rezzkyforceAvatar border
TS
rezzkyforce
Si penjaga nisan kuno


Julukannya tidak main-main: si penjaga nisan kuno atau sang penyelamat nisan bersejarah.

"Saya tidak tahu kenapa tertarik pada nisan," Mizuar Mahdi Al-Asyi, kelahiran 1988, mengutarakannya kepada saya dan kemudian tertawa kecil.

Hanya saja, sebelum tertarik dan berkutat dengan benda arkeologi nisan dan inkripsi yang tercetak di atasnya, pria yang kehilangan ayah-ibu dan keluarga intinya akibat tsunami akhir 2004, mengaku jatuh hati dengan sejarah Aceh semenjak masih ingusan.

Mizuar awalnya menelan mentah-mentah sejarah Aceh yang diajarkan dari bangku sekolah dan cerita dari mulut ke mulut. Tetapi, semenjak 2008 (tiga tahun setelah konflik Indonesia-GAM diakhiri), cara pandangnya dalam melihat masa lalu Aceh perlahan-lahan berubah total.

"Sejarah yang selama ini saya tanamkan, sebenarnya (sebagian) ada yang keliru." Kesadaran Mizuar tumbuh setelah membaca artikel seorang peneliti - di surat kabar lokal - yang disebutnya menyodorkan cara pandang baru. Si penulis itu mengacu pada temuan teks di atas nisan kuno serta data pendukung lainnya.

Semula menghayati pelbagai hikayat Aceh - yang ditulis pada abad 18 atau 19 - sebagai kebenaran mutlak, Mizuar lantas mengoreksinya. Karena, "tidak nyambung, ada kejanggalan, dan tidak ada mata rantainya."

Saya bertemu Mizuar di sebuah situs pekuburan kuno di tengah Kota Banda Aceh, pertengahan Februari silam. Orang-orang di kota itu menyebut situs bersejarah itu sebagai 'Makam Kandang 12'.

Saat kaki saya melangkah di depan gang besar menuju situs makam kuno itu, suasana senyap terasa. Di kanan kirinya berdiri rumah-rumah kuno dengan cat memudar. Hanya ada tiga atau empat orang duduk santai di dekatnya.

"Kita berada di komplek keraton, dan inilah penguasanya," Mizuar, yang ditemani seorang rekannya, menunjuk kuburan di depannya. Ada sebelas hingga dua belas kuburan, satu diantarannya bernisan dari bahan tembaga.

Inilah sultan-sultan yang mengantarkan Aceh Darussalam ke masa paling puncak kegemilangan, tambahnya.

Lebih dari 500 tahun silam, di lokasi tempat kami duduk dan mengobrol, berdiri sebuah keraton yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Aceh Darusalam. Pendirinya, Sultan Ali Mughayat Syah, yang dimakamkan di lokasi itu bersama cucu keturunannya - yang memerintah dalam abad 16 masehi.

Ditingkahi semilir angin dan sesekali suara orang mengaji yang menggema dari menara Masjid Baiturrahman, juga deru becak motor di kejauhan, saya siang itu seperti larut dalam endapan masa lalu Aceh, setidaknya menurut versi Mizuar.

"Beliau adalah sultan yang berperan dalam pengusiran Portugis dari Selat Malaka," ungkapnya merujuk pada sosok Sultan Ali Mughayat Syah.

Seperti yang sering saya dengar perihal sejarah Aceh yang gemilang, ayah satu anak ini meneguhkan kembali kisah-kisah itu. Cerita kehebatan Aceh itu sudah diakui sebagai kekuatan politik Islam dan pusat keilmuan di masa lalu, katanya.


Tetapi, "sejarah sebenarnya masih tertutup oleh zaman." Apalagi, sebagian teks sejarah Aceh yang ditemukan pada tulisan hikayat "banyak dipengaruhi Orientalis dan masih perlu diuji kembali kebenarannya," tambahnya.

Di titik inilah, sekitar enam tahun lalu, Mizuar dan teman-temannya - yang memiliki kepedulian sama - kemudian mendirikan Masyarakat Pecinta Sejarah alias Mapesa . Semula organisasi ini bernama Gerakan Pemuda Peduli Sejarah Aceh (GPPSA).

Dia menyebut organisasinya independen dan tidak didanai siapapun.

Dan, tidak main-main, mereka berusaha menyelamatkan nisan-nisan kuno yang terbengkalai di wilayah Aceh dan kemudian mengkajinya. "Kita ingin menggali ke data otentiknya, berupa nisan. Nisan itu menyajikan data dan fakta sejarah yang orisinil.".

Dari pahatan aksara Arab yang tertata pada nisan-nisan kuno, Mizuar dkk memperoleh informasi atau data baru tentang dinamika kehidupan masa lalu, perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh penting yang pernah mengisi ruang dan waktu Aceh Darussalam dahulu.

Sayangnya, sebagian besar nisan-nisan kuno itu kondisinya sangat miris karena dimakan zaman (dan dihancurkan tsunami), dibongkar dan dihilangkan akibat pembangunan jalan dan infrastruktur, serta - tentu saja - tidak dipedulikan oleh pemerintah Aceh. "Di sinilah, kita berusaha untuk menyelamatkannya," akunya.

Mizuar kemudian bercerita, agak getir, kepada saya ketika dirinya berulangkali menemukan bongkah nisan kuno yang dijadikan batu asah oleh warga. "Kebanyakan mereka tidak tahu itu benda bersejarah yang melintasi zaman sebagai informasi sejarah Aceh tempo dulu."

Didampingi arkeolog dan epigraf (tenaga ahli yang mampu membaca teks bahasa Arab dan jawiy di atas nisan), dirinya dkk berusaha menyelamatkan nisan-nisan yang tidak terawat, terbengkalai atau terbenam di dalam lumpur di berbagai tempat di Aceh, hingga melobi pemerintah Aceh untuk menyelamatkan situs bersejarah yang terancam hilang atau rusak.

Mereka kemudian membuat kajian ilmiah serta mempublikasikannya secara gratis ke media sosial serta wesite resmi Mapesa.

Dalam beberapa temuan, Mizuar mengaku banyak memperoleh data sejarah yang relatif baru dan bahkan ada di antaranya mengoreksi informasi yang berkembang sebelumnya.

Ketika saya menanyakan bagaimana dia menempatkan temuan sejarah dari batu nisan kuno dalam situasi Aceh sekarang, Mizuar mengharapkan semua itu dapat melahirkan narasi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Sekaligus mampu membangun alam pikir yang terikat kuat dengan pemilik risalah, Al-Mushthafa, Shallallah 'alaihi wa Sallam," ungkapnya, belakangan.

Dia juga mengharapkan temuan-temuan sejarah itu dapat menyadarkan masyarakat untuk bertanggungjawab terhadap masa depan bangsa, ummah dan agama. "Inilah yang dituju Mapesa," Mizuar menegaskan.

Di masa kolonial Belanda, menurutnya, ada upaya-upaya untuk mengecilkan peran penting kesejarahan Aceh di masa lalu. Belanda, sebutnya, banyak menjarah benda-benda terkait kesejarahan Aceh. "Mereka juga menghancurkan makam-makam tokoh penting dan makam Sultan Aceh," ungkapnya.

Di sinilah, salah-satu misi Mapesa untuk mengembalikan semangat masa lalu Aceh yang sengaja mau dihilangkan itu. "Aceh harus melihat dan belajar dari masa lalunya jika ingin maju," tandasnya.

Ditanya bukankah cara pandang seperti itu seolah-olah menempatkan sejarah Aceh nyaris tanpa celah dan mengerdilkan pengaruh budaya dari luar Aceh, Mizuar berkata: "Justru jika berkaca pada masa lalu, Aceh itu adalah bangsa kosmolit. Di sini tempat berkumpulnya bangsa-bangsa yang berperadaban serta turut mengisi dan memajukan Aceh."

Perjalanan sejarah Aceh yang sangat panjang itu, sangatlah mustahil untuk menyimpulkannya dalam waktu pendek, dia menekankan. Maka, penelitian dan penyematan bukti sejarah adalah kerja panjang dan melelahkan ini mesti terus dilakukan.

Di sinilah, Mizuar menyadari sepenuhnya batasan-batasan dalam setiap mempelajari sejarah - termasuk sejarah yang membentuk dirinya, yaitu sejarah Aceh.

Dalam perjalanan mencari dan meneliti setiap tinggalan sejarah, "kami tidak pernah mereka-reka dan melebihkan."

Semua itu, sambungnya, berdasarkan data yang didapatkan di lapangan. "Apa yang disebut pada tiap pahatan nisan itulah yang akan kami siarkan di jejaring sosial maupun pada masyarakat."

"Dan kami tidak akan mengambil kesimpulan Aceh itu seperti apa dan bagaimana. Itu tidak akan pernah bisa." Jika belum meraup seluruh tinggalan sejarah, paling hanya kesimpulan-kesimpulan sementara, katanya menekankan
Semoga bermanfaat gan....
Minta emoticon-Cendol Ganemoticon-Blue Guy Cendol (L)emoticon-Sundul Up ya gan

0
1.2K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.