rizkirawatiAvatar border
TS
rizkirawati
BPJS: Kekecewaan berbuah manis...
Salam sehat Agan dan Aganwati semua..

Kali ini ane mau sharing pengalaman pribadi ane menjalani operasi pencabutan gigi bungsu dengan BPJS. Ga tanggung-tanggung gan, gigi bungsu ane yang dicabut langsung empat-empatnya. Buat yang pengen tau lebih lanjut pengalaman ane pake BPJS silahkan dibaca thread ane dari awal sampe akhir ya. Thread ini awalnya akan dimulai dengan ungkapan kekecewaan dan kekesalan ane terhadap salah satu faskes yang tergabung dalam BPJS, namun pada akhirnya ane justru sangat berterima kasih atas tersedianya BPJS bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saya adalah peserta BPJS (sebelumnya Askes) selama 5 (lima) tahun lebih karena saya bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS). Namun, karena banyaknya cerita jelek dan mengecewakan terkait Askes dan BPJS, saya tidak pernah sekalipun menggunakan fasilitas tersebut untuk kebutuhan kesehatan saya: dari sakit yang sekedar meriang- lahiran anak - sampai rawat inap di RS. Alhamdulillah saya memang ditanggung dalam asuransi kesehatan kantor suami (swasta) yang tidak bisa dipungkiri jauh lebih nyaman daripada Askes ataupun BPJS. Nah, cerita saya akhirnya menggunakan BPJS bermula ketika sakit gigi geraham bungsu impaksi saya menjadi tidak tertahankan. Jadiii, dari umur 23an (sekarang 28 tahun), saya sudah didiagnosis oleh drg. menderita impaksi dan tindakan terbaik adalah mencabut gigi geraham bungsu. Karena faktor 'takut', saya selalu menunda-nunda saran tindakan operasi ini. Setiap sakitnya muncul, saya cuma ke dokter gigi dikasih obat dan disuruh rontgen panoramic. Selama itu pula, saya selalu disarankan drg untuk segera melakukan pencabutan gigi belakang sebelumnya sakitnya semakin menjadi-jadi. Dasar memang saya yang anaknya suka 'entar-entarin', saya pun selalu ngeles setiap disuruh cabut gigi. Sampai akhirnya sakit gigi itu menjadi salah satu rasa sakit terdahsyat dalam hidup saya...

Awal Mei 2016
Sakit gigi karena geraham itu muncul lagi. Sakitnya sukses bikin saya ngga bisa mangap dan ngga bisa makan. Pas ngaca, tampaklah gusi saya sudah robek dan bengkak memerah. Pipi saya ikutan bengkak. Saking sakitnya, saya akhirnya - untuk pertama kalinya - ke apotik dan minta obat untuk pereda rasa sakit. Lupa waktu itu dikasih obat apa, yang jelas obatnya saat itu bisa membantu saya menghilangkan rasa sakit dan bengkaknya. Pagi saya minum, siang sakitnya hilang. Magic banget lah tuh obat. Hahaha. Karena sakitnya hilang, saya jadi 'jumawa' lagi dan melupakan soal geraham bungsu itu

Minggu ke-dua Mei 2016
Sakitnya datang lagi bahkan kali ini saya sampai meriang. Setelah ngobrol sama suami, akhirnya diputuskan bahwa mungkin sekarang saatnya saya memberanikan diri untuk melakukan operasi pencabutan gigi. Keberanian didapat, masalah lain muncul: biaya. Browsing kanan-kiri biaya impaksi di RS swasta itu bervariasi antara 2 - 5 juta per gigi. Kalo empat gigi, uwoow, duit darimana saya sedangkan asuransi kesehatan dari suami hanya mengcover rawat gigi sampai 1jt rupiah, itupun sudah habis dipakai kontrol dan rontgen panoramic. Iseng browsing lagi, ketemu artikel yang menulis bahwa BPJS mengcover biaya operasi cabut gigi geraham bungsu, saya pun langsung kepikiranI]Loh, saya kan peserta BPJS boleh nih dicoba[/I]

Jumat, 13 Mei 2016
Berbekal hasil browsing, saya pun mendapat sedikit pemahaman tentang cara kerja BPJS. Untuk kasus non-emergency seperti kasus saya, saya harus memulai 'perjalanan' saya dari FasKes Tk.1 tempat saya terdaftar. Seingat saya, waktu itu saya terdaftar di Puskesmas dekat rumah yang jaraknya sekitar 300m. Saya juga sudah menyiapkan mental, bahwa fasilitas BPJS dan Puskesmas itu antriannya luar biasa panjang. Saat itu sayapun datang jam 6 pagi, dan ternyata sudah dapat nomor antrian 5. Dapat informasi kalau puskesmas baru buka jam 8, jadi saya pulang dulu kerumah. Ga masalah, karena jarak ke rumah cuma 300m. Sekitar jam 8, saya datang lagi ke Puskesmas. Puskesmas sudah mulai ramai dan nomor antrian gigi ternyata sudah habis. Ada pasien yang tidak kebagian nomor antrian (karena tidak tahu bahwa bisa daftar dari jam 6 pagi), dan akhirnya harus pulang dengan tangan kosong. Disini, kekecewaan saya terhadap pelayanan faskes muncul.

Sekitar jam 8.30 saya dipanggil masuk ke ruangan dokter gigi. Jangan dibandingkan dengan ruangan drg di RS Swasta ya. Disini wajib hukumnya bawa air minum sendiri untuk kumur-kumur dan tisu untuk melap. Saya mencoba mahfum dan maklum, bahwa hal ini terjadi mungkin memang murni karena keterbatasan anggaran (sama-sama pegawai pemerintah, jadi tau rasanya keterbatasan anggaran itu seperti apa). Ketika diperiksa dokter, kekecewaan saya pun dimulai. Saya tidak kecewa dengan fasilitasnya, dan mencoba mengerti. Saya kecewa dengan sikap dokternya terhadap saya. Oleh dokter, gigi saya cuma dilihat sepintas, lalu melihat hasil rontgennya. Tidak ada tindakan apa-apa terhadap gigi saya, semacam dibersihkan seperti yang sering saya dapatkan di RS Swasta. Lebih kecewa lagi saat dokternya memberi diagnosis: ini adalah gigi bungsu mau tumbuh, sedang merobek gusi. Pasti sakit, ga bisa diapa2in. Disuruh tunggu saja. Saya tanya, tunggu sampai kapan saya sudah sakit seperti ini dari umur 20an (sekarang saya 28 tahun). Dijawab, ada yang sampai 35 tahun juga masih sakit kok, bu. Lalu, saya diresepkan antibiotik+paracetamol.

Saya mencoba mengajak dokter diskusi kalo saya sudah pernah periksa sebelumnya (berkali kali malah). Bahwa kasus gigi numbuh ini sudah terjadi dari umur 20an. Saya juga bilang kalo hasil dari drg sebelumnya, saya disarankan untuk bedah mulut karena meskipun secara rontgen mungkin tumbuhnya tidak impaksi, tetapi secara fisik pertumbuhannya tidak bagus dan sakit ini akan terus berulang-ulang sampai penyebab sakitnya dihilangkan melalui tindakan bedah mulut. Bahkan semua drg yang saya datangi di klinik/rs swasta menyarankan utk opsi bedah mulut.

Dokter puskesmas cuma bilang mohon maaf belum bisa kasih rujukan utk bedah mulut, karena kasus saya belum butuh penanganan segera. Dia pun bilang, sekarang tidak mudah memberikan rujukan, hanya untuk kasus yang benar-benar emergency. Saya cuma diberi pesan, nanti kalau sakit lagi baru kesini saja bu. Ibaratnya, saya tidak akan mati hanya gara-gara sakit gigi jadi tidak akan ada rujukan bedah mulut untuk saya. Saya shock dan kecewa. Rujukan untuk bedah mulut dan mendapatkan operasi impaksi tidak berhasil saya dapatkan.

Saya pun akhirnya mencoba 2nd opinion ke drg. SpBm di RS Swasta. Menurut drg di RS tersebut, gigi saya memang harus dioperasi sebelum ada komplikasi yang lebih parah, apalagi biasanya semakin berumur komplikasi akan semakin berat. Dijadwalkan operasi di RS tersebut satu minggu kemudian dengan biaya, jeng jeng, Empat Setengah Juta Rupiah, belum termasuk obat-obatan, per satu gigi. Apa kabar coba kalau empat gigi?

Pulang ke rumah, rasanya mau nangis – di Puskesmas ngga berhasil dapat rujukan, di RS swasta biayanya bisa buat belanja bulanan 5 bulanan. Saya sampai bingung harus bagaimana, apalagi ditambah kondisi badan yang drop karena sakit dan ngga bisa dapat asupan makanan apapun. Setelah merenung, saya pun memantapkan hati untuk berobat lagi ke Puskesmas hari senin dan berharap supaya bisa dapat rujukan ke RSUD.

Senin, 16 Mei 2016
Hari senin pun datang, saya kembali mengulang ritual yang sama di Puskesmas. Jam 6 pagi datang ambil nomor, dan jam 7.30 menunggu pendaftaran dibuka. Kali ini saya dapat nomor antrian 9, it’s OK yang penting doa saya cuma bisa dapat rujukan. Setelah menunggu sekitar 2 jam, sayapun dipanggil masuk ke dalam ruangan. drg kali ini beda sama drg yang saya temui waktu periksa hari Jumat. Kalo cueknya mah sama, ngga ada ramah2nya. Saya disuruh baring, kumur-kumur dan drg tersebut pun meriksa gusi saya yang bengkak pake kapas kecil gitu. Kapasnya ditempel-tempel ke bagian gusi yang bengkat, ditanya ‘ini sakit ngga?’, ‘yang ini sakit?’ yang semuanya cuma saya jawab dengan “Aaaaaw” – ya iya jelas sakit lah dok (ini dalam hati emoticon-Big Grin)

Setelah periksa, saya pun bilang ini sakitnya udah lama dok. Saya ada rontgennya, kalau di drg swasta saya disuruh ke Sp.BM. Saya pun langsung nunjukin rontgen yang saya punya, dilihat sebentar sama dia dan jengjeng, komentarnya sama : ini numbuhnya lurus kok bu, ditunggu aja ngga usah dicabut.

Saat itu juga, harapan dan tenagaku luruh dihantam kekecewaan.😥

Saya rasanya mau nangis saat itu, tapi alih-alih nangis ataupun marah yang saya lakukan cuma diam. Diresepin obat yang sama dengan obat sebelumnya (Amoxicilin, Paracetamol, Dexa) – yang jujur ngga mempan sama sekali. Keluar ruangan dokter, saya langsung ke suami yang udah nunggu, sambil nangis nahan amarah dan kecewa saya bilang ke suami “AKU NGGA MAU NEBUS OBATNYA”. Saya ngga mau minum obat terus menerus, karena sesungguhnya penyebab sakit ini jelas dan harus dilakukan tindakan. Buat orang awam seperti saya, tidak ada gunanya mengobati sakit terus menerus. Mau sampai kapan saya harus minum obat penahan rasa sakit?

Akhirnya, hari itu saya jadi sensi sepanjang hari. Saya pun berpikir bagaimana ini caranya supaya saya tetap bisa mendapatkan operasi gigi geraham bungsu. Sebuah ide pun terlintas di pikiran saya – ganti Faskes tk.1

Selasa, 17 Mei 2016
Hari ini saya terpaksa absen dulu kekantor, karena saya sudah izin selama 2 hari. Setelah absen, saya segera ke BPJS di kantor Depok untuk merubah Faskes Tk.1 yang saya kehendaki. Jangan ditanya BPJS ramainya kayak apa, saya datang jam 9 dan mendapat nomor urut 18 untuk Loket 4 (PNS/TNI/POLRI). Total ada lima loket yang dibuka untuk melayani para pengunjung, sesuai dengan keperluan masing-masing. Setelah menunggu selama 2 jam, sayapun dipanggil dan saya langsung bilang kalau saya mau mutasi Faskes tk.1. Alhamdulillah, tidak sampai 5 menit mutasi Faskes saya selesai dan sayapun segera bergegas keluar dari BPJS Depok

Saya pun mencoba peruntungan untuk segera mendatangi klinik baru pilihan saya sembari berharap semoga masih bisa mendapat pemeriksaan di poli gigi. Alhamdulillah, begitu saya sampai di klinik tersebut, sudah tidak ada antrian sama sekali dan drg. masih praktek. Setelah pendaftaran, saya pun dipanggil ke dalam ruang periksa. Dengan drg saya pun cerita soal gigi saya, termasuk soal saya yang ditolak untuk minta rujukan 2x ke Puskesmas sampai akhirnya saya memutuskan ganti Faskes. drg. tersebut pun dengan kebingungan menjawab, ‘ini giginya memang miring kok lihat aja sumbunya ngga lurus kan. Ini bisa kok dioperasi ke BPJS, saya buatkan rujukannya ya..’



Alhamdulillah, di Faskes pilihan baru ini saya berhasil mendapatkan rujukan tidak lebih dari 15 menit. Saya sudah lupakan kekecewaan saya dengan pihak Puskesmas, yang tidak hanya sukses membuat saya kehilangan waktu berjam – jam namun juga dengan arogannya tidak mau memberikan rujukan. Bagi saya yang terpenting sekarang saya punya rujukan untuk penanganan lebih lanjut.

Kamis, 19 Mei 2016
Alhamdulillah, rujukan untuk tindak lanjut kasus impaksi saya sudah ditangan. Saya pun mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk ke RSUD. Khusus untuk rujukan gigi memang hanya bisa ke RSUD tidak bisa ke RS Swasta. Tidak apa-apa, yang penting gigi saya bisa ditangani. Ritual di RSUD mirip-mirip dengan ritual di Puskesmas - datang sepagi mungkin, ambil nomor, dan menunggu pendaftaran dan poli buka. Saya pun berangkat jam lima subuh dari rumah, karena kebetulan memang jarak rumah - RSUD cukup jauh. Sekitar jam 6 saya sampai di RSUD dan ternyataaaaa antrian pengambilan nomor sudah mengular. Saya cuma bisa pasrah dan mengikuti semua prosedurnya. Sekitar jam 6.15 pengambilan nomor pun dimulai, saya lupa saya dapat nomor berapa yang jelas saat itu saya baru dipanggil ke ruangan poli gigi sekitar jam 10.00. Saya bahkan sampai tertidur di ruang tunggu saat menunggu panggilan.

Begitu masuk ke ruangan drg, fasilitasnya jauh lebih baik dari fasilitas di Puskesmas. setidaknya tidak perlu bawa minum dan tissue sendiri. Saya diperiksa oleh drg. non spesialis. Gigi saya diperiksa sebentar, dilihat dan diraba, dan kemudian dokternya pun menyampaikan bahwa saya dirujuk lagi. Jeng jeng! Ternyata, RSUD di kota saya masih berstatus tingkat C dan karenanya masih memiliki beberapa keterbatasan, dalam hal ini keterbatasan untuk melakukan operasi pencabutan gigi belakang. Saya pun diminta memilih mau ke rumah sakit mana, RS Polri, RS Fatmawati, atau RS Marinir. Spontan, saya pun menjawab RS Polri. Tidak ada alasan khusus memilih RS ini, namun karena pertimbangan RS ini memiliki akses tol dan saya pernah membaca bahwa di RS Fatmawati antrian untuk operasi gigi geraham bungsu bisa memakan waktu bulanan.

Karena mendapat rujukan, otomatis saya harus membuat beberapa dokumen untuk administrasi. Alhamdulilah, proses pembuatan rujukan ini tidak bertele-tele dan cukup cepat. Saya pun selesai dari RSUD sekitar jam 11 siang.

Perjuangan belum selesai... Meskipun saya benar-benar lelah dengan proses ini, namun demi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dari BPJS saya pun harus siap dengan segala prosedurnya. Proses mendapatkan rujukan ini membuat saya menghabiskan waktu 1 minggu. Harus izin kantor, harus berangkat subuh, harus antri berjam-jam. Lelah sekali, ditambah saya melakukan semuanya sendirian dan dalam keadaan nyeri gigi plus ngga bisa makan.

Senin, 23 Mei 2016
Jarak rumah - RS Polri sebenarnya dekat, cuma 15 menit via tol. Namun, karena ini seniin pagiii maka saya pun berangkat sekitar jam setengah 6 dari rumah. Saya tiba di RS Polri jam 7 pagi, dan langsung ke bagian pendaftaran. Di RS inilah kekecawaan saya terhadap BPJS yang sebelumnya terbentuk dari perlakukan FasKes Puskesmas perlahan sirna. RS Polri sangat bersahabat untuk pasien BPJS. Tidak ada antrian, tidak ada diskriminasi, dan semuanya dilakukan dengan sangat efisien. Saya cukup mendatangi loket khusus BPJS, mengisi formulir pendaftaran dan formulir poli tujuan, memberikan nomor dan copy surat rujukan dan Voilaa tidak sampai 10 menit saya dipersilahkan langsung menuju poli Gigi dan Mulut dan menunggu disana.

Saya pun menunggu dokter sambil sarapan (roti dan susu, dibenyek-benyek.. haha). Sekitar jam 9 saya dipanggil, diperiksa dulu oleh drg non spesialis. ditanya keluhannya apa, dan saya sampaikan bahwa saya impaksi sambil menyerahkan hasil rontgen panoramic saya. Oleh drg tersebut, saya diminta tunggu sebentar dan hasil rontgen saya dibawa masuk ke ruangan drg. SpBM. Tidak lama, saya pun dipanggil ke ruangan drg. SpBM tersebut dan dengan santainya dokter tersebut menyampaikan bahwa keempat gigi saya impaksi, dan sebaiknya dilakukan operasi dengan bius total untuk langsung mencabut keempat gigi tersebut. Jeng! (saya langsung wondering, ini drg spesialis aja bilang gigi saya jelas-jelas impaksi, kenapa drg di Puskesmas bilang gigi saya ngga impaksi ya - ini pertanyaan yang jujur masih menghantui saya?)

Saya pikir, awalnya saya akan menjalani proses pencabutan satu demi satu. Namun menurut dokternya, tindakan operasi bius total akan lebih efisien dari segi waktu dan tenaga. Oleh drg. SpBM saya dijadwalkan untuk operasi di hari Kamis/ Jumat. Namun, sebelumnya saya harus mendapat persetujuan dari internis dan dokter spesialis jantung. Saya pun diberi pengantar untuk kedua poli tersebut. Hari itu, saya juga diberi pengantar untuk tes laboratorium (ambil darah) dan foto thorax. Proses pengambilan darah dan thorax tidak berbelit-belit, sangat efisien sama seperti di RS Swasta yang pernah saya datangi. Kendalanya hanyalah antrian yang cukup panjang, terutama untuk foto thorax. Selebihnya, semuanya cukup nyaman

Selasa dan Rabu, 24 - 25 Mei 2016
Saya ke RS Polri lagi, ke internis dan dr spesialis jantung. Antriannya, jangan ditanya pasti penuh yang penting punya stok sabar yang cukup dan baterai HP terisi penuh. Setelah semua persyaratan untuk operasi berhasil saya dapatkan, hari rabu saya kembali ke dr SpBM. Saya pun dijadwalkan untuk operasi kamis pagi dan rabu malam diharapkan sudah menginap di RS. Saya diminta melakukan pendaftaran terlebih dahulu ke bagian rawat inap dengan membawa semua dokumen yang diperlukan. Proses pendaftaran tidak bertele-tele selama dokumen yang dipersyaratkan lengkap. Saya mendapat jatah kamar kelas I (PNS Gol.III) dan ketersediaan kamar akan dikonfirmasi kepada saya sore hari.

Sekitar jam 9 malam, saya pun akhirnya check in. Kamar tersedia, dan petugas sangat ramah. Malam itu saya pun berdoa dan berharap agar operasi keesokan hari berjalan lancar.

Kamis - Jumat, 26 - 27 Mei 2016
Alhamdulillah operasi saya berjalan lancar, dan keesokan harinya saya pun diijinkan pulang. Suami saya yang mengurus semua administrasinya. Jangan ditanya ya sama suami harus berapa kali dia bolak - balik fotokopi. Ya dijalanii saja katanya, yang penting saya sehat dan nggak sakit gigi lagi. Sekitar jumat siang, setelah shalat jumat sayapun akhirnya keluar dari rumah sakit dengan tagihan NOL rupiah! Waaaw, senang sekali rasanya. Semua lelah dan emosi yang sempat terkuras diawal awal proses pengobatan ini seakan terobati dengan tagihan nol rupiah.

Satu-satunya yang bikin nyesek: Bayar parkiran 40 ribu perak. Hehehe

Saya dijadwalkan untuk cabut benang 2 minggu kemudian dan biayanya, tentu saja gratis.

Dengan demikian berakhir sudah drama impaksi saya menggunakan BPJS.

Pengalaman dengan BPJS sesungguhnya membuat saya lebih kritis menjadi warga negara. Ada beberapa hal yang saya rasa penting untuk kita pahami disini, terutama jika ingin berobat dengan fasilitas BPJS

1. BPJS memang tidak sempurna, tapi setidaknya telah ada puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan pasien yang bisa tersenyum karena menggunakan BPJS.
2. Dalam kasus saya, saya tidak kecewa pada BPJS tapi lebih kepada FasKes Tk.1 sehingga sangat penting bagi kita untuk memilih FasKes Tk.1 yang sesuai dengan kita. Buktinya, beda FasKes bisa beda diagnosis dan beda pendapat sehingga seringkali kita menjelek-jelekkan BPJS padahal 'kekurangan' ada di FasKesnya.
3. Peserta BPJS bukan hanya kita sehingga kita pun harus ikhlas berbagi dengan peserta lainnya. Loh asuransi swasta kan juga banyak pesertanya, kenapa bisa lebih 'manusiawi'. Itu karena asuransi swasta menganggap kesehatan anda sebagai komoditas, beda dengan BPJS. BPJS tidak mencari keuntungan dari keinginan anda untuk menjadi sehat, melainkan berupaya untuk mengakomodir si sakit melalui sistem subsidi.
4. Siapkan stok sabar yang banyak dan pahami alur BPJS yang mewajibkan rujukan dari Faskes Tk.1 untuk kasus non-emergency. Jangan ujuk-ujuk datang ke RS kalau anda tidak punya rujukan dan anda tidak mengalami kasus emergency karena rujukan dari Faskes Tk.1 itu hukumnya mutlak untuk kasus non-emergency. Kenapa? Karena Faskes Tk.1 bersifat sebagai filter, supaya pasien tidak membludak di RS. Bayangkan kalau pasien yang cuma flu biasa juga memenuhi RS apa kabar pasien yang benar-benar dalam keadaan gawat darurat. Jangan salah loh, sistem seperti ini juga dianut di negara-negara maju macam UK, Jepang, dan US. Anda tidak bisa ujuk-ujuk ke rumah sakit kalau tidak benar-benar gawat darurat. Untuk kasus non-emergency, alur pertama yang harus dijalani ya berobat ke Faskes tk.1 atau kalau di luar ke General Practitioner/ Dokter Umum. Bedanyaaaa, ya disana penduduknya memang dasarnya sedikit jadi antrinya ngga luar biasa kayak di Indonesia. Oiya, BPJS itu sebenernya lebih cihuy dari sistem jaminan kesehatan lain semisal di UK. Kalau di UK, sakit gigi dan kacamata itu tidak dicover, begitupun dengan obat-obatan yang kita peroleh dari GP itu tidak gratis.

Mungkin itu sedikit sharing saya menggunakan BPJS (eh banyak deng kayaknya). Sejujurnya, saya malah tidak kapok dan berencana untuk selalu memanfaatkan BPJS untuk kasus yang amit-amit emergency.

Bravo BPJS, semoga semakin sukses menyehatkan masyarakat Indonesia!
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
30.2K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.