jatafest.junior
TS
jatafest.junior
Mereka Memutuskan Tidak Punya Anak
"Kami memilih mengabdikan hidup kami untuk pendidikan dan kemanusiaan dan bermanfaat bagi lebih banyak orang."
tirto.id - “Saya sudah berdamai dengan siapapun yang bilang bahwa saya egois. Ini pilihan hidup saya."


Reni, seorang arsitek, pengusaha sekaligus penggiat di berbagai komunitas dan organisasi pendidikan, sosial, kemanusiaan, menceritakan pilihan hidupnya kepada Tirto. Keputusan untuk menikah tapi tak punya anak itu ia sepakati bersama suaminya.

"Kami memilih mengabdikan hidup kami untuk pendidikan dan kemanusiaan dan bermanfaat bagi lebih banyak orang di luar sana, untuk lebih banyak manusia yang membutuhkan kami berdua,” lanjut Reni.

Ia mengaku, tiga tahun awal pernikahannya adalah waktu terberat karena harus pilihan mereka harus berbenturan dengan harapan dan pandangan keluarga, dan orang-orang di sekitar mereka. Dianggap egois sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Reni dan suaminya. Apalagi mereka adalah pasangan yang sehat secara medis dan punya kemampuan ekonomi yang baik.

“Saya tidak mempunyai masalah dengan anak kecil. Di kegiatan gereja, saya adalah pengajar anak-anak di sekolah Minggu. Kegiatan komunitas saya juga melibatkan banyak sekali anak kecil. Namun, untuk memiliki anak di kehidupan personal kami, saya rasa tidak, atau setidaknya belum."

Keputusan yang diambil Reni untuk tidak memiliki anak memang masih sulit diterima di tengah masyarakat Indonesia yang masih melihat keluarga dengan anak sebagai keluarga ideal. Namun, kecenderungan mengambil pilihan ini semakin jamak.

Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul "Childlessness in the United States" menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an. Alasannya beragam, mulai dari latar belakang permasalahan keluarga sampai dengan pertimbangan pengasuhan anak di masa depan.

Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029.

Chelsea Handler, seorang pembawa acara televisi dan penulis buku “My Horizontal Life: A Collection of One-Night Stands” turut mempunyai pandangan serupa.

“Saya mantap untuk tidak punya anak. Saya merasa bukan seorang ibu yang hebat. Namun, saya adalah seorang bibi yang hebat sekaligus teman ibu-ibu yang baik,” kata Handler dalam sebuah wawancara televisi.

Terdapat beragam alasan kenapa pasangan menikah memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Hal ini turut dijabarkan oleh Susannah Rigg. Ia menilai bahwa beberapa hal yang melatarbelakangi keputusan ini berkaitan dengan kesehatan, latar belakang keluarga, pertimbangan gaya hidup, alasan finansial, sampai alasan terkait emosional atau ‘maternal instinct’.

Latar belakang masa lalu dan permasalahan di lingkungan sekitar kerap menjadi alasan pasangan memutuskan tidak ingin punya anak. Dari beberapa orang yang diwawancarai oleh Rigg, terdapat responden yang mengaku memilih hidup tanpa anak karena terlalu sering mendengar permasalahan para orangtua dengan anak-anak mereka.

Rigg juga melaporkan pasangan yang membuat keputusan serupa agar lebih leluasa dalam menjalani karier dan mengelola keuangan. Roberta, misalnya. Sebagai guru sekolah dan pengelola universitas, ia pernah bekerja di berbagai negara di luar Amerika Serikat. Ia juga membantu temannya dalam membesarkan anak. "Keputusan-keputusan cara hidup, karier, dan keuangan seperti ini jadi lebih mudah dijalani ketika tanpa anak," katanya.

Terlepas dari keputusan personal tersebut, banyak juga pasangan yang memutuskan tidak punya anak secara biologis, tapi masih ingin mengadopsi. Mereka menilai masih ada banyak sekali anak di dunia yang membutuhkan orangtua dibanding harus melahirkan bayi baru lagi.

“Orang bilang saya egois, tapi apakah mereka yang memutuskan punya anak juga tidak egois? Melahirkan anak ke dunia yang sudah penuh dengan anak-anak," Kata Johanna, perempuan berusia 46 tahun, salah satu responden Rigg.

Amy Blackstone dari University of Maine dan dipublikasi di The Family Journal mencoba menelaah bagaimana pilihan yang diambil Roberta dan Johanna dapat terjadi di tengah masyarakat yang kebanyakan masih menganut nilai keluarga konvensional (ibu, ayah, dan anak).

Blackstone bertanya kepada 21 perempuan dan 10 laki-laki yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Mereka rata-rata berumur 34 tahun dan merupakan pasangan heteroseksual.

Wawancara yang dilakukan selama 60 sampai 90 menit ini membahas tiga hal pokok, yaitu bagaimana proses keputusan tidak punya anak dibuat, bagaimana respons orang lain terhadap keputusan tersebut, dan refleksi dari hal-hal terkait pilihan hidup mereka.

Hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak punya anak merupakan satu pilihan yang dibuat dengan sadar, hati-hati, dan penuh pertimbangan oleh setiap pasangan. Alasan-alasan yang melingkupinya adalah karier, finansial, sampai kebebasan setiap pasangan menjalani kehidupan personal mereka.



Jika Anda berpikiran serupa dengan mereka yang memilih hidup tanpa anak, sebaiknya timbang juga dampaknya. Ada konsekuensi sosial dari masyarakat sekitar jika kita memutuskan tidak mempunyai anak. F. Van Balen turut menelaah hal ini dalam risetnya yang berjudul "The social and cultural consequences of being childless in poor-resource areas."

Ia melakukan studi literatur mengenai dampak sosial orang-orang yang memutuskan tidak punya anak di beberapa negara. Studi ini dikaji dari empat database online, yaitu Web of Science, Academic Search Premier, Science Direct dan PiCarta.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari masing-masing negara, Van Balen menemukan bahwa konsekuensi paling banyak ditemukan di lingkungan masyarakat terhadap mereka yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak adalah kekerasan verbal.

Barangkali kita sering mendengar pernyataan orang-orang kebanyakan, seperti “Anak ada untuk menjaga kalian di masa depan. Kalau kalian sakit, harus masuk rumah sakit, atau bahkan kelak meninggal, siapa yang akan mengurus?”

Selain itu, kekerasan verbal juga dapat berupa gunjingan dan tuduhan dari keluarga, rekan kerja, dan tetangga sekitar. Tuduhan pun beragam, mulai dari anggapan pasangan yang tidak subur, permasalahan kesehatan seksual, sampai dengan ketidakharmonisan dengan pasangan.

Perkara inilah yang kemudian akan memunculkan gunungan stigma negatif yang bisa berpengaruh pada hilangnya rasa hormat dan pengucilan dari masyarakat.


Konsekuensi dari dalam keluarga sendiri, menurut riset Van Balen, lebih banyak menimpa perempuan yang membuat keputusan tidak ingin punya anak. Permasalahan bisa muncul, baik dari mertua, keluarga, serta suaminya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa berakibat pada ketidakstabilan pernikahan pasangan tersebut. Ada yang takut dipoligami, juga ada yang mengkhawatirkan perceraian.

sumber : https://tirto.id/mereka-memutuskan-t...unya-anak-cywJ

=========================================================================================================

Sudah bisa dibayangkan bagaimana hukuman sosial di negara dengan populasi manusia terbanyak ke - 4 di dunia untuk orang - orang yang memilih jalan hidup seperti ini.
Diubah oleh jatafest.junior 18-10-2017 05:32
0
20.1K
172
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.2KThread39.7KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.