JEJAK
Aku masih berusaha mencari alasan untuk mengikhlaskan, karena melupakanmu adalah hal yang tidak mungkin. Kalau boleh memilih aku ingin dilahirkan jadi manusia normal saja, tanpa ingatan fotografis. Menjadi seorang pria biasa, tanpa kemampuan spesial apapun, sehingga jika nantinya harus menghadapi hal seperti ini, aku mampu melupakanmu dalam waktu singkat.
Di sudut kamar indekos, aku masih memandangi catatan lusuh itu. Adakah misteri lain yang kau sembunyikan dariku, ?
Apakah ini benar-benar menjadi sebuah akhir ?
'APA YANG HARUS AKU LAKUKAN???'
Dia menggebrak meja sekeras tenaga. Kakinya meregang, pundaknya bersandar pada kursi. Sejenak pandangannya mengarah pada Tas Carier berdebu yang sudah lama menggantung tidak tersentuh.
'Kapan ya aku terakhir naik gunung?'
'sampai berdebu begitu'
'...' memandangi foto saat pertama kali menjejaki Gunung Lawu bersama.
‘Tunggu sebentar.. Serius ???'
'Aku harus naik kesana (Andong)?'
'Kalau aku jadi kamu, pasti itu kan yang mau kamu bilang?'
'Oke.. Aku turuti untuk terakhir kalinya'
Aku kemudian membuka laptop dan memeriksa arah dari solo menuju bukit Andong. Bergegas membeli logistik untuk 2 hari camping. Tidak lama, semua perlengkapan sudah siap. Bermodalkan google maps dan sedikit tekad menghapus luka, perjalanan pun di mulai.
..
Aku berhenti di depan rumah sederhana, terlihat beberapa orang sedang duduk di kursi kayu tua. ditemani secangkir kopi, dan sebatang rokok. Aroma manis tembakau menyeruak saat langkahku mendekat.
'sore mas. Apakah benar ini jalur menuju pendakian bukit Andong?'
'sore sore.. nggih mas. betul, tp belum dibuka untuk umum' sahut salah seorang pemuda diantara mereka.
'masnya darimana?'
'saya dari solo, lumayan 2.5 jam naik motor sampai sini'
'wah jauh juga. Masuk dulu mas, ga enak masa diluar. Biar ngobrolnya enak'
'oh, makasih mas.'
keramahan hangat dari pemuda desa menyambutku di ujung kota Salatiga. kesederhanaan yang sudah mulai pudar terutama di kota besar.
seorang ibu paruh baya keluar dari pintu dapur membawakan 2 cangkir kopi dan cemilan khas daerah kopeng.
'suwun nggih bu'
'monggo mas, di sambi'
'jadi merepotkan'
'ga apa mas, sudah biasa disini sering ada tamu' senyum si ibu.
'Fadlan. Mas ?' pemuda tadi menjulurkan tangan sambil menyebutkan nama.
'Arjuna. Panggil saja Nuna' jawabku dengan tegas.
'Tau tempat ini darimana mas? Mau rokok ?'
sambil mengambil gulungan tembakau, melinting nya di atas kertas papir, lalu memberikan sejumput cengkeh kering.
'maaf mas Fadlan, aku ga merokok, makasih. Mmh, aku ga tau harus mulai darimana, tetapi yang pasti, dari salah satu temanku di Solo'
'belum banyak orang yang tau tempat ini' dengan tangan memegang rokok lintingan, dan menghembus nafas penuh asap ke arah langit-langit.
'Tetapi di kalangan mahasiswa, tempat ini cukup terkenal. Mungkin karena hutannya, alasan mereka semua sama, yaitu untuk melakukan penelitian'
Menjentikan rokok yang sudah mulai berabu di atas asbak.
'aku bukan mau penelitian kok mas, aku cuma kebetulan saja ingin ke tempat yang senyap'
'sendiri ?'
'ada yang salah dengan 'solo hiker' alias pendaki yang selalu menyendiri?'
'haha. tidak mas, cuma tidak biasanya saja kami mendengar pendaki sendirian'
'oh iya mas. Mungkin beberapa bulan lalu ada mahasiswi penelitian disini?'
'setiap bulan pun ada. kenapa?'
'ngga mas. Mungkin masnya kenal sama temenku. Dia cewek sih, tingginya sepundakku, berjilbab, selalu menggunakan jaket jeans saat di lapangan'
'sebentar coba aku ingat. punya nama ?'
'Rengganis'
'a...' belum beres Fadlan berbicara. Tiba-tiba berlari seorang gadis remaja, yang ternyata sedari tadi menguping di balik pintu kamar.
'Rengganis? kakak tadi bilang Rengganis?'
'ii.. iya' aku menjawab dengan terbata.
'berarti kakak... Kak Arjuna??' sahut gadis itu bersemangat.
'...' aku hanya mengangguk.
'akhirnya! a..ku punya..'
'KEMALA! Ga sopan kamu..' Fadlan bernada agak tinggi.
'ih mas Fadlan galak !' raut wajah lala (nama panggilan dari Kemala) langsung berubah.
'yang sopan kalau sama tamu'
'aku terlalu senang mas, akhirnya yang aku tunggu datang juga'
'maksudmu ?'
'Ssst.. ini urusan aku sama Kak Arjuna'
sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
'Ayok Kak Arjuna, ikut lala, kita pergi jauh-jauh dr Monster Tembakau' Tanpa canggung, lala kemudian menarik erat tangan nuna.
aku tidak tahu apa yang spesial dari Kemala. Hanya saja, dia yg sangat energic dan ramah, mengingatkanku dengan Rengganis. Aku sedikit terhipnotis, tanpa pikir panjang, tanpa pamit, aku mengemas barang dan ikut kemana kaki Kemala melangkah.
'mau kemana dek?' tanyaku.
'ke tempat favoritnya kak Anis'
'ha? kamu kenal Anis?'
'hmm.' sambil tersenyum.
'bisa sih?' aku masih terheran-heran.
'aku dan kak Anis sama kak. Kita berdua menyukai ketinggian.'
'jadi?'
'Dulu sewaktu Kak Anis dan kawan-kawan ke desa ini, mereka meminta izin ke ayahnya mas Fadlan. Beliau adalah yang tertua disini, setiap yang akan melakukan kegiatan di bukit Andong, semua harus se izin si mbah'
'itu belum menjawab pertanyaanku, kenapa kalian bisa kenal?'
'saat itu malam cukup larut, kak Anis dan kawan-kawan terlihat cukup kelelahan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menginap terlebih dahulu di tempat si mbah. Karena tempatnya cukup kecil, akhirnya Kak Anis aku ajak menginap di rumahku..'
'eh kak, itu di depan sana, sebentar lagi sampai' tunjuk lala.
Langkah kita berhenti berderap sesaat setelah sampai di ujung jalan yang di naungi pohon pinus. Terdapat gubuk tua tempat istirahat pencari kayu bakar, mengarah pada sebuah lembah. dari situ, seluruh pemandangan eksotis desa sawit terlihat. Aku kemudian meletakkan tas carier, menghirup nafas dalam-dalam, memejamkan mata, dan merasakan energi positif hinggap di sekujur badan.
'cantik ya viewnya kak? sama seperti Kak Anis'
'haha. Bisa saja kamu dek. Memang Kak Anis cantik ?'
'Bukan hanya cantik. Kak Anis juga pintar, pecandu ketinggian, terutama.. dia juga ternyata romantis.'
'Tahu darimana rengganis itu romantis atau ngga'
'yakin mau tau kak??'
aku sudah tau Rengganis adalah sosok yang romantis 'dengan' cara dia sendiri. Bukan type wanita yang setiap saat mengumbar kemesraan dengan pasangan, atau menuliskan kata mutiara dari penulis ternama di media sosial.
.
ruang dan waktu terhenti sejenak. imajiku kembali berseluncur ke masa lalu.
.
Selepas minggu penat aku melalui Ujian Kompetensi (saat itu UNS tidak mengenal Ujian Semester). Kau yang tiba-tiba berdiri di arah pintu keluar Gedung 3 Fakultas Teknik.
'Anis ??????' tanyaku terheran.
'Hiii...' dengan senyum terindah yang pernah dia lemparkan.
'bukannya kamu sedang.. ??'
Anis membisikan sesuatu ke telinga Nuna.
'Selamat ulang tahun..'
Pernahkah membeku karena cinta? atau lupa caranya untuk mengucap dan tidak percaya bahwa kenyataan lebih indah dari mimpi ? itulah yang Arjuna rasakan.
.
.
'Kak? kak? Sudah melamunnya?' Tepukan lembut mendarat di pundak nuna.
'ah.. Maaf, aku terbawa suasana.'
'ingat siapa? kak Anis ya? '
'ga ada wanita lain di lamunanku dek.'
'Benar juga ya yang ada di buku ini, kakak memang orangnya sedikit gombal.' sambil memegang sebuah buku kecil berwarna merah muda.
'buku apa??' lagi-lagi aku dikejutkan oleh lala.
'aku tidak sengaja membaca isi dari buku ini kak.'
'hei tunggu dulu, buku itu milik Anis ?'
'yup. Betul kak. Makanya waktu kakak menyebutkan 'Rengganis' di ruang tamu tadi aku langsung lari ke arah kakak, aku teringat buku ini. Selain itu, aku penasaran dengan sosok Arjuna yang berhasil menaklukkan Rengganis.'
'jadi sekarang udah ga penasaran lg? '
'hehe.. aku punya segudang pertanyaan buat kakak.'
'aku boleh pinjam bukunya? '
'mmh.. mmh.. ga perlu pinjam. aku memang menunggu kakak buat ambil buku ini'
'menunggu? berati kamu sudah tau aku akan datang kesini?'
'kak Anis pernah janji, dia bakal balik lg ke andong. Kata dia di bulan Desember akan membawa 'Arjuna'nya ke bukit ini lagi.'
'aniversarry...' gumam nuna dengan halus.
'apa kak?'
'gpp dik. lanjut.. '
'mana kak Rengganis sekarang?'
'aku sama tidak tahunya denganmu dik..' menghela nafas.
'jd dia ga kesini kak?'
'aku mengharapkan dia kesini, tidak tahu kalau tuhan punya rencana lain'
'hubungan kalian baik-baik saja kan?'
'sudah seberapa jauh kau membaca buku itu?' Nuna berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
kemudian lala duduk di gubuk, sambil mengayunkan kaki.
'belum semuanya, aku hanya mencari cara mengembalikan buku ini ke kak Anis. Pada bagian akhir lembaran, tertulis.
'If you ever found this book. Please give it back to Rengganis or Arjuna'
ya aku pikir, toh kak nuna dan kak anis bakal dateng kesini lg, jd aku tunggu aja.'
'terus kamu percaya begitu aja?'
'aku melihat mata kak Anis penuh rasa bahagia ketika dia bilang akan mengajak Arjunanya. Ga ada alasan dia untuk berbohong'
'Anis memang tidak pernah berbohong'
'nah iya kan? kakak jg setuju.'
'Oke deh. Sepertinya aku sudah cukup mengerti. Ngomong-ngomong, arah pendakiannya kemana ya? '
'Kakak mau berangkat sekarang?'
'iya, matahari sudah mulai condong ke barat. aku ga mau kemalaman di jalan'
'ikuti jalan setapak ini saja kak, ini jalan potong menuju jalur pendakian, nanti kakak tinggal ikuti jalur yang menanjak saja, hanya ada 1 jalur, tidak mungkin tersesat.'
'kamu mau ikut?'
'boleh, tp aku takut Kak Anis marah. jadi, kakak sendirian aja ya. hehe'
'haha. dasar kau ini dek. Ok deh. Salam buat mas fadlan ya.'
'oke kak. hati-hati ya. Sampai jumpa besok'
Arjuna kemudian mengambil buku dalam tasnya dan mengusapnya dengan pelan. Lembar pertama ia kibas, 'LOG BOOK' sebuah tulisan tangan dari anis menghiasi lembar pertama buku itu.
Matanya tertuju pada salah satu halaman di buku itu, berjudul 7°23′ LS 110°22′ BT. Dia ingat betul bahwa itu ada koordinat dari tempat dia berdiri sekarang.
-End-
Previous Episode -
1. The Calendar
Next Episode -
3. Langit Selatan