n4z1Avatar border
TS
n4z1
Sesama Kodam Diponegoro, Soeharto tak Masuk Jenderal Diculik Pasukan Letkol Untung
Sesama Kodam Diponegoro, Soeharto tak Masuk Jenderal Diculik Pasukan Letkol Untung


RIAU ONLINE - Indonesianis asal Amerika Serikat, Ben Anderson dan Ruth McVey, dalam karyanya, Cornel Paper, menceritakan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) merupakan konflik internal di Angkatan Darat Indonesia kala itu dan menyangkut Kodam Diponegoro.

Tak hanya itu, sejarawan Asvi Warman Adam dalam bukunya, Menguak Misteri Sejarah, 2010, menyatakan, pandangan ini merupakan versi awal sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Menurut Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, Subandrio, walaupun sama-sama berasal dari Diponegoro terdapat trio dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan trio dilanjutkan (Soeharto, Yoga Sugomo, Ali Moertopo).

"Tentu terlihat jelas pelaku gerakan maupun menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama," kata Asvi Warman Adam, dalam bukunya tersebut, Rabu, 27 September 2017.

Itu pula yang menjelaskan gerakan itu hanya tampil di Jakarta, dan di wilayah Kodam Diponegoro, Jawa Tengah dan Yogyakarta serta dapat dipadamkan dalam hitungan hari.

Alasan itu juga yang digunakan kenapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang diculik. Ia dianggap "kawan", minimal "bukan musuh".

Sejarawan asal Bukittinggi ini menganalisa, Soeharto dan Latief, keduanya sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Pada malam 30 September 1965, Latief menjumpai Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, tulis Asvi, Latief dan istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim.

Meski tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Di lain pihak, Yoga Sugomo dan Ali Moertopo, terbina ketika mereka melakukan serangkaian manuver mendukung Soeharto, sang atasan, sebagai Komandan Terotorium IV/Diponegoro.

Pada 6 juni 1962, terbentuklah pasukan Tjakrabirawa dengan satu batalyon Angkatan Darat dipimpin Letnan Kolonel Untung, sejak Mei 1965.

Letkol Untung-lah, selain LB Moerdani yang memperoleh Bintang Sakti diserahkan langsung oleh Soekarno, karena keberaniannya dalam Operasi Tritura di bumi Cenderawasih, Papua.


Ben Anderson, tutur mamak (paman) dari Direktur Utama Bank Riau Kepri, Irvandi Gustari ini, memulai analisanya dengan mengutarakan karakter "Jawa" dari Divisi Diponegoro. Sejak awal berdiri, Pangdamnya, komandannya hingga 1965, berasal dari tiga daerah, Banyumas-Kedu-Yogya.

"Jangan harapkan seorang Batak, Minang, atau Minahasa bisa menjabat sebagai komandan di Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi di Siliwangi," tulis Asvi Warman.

Kodam Diponegoro terletak di wilayah padat penduduk, pangan tidak seimbang, faham komunisme dan sentimen anti-aristokrasi, cukup kuat.

Pada 4 agustus 1965, Presiden Sukarno mengalami stroke ringan dan beredarnya dokumen Gilchrist dan isu Dewan Djenderal akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965, membuat suasana politik semakin memanas.

Maka sebagai komandan batalyon militer, tuturnya, Untung terpanggil menyelamatkan Presiden dari ancaman para jenderal tersebut dengan mendahului mereka melalui gerakan 30 september.

Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, namun kenyataanya, Letkol Untung bukanlah pemimpin utama gerakan ini. Karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI.

Gerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam hitungan hari, karena ketiadaan satu komando. Pasalnya, terdapat dua kelompok pimpinan, militer (Untung, Latief, Sudjono) dan Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, Bono). kedua kelompok ini terpecah, kalangan militer ingin mematuhi, namun Biro Chusus ingin tetap melanjutkan.

Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama dengan kedua dan ketiga, terdapat selang waktu lima jam. Sesuatu dalam upaya kudeta kesalahan besar.

"Pada pagi hari, mereka umumkan Presiden selamat. Namun, siang harinya, sudah berubah drastis, pembentukkan Dewan Revolusi dan Pembubaran Kabinet. Dalam lima jam, operasi penyelamatan Presiden Soekarno berubah 180 derajat menjadi percobaan makar melalui radio," tuturnya.

Untung memang bukan komandan Gerakan 30 september 1965, yang sesungguhnya karena Sjam mengatur semuanya. Pada 1969, ia menjalani eksekusi tembak mati. Di dalam penjara di Cimahi, Untung menceritakan kepada Heru Atmodjo, ia tidak akan dieksekusi karena hubungan baiknya dengan Jenderal Soeharto. Namun, Untung memang tak beruntung.


http://www.riauonline.co.id/nasional...-letkol-untung
=========================

Usai Singkirkan Soekarno, Soeharto Campakkan Tiga Jenderal Loyalisnya

RIAU ONLINE - Penculikan disertai pembunuhan terhadap enam jenderal di Jakarta, kemudian dikenal dengan sebutan peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, hingga kini masih meninggalkan misteri, siapa pelaku dan otak dibalik itu semuanya.

Sisi lain dari Gestapu ini memunculkan seorang Soeharto, ketika itu berpangkat Mayor Jenderal, Panglima Komando Strategis TNI AD (Kostrad), yang luput dari penculikan terhadap jenderal-jenderal anti-komunis tersebut.

Zaman dulu, walau berpangkat bintang dua dan Pangkostrad, Soeharto tak miliki pasukan sebanyak Kostrad saat ini. Ia hanya memiliki pasukan yang diperbantukan, BKO-kan dari Kodam-kodam di Jawa, maupun Sumatera.

Salim Haji Said, dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, mengisahkan bagaimana kudeta gagal terhadap Bung Karno itu, termasuk intrik-intrik yang ada di dalamnya.

Pasca-Gestapu kekuatan militer dan politik terkristalisasi pada dua kubu, Pro-Sukarno dan Pro-Soeharto. Pada akhirnya, tentara yang pro-Soeharto-lah menjadi pemenang dengan menyingkirkan perwira-perwira tinggi loyalis Sukarno.

Loyalis-loyalis Sukarno itu disingkirkan dengan cara mencari-cari kesalahan mereka, apakah terlibat sebagai anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menempatkan mereka bukan lagi di militer. Misal, sebagai duta besar atau dirjen atau jabatan non-militer selama ini dibanggakan.

Penyingkiran serupa inilah kemudian dipakai Soeharto saat memarkir, dan membuang jenderal-jenderal loyalisnya di kemudian hari, di zaman Orde Baru.

Padahal, jenderal-jenderal tersebut memiliki peranan sangat besar membantu Soeharto menyingkirkan Sukarno beserta tentara loyalisnya. Tentara, terutama TNI AD saling bahu-membahu bersama rakyat menghancurkan PKI.


Salim Said mengatakan, Soeharto memerlukan waktu dua tahun secara perlahan-perlahan menyempurnakan penguasaannya atas tentara. Selama proses tersebut, dalam kalangan tentara Soeharto harus menghadapi pendukungnya yang radikal sembari berurusan dengan pendukung Sukarno yang fanatik.

"Di pihak Soeharto, ada Jenderal Kemal Idris, Jenderal Harsono Rekso (HR) Dharsono serta Kolonel Sarwo Edhi. Mereka bertiga inilah yang loyal dan tegas terus mendesak agar Soeharto segera menyingkirkan Presiden Sukarno," tulis guru besar Politik tersebut.


Mantan wartawan Majalah Tempo di tahun 1970-an ini kemudian menjelaskan, di pihak loyalis dan pendukung fanatik Presiden Sukarno pada berbagai unit militer di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak sulit ditemuka yang siap mati untuk sang Putera Fajar.

"Dari itu semua, loyalis Sukarno yang paling menonjol adalah Panglima Marinir, juga Wakil Panglima Angkatan Laut, Letnan Jenderal KKO Haryono," tulis Salim Said.

Dengan kecerdikan politik dan kesabarannya, jelas Salim, Soeharto bukan saja berhasil menyingkirkan para penentangnya dari berbagai satuan unit militer, melainkan juga dengan sangat dingin berhasil terbebas dari para perwira loyalis dan radikal pendukungnya.

Salim mencontohkan Jenderal Kemal Idris, terlempar ke Makassar, Sulawesi Selatan dan diberi jabatan sebagai Pangkowilhan, sebelum akhirnya perwira tinggi berdarah Minangkabau tersebut dikirim ke Beograd, Yugoslavia sebagai duta besar.

Padahal, Kemal Idris diangkat Soeharto sebagai Pangkostrad, penerusnya, sedangkan dirinya diangkat oleh Sukarno sebagai Panglima Angkatan Darat.

Nasib serupa juga dialami Jenderal HR Dharsono. Loyalis Soeharto ini kemudian dibuang menjadi duta besar ke Bangkok sebagai Duta Besar untuk Thailand.

"Untuk Sarwo Edhi, jenderal RPKAD, Kopassus itu dicampakkan ke Medan sebagai Pangdam Bukit Barisan sebelum akhirnya dibuang jauh-jauh ke Papua, sebagai Pangdam Cenderawasih," tulis Salim Said.

Terlemparnya Kemal Idris sebagai Duta Besar tak lepas dari semakin populernya prajurit yang pernah mengarahkan meriam ke Istana di zaman Presiden Sukarno, 17 Oktober 1952, di Indonesia bagian Timur.

"Kemal berhasil membawa rakyat dalam pembangunan. Mereka antusias. Mereka tidak menghalangi pembangunan. Kemal berhasil menenangkan kaum muda di Indonesia bagian timur. Dia terlalu populer di sana. Popularitas itu diperlukannya untuk memperoleh jabatan tertinggi. Dulu dia berani melawan Bung Karno sedang berada di puncak kejayaannya.Tentu dia akan berani pula melawan Soeharto," seperti tertulis dalam buku memoar Kemal Idris diangkat dari Majalah Tempo, dengan judul Memoar: Senarai Kiprah Sejarah, terbitan Grafiti, Juli 1993.

Sedangkan, Mayjen HR Dharsono semasa menjadi Pangdam Siliwangi pernah mengeluarkan Surat Perintah agar masyarakat Jawa Barat tidak dikunjungi atau mengunjungi mantan Presiden Indonesia, Soekarno, antara tahun 1968-1969. Kemungkinan ini diperintah Soeharto.

Sementara itu, Letjen Sarwo Edhi merupakan mertua Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dengan pasukan RPKAD-nya memburu anggota dan simpatisan PKI hingga pelosok-pelosok di Pulau Jawa.


Hasilnya? Salim Said menjelaskan, Soeharto akhirnya berhasil berdiri tegak sebagai Panglima Angkatan Darat dan Ketua "Partai Tentara". Dari posisi kuat seperti itulah berangsur-angsur Soeharto memenangkan pertarungan politik dengan Sukarno.

"Presiden Sukarno tersingkir pada 1968 digantikan Jenderal Soeharto sebagai presiden kedua, setelah keluar sebagai pemenang selama dua tahun terjadi pertarungan politik (Power Strunggle) antara Soeharto melawan Sukarno," pungkasnya.
http://www.riauonline.co.id/nasional...ral-loyalisnya
============================


Sejarah selalu akan mencari kebenarannya sendiri, dengan caranya sendiri, walaupun dibelokkan sedemikian rupa, dia akan kembali kepada relnya, sesuai faktanya, meskipun terkubur jaman.

Sejarah, menurut banyak orang, adalah milik pemenang. Tapi seorang pemenang, tak akan pernah bisa berdiri diatas terus menerus. Selalu ada yang bisa menggantikan. Dan saat itulah sejarah akan berusaha mencari kebenaran dari apa yang ditulis seorang pemenang.

4 cuplikan sejarah diatas dan dibawah, dari kurun waktu yang berbeda, sesungguhnya hanya ingin mencari kebenaran yang pernah ditulis oleh seorang pemenang. Dan sejarah tak perlu dibaca penuh emosi. Sejarah itu untuk dipelajari, dipahami, dikaji.

Trit ini cuma buat arsip, yang bisa dibaca kapanpun bagi yang membutuhkan.
Dikomen syukur, gak dikomen ya gak masalah. emoticon-Big Grin
Diubah oleh n4z1 02-10-2017 20:15
0
36.2K
77
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.7KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.