ryan.manullangAvatar border
TS
ryan.manullang
Nyai dan Pergundikan Pada Masa Hindia Belanda
historia.id

Quote:

Pada abad ke-17 VOC datang ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Namun dalam perkembangannya perdagangan itu berubah menjadi penjajahan. Penjajahan tersebut menimbulkan dampak di berbagai bidang. Di bidang ekonomi terjadi kemiskinan, kelaparan, kekurangan pangan, terutama di pulau Jawa yang pada saat itu menjadi pusat penjajahan Belanda. Orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia kebanyakan masih lajang, sedangkan jumlah perempuan Eropa yang ikut datang jumlahnya terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan biologis orang-orang Eropa tersebut mengambil seorang budak untuk mengurus rumah tangga, serta memenuhi hasratnya seperti layaknya suami istri.

Menurut Reggie Baydalam bukunya “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” kata Nyai berasal dari bahasa Bali. Kemunculan kata tersebut berbarengan dengan kemunculan perempuan Bali pada abad ke-17 menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC. Dalam tangsi-tangsi (barak) tentara kolonial para Nyai biasa disebut dengan Moentji yang merupakan plesetan dari kata mondje (mulut kecil), sebutan yang disuarakan oleh orang Eropa adalah Snaar/snoer (senar atau dawai) merupakan kata yang biasa digunakan untuk menyebut pramuria. Para gundik juga sering disebut meubel (perabot), inventarisstuk (barang inventaris), boek (buku) atau woordenboek (kamus). Di tengah masyarakat Belanda gundik disebut Mina, di dalam tangsi KNIL, disebut Sarina, sedangkan di perkebunan Deli disebut Kartina. Jadi, sebutan Nyai pada waktu itu adalah untuk menyebut para perempuan yang bekerja sebagai “gundik” laki-laki Eropa lajang dan mengurus anak-anaknya. Dalam bahasa Eropa, sebutan untuk seorang gundik adalah huishoudster, bijzit, ménagère, dan meid.

Dalam buku karangan Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, bahwa faktor munculnya pergundikan adalah karena perempuan pribumi yang hanya iseng untuk masuk dalam kehidupan orang Eropa dan menjadi bagian didalamnya. Mereka ingin merasakan bagaimana hidup mewah dengan cara dan gaya orang Eropa. Selain itu juga disebabkan oleh didikan yang salah oleh orang tua mereka. Tidak disebutkan disini bahwa kemiskinan menjadi faktornya.

Latar belakang yang kedua adalah dari sudut pandang orang Eropa. Pada waktu itu, populasi perempuan Eropa di Hindia Belanda masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya transportasi dari Belanda ke Hindia Belanda. Selain itu, gaya hidup perempuan Eropa yang serba mewah dan borjuis menyebabkan para laki-laki Eropa di Hindia Belanda, terlebih para pekerja VOC golongan rendah, harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk bisa menikahi perempuan Eropa. Disamping itu, peraturan pemerintah Belanda yang melarang para pegawainya untuk menikah selama mengabdi di Hindia Belanda juga turut melatar-belakangi munculnya pegundikan. Mereka yang harus menunggu selama masa bakti di Hindia Belanda akhirnya terpaksa hidup dengan para Nyai sebagai gundik mereka.

Para Nyai dan laki-laki Eropa tersebut hidup layaknya suami istri, para nyai bertugas mengurusi rumah tangga seperti mencuci, memasak serta menjadi teman tidur bagi para laki-laki Eropa.Para Nyai mendapat perlakuan yang semena-mena dari tuannya. Hal ini disebabkan karena diskriminasi ras antara orang kulit putih dan orang kulit berwarna. Anak-anak hasil pergundikan biasanya tidak diakui status anaknya, mereka hidup terlantar, ada juga yang dititipkan di Panti Asuhan, hanya sebagian kecil anak-anak hasil pergundikan diakui secara hukum dan dapat tinggal bersama ayahnya. Yang beruntung mendapatkan perawatan dan pendidikan dari Ayahnya, namun kebanyak dari mereka tidak mengetahui identitas ibu kandungnya.


Quote:


elfamichelliakarima.wordpress.com

Ketika para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar 1600-an, dimulailah kemunculan para Nyai. Perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus, menjadi ibu dari anak-anaknya. Dengan kedatangan VOC membuat pergundikan berangsur-angsur menjadi ciri dan sifat sebuah sistem yang cukup kekal dalam kehidupan masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Sebuah sistem kolonial dengan kerumitan sosial besar, tidak hanya bagi laki-laki eropa dan nyai pribumi, tetapi juga bagi bastaardenyang lahir dari hubungan campur tersebut.

Awalnya, VOC adalah perusahaan Belanda yang berkonsentrasi pada perdagangan rempah-rempah seperti merica, cengkeh dan pala di timur. Demi memenuhi kebutuhan perdagangan tersebut diciptakanlah jaringan kantor dagang dan gudang di Asia. Daerah daerah pendudukan di Asia dihuni oleh kelompok kelompok masyarakat laki laki dan kebanyakan pegawai VOC yang berpangkat rendah masih lajang. Saat itu terjadi kekurangan besar perempuan eropa di daerah pendudukan. Kebanyakan laki laki eropa menyelesaikan masalah tersebut dengan mengambil gundik Asia. Perempuan-perempuan yang dijadikan gundik ialah para perempuan di rumah tangga eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa. Para gundik bukanlah para perempuan jawa. Karena khawatir akan munculnya sabotase, maka diputuskan bahwa orang jawa tidak boleh menjadi budak budak di daerah pendudukan. Oleh karena, itu mereka diambil dari tempat tempat lain terutama dari Filipina dan juga sulawesi serta Bali.

Di mata Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, pola hidup bersama para laki-laki dengan para budak perempuan pribumi mengarah kepada berbagai perilaku janggal, tidak terkendali dan membahayakan kepentingan kolonial. Hal itu membuat kemarahan Coen semakin menjadi. Kemudian ia mengeluarkan larangan untuk memelihara seorang atau lebih gundik di rumah, tempat tinggal atau tempat lain, dengan penjagaan, apapun yang terjadi. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620. Ia pun meminta calon-calon pengantin perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie. Mereka haruslah para gadis atau perempuan muda yang berkelakuan baik dan diutamakan yang pernah didik dengan ketat di panti Asuhan.

Mereka diwajibkan untuk menikah dengan para pegawai VOC di timur. Dan sebagai gantinya mereka mendapat pelayaran gratis beserta mas kimpoi. Namun para perempuan tersebut ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Setelah melalui pertimbangan yang panjang, permohonan Coen akan para calon pengantin pun dikabulkan. Demi memenuhi kebutuhan para pegawai yang penuh dengan hasrat, maka pada 1622 tibalah untuk pertama kalinya yang disebut compagniesdochters. Mereka berasal dari rumah-rumah yatim piatu yang memiliki reputasi baik di Belanda.

Coen mendukung terciptanya wilayah pendudukan permanen bagi para imigran dari Belanda. Bersama para pedagang dan serdadu, para imigran dapat membentuk kelompok masyarakat yang akan memberi tempat bagi para petani, pengrajin, agamawan dan guru. Para yatim piatu, begitu pun yang laki-laki menurut Coen sangat cocok untuk menjadi penduduk baru di daerah koloni karena tidak memiliki keluarga maupun ikatan dengan tanah air mereka. Karena itu pula, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengikat diri dengan tempat tinggal di dalam koloni. Namun, peraturan untuk mengirim para perempuan yatim piatu dari Belanda ternyata tidak terlalu efektif. Oleh karena itu Coen pun mengusulkan agar larangan atas pergundikan dikeluarkan kembali dan ditambahkan ketentuan bahwa larangan itu tidak hanya berlaku untuk laki-laki Eropa tetapi juga untuk perempuan Eropa.

Sejak awal sudah ada protes keras terhadap politik pengantin perempuan kulit putih ini, baik di Belanda maupun di daerah koloni. Dikhawatirkan orang-orang yang mengikuti politik ini hanya akan mengutamakan modal untuk kemudian kembali ke tanah air bersama istri dan anak mereka. Selain itu juga ada dugaan bahwa para perempuan ini hanya berniat memperkaya diri dan justru memicu para suami untuk melakukan penggelapan.

Saat itu terdapat kebijakan yang justru semakin menyuburkan pergundikan. para laki-laki dari kalangan biasa tidak bisa menikah tanpa persetujuan atasan VOC. Kebijakan ini berlaku bagi pegawai rendah maupun penduduk koloni yang bukan budak. Sejak 1617, juga terdapat larangan menikah antara (mantan) pejabat VOC dengan perempuan non-kristen. Laki-laki Eropa yang menikah dengan perempuan Asia tidak boleh melakukan repatriasi. Jika ada laki-laki Eropa yang ingin menikahi budak perempuan Asia maka ia harus melunasi pembelian budak tersebut kepada VOC atau membayar secara angsuran yang dipotong dari gajinya. Disamping itu calon pengantin perempuan harus memeluk agama kristen, sehingga harus dibaptis dan diberi nama kristen. Anak-anak hasil dari pergundikan Eurasia yang terlantar dan tak terawat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat sejak awal abad ke-17. Anak perempuan kelak menjadi budak juga sedangkan yang laki laki masuk militer. Namun anak-anak perempuan ini juga tidak jarang menjadi pasangan serdadu VOC. Anak-anak yang terlantar dimasukkan ke rumah yatim piatu untuk dididik secara Eropa dan diajarkan dalam bahasa Belanda. Anak-anak hasil dari pergundikan dipandang mempunyai citra negatif seperti malas, bodoh, tidak cakap rendah diri dan tidak dapat dipercaya.

Pada perang Inggris yang ke-4 (1780-1784), Inggris telah merebut banyak kapal VOC yang bermuatan penuh. VOC yang mengalami kemunduran khawatir jika Inggris memperluas kekuasaan mereka. Menurut Daendels, pemecahan dari masalah tersebut adalah dengan mengesahkan anak-anak Eurasia secara hukum melalui pengakuan resmi para ayah Eropa terhadap anak-anak hasil pergundikan, tujuannya agar membuat mereka berterima kasih dan memiliki keterikatan dengan masyarakat Eropa sehingga orang Eropa di Hindia Belanda semakin banyak dan dapat dikerahkan untuk menyerang Inggris. Namun, pada 1811 Daendels diberhentikan dan digantikan oleh Jan Willem Janssens. Menjelang akhir tahun 1811 apa yang dicemaskan Daendels terjadi, pemerintahan koloni diambil alih oleh Serikat Dagang Hindia Timur Inggris. Sikap orang Inggris yang tidak membenarkan pergundikan di Hindia Belanda tidak serta-merta menjamin lenyapnya pergundikan, bahkan warga Inggris terkadang hidup secara terang terangan dengan gundik Asia. Baik orang Inggris ataupun imigran mengecam adanya pergundikan, namun kecaman tersebut tidak dapat menghentikan pergundikan yang telah menjadi tradisi sejak awal abad ke-19.


Quote:

kineruku.com

Pada tahun 1860 perbudakan nasional di Hindia belanda dihapuskan. Setelah dikeluarkannya larangan perbudakan laki-laki Eropa yang ingin hidup dalam pergundikan terpaksa mencari gundik diantara orang-orang bebas di Nusantara. Pergundikan pada masa Hindia Belanda terbagi menjadi tiga, yaitu pergundikan dalam dunia sipil, pergundikan dalam dunia militer, dan pergundikan di perkebunan Deli.

#Pergundikan Dalam Dunia Sipil

Pada awal 1870-an, pelabuhan Batavia tidak dibuka untuk kapal-kapal besar. Untuk mengakhiri perjalanan, para penumpang kapal harus turun dan pindah ke kapal-kapal kecil hingga akhirnya dapat menginjakkan kaki di atas tanah Jawa. Di sepanjang dermaga, perhatian para penumpang langsung tersedot oleh keramaian dan kesibukan manusia. Orang-orang pribumi yang biasa bertelanjang dada dan berpakaian lusuh sedang bekerja keras mengangkut dan menurunkan barang. Menurut perkiraan terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19.

Pergundikan menjamin keadaan yang tidak mengikat diri dan dirasa menyenangkan bagi para laki-laki Eropa. Mereka menikmati keuntungannya namun tidak mau menanggung kerugiannya. Kehidupan bersama seorang gundik memberi dampak keteraturan terhadap perilaku hidup, sang laki-laki pergundikan menahan mereka dari minuman keras, menjauhkan diri dari para pramuria dan menjaga pola pengeluaran agar tetap berada dalam batasnya. Disamping itu sang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda, mengajarkan bahasa dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di dunia baru tersebut.

Di dalam terminologi kolonial gundik disebut sebagai pembantu rumah tangga utama, sebuah status yang membawa serta banyak hak istimewa baginya. Ia yang berkuasa ketika sang tuan tidak dirumah, ia yang menguasai kunci lemari dan kunci kamar persediaan bahan makanan serta ditugasi untuk mengawasi dan mengeluarkan biaya kebutuhan rumah tangga. Pakaian gelap atau berwarna-warni diganti dengan kebaya putih yang umumnya dipasangi renda. Ia juga mengenakan perhiasan, namun juga tergantung pada kemakmuran sang laki-laki Eropa. Di kedua kaki telanjangnya dipakai teromah atau selop, tak jarang ia membawa sebuah sapu tangan putih dan kunci lemari atau kunci kamar persediaan yang diperlihatkan sebagai tanda tambahan atas kedudukannya yang baru. Sang Nyai mengatur urusan rumah tangga, tapi juga hidup normal dengan laki-laki Eropa yang mengambilnya sebagai Nyai. Ia tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya tidur bersamanya. Namun, sang Nyai tidak memiliki derajat sama seperti tuannya.

Sebagian besar perempuan pribumi yang menjadi gundik laki-laki berasal dari keluarga pribumi jawa yang miskin. Di dalam norma masyarakat sendiri, kedudukan nyai hampir sama dengan pramuria, mereka dianggap mengkhianati agama dengan hidup bersama orang kafir, seorang kristen. Karena itulah mereka menempatkan diri di luar masyarakat pribumi dan menjadi orang yang dikucilkan. Selain dari perempuan jawa, nyai juga berasal dari perempuan Tionghoa dan Jepang.

Hanya ada sedikit nyai yang hidup dalam pergundikan dengan orang Eropa atas dasar cinta. Karena tidak terjalin rasa, terciptalah perbedaan yang besar diantara mereka. Pergundikan antara ras hanya bisa menjadi suatau keadaan yang bersifat sementara. Pengakuan atas adanya perbedaan-perbedan yang digabungkan dengan aspek temporer merupakan hal yang penting. Sang nyai pun kembali diasingkan di rumah sendiri, kecuali jika tidak ada tamu Eropa. Jika ada tamu Eropa, maka ia tidak boleh ada didekat tuannya. Ia harus menghilang, ke belakang, dan tidak boleh muncul kecuali untuk membawakan minuman.

Sang nyai tidak memiliki hak secara resmi, kecuali jika sang laki-laki membuat perjanjian dengannya. Ia pun tidak bisa menuntut hak-hak atas anaknya. Karena tidak memilik hak apa apa, sang nyai tidak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan tidak wajar dan semena-mena dari seorang laki-laki. Memasuki abad ke-20 penggambaran para gundik pribumi semakin buruk. Di dalam sebuah kesusastraan, muncul gambaran sebuah nyai yang dianggap bodoh, licik, dan penuh perhitungan. Tidak hanya penampilan fisiknya yang sangat tidak menarik, tapi juga sifatnya yang sangat menggoda juga berbahaya. Sang nyai tidak hanya tak mau setia, tapi juga lihai, pendendam bahkan mematikan. Hal itu sesuai dengan pemikiran-pemikiran masyarakat Eropa di Hindia Belanda.

Perlakuan yang buruk dan tanpa perlindungan diterima sang nyai bersamaan dengan sebuah ancaman. Saat mereka dikirim pulang ke kampung demi memberikan tempat bagi perempuan Eropa. Inilah yang menjadi awal pencitraan buruk kolonial tentang para nyai yang mendendam setelah pergi. Di dalam banyak roman Indies periode 1870-1930 dijumpai gambaran bahwa nyai yang telah diusir akan menggunakan guna-guna dan sihir, tetapi lebih sering memakai racun. Selain itu sang nyai juga digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki kemauan, gampang menyerah, dan tak berperasaan ketika ia sedang bersedih.

Anak-anak yang dilahirkan dari pergundikan kerap disebut voorkinderen. Sebutan ini muncul karena mereka lahir dari hubungan laki-laki Eropa sebelum akhirnya menikah dengan perempuan Eropa. Sejak 1828, para laki-laki Eropa didalam koloni diperbolehkan mengakui anak-anak mereka yang lahir dari hubungan pergundikan. Pilihan lainnya adalah dengan tidak mengakui tapi mendaftarkan mereka di dalam daftar kelahiran. Pendaftaran ini mewajibkan sang ayah mendidik, dan merawat anak anak tersebut. anak-anak didaftarkan dan diberi nama keluarga sang ayah namun dengan urutan huruf terbalik, misalnya Pieterse menjadi Esreteip. Sejak 1848, orang-orang non-kristen di Hindia Belanda diizinkan untuk menikah dengan non-kristen. Pada 1898 , diberlakukan Gemengde Huwelijken Regeling di Hindia Belanda. Peraturan ini menentukan bahwa perempuan pribumi yang menikah dengan laki-laki Eropa secara otomatis mendapat status sebagai orang Eropa.

Ada banyak anak yang tidak memperoleh pengakuan dari hasil pergundikan, hal ini sering terjadi ketika sang tuan menyuruh nyai nya untuk pergi dalam keadaan hamil. Atau jika ia mengirim pulang sang ibu dan anak (pribumi menurut undang-undang) ketika kembali ke tanah airnya atau menikah dengan seorang perempuan Eropa. Anak-anak yang tidak diakui dan disuir dari pergundikan menjadi sebuah masalah besar menjelang peralihan abad, terutama jika berkaitan dengan status sosial kemasyarakatan mereka.

Ketragisan karena tidak mendapat pengakuan dan ditinggalkan oleh ayah Eropa diolah oleh Victor Ido di dalam De Paria van Glodok (1900) yang kemudian muncul dalam bentuk sandiwara (1916). Di dalam De Paria van Glodok kita berkenalan dengan Leo, seorang Indo-pauper yang dipenuhi oleh perasaan getir dan benci. Ibunya yang pribumi meninggal ketika ia masih kecil dan ayah Eropanya meninggalkan ia sendiri. Leo bahkan tidak mengetahui siapa ayah Eropanya. Ia bahkan tidak menyandang nama ayah Eropanya dan dengan begitu tidak diakui oleh ayahnya. Pada suatu hari, Leo frustasi dan putus asa melakukan sebuah pembunuhan. Sungguh sebuah kebetulan bahwa lantas perbuatan tersebut ia dihukum mati oleh ayah Eropa yang tidak dikenalnya.


Quote:



sumber

#continued
Diubah oleh ryan.manullang 22-04-2018 06:46
0
37.3K
184
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.