love.kretekAvatar border
TS
love.kretek
Tujuh Fakta di Balik Pergub DKI Jakarta No. 88/2010


Jika Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No. 88/ 2010 diibaratkan sebuah puzzle, maka tujuh fakta di bawah ini adalah keping-kepingnya. Sebuah puzzle tidak bisa menyajikan gambar, cerita, atau pesan yang utuh jika keping-kepingnya berserakan. Begitu juga dengan Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010. Memahami bagaimana kepentingan asing menelusup di situ harus dengan menyatukan tujuh fakta di bawah ini, yaitu:

Satu, terjadi perang besar memperebutkan nikotin antara industri farmasi dan industri rokok di Amerika Serikat (AS), setidaknya sejak 1990an. Perang besar itu direkam antara lain oleh Kenneth Warner, John Slade, dan David Sweanor. Dalam “The Emerging Market for Long-term Nicotine Maintenance “ ( Journal of the American Medical Assn., Oct., 1, 1997), mereka menulis:

“…a series of technological, economic, political, regulatory, and social developments augurs a strange-bedfellows competition in which these industries (tobacco and pharmaceutical) will vie for shares of a new multibillion dollar long-term nicotine-maintenance market.”

Nikotin jadi rebutan karena punya banyak manfaat medis, namun tidak bisa dipatenkan. Nikotin terkandung secara alami pada tembakau, tomat, kentang, dan banyak jenis sayuran lain. Hanya senyawa “mirip nikotin” dan sarana pengantar nikotin yang bisa dipatenkan. Kepentingan industri rokok atas nikotin sudah jelas, sementara kepentingan industri farmasi adalah bisnis perdagangan obat yang dikenal dengan Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Dua, strategi merangkul para pemuka kedokteran, World Health Organization (WHO), dan badan-badan pemerintah federal AS, membuat industri farmasi berada di atas angin. Merangkul dalam hal ini adalah menjadi sponsor; mengucurkan dana untuk kepentingan kampanye anti-rokok.

Tahun 1998, Pharmacia Upjohn, Novartis dan Glaxowelcome, menjadi sponsor terbentuknya WHO Tobacco Free Initiative (TFI). Ketiganya adalah perusahaan farmasi yang memasarkan produk produk-produk NRT. Pharmacia Upjohn menjual permen karet nikotin, koyok transdermal, semprot hidung dan obat hirup. Novartis menjual koyok habitrol. Glaxowelcome menjual zyban. Salah satu misi TFI adalah mempromosikan WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagai landasan hukum internasional memerangi tembakau.

Tahun 2000, tiga perusahaan farmasi terkemuka di atas kembali menggerakkan kampanye dunia memerangi tembakau dengan menggelar Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago. Bedanya, kali ini amunisi mereka bertambah dengan partisipasi SmithKline Beecham. SmithKline Beecham, yang sesudah konferensi merger dengan Glaxowelcome, adalah perusahaan farmasi yang menjual produk NRT seperti koyok nikotin Nicoderm CQ dan permen karet Nicorette. WHO, World Bank, Centers for Disease Control dan Cochrane Tobacco Addiction Group, memberikan dukungan di konferensi tersebut.

Tiga, stategi merangkul yang terbukti efektif, dilanjutkan oleh pemangku kepentingan farmasi lainnya. Michael R. Bloomberg, seorang AS keturunan Yahudi, walikota New York tiga periode berturut-turut, ikut merapat ke WHO. Tahun 2006 ia mengucurkan 125 juta dolar AS, kemudian 250 juta dolar AS di tahun 2008, sebagai “komitmen”memerangi tembakau. Di belakang Bloomberg adalah salah satu Direktur Novartis, yaitu William R. Brody, yang juga teman dekat sekaligus penasehatnya.

Melalui Bloomberg Initiative dana mengalir ke banyak lembaga di dunia. Di Indonesia sendiri, dana mengalir ke, diantaranya:

  1. Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS (2009-2010).
  2. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS (2008-2010).
  3. Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS (2008-2010).
  4. Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS (2008-2010).
  5. Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS (2009-2011).
  6. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS (2008-2010).
  7. Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS (2010-2012).


Empat, dana yang mengalir ke Swisscontact Indonesia, di situs resmi Bloomberg Initiative disebutkan untuk periode Mei 2009 sampai April 2011, sebagai:

“The project aims to achieve a 100% smokefree Jakarta by implementation of existing legislation. Measures to build capacity will include the development of a multi-sector enforcement action plan within two years. A Jakarta Clean Air Act Enforcement Committee will be established, and a monitoring and evaluation system will be developed.”

Lima, mulai bulan Mei 2009 dicanangkan program Smoke Free Jakarta (SFJ), yang merupakan kemitraan Swisscontact Indonesia dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Disebutkan di Berita Pers SFJ, 26 Oktober 2009, bahwa SFJ bertujuan melindungi Jakarta dari bahaya asap rokok; dengan cara memperkuat kapasitas penyelenggaraan Kawasan Dilarang Merokok (KDM).

Disebutkan juga bahwa SFJ akan mendorong penerapan 100 % Kawasan Dilarang Merokok; intinya,tidak akan ada lagi ruang khusus merokok di dalam sebuah ruangan.

Enam, tanggal 6 Mei 2010 ditetapkan Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 yang merevisi peraturan sebelumnya, yaitu Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005. Perbedaan mendasar kedua peraturan itu ada pada soal ruang khusus merokok. Pergub DKI Jakarta No. 75/ 2005 mengatur keberadaan ruang khusus merokok di gedung, sementara Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010 menghapusnya sama sekali.

Pergub DKI Jakarta No. 88 Tahun 2010 lahir dari kajian yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang menggandeng Swisscontact Indonesia sebagai mitra. Melalui SFJ, Swisscontact Indonesia juga diberi keistimewaan untuk melakukan pengawasan dan menerima pengaduan.

Tujuh, SFJ, dimana Swisscontact Indonesia ada di dalamnya, di situs resminya menyajikan informasi berhenti merokok. “Terapi dan Pengobatan untuk Berhenti Merokok” judulnya. Ada lima jenis terapi dan pengobatan, empat yang disebutkan di awal adalah terapi laser, terapi SEFT (spiritual, emotional, freedom, technique), terapi hipnotis, dan terapi farmakologis. Kemudian di poin terakhir, poin kelima, adalah terapi pengganti nikotin.

Disebutkan bahwa: “Ada empat bentuk terapi pengganti nikotin ini, yaitu bentuk temple, permen, semprot, dan hirup. Kombinasi di antaranya dinyatakan menghasilkan rata-rata waktu berhenti merokok yang lebih panjang dibandingkan terapi tunggal. Terapi ini sebaiknya melibatkan jasa konseling dokter, dokter gigi, farmasi, atau penyedia layanan kesehatan lainnya.”

Dari tujuh fakta tersebut, sulit menyingkirkan logika tidak ada kepentingan asing dalam Pergub DKI Jakarta No. 88/ 2010. Lagipula pengalaman seperti itu bukan hal baru. Dalam banyak kebijakan pemerintah, dari tingkat pusat sampai daerah, itu sudah berkali terjadi. Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana tiga tahun lalu pembuatan Undang-undang Migas diintervensi oleh asing. Kepentingan asing masuk melalui lembaga donor USAID, World Bank dan Asian Development Bank.

Sebagai catatan tambahan, kebusukan industri farmasi juga bukan hal baru. Dalam kasus-kasus kecil saja, begitu mudah kita menjumpai bobroknya praktek penjualan obat-obatan, di klinik, apotik dan rumah sakit. Dalam kasus yang lebih besar, empat tahun lalu mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menghentikan pengiriman virus flu burung ke laboratorium WHO. Rupanya ia mengendus konspirasi busuk industri farmasi AS dengan WHO yang mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung.

Abhisam DM
Koordinator Nasional Komunitas Kretek.

Sumber: http://www.kretek.co/index.php/2016/...rta-no-882010/
0
1.4K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.