- Beranda
- Berita dan Politik
Miris dan Ironisnya Korupsi di Sektor Pendidikan
...
TS
nitajaroh
Miris dan Ironisnya Korupsi di Sektor Pendidikan
Quote:
Temuan Indonesia Corruption Watch soal korupsi di dunia pendidikan bukan barang baru meski isu itu memprihatinkan. Cerita itu sudah lama terdengar. Harian Kompas, 3 Mei 2005, menurunkan laporan ”Memberantas Korupsi Mulailah dari Sekolah”. Dalam laporan itu sudah diidentifikasi empat lapis korupsi di sektor pendidikan. Lapis pertama guru, lapis kedua kepala sekolah dan komite sekolah, lapis ketiga dinas pendidikan, dan lapis keempat departemen. Masalahnya, apa tidak ada langkah signifikan untuk membenahinya sehingga 11 tahun kemudian masalah itu masih menjadi berita.
Harian ini kemarin kembali menulis temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menyatakan, anggaran pendidikan menjadi sasaran korupsi. Selama 10 tahun terakhir, korupsi di sektor pendidikan menyebabkan kerugian negara Rp 1,3 triliun. Dilaporkan pula lapis-lapis korupsi dan model korupsi yang berupa penggelapan, penggelembungan nilai, pemotongan, penyalahgunaan anggaran, dan proyek fiktif. Semangat laporan ICW tak jauh berbeda ketika harian ini menulis masalah itu pada Mei 2005 atau 11 tahun lalu.
Ironis memang kalau korupsi menyentuh sektor pendidikan dan bertahan lama. Apakah pelaku korupsi di sektor pendidikan berada zona nyaman dan aman? Saatnya Presiden Joko Widodo menaruh perhatian terhadap isu korupsi, khususnya di sektor pendidikan. Frekuensinya bisa saja sama ketika Presiden berbicara soal infrastruktur. Pendidikan adalah tempat pembentukan karakter manusia Indonesia termasuk manusia jujur dan anti korupsi.
Dalam berbagai diskursus publik, sistem pendidikan diharapkan bisa melahirkan anak-anak Indonesia anti korupsi. Harapan bahwa sektor pendidikan berperan dalam memberantas korupsi tidaklah mengada-ada. Ada pepatah Tiongkok kuno, ”Segala kebaikan dan keburukan berasal dari rumah”. Jika kita mau lebarkan sedikit, ”Segala kebaikan dan keburukan berasal dari sekolah”. Paling tidak, 12 tahun orang berada di sekolah dasar dan menengah. Selain pendidikan di keluarga, pendidikan di sekolah juga memegang peran penting untuk melahirkan generasi anti korupsi. Rumah dan sekolah harus menjadi tempat bersemainya nilai dan norma luhur dan jujur.
Utopiskah itu? Seharusnya tidak. Bahwa sektor pendidikan masih terlilit korupsi harus diakui bukan sekadar dibantah, tetapi harus dicarikan solusi. Ada tantangan, ada respons. Pendekatan teknologi informasi dengan sistem pengadaan barang secara elektronik dan melarang penggunaan transaksi tunai bisa menjadi solusi untuk menekan korupsi, seperti dikatakan Mendikbud Anies Baswedan. Pada sisi lain, pendidikan harus mampu membangun karakter manusia Indonesia yang berani lantang mengatakan, ”Tidak untuk korupsi karena korupsi adalah sumber petaka bagi bangsa ini.”
Harian ini kemarin kembali menulis temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menyatakan, anggaran pendidikan menjadi sasaran korupsi. Selama 10 tahun terakhir, korupsi di sektor pendidikan menyebabkan kerugian negara Rp 1,3 triliun. Dilaporkan pula lapis-lapis korupsi dan model korupsi yang berupa penggelapan, penggelembungan nilai, pemotongan, penyalahgunaan anggaran, dan proyek fiktif. Semangat laporan ICW tak jauh berbeda ketika harian ini menulis masalah itu pada Mei 2005 atau 11 tahun lalu.
Ironis memang kalau korupsi menyentuh sektor pendidikan dan bertahan lama. Apakah pelaku korupsi di sektor pendidikan berada zona nyaman dan aman? Saatnya Presiden Joko Widodo menaruh perhatian terhadap isu korupsi, khususnya di sektor pendidikan. Frekuensinya bisa saja sama ketika Presiden berbicara soal infrastruktur. Pendidikan adalah tempat pembentukan karakter manusia Indonesia termasuk manusia jujur dan anti korupsi.
Dalam berbagai diskursus publik, sistem pendidikan diharapkan bisa melahirkan anak-anak Indonesia anti korupsi. Harapan bahwa sektor pendidikan berperan dalam memberantas korupsi tidaklah mengada-ada. Ada pepatah Tiongkok kuno, ”Segala kebaikan dan keburukan berasal dari rumah”. Jika kita mau lebarkan sedikit, ”Segala kebaikan dan keburukan berasal dari sekolah”. Paling tidak, 12 tahun orang berada di sekolah dasar dan menengah. Selain pendidikan di keluarga, pendidikan di sekolah juga memegang peran penting untuk melahirkan generasi anti korupsi. Rumah dan sekolah harus menjadi tempat bersemainya nilai dan norma luhur dan jujur.
Utopiskah itu? Seharusnya tidak. Bahwa sektor pendidikan masih terlilit korupsi harus diakui bukan sekadar dibantah, tetapi harus dicarikan solusi. Ada tantangan, ada respons. Pendekatan teknologi informasi dengan sistem pengadaan barang secara elektronik dan melarang penggunaan transaksi tunai bisa menjadi solusi untuk menekan korupsi, seperti dikatakan Mendikbud Anies Baswedan. Pada sisi lain, pendidikan harus mampu membangun karakter manusia Indonesia yang berani lantang mengatakan, ”Tidak untuk korupsi karena korupsi adalah sumber petaka bagi bangsa ini.”
SUMBER
0
1.1K
Kutip
5
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
669.2KThread•39.7KAnggota
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru