theonetaAvatar border
TS
theoneta
Keinginan Ana yang Ingin Berpuasa dengan Sungguh-Sungguh












Ana mau cerita sedikit tentang suatu cita-cita di bulan Ramadhan yang sampai saat ini belum tercapai. Ana adalah anak sulung dari empat bersaudara yang sudah ke enam belas kalinya melakukan ibadah puasa khususnya puasa Ramadhan. Namun Ana merasa resah dengan puasa yang dilakukannya itu. Bahkan di bulan Ramadhan tahun ini Ana yakin puasanya bakal sama seperti di tahun-tahun sebelumnya yang tidak berjalan maksimal. Satu hal yang perlu disadari adalah, puasa itu sulit. Ada yang bisa dengan mudah menahan makan dan minum, tapi tidak mampu menahan diri dari hawa nafsu. Ada yang sanggup bertahan dari perbuatan yang membatalkan puasa, tapi sulit meninggalkan perilaku buruk yang sudah sering dilakukan di luar bulan Ramadhan. Cita-cita Ana sebenarnya satu saja di bulan Ramadhan kali ini, ia ingin berpuasa dengan sungguh-sungguh namun yang ia dapat hanyalah perasaan lapar dan haus saja sampai saat berbuka, begitulah yang dirasakan Ana. Baginya kalau puasa hanya bisa menahan rasa lapar dan haus saja, maka orang-orang yang terbiasa dengan kesulitan hidupnya jauh lebih hebat dalam perkara ini, orang-orang yang berada di wilayah berbuka puasanya hingga 23 jam jauh lebih kuat untuk masalah ini. Ana tidak ingin cara berpuasanya sekedar begitu dia ingin puasa sungguh-sungguh sebagaimana yang orang bertakwa lakukan. Seperti dalam surah Al Baqarah ayat 183 :



يَا أَيهَا الذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلكُمْ تَتقُونَ


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)



Sudah ke enam belas kalinya terhitung bulan Ramadhan tahun ini, berpuasa sulit sekali baginya mendapatkan puasa dengan sebenar-benarnya. Padahal aturan berpuasa sudah jelas dari zaman Nabi-Nabi terdahulu hingga saat ini yaitu dengan menahan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenam matahari bukan menahan lapar dan haus sejak selesai waktu imsak hingga waktu berbuka. Ana paham dengan aturan itu tapi untuk konsisten pada aturan itu ia sulit bertahan. Ada-ada saja hambatan dan cobaan dalam mencapai tujuannya itu.





Saat sahur di hari pertama berpuasa Ramadhan Ana begitu bersemangat, sampai-sampai ia bangun lebih dahulu menyiapkan makan sahur untuk orang tuanya. Semangat di hari pertamanya berpuasa tahun ini juga membuatnya ingin ikut shalat Shubuh berjamaah di Mesjid padahal ia begitu jarang shalat Shubuh berjamaah di Mesjid saat di luar bulan Ramadhan. Entah kenapa semangatnya kali ini mampu melangkahkan kakinya ke Mesjid untuk segera menunaikan ibadah shalat wajib berjamaah sambil melihat betapa berbondong-bondongnya jemaah yang datang ke mesjid kala itu. Tantangan pertama dimulai saat ia shalat shubuh, yaitu apakah ia bisa khusyu dengan shalatnya atau melakukan gerakan shalat tapi pikirannya sedang memikirkan hal-hal duniawi?. Shalat shubuh telah selesai dilakukan Ana berkeyakinan bahwa shalat yang dilakukannya 'masih kurang' khusyu
tapi semuanya kembali pada Allah, biarlah ia yang menilai shalat seorang hamba-Nya.



Tantangan kedua, Ana berniat untuk mendengarkan kultum seusai shalat shubuh. Karena sudah diniatkan Ana menjadi tidak ragu untuk meluangkan waktu sejenak mendengarkan kajian shubuh yang tentu saja menambah wawasannya dalam ilmu Agama. Satu hal yang ia khawatirkan adalah rasa kantuk yang menerpanya. Tapi Ana berhasil mendengarkan kajian tersebut hingga tuntas tanpa mempedulikan rasa kantuk yang ia rasakan. Lalu ia pun pulang ke rumah untuk tidur sejenak. Sebelum pergi bekerja pukul 8 pagi. Dia pernah mendengar seorang Ustadz berceramah bahwa tidurnya orang berpuasa di bulan Ramadhan adalah ibadah. Hingga ia pun tertidur lelap hingga pagi menjelang. Pukul 7.30 pagi ia terbangun dan bersiap-siap mandi untuk berangkat ke kantor tempat ia bekerja. Selesai mandi dan bepakaian rapi ia lalu pergi ke kantor dengan sepeda motornya, tidak lupa sebelum berangkat ia berdoa agar selamat sampai tujuan dan perjalanannya menuju tempat kerja diberkahi. Bekerja sebagai perancang perangkat lunak untuk mobile menjadi rutinitasnya bekerja yang bertepatan dengan hari pertama puasa Ramadhan tahun ini. Biasanya dia bisa makan dan minum saat bekerja namun kali ini keadaanya berbeda. Ana harus menahan kebiasaannya itu selama satu bulan penuh karena ia berpuasa. Tapi bukan itu yang menjadi kekhawatirannya.



Tantangan ketiga muncul di kantor tempat ia bekerja ini. Ana harus mampu menghadapi tantangan ketiga ini karena jujur saja di kantor tempat Ana bekerja tidak lepas dari pegawai wanita yang pakaiannya masih belum menutupi aurat sepenuhnya, ada lawan jenis yang kebetulan bekerja satu kantor dengannya dengan rambut terurai, wajah yang menawan dan rok ketat yang ia kenakan memperlihatkan betis mulus sang pegawai. Ana sebagai laki-laki tidak mungkin diam saja memandangi keindahan "bukan mahram" yang berada di depannya apalagi ia sedang berpuasa. Ia mencoba terus fokus pada pekerjaannya, namun pegawai wanita itu kini mendekatinya dan tantangan makin terasa berat karena dengan berada dekat kali ini sambil meminta berkas yang diperlukan dengan senyuman yang begitu manis entah kenapa beda dari hari-hari sebelum puasa Ramadhan. Iman seorang Ana diuji dan yap ia berhasil dengan mengedepankan jiwa profesinalisme Ana memberikan berkas yang diminta dan membalas senyuman sang pegawai wanita tersebut meskipun ia harus melihat rambut yang jelas merupakan aurat bagi wanita. Pikirannya masih fokus hanya untuk bekerja dan ia sedang berpuasa.



Tantangan berlanjut, entah kenapa kantor tempat ia bekerja seperti tidak pernah lepas dari ghibah (membicarakan orang lain di belakang yang bersangkutan). Entah itu benar atau tidak adanya atau bercanda atau tidaknya, tentu saja orang yang berpuasa ataupun sedang tidak berpuasa harus meninggalkan kebiasaan ini. Apalagi orang yang diceritakan sedang tidak ada di tempat. Sayangnya Ana mendengar hal itu meski tidak lama berselang ia tutup telinganya dengan earphone sambil mendengar bacaan Muratal Quran. Cara yang jitu memang tapi apa gunanya jika hal itu terus berlanjut hingga hari-hari berikutnya?. Ana bukan tidak mau menasehati mereka karena Ana sendiri juga tidak lepas dari perbuatan ghibah dan rekan-rekan kerjanya tahu akan hal itu. Maka dari itu ia ingin perbaiki dirinya dahulu, di bulan Ramadhan kali ini ia ingin fokus pada pekerjaannya dan puasa yang dilakukannya.




Tantangan kelima datang saat memasuki waktu shalat zhuhur, Ana meninggalkan sejenak pekerjaan yang dilakukannya karena bertepatan juga dengan waktu jam istirahat di kantornya. Ia bergegas untuk berwudhu, cuaca yang panas kala itu entah kenapa membuat air wudhu serasa air layak minum ketika sedang berkumur-kumur, bukankah kalau dia berkumur-kumur dengan sedikit minum juga tidak bakal ketahuan dengan teman wudhu di sebelahnya?. Rasa takut kepada Allah membuat Ana sama sekali tidak berpikiran untuk menelan setetes pun air wudhu yang masuk melalui mulutnya karena ia sudah berniat untuk berpuasa dengan sungguh-sungguh dan tidak ingin penantiannya selama 16 tahun menjadi sia-sia. Shalat Zhuhur berjamaah dimulai bersama rekan-rekan kerjanya di Mushalla kantor tempat mereka bekerja. Meskipun ia bertindak sebagai makmum ia tetap ingin khusyu dalam shalat Zhuhurnya. Dia berusaha menjauhkan pikiran tentang pegawai wanita yang tadi dilihatnya dan masalah ghibah teman kantornya. Dia berusaha mengendalikan dirinya agar tidak masuk dalam pikiran yang mengacaukan kekhusyu'an shalat Zhuhur yang sedang dikerjakannya. Seperti biasa ia beranggapan shalatnya tidak benar-benar khusyu' dan ia serahkan semuanya hanya kepada Allah yang berhak menilai shalat seorang hamba-Nya.




Selesai shalat Zhuhur Ana melanjutkan kembali pekerjaannya. Dia masih semangat dan fokus dengan yang dikerjakannya sambil sesekali dia berkomunikasi dengan rekannya jika memang penting dan membutuhkan tanpa memperturutkan perkataan ghibah yang pernah ia lakukan. Hingga 2 jam berlalu dia mulai lelah, konsentrasinya mulai menurun, perasaan jenuh mulai berkecamuk dalam dirinya. Di sini kesabarannya diuji, apakah Ana hanya memperturutkan hawa nafsunya saja atau Ana terus berusaha melanjutkan pekerjaannya. Belum lagi proyek yang padat tidak memungkinkan untuk menunda-nunda apa yang telah ditugaskan kepadanya. Dia mencoba sabar dan mengendalikan diri. Belum selesai sampai di situ salah satu rekan kerjanya sibuk memanggil-manggilnya karena butuh bantuan. Ana harus berusaha mengendalikan emosi dan tetap sabar meskipun kondisi yang ia alami dengan tugasnya juga sedang mengalami hambatan. Jiwa profesionalisme kembali ia tunjukkan lalu mendatangi temannya dan membantu masalah yang dihadapi temannya. Ana benar-benar membantunya menyelesaikan persoalan hingga temannya berterima kasih padanya. Namun ternyata untuk membantu temannya juga memakan waktu 2 jam. Proyek yang sedang ia kerjakan terhenti sejenak. Entah kenapa Ana jadi malas untuk melanjutkan belum lagi Shalat Ashar belum ia kerjakan padahal sudah lama adzan Shalat Ashar berkumandang.




Tanpa ingin menunda-nunda Ana langsung bergegas melaksanakan Shalat Ashar di Mushalla tempatnya bekerja, kali ini dia Shalat sendirian. Imannya kembali diuji saat melaksanakan Shalat Ashar, pikiran mengenai proyek yang masih tertunda berkecamuk. Ia seperti membutuhkan solusi untuk masalahnya itu, butuh teman yang bisa membantunya. Hingga tanpa sadar ia melewatkan tuma'ninah dalam shalat dan buru-buru mengerjakan shalatnya. Tersadar ada yang berbeda dengan shalatnya, Ana mencoba menengkan pikirannya dan memperlambat gerakan shalatnya. Dia tahu shalatnya sedang tidak khusyu' tapi ia berusaha untuk bersikap tenang dan bersabar. Sampai akhirnya dia selesai menunaikan Shalat Ashar dan memohon doa kepada Allah termasuk memohon maaf atas kekhilafannya saat melakukan shalat Ashar tadi.




15 menit menuju waktu pulang kantor Ana kembali ke meja kerjanya sambil menutup aplikasi IDE yang sebelumnya telah ia buka untuk segera bersiap-siap sebelum pulang, karena saat Ramadhan, jam pulang kantor menjadi lebih cepat 1 jam dibanding bulan-bulan di luar Ramadhan. Namun tantangan kembali hadir ketika rekan-rekan kantornya ingin mengajaknya buka bersama. Ini kembali menjadi kekhawatiran bagi Ana, karena yang ia tahu jika rekan-rekannya mengajak buka bersama ada keadaan dimana Shalat Maghrib menjadi terlewatkan, belum lagi obrolan-obrolan sana sini yang tidak perlu dan adanya campur baur antara pegawai laki-laki dan pegawai wanita di situ. Ana menolak dengan halus ajakan tersebut dengan alasan yang baik tanpa harus berbohong. Orang yang sedang puasa tidak boleh berbohong, tapi pernahkah pembaca bertemu dengan orang yang sedang berpuasa lalu seketika membatalkannya karena baru saja berbohong? Orang yang sedang puasa tidak boeh marah, tapi pernahkan Anda bertemu orang yang marah-marah di bulan Ramadhan lalu langsung minum air putih karena sadar puasanya sudah batal? Memang kegagalan dalam menahan emosi dan berbohong tidak membatalkan puasa, namun dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala. Teringat akan hal itu, Ana mengatakan bahwa ingin berbuka puasa dengan keluarganya di rumah. Sehingga dengan alasan itu rekan-rekannya bisa memaklumi sebab Ana menolak permintaan buka bersama dengan temannya.


Waktu pulang kantor telah tiba dan Ana berpamitan dengan hampir semua staff di kantornya. Sambil menyalakan motor kesayangannya ia tidak lupa berdoa terlebih dahulu sambil bergegas pulang ke rumah. Di tengah perjalanan Ana membeli takjil untuk makan berbuka bersama orang tuanya. Selesai membeli takjil ia menuju rumah dan sesampainya di sana ia disambut oleh senyum orang tuanya. Ia sempatkan mandi terlebih dahulu sebelum masuk waktu berbuka. Selesai mandi Ana memakai wewangian karena ia berniat untuk berangkat ke mesjid menunaikan ibadah shalat maghrib berjamaah. Dia merasa bersyukur masih mampu menahan diri hingga waktu berbuka puasa tiba, sambil meneguk air teh manis hangat yang sudah disediakan oleh ibunya sampai habis. Lalu memakan takjil yang tadi ia beli bersama orang tuanya. Ibunya yang sudah menyediakan nasi dan lauk-pauk untuk dimakan berikutnya paham bahwa anaknya akan berangkat ke mesjid terlebih dahulu. Ana lalu bergegas ke mesjid untuk menunaikan shalat Maghrib berjamaah. Pikirannya kembali berkecamuk ketika melaksanakan shalat maghrib, ia khawatir shalatnya tidak khusyu'. Pikiran mengenai godaan, pekerjaan, dan tantangan puasa esok harinya seperti hal yang membayangi pikirannya selama ini. Ana mencoba tetap tenang dan fokus dengan shalat Maghrib-nya meski kadang-kadang ia masih teringat kejadian yang ia alami di kantor yang penuh dengan tantangan melawan hawa nafsu, emosi, lapar dan haus. Selesai shalat Maghrib Ana kembali berdoa memohon agar dirinya tetap diberi ketabahan dan kelancaran selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ia selalu tanamkan niat agar puasa ramadhannya tidak sekedar menahan lapar dan haus.





Sepulang dari mesjid Ana kembali ke rumahnya dan makan bersama dengan orang tua yang sudah menunggunya. Begitu senangnya ia bisa makan bersama dengan orang tua yang masakannya ternyata tidak kalah dengan masakan di restoran mewah sekalipun meski lauk pauknya sederhana saja. Selesai makan, Ana membantu ibunya mencuci pring bekas makan. Ayah dan Ibunya dipersilahkan untuk meluangkan waktunya untuk istirahat, membaca Al-Qur'an atau mendengarkan ceramah. Selesai mencuci piring, Ana bergegas menuju kamarnya. Kali ini ia berhadapan dengan kasur yang siap untuk ditiduri, namun dia berpikir, andaikata dia tidur, maka ada kemungkinan ia akan melewatkan Shalat Isya dan Shalat Tarawih berjamaah. Sedangkan rasa kantuknya mulai menghinggapi. Dia mencoba untuk tidak tidur dengan senantiasa membaca Al-Qur'an karena khawatir melewatkan waktu Shalat Isya dan Tarawih berjamaah. Ana kembali bergegas ke mesjid untuk melakukan shalat malam wajib dan sunnah tersebut. Nah tantangan terakhir di shalat malam ini adalah rasa kantuk. Terlintas dipikirannya hanya perlu melakukan Shalat Isya saja tanpa harus melakukan Shalat Tarawih dengan dalih Shalat Tarawih hukumnya Sunnah. Ana kembali diuji dengan rasa kantuk dan rasa lelah belum lagi besok ia harus bangun lebih pagi dari biasanya karena harus makan sahur. Ana tetap melaksanakan Shalat Isya berjamaah dan berupaya mengesampingkan rasa kantuk yang dialaminya. Shalat Isya mampu dijalaninya dengan sedikit khusyu' karena Ana yakin dia tidak mungkin khusyu' 100% dalam shalatnya karena dirinya sendiri masih dalam proses mengendalikan diri. Selang beberapa menit kemudian tiba saatnya melakukan Shalat Tarawih sambil mengamati pintu mesjid Ana melihat ada sebagian jemaah yang sudah pulang duluan untuk mengurus kepentingannya masing-masing. Bukan main tantangan yang dihadapi oleh Ana, dia mengira hanya melawan rasa kantuk dan pikiran duniawinya saja dalam shalat, tetapi kali ini ada yang lebih besar dari itu. Keikhlasan dalam mengerjakan ibadah menjadi tantangan berikutnya yang ia hadapi. Shalat Tarawih yang jumlah rakaatnya lebih banyak dari Shalat Isya tentu bukan hal yang mudah dilakukan apalagi dengan hati yang tidak ikhlas dan perasaan yang bimbang. Benaknya mengatakan kenapa ia tidak ikut pulang saja bersama jemaah yang lain?. Shalat Isya saja kan sudah cukup? Kenapa harus Tarawih lagi? Belum dengan Shalat Witirnya nanti kamu capek Ana. Tapi bukanlah Ana namanya jika ia sudah berniat sungguh-sungguh lalu mengingkari apa yang sudah ia niatkan itu. Semua godaan itu ia kalahkan dengan rasa syukur kepada Allah. Masih beruntung aku diberikan hidup untuk menambah amal ibadahku, bagaimana jika aku mati ? Kesempatan-ku mempersiapkan bekal di akhirat kelak tentu sudah tidak bisa lagi, kini pikirannya berbalik menjadi semangat untuk melakukan Shalat Tarawih dan Witir berjama'ah. Ana pulang ke rumah dan bergegas menuju kamarnya. Dia masih menganggap puasa yang dilakukannya hari ini masih jauh dari kata sungguh-sungguh. Tapi ia merasa puasa yang dilakukannya hari ini lebih baik dari tahun kemarin. Ana berniat agar puasa esok hari harus lebih baik dari hari ini.


Pesan dari Ana kepada pembaca adalah Puasa itu sulit, tapi masih banyak waktu untuk menyempurnakannya. Dari hari pertama hingga hari terakhir tiba. Hanya jika kita punya keinginan kuat untuk menghasilkan kualitas puasa yang sempurna dan berharap ganjaran pahala maksimal langsung dari Allah swt, kita bisa menahan diri dari segala godaannya, sekaligus mengisi hari-hari suci ini dengan semua bentuk ibadah lainnya. Dan saat latihan sekaligus ujian ini selesai, di bulan Syawal nanti, kita akan mendapati diri ini menjadi sosok yang lebih baik dari sebelumnya. Amin.





Akhir kata, Ana mengucapkan Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
linusasurAvatar border
jaleesa331Avatar border
joselitob3Avatar border
joselitob3 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
199.7K
151
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.