Quote:
PART 5
Hilka kelimpungan. Jam empat pagi sudah ribut dengan laptopnya. Gila! Bisa-bisanya Hilka lupa pada tugas, baru pertama kali Hilka keteteran seperti ini. Untung masuk siang, masih ada waktu sampai jam 10 dan semoga waktunya cukup.
"Alamak.....program error lagi." Lagi-lagi laptopnya freeze, gara-gara membuka Photoshop yang RAMnya berat, laptop Hilka memang sudah belakangan ini sering crash kemungkinan karena virus. Oh iya, padahal kemarin seharusnya Hilka scanning malware dan virus di laptopnya.
Kelupaan lagi dua tugas gara-gara......
Sekarang Hilka paham, kenapa banyak teman-temannya yang dipanggil ke ruang guru gara-gara punya masalah yang sering berkaitan dengan masalah cinta, misalnya nilai yang turun sejak putus dengan pacarnya, bahkan pernah ada percobaan bunuh diri karena patah hati. Gawat kalau Hilka akhirnya masuk sebagai salah satu dari orang-orang itu.
Pukul sepuluh lewat sedikit, Hilka lari-larian ke kamar mandi dan membereskan isi tasnya. Kalau sudah begini tidak ada jalan lain, Hilka minta diantar sampai ke kampus.
"Buset, Si Hilka berantakan amat. Tugas lu udah belum."
"Nih, Stev....mau mati gue ngerjainnya." Hilka menyerahkan flashdisknya.
"Lah, lu kan kemaren libur, kemana aja emangnya? Bukan ngerjain tugas. Pacaran, ye? Sama cowok misterius yang lu suka?"
Sementara Stevie meninggalkan Hilka sambil ketawa-ketawa, Hilka menaruh kepalanya di atas meja. Pusing, hari ini kayaknya serba terburu-buru, rambut Hilka masih berantakan, bajunya kusut, mandinya juga tidak benar, Hilka mulai gatal-gatal. Belum lagi ternyata tugasnya salah, kalau boleh sebenarnya ingin sekali menangis hari ini. Untung Hilka masih bisa mengendalikan diri.
Bayu, you're a bad news for me.
Baru sekarang Hilka merasa tidak.ingin bertemu Bayu. Ini jelas-jelas sudah enggak terkendali, masa gara-gara cowok Hilka harus merelakan kuliahnya? Nilai kuliah Hilka bagus-bagus, baru sekarang dia pernah dimarahi dosen gara-gara keteteran tugas.
"Lu kenapa, Ka?"
"Enggak apa-apa."
Kali ini Hilka agak kurang semangat ketika, lagi-lagi secara 'kebetulan' ketemu dengan Bayu. Tapi agak terlalu juga kalau Hilka menjadikan Bayu akar masalahnya. Ini salah Hilka sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya.
Lagi lu lebay, Ka. Pacaran juga enggak. Kalau hidup lu jadi berantakan, itu kerjaan lu sendiri.
"I know how to cheer you up....." Bayu berbisik di telinga Hilka dan berdiri di sebelahnya sambil memegang gitar, kali ini Hilka duduk di tengah, jadi Bayu bisa berdiri di sebelahnya.
"Selamat malam, ayah, bunda, kakak, mas dan mbak. Kalau biasanya saya sendiri, bernyanyi sendiri, sepi juga, saya mau mengajak seorang teman, teman baru saya, untuk membawakan duet. Seorang violinis, masih muda, cantik juga....."
"Bayu, you're kidding right?"
Tapi Bayu tidak mendengarkan protes Hilka karena perkenalannya masih panjang, padahal kenal Hilka juga baru.
"Kalau berkenan Hilka mau menemani saya....."
"Bay, bercanda, ah lu."
"Mainin lagu yang kemarin aja. Pasti gue temenin, kok."
Hilka langsung merasa tangannya kebas. Harusnya Hilka bisa lebih santai, dia sudah biasa tampil di depan umum, pernah sekali tampil di Royal Albert Hall di London, bagian dari children orchestra yang waktu itu mengumpulkan anak-anak dari beberapa negara dan Hilka termasuk dalam salah satunya. Dengan hati-hati Hilka mengeluarkan biolanya, sementara wajah para penumpang bercampur antara penasaran dan tidak peduli.
These people won't understand my song.
Hilka mencari posisi yang aman agar ia tidak menggangu penumpang dengan gesekan biolanya. Karena kebiasaan, Hilka membungkukkan badan, seperti kalau ia sedang tampil di gedung pertunjukan. Ada penumpang yang tertawa tertahan ketika melihat Hilka membungkuk. Cukup membuat nyali Hilka ciut, tapi kemudian ia siap untuk memainkan biolanya, membawakan The Dying Swan diiringi dengan petikan gitar.
He's prepared for this.
Sementara Hilka memainkan melodi, Bayu mengiringinya. Inilah duet yang sebenarnya, dan Hilka tidak menyangka kalau mereka bisa sinkron, padahal sebelumnya mereka belum pernah latihan untuk ini.
Setelah lagu pertama selesai, Hilka menarik nafas dalam-dalam. Penumpang bus bertepuk tangan, membuat Hilka menjadi lebih lega bernafas.
"Satu lagi, Ka."
"Eh....."
"Lagu apa aja, gue bakal ngikut."
Satu lagu yang terlintas di otak Hilka. Moon River. Kenapa, Hilka juga tidak tahu, tapi ketika judul itu terlintas di otaknya, Hilka langsung menyebutkan lagu yang ia mau pada Bayu.
"Nyanyi, yah, Bay....please. Taukan lagunya?"
"Tau, sih. Kenapa enggak lu aja yang nyanyi?"
"Suara gue sumbang.....seriusan, enggak ada yang mau karaoke ama gue."
Bayu hanya tersenyum mendengar penjelasan Hilka. Ia bernyanyi bersamaan dengan gesekan biola Hilka, suaranya yang khas, ditambah iringan biola dan gitar, Hilka hampir pingsan mendengarnya. Moon River adalah salah satu lagu yang menurut Hilka seksi, dan sekarang Bayu yang nyanyi, di dekat dia pula.
Heaven does exist.....
Yang pasti masalah Hilka tadi siang langsung hilang entah kemana.
Selesai lagu kedua, Hilka membungkukkan badannya lagi dan menaruh biolanya di dalam case.
"You go solo from here."
"Sure. You're more than just amazing."
Kebas di tangannya sudah hilang, tapi keringatnya masih mengucur dan tenggorokan Hilka terasa kering sekali. Malam ini mungkin Hilka tidak tidur lagi, dan kalaupun tidur, pasti terbayang-bayang terus kejadian sore ini.
"Ka, habis ini harus langsung pulang atau bisa main dulu sebentar?"
"Selow aja. Emang kemana gitu?"
"Tau Sempur, kan? Ke sana dulu, gue janji mau ngenalin lu sama temen-temen gue."
"Okay, then."
"Sure. Cuma jangan kaget, yah kalo ketemu temen-temen gue. Gue rasa seumur hidup lu, lu belum pernah ketemu orang macem mereka "
Memangnya orang seperti apa mereka? Hilka sudah pernah bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai macam latar belakang, seharusnya sih tidak ada yang aneh dengan teman-teman Bayu, minimal kalo gaya mereka semua seperti Bayu, harusnya sih enggak apa-apa.
"Naik angkot enggak masalah, kan lu?"
Hilka memandang Bayu sambil menyipitkan matanya. Sama saja, kenapa semua orang mengira Hilka tidak bisa naik kendaraan umum? Cuma angkot doang mah kemana-mana juga Hilka naik angkot kalau tidak dipaksa naik mobil sendiri.
"Lu nape ngeliatin gue kaya gitu?"
"Enggak apa-apa.... " Hilka langsung mengubah ekspresinya dan tersenyum manis.
Hari sudah gelap ketika Hilka sampai di depan lapangan Sempur. Jalan agak licin sehabis hujan, Hilka hampir jatuh kepeleset ketika menuruni jalan ke lapangan.
"Yah....." Hilka jelas lebih khawatir pada biolanya daripada pada dirinya sendiri. Suara dentingan gitar dan orang-orang yang sedang bernyanyi mulai terdengar. Liriknya janggal, bebas, tidak terikat aturan supaya terdengar puitis, berani, malah agak vulgar, yang pasti bisa bikin Hilka memerah pipinya.
"Stop....stop....noh situ noh.....cieee....ada yang bawa gandengan baru....."
"Baru kemaren ditanya kok sendiri, udah bawa mangsa baru aja."
Hilka berusaha tenang, meski kata-kata itu jelas bikin Hilka tidak nyaman. Bayu sendiri tidak mencoba untuk mendiamkan teman-temannya, atau mengkoreksi mereka. Ia hanya menyuruh Hilka duduk di dekat mereka sementara ia sendiri menjauh.
"Namanya siapa?"
"Gue Hilka...."
"Oh. Devi.....lu pacarnya Bayu, yah?"
"Bu....kan. Temen aja, kok."
"Oh....tumben Si Bayu deket ama cewek tapi kagak digarap. Biasanya nyelonong aje tuh orang."
Astaga.....ternyata. Ganteng dikit langsung jadi playboy. Tapi Hilka percaya percaya saja kalau Bayu disebut playboy, beberapa kali Hilka melihat Bayu dengan beberapa cewek berbeda. Rata-rata memang makhluk dari genus Capsicuum, alias cabe-cabean. Persis seperti cewek si sebelahnya ini, umurnya pasti jauh lebih muda dari Hilka, tapi gayanya luar biasa, boros bedak.
"Minum, Ka....."
Hilka mengambil gelas plastik yang disodorkan dan meminumnya.
By God! Moonshine!
"Gue harus ikut bayar enggak kalau ikut minum?"
"Enggaklah. Duitnya juga dari pacar lu."
Hilka hanya tersenyum, ngapain juga susah-susah membela diri dan bilang kalau Bayu bukan pacaranya. Toh Bayu sendiri tidak peduli dengan temannya dan tidak berusaha mendeny. Dari tadi Bayu hanya tersenyum mendengar teman-temannya itu.
"Ikut kenalan juga, dong." Datang satu lagi, kali ini cowok yang mengajak Hilka kenalan, namanya Ares. "Itu biola, yah?" Hilka mengangguk. "Boleh liat? Lu aja yang buka." Ares juga tahu kalau biola Hilka tidak murah, karena itu ia tidak berani menyentuhnya.
Hilka membuka kunci casenya, Ares kelihatan ragu ketika harus menyentuh biola Hilka, sehingga ia meminjam bownya saja.
"Ini bukan fiber yah?"
"Bukan, surai kuda....."
"Oh.....tipnya juga lain...."
"Itu perak asli....."
"Buset.....mainan orang kaya emang beda. Bay, lu kok bisa naik kelas dari cabe-cabean ke anak orkay gini?"
"Berisik banget, dah. Si Hilka ga suka dibilang orkay. Ka, ke sini sebentar, yuk."
Hilka membereskan biolanya dan mengikuti Bayu setelah sebelumnya menghabiskan minumannya.
"Sabi kobam juga, nih anak." Kata Bayu pelan.
Mereka duduk agak jauh dari yang lain, dan Bayu menyodorkan sejumlah uang kepada Hilka. Tidak banyak, tapi lumayan juga jumlahnya. "Nih, persenan lu, Ka. Duit hari ini 2 kali duit yang biasanya. Pasti karena ada lu."
"Eh, enggak usah, Bay. Gue enggak nyari duitnya, kok."
"Enggak apa-apa, ini hak lu. Aturan mainnya emang gitu."
"Enggak mau, ah. Ini lu ambil aja semua. Gue beneran enggak mau. Lagi lu kan lebih butuh duit ini......"
Langsung saja Hilka mengerem mulutnya. Dia kelepasan omong, kata-katanya seperti menegaskan I am richer than you. Langsung Hilka merasa tidak enak dan mengambil uangnya.
"Kita pake cara pembagian yang lebih adil aja. Lu tadi nyanyi total berapa lagu?"
"Lima...."
"Nah, ini bisa dibagi lima uangnya. Gue nyanyi dua lagu, jadi persenan gue yang ini. Setuju?"
"Okelah." Bayu memasukan uangnya kembali ke dalam kantong kulitnya. Kata-kata Hilka memang menusuk, tapi dia paham kalau Hilka cuma kelepasan omong. Mudah-mudahan benar kelepasan, bukan karena dia mabuk.
"Bay, tadi gue seneng bisa duet sama lu. Gue mau lagi. Kalau lu mau jalan, kasih tau gue, yah. Nih nomor gue." Di atas sebuah kertas yang dirobek dari buku gambarnya, Hilka menuliskan nomor teleponnya. "Kalo gue bisa bakal gue kasih tau."
"Yakin Ka lu mau mulai hidup di jalan?"
"Waktu gue di Amsterdam, dan beberapa kota di Eropa, gue liat orang-orang yang hidup di jalan itu kayanya orang yang paling bahagia. Mereka hidup dengan kehendak mereka sendiri. Berkarya dengan kemauan mereka. Sejak saat itu gue mimpi bisa hidup di jalan, jadi pelukis jalanan. Emang kalau di Indonesia tantangannya pasti lebih banyak, tapi gue siap aja. Toh gue ada mentor pribadi, kan?"
"Oke, kalo lu emang pengen hidup di jalan, gue bawa lu, ngamen keluar masuk bus. Tapi dengan gue enggak sembarangan, tetap lu harus latihan yang rajin."
"Siap boss!" Hilka menaruh tangannya di dahi, siap berjuang bersama.
Memangnya oleh Hilka tidak kepikiran kalau orangtuanya tahu dia ikut-ikut ngamen orangtuanya bakal ngamuk? Kepikir kok, kepikiran banget malah. Tapi Hilka tidak peduli, mumpung ada orang yang mau membawa dia untuk hidup di jalan, dia siap menerima resikonya.
I'm not a child anymore.
"Sebentar Ka. Gue mau lu ketemu seseorang."
Bayu kembali dengan mengajak Satar. Ia memperkenalkan Hilka pada Satar dan sebaliknya, mereka saling bersalaman dan Satar membungkukkan badannya sedikit dengan sangat sopan.
"Gue udah denger tentang lu, Ka. Pemusik juga?" Hilka mengangguk. "Ho keliatan, sih. Yaudah baik-baik, ya ama Si Bayu. Kalo macem-macem getok aja. Lu juga, Bay. Jangan macem-macem lu. Si Bayu kalo liat cewek engga tahan enggak macem-macem."
Hilka tersenyum sambil melambaikan tangannya ketika Satar memohon diri. "Bay, gue balik, yah."
"Oh iya, udah malem juga. Bareng, deh. Gue anter."
"Gak usah kali. Tinggal sekali naik angkot."
"Bareng jalan doang. Sampai balkot."
"Terus lu mau kemana?"
"Jalan lagi, nyari apa, kek. Nyari duit udah, tapi masih terlalu siang kalau pulang jam segini."
Selama mereka jalan berdua, Hilka lebih banyak diam, pertama karena dia lelah, kedua, karena berat biolanya mulai mengganggu, ketiga, karena setelah hari ini Hilka mulai ragu pada Bayu. Mungkin Devi cuma melebih-lebihkan, tapi potongan cowok seperti Bayu.....kayanya memang pasti banyak yang suka.
Saking sibuknya dengan pikiran-pikiran itu, Hilka bisa menangkis omelan ibunya, karena Hilka pulang malam-malam dan bajunya basah kena hujan. Hilka cuma diam, kemudian melangkah dengan gontai ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu kamar dan masuk ke kamar mandinya. Sambil berendam dalam air panas, Hilka melamun, kebiasaannya kalau sedang bingung walau dia tahu, enggak bagus berendam di dalam air panas terlalu lama.
Ngapain juga Si Bayu susah-susah milih cewek kayak lu, Ka. Dia bisa dapet cabe-cabean yang lebih cantik dan muda dari lu. With less risks and less costs. A guy like him would always think a white bread girl like you is just another spoiled lady, cannot live on her own will.
Sejak mendengar kata 'cabe-cabean', Hilka agak geli sendiri mendengarnya. Ternyata dia diserang juga oleh kata-kata itu.
"Terus kenapa Bayu bisa secepat itu deket sama gue?"
He might want something from you. A rich, lonely lady is always a good choice for a gold digger.
Sampai di negara orang saja masalah Bayu tetap sama, dengan perempuan, walau detailnya seperti apa Hilka juga tidak tahu.
Bisa dipercaya enggak yah orang seperti itu?
Tapi memangnya Hilka mengharapkan apa, sih dari Bayu? Kalau Hilka memgharapkan macam-macam, lebih dari yang dia dapat juga pasti ujungnya paling-paling kecewa. Dan Hilka tidak mau, catatan bersihnya sebagai seorang cewek rusak gara-gara patah hati, karena heartbreak can change people, for better or worse.
Takut amat patah hati sih lu, Ka. Mungkin patah hati bisa jadi pengalaman baru buat lu. Sekali seumur hidup, enggak ada salahnya lu patah hati.