentu secara tetap. Ketika terjadi pembelian/penjualan mata uang asing, otoritas moneter akan melakukan kebalikannya dengan jumlah yang sama. Misalkan, apabila terdapat pembelian dolar AS sebesar 500 juta dolar AS, otoritas moneter akan menyuplai pasar dengan cadangannya sebesar 500 juta dolar AS pula. Ini pun membuat permintaan dan penawaran mata uang asing menjadi seimbang dan kurs saat ini dapat dipertahankan.
Apabila kurs yang ditetapkan tak lagi dapat dipertahankan atau berkeinginan menggenjot ekspor, otoritas moneter akan melakukan devaluasi yaitu menurunkan nilai mata uang lokal terhadap mata uang asing. Sebaliknya, apabila kurs yang ditetapkan sekarang membuat mata uang lokal menjadi undervalued, otoritas moneter akan melakukan revaluasi atau menaikkan nilai mata uang lokal terhadap mata uang asing.
Negara yang menerapkan kurs tetap dapat membuat mata uangnya diperdagangkan di pasar uang maupun tidak. Negara dengan perekonomian yang tertutup biasanya membuat mata uangnya tidak bisa diperdagangkan di pasar uang (meski beredar di pasar gelap). Namun, negara dengan perekonomian terbuka juga dapat menerapkan kurs tetap. Thailand, sebagai contoh, pernah menerapkan kurs tetap dengan mengikat baht dalam sekeranjang mata uang yang didominasi dolar AS dengan rentang 20-26 baht per dolar AS dan rata-rata 25 baht per dolar AS mulai 1985 hingga 2 Juli 1997. Namun, tekanan spekulan terhadap mata uang baht di pasar uang membuat bank sentral Thailand kehabisan cadangan devisa sehingga terpaksa mengambangkan kurs baht. Baht pun merosot hingga mencapai level terendah di 56 baht per dolar AS. Negara lain yang pernah menerapkan kurs tetap antara lain Malaysia (3,8 ringgit per dolar AS antara September 1998 dan 21 Juli 2005) dan Tiongkok.
Sistem kurs tetap memberikan kepastian bagi pelaku bisnis karena nilai mata uang yang tetap membuat biaya dalam mata uang asing menjadi tetap dan tak berfluktuasi. Namun, untuk menerapkan sistem ini, otoritas moneter harus memiliki cadangan devisa yang besar, paling tidak setara dengan jumlah mata uang lokal yang beredar di pasar uang, agar dapat mengimbangi pasar. Selain itu, negara dengan sistem ini umumnya menerapkan kontrol devisa agar dapat mengendalikan arus keluar-masuk mata uang asing.
Selain dengan menggunakan cadangan devisa, ada dua cara lain untuk menerapkan kurs tetap. Pertama, mengaitkan (pegged) mata uang terhadap satu mata uang spesifik. Contohnya adalah Singapura dan Brunei Darrusalam dengan kedua mata uang terkait satu sama lain dengan nilai setara (1:1) sejak 1967. Kedua, mengaitkan mata uang terhadap beberapa mata uang dalam satu keranjang mata uang. Dalam keranjang ini, bobot mata uang ditentukan oleh besarnya hubungan perdagangan dan investasi.

Sistem Kurs Mengambang Terkendali

Sistem kurs mengambang terkendali adalah sistem kurs yang membatasi pergerakan kurs mata uang dalam rentang tertentu untuk satu periode tertentu, disebut sebagai rentang pita (band) intervensi atau batasan mata uang. Transaksi perdagangan mata uang di pasar uang tetap berlangsung seperti biasa, namun pergerakannya dibatasi maksimal hanya sekian persen dalam satu periode, biasanya satu tahun. Apabila kurs mata uang cenderung bergerak mendekati batas yang telah ditetapkan, otoritas moneter akan melakukan intervensi di pasar uang dengan menggunakan cadangan devisanya untuk menjaga agar kurs mata uang tidak melewati batas. Sistem ini juga akan membuat pelaku bisnis cenderung melakukan lindung nilai (hedging) terhadap transaksi dalam mata uang asing.
Indonesia pernah menerapkan sistem ini sampai 14 Agustus 1997. Kala itu, Bank Indonesia menetapkan batasan mata uang sebesar 8% per tahun (kemudian ditingkatkan menjadi 12% per tahun pada awal krisis moneter). Bila pada periode satu tahun tersebut, kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi hingga mendekati 8% dibanding tahun sebelumnya, otoritas moneter akan menjual cadangan dolar AS miliknya ke pasar. Begitu pun sebaliknya, apabila apresiasinya mendekati 8% dibanding tahun sebelumnya, Bank Indonesia akan membeli dolar AS.
Sistem ini menjamin stabilitas moneter namun memaksa otoritas moneter untuk menggunakan cadangan devisanya untuk menjaga kurs.

Sistem Kurs Mengambang Bebas

Sistem ini banyak diterapkan pada masa kini. Dengan sistem ini, pergerakan kurs mata uang dibiarkan bebas mengikuti penawaran dan permintaan di pasar uang. Meski demikian, otoritas moneter tetap dapat mengintervensi pasar apabila menganggap pergerakan kurs dapat menggangu stabilitas perekonomian. Keuntungan sistem ini adalah dapat menghemat devisa sementara kelemahannya adalah kurs dapat bergerak liar dan membahayakan kondisi perekonomian negara seperti meningkatkan biaya impor, menciptakan rugi selisih kurs, dan melonjakkan biaya utang. Perusahaan juga akan kesulitan untuk melakukan transaksi antarnegara ataupun hedging.
Sistem ini cocok diterapkan oleh negara dengan cadangan devisa yang tak memadai dan menerapkan devisa bebas. Indonesia telah menerapkan sistem ini sejak 14 Agustus 1997.

Faktor Penentu Nilai Mata Uang

Ada beberapa faktor yang menentukan permintaan dan penawaran mata uang di pasar uang yang pada akhirnya menentukan seberapa besar nilai yang wajar untuk mata uang tersebut dibandingkan mata uang lain.
Pertama, performa ekonomi suatu negara. Apabila performa ekonomi suatu negara bagus, investor akan menganggap investasi dalam mata uang negara tersebut menjadi menarik dan meningkatkan permintaan terhadap mata uang tersebut. Pada akhirnya, ini akan membuat mata uang terapresiasi. Pada saat krisis ekonomi, mata uang negara yang sedang terkena krisis cenderung menurun.
Kedua, kebutuhan mata uang asing suatu negara. Apabila terdapat utang jatuh tempo atau kebutuhan impor yang besar pada periode tertentu, permintaan akan mata uang asing akan meningkat dan nilai mata uang lokal akan terdepresiasi.
Ketiga, situasi politik. Situasi politik suatu negara yang stabil akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap keamanan nilai asetnya dalam bentuk mata uang negara tersebut. Sebaliknya, negara yang sedang dilanda kekacauan politik atau bahkan perang di dalam negerinya akan mengalami depresiasi nilai mata uang lokal yang drastis karena investor akan ramai-ramai meninggalkan mata uang tersebut karena menjadi sangat berisiko. Negara yang sedang mengalami situasi ini adalah Suriah. Akibat perang saudara yang telah berlangsung selama lebih dari 7 tahun, nilai mata uang pound Suriah merosot drastis. Pada Oktober 2010, 1 dolar AS 5 bulan sebelum Perang Saudara Suriah dimulai, 1 dolar AS bernilai hanya 44,57 pound Suriah. Kini, 7,5 tahun perang berlangsung, seseorang memerlukan 515 pound Suriah untuk mendapatkan 1 dolar AS.
Keempat, neraca transaksi berjalan. Neraca ini merangkum nilai bersih antara sisi kredit dan sisi debit (arus keluar dan masuk dana) dalam transaksi yang tercatat dalam komponen transaksi berjalan (melibatkan barang / jasa) di suatu negara. Komponen neraca ini terdiri atas ekspor (free on board, tidak termasuk ongkos kirim dan biaya asuransi), ekspor jasa, dan transfer dana dari penduduk ke dalam negeri (remittance) yang berpengaruh positif terhadap neraca (mengarahkan neraca menuju surplus) dan impor (free on board, tidak termasuk ongkos kirim dan biaya asuransi), impor jasa, dan transfer ke luar negeri / bukan penduduk yang berpengaruh negatif terhadap neraca (mengarahkan neraca menuju defisit). Apabila neracanya surplus (lebih banyak dana yang masuk ke negara tersebut ketimbang keluar), mata uang lokal akan menguat. Sebaliknya, jika terjadi defisit transaksi berjalan, mata uang akan tertekan. Selain neraca transaksi berjalan, neraca transaksi modal dan keuangan juga berpengaruh terhadap nilai mata uang. Kedua neraca ini adalah komponen utama neraca pembayaran.
Kelima, tingkat suku bunga. Apabila suatu negara menaikkan tingkat suku bunga acuannya, investasi dalam mata uang negara tersebut akan lebih diminati. Namun, faktor ini juga bergantung pada seberapa pentingnya mata uang dan negara pemakai utamanya dalam perekonomian dan perdagangan dunia. Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Federal Reserve akan terlihat lebih menarik bagi investor ketimbang hal yang sama oleh Bank Indonesia karena dolar AS lebih penting dalam perdagangan internasional ketimbang rupiah.
Keenam, kebijakan moneter. Jika otoritas moneter melakukan pengetatan likuiditas, suplai uang ke pasar akan menurun dan akan meningkatkan nilai mata uang yang bersangkutan. Sebaliknya, bila terjadi pelonggaran likuiditas, nilai mata uang akan menurun. Penguatan rupiah hingga ke level 8.000-an rupiah per dolar AS pada 2011 lalu tak terlepas dari kebijakan quantitative easing yang dilakukan The Fed pada awal 2010-an yang melemahkan dolar AS.

Untuk sejarah perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS, akan dibahas lebih lanjut dalam thread berjudul 3 Periode Perkembangan Sistem Kurs Indonesia Sejak 1946.


Demikian thread dari saya kali ini. Karena uang merupakan darah bagi perekonomian suatu negara, ketepatan jumlah uang dan nilai dari mata uang menjadi amat penting dalam menjaga kestabilan dan perkembangan perekonomian. Terima kasih telah membaca dan semoga hari Anda menyenangkan.


Sugiyono, F.X. (2002). Neraca Pembayaran: Konsep, Metodologi, dan Penelitian. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.
Warjiyo, Perry dan Solikin. (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia.
Referensi I
Referensi II
Referensi III
Referensi IV
Referensi V
Referensi VI
Referensi VII



Diubah oleh gilbertagung 23-11-2018 08:34
11
18.6K
128
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.