Kaskus SportAvatar border
TS
Kaskus Sport
Isak Tangis di Stadion Olimpico Karena Francesco Totti
Menyaksikan Daniele De Rossi menitikkan air mata adalah sebuah peristiwa langka. Andai itu terjadi pada momen bahagia seperti saat dirinya mengangkat trofi Piala Dunia 11 tahun silam, tentu tak ada yang merasa heran; karena mengutip ucapan Filippo Inzaghi, bahwa air mata seorang pesepakbola seharusnya menetes hanya pada momen ia memenangi sesuatu, bukan saat kehilangan atau menderita kekalahan. Tapi malam hari lalu, di Olimpico, De Rossi seperti mengabaikan ucapan mantan rekan setimnya di tim nasional Italia itu: ia memilih untuk tetap meneteskan air mata, meski Roma baru saja meraih kemenangan dramatis atas Genoa dengan skor 3-2, yang berjasa mengantarkan mereka lolos otomatis ke fase grup Champions League musim depan. Pria dengan karakter bermain keras yang sudah mengoleksi 104 kartu kuning dan 7 kartu merah di sepanjang karirnya itu tak kuasa menahan kesedihan kala melihat perpisahan seorang pemain yang membuatnya membenci julukan Capitano Futuro.



“Tidak akan ada orang yang merayakan hari di mana saya menjadi kapten. Semua orang akan merasa sedih karena itu berarti pemain terbaik dalam sejarah Roma akan gantung sepatu. Francesco jauh berada di depan saya, dan saya tahu bahwa wacana untuk mendapatkan ban kapten ketika ia pensiun adalah hal yang tidak menyenangkan baik untuk saya atau para penggemar,” ujar De Rossi pada 2013, ketika disinggung mengenai julukan yang sudah disematkan kepadanya sejak satu dekade silam.

Mau tak mau, De Rossi akhirnya harus menerima jabatan kapten juga. Hari yang telah dijanjikan tiba dan ia harus menyaksikan momen menyedihkan itu: melihat Francesco Totti tidak lagi berseragam AS Roma dan resmi tercatat sebagai pemimpin armada Serigala Ibukota untuk musim selanjutnya. De Rossi mungkin mewakili perasaan 68.530 pengunjung yang memecah Olimpico dengan isak tangis pasca Paolo Tagliavento membunyikan peluit tanda pertandingan berakhir pada menit 94. Atau bisa juga, mewakili perasaan jutaan penikmat sepakbola di seluruh dunia yang telah 25 tahun mengikuti karir Francesco Totti dari layar kaca. Semua orang tahu, bahwa akan tiba masa di mana Totti turun tahta dari singgasana Roma, bahkan sejak beberapa musim belakangan. Tapi tetap saja, tidak ada orang yang pernah benar-benar siap untuk melepas Totti, salah satu anak emas terbaik yang pernah dimiliki sepakbola Italia, meski sudah sejak lama mempersiapkan diri untuk momen dramatis seperti ini.

25 tahun mengabdi untuk Roma, Totti memang ‘hanya’ punya 5 kali kesempatan untuk angkat trofi, tapi yang dilakukan Il Re di Roma adalah sebuah pencapaian dalam level yang berbeda. Ia bisa saja meraih gelontoran trofi andai bersedia menerima pinangan beberapa raksasa Eropa ketika masih berada di era keemasan, tapi Totti, bersedia menjadi antidot sepakbola modern yang hanya menghamba pada besaran gaji dan iming-iming trofi dengan dedikasi dan kesetiaan yang tiada banding. Roma kemudian memberinya ruang untuk terjun dalam setiap genangan rekor klub yang mampu diraih di level individu: pencetak gol terbanyak untuk Roma di semua kompetisi (307 gol), pemilik catatan penampilan terbanyak untuk Roma di semua kompetisi (786 laga), kapten termuda klub (22 tahun 34 hari), catatan gol per musim terbanyak (23 musim), sampai lesakan penalti terbanyak sepanjang sejarah Serie-A (71 gol). Roma adalah Totti, vice-versa.

Seiring berjalannya waktu, Totti kemudian menjadi simbol bagi I Lupi dan calcio. Muskil untuk tidak mengagumi dirinya, apalagi bagi mereka yang pernah menyaksikan masa keemasan Serie-A, terlepas dari tim manapun yang menjadi favoritnya. Ketika Totti pensiun, semua elemen liga berduyun-duyun memberikan ucapan perpisahan: mulai dari mantan rival di atas lapangan, sampai seteru abadi yang membuat ibukota terbelah menjadi dua warna. Selain itu, lintas suporter juga turut ‘melepas’ Totti dengan respek yang sama besarnya tatkala melepas bandiera seperti Paolo Maldini, Javier Zanetti, dan Alessandro Del Piero.

Tapi Anda salah besar jika menganggap seisi Olimpico lebih bersedih dibanding Totti, karena di lain sisi, perpisahan ini juga berarti membuat Totti harus pergi dari tempat yang menjadi ‘rumah’ bagi dirinya, sekolah yang mendidiknya jadi murid paling teladan dalam sejarah klub, koloseum yang menempanya menjadi gladiator tangguh. Totti sendiri akhirnya juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Setelah menerima plakat penghargaan—yang sejujurnya terasa nirguna—dari Pallotta, ia bersiap mengelilingi stadion dengan diiringi oleh istri dan ketiga anaknya. Tangis Er Pupone pecah saat memeluk Cristian dan Chanel, kemudian ia memilih untuk menyembunyikan isaknya di pelukan Ilary Blasi—sampai terlihat tenang dan siap untuk menimang Isabel, putri bungsunya yang belum lama genap berusia satu tahun. Kamera stadion menangkap momen berharga ini, yang kemudian dilanjutkan dengan penampakan Daniele De Rossi, Alessandro Florenzi, Stephan El Shaarawy, Radja Nainggolan, sampai Luciano Spalletti yang berlinang air mata. Dua nama terakhir mungkin tak lagi berada di Olimpico musim depan, tapi bisa menyaksikan petualangan Totti—meminjam istilah milik De Rossi—yang tidak normal itu, adalah sebuah kehormatan yang belum tentu dirasakan oleh banyak pemain atau pelatih. Anda boleh bermain bersamanya hanya dalam waktu singkat, Anda juga boleh terlihat bersiteru dengan dirinya di media setempat untuk beberapa saat, tapi ketika pemain sekaliber Totti memutuskan untuk pensiun dari klub, respons terbaik yang bisa Anda berikan hanya dua: menangis dalam hati namun tetap tegar di hadapan kamera, atau tidak membohongi nurani dengan sejenak mengabaikan sisi maskulin pada momen dramatis seperti ini. Dan seperti yang diketahui, mereka berdua akhirnya memilih opsi yang terakhir untuk melepas Francesco Totti di laga pamungkasnya.

Setelah Totti pergi, sepakbola masih akan tetap ada, tapi keindahannya mungkin tak lagi sama. Totti adalah salah satu dari sedikit pemain yang khidmat merawat elegansi di tengah kompleksitas industri sepakbola modern. Garda terakhir yang mengangkat derajat trequartista dengan magis nomor sepuluh yang ikonik itu. Yang menginspirasi pesepakbola profesional lintas kompetisi sampai pesepakbola di gang-gang kecil untuk menduplikasi berbagai trik ajaib yang kerap ia lakukan di atas lapangan hijau. Tak ada lagi irisan umpan ciamik dari tengah lapangan, terobosan magis dengan sekali sentuh, dan palonetto khas yang pernah membuat kiper sekaliber Buffon sekalipun jadi terlihat dungu. Sang Pangeran Roma telah turun tahta, tapi warisan berharga dari dirinya telah berhasil mengantarkan banyak anak untuk mengawali romantismenya dengan sepakbola.

Totti undur diri dari Roma sebagai seorang pemenang. Ia berhasil memenangi pertarungan sesungguhnya bagi seorang pesepakbola—yang mungkin sulit dipahami dalam kultur sepakbola modern—dengan tetap mengenakan kostum yang sama selama dua dekade lebih. Tetap mengabdi di kurun waktu yang tidak sebentar dan tak selalu mendapatkan apa yang dinginkan adalah pencapaian dalam bentuk lain; ikrar setia yang tak selalu bisa diukur dengan gelar juara. Totti mungkin memenangi karirnya dengan cara berbeda. Ia tidak menebusnya dengan gelontoran trofi, tapi dengan menyatukan ‘kota abadi’ menjadi panji kuning-merah yang berdiri tegak bersama jajaran raksasa Italia lainnya. Roma tidak dibangun dalam semalam, sebab seorang Totti sekalipun butuh waktu 25 tahun untuk bisa menyiapkan Giallorossi demi sesuatu yang lebih prestisius. Sepeninggal Totti, Serigala Ibukota—harus—siap melolong jauh lebih keras lagi.

MAU NONTON GRATIS SERIE A DI ITALIA?
IKUTAN KUIS TEBAK SKOR DI SINI!

Supported by:




www.kaskus.id
0
12K
33
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Liga Italia
Liga Italia
icon
1.5KThread7.7KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.