metrotvnews.comAvatar border
TS
MOD
metrotvnews.com
Komisi III Cerita Rumitnya Masalah Lapas di Indonesia


Metrotvnews.com, Jakarta: Permasalahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tidak hanya soal kelebihan kapasitas. Permasalahan Lapas kompleks dan menjadi tanggung jawab semua pihak.

 

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, persoalan di Lapas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dia bilang, permasalahan di Lapas tidak hanya bertumpu pada Kementerian Hukum dan HAM.

 

"Persoalannya tidak hanya pada satu hal, tapi banyak, kompleks," kata Arsul dalam diskusi bertajuk 'Ada Apa Dengan Lapas' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/4/2016).

 

Arsul mengungkapkan, ada tiga persoalan lapas yang memicu konflik, minimnya anggaran, kurangnya SDM dan sistem pidana. Soal kekurangan anggaran, hampir seluruh lapas di Indonesia membutuhkan dana untuk membangun fasilitas dan pelatihan petugas dan napi.

 

"Apalagi APBN 2016 kita terancam defisit Rp290 triliun. Mau seperti apapun menteri Kemekumham, Pak Yasona tidak tidur 24 jam, kalau Kementerian Keuangan tidak menyediakan dana yang cukup, ya tidak bisa apa-apa," ujar Arsul.





Komisi III, kata Arsul, sedang berupaya mengajukan penambahan anggaran untuk menambah jumlah lapas. Anggaran diambil dari APBN Perubahan 2016. Namun, penambahan jumlah lapas tidak cukup signifikan mengatasi kelebihan kapasitas.

 

"Di APBNP, ada tambahan untuk lapas, masih tahap pembicaraan, besarnya Rp 1 triliun. Tentu akan menambah lapas. Membangun lapas butuh Rp100-150 miliar per satu lapas dengan kapasitas 1000 napi," katanya.


Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham RI melaporkan jumlah tahanan dan narapidana saat ini mencapai 188.251 jiwa. Sementara kapasitas lapas yang tersedia di 33 provinsi hanya mampu menampung 119.269 orang. Walhasil, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas sebanyak 58 persen. Tentu bukan jumlah yang wajar dan sedikit.

 

Tidak semua penjara yang ada di 33 provinsi mengalami overkapasitas. Penjara di tujuh provinsi menampung tahanan dan narapidana di bawah atau sesuai kapasitas yang dimiliki, yakni Bengkulu, Yogyakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Sementara DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan Timur dan Riau over kapasitas melebihi 100 persen. Bahkan di Kalimantan Selatan kelebihan beban mencapai 203 persen.

 

Berdasarkan penelitian Komisi III DPR, terjadi penambahan kapasitas lapas sebanyak 4 ribu orang antara tahun 2014 sampai 2015. Namun, tingkat penambahan napi jauh lebih tinggi, mencapai 18 ribu orang pada tahun yang sama. "Tetap saja kelebihan kapasitas," katanya.

 

Arsul mengatakan, kuantitas dan kualitas SDM di lapas juga harus ditingkatkan. "Saya kunjungan ke Sulawesi Tengah bulan lalu. Sulteng masuk kategori daerah rawan, karena ada faktor Poso. Lapas di sana kelebihan kapasitas. Ada 370 lebih warga binaan hanya dijaga lima petugas, kalau enggak dibantu jin, pasti ricuh itu," ujar Arsul.




 


Menurut Arsul, penambahan jumlah petugas lapas terkendala sistem birokrasi. Arsul bilang, Menkumham sudah mengajukan gagasan penambahan petugas lapas ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Namun, upaya itu sulit tercapai.

 

"Karena Kemenpan-RB menerapakan azas zero growth dalam menambah pegawai negeri sipil. Penambahan petugas sesuai dengan jumlah petugas yang pensiun saja. Jadi jumlahnya sama saja," katanya.

 

Arsul menyarankan Polisi dan TNI dialihfungsikan menjadi petugas lapas. Terutama personil polisi yang memasuki masa pensiun. Dia bilang, alihfungsi itu bisa menjadi solusi sementara.

 

"Status Polisi sepeti  Dalmas, Brimob, yang kuat-kuat tapi 4 tahun lagi pensiun, bisa dialihfungsikan jadi petugas lapas. Kalau Polisi dan tentara kan sudah tertanam kedisiplinannya," ujarnya.

 

Permasalahan terkahir terkait kebijakan pemidanaan narapidana. Arsul berharap tidak semua pelaku kriminal dijatuhkan sanksi penjara. Masih ada hukuman alternatif yang bisa menjerat pelaku.

 

"Apakah semua orang bersalah harus dipenjara? ini karena sistem pemidanaan kita, kalau bicara pidana pokok hanya bertumpu pada dua sanksi saja, pidana penjara dan pidana denda. Semua orang yang bersalah cenderung dikirim ke penjara. Nah di komsisi III sedang kita beresi di RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), " katanya.

 

RKUHP akan mengatur pidana kerja sosial. Orang yang ditetapkan bersalah dalam kasus kriminal tidak harus masuk penjara. Jika pelaku kriminal tidak mampu membayar denda dan ganti rugi, maka bisa dikenakan pidana kerja sosial.

 

"Pidana kerja sosial, seperti kasus mencemarkan nama baik, seorang pedagang menipu pedagang lain, ini kasus yang sifatnya privat. Di samping denda, ganti rugi dan sebagainya," ujar Asrul.




 

 Asrul mengungkapkan, negara-negara maju sudah lebih dulu menerapkan pidana kerja sosial. Terutama negara-negara di eropa. Di mencontohkan, kasus penggelapan pajak yang menjerat mantan Perdana Menteri, politikus sekaligus jutawan terkenal Italia, Silvio Berlusconi.

 

Berluconi memperoleh hukuman dengan menjadi pekerja sosial di klinik penderita penyakit Alzheimer. Berlusconi wajib menjalani tugas sosialnya selama 4 jam seminggu selama setahun, setelah hukuman penjara selama 4 tahun yang didapatkannya mendapatkan amnesti. Bersluconi terbebas dari hukuman penjara karena usianya sudah melewati 70 tahun.

 

"Silvio Berluconi bahkan dikenakan hukum kerja sosial karena umurnya sudah tua. Dia melakukan hukuman seperti menyapu jalan. Saya rasa itu memberikan efek luar biasa. Bayangkan, kalau napi baru berkenalan dengan napi-napi yang sudah residivis, maka lengkaplah sudah lapas sebagai sekolah kejahatan, bukan lagi tempat pembinaan," kata Asrul.

 

Upaya wacana resvisi pada Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 yang mengatur pemberian remisi kepada narapidana kasus narkoba, terorisme dan korupsi mendapat penolakan. Arsul bilang, masyarakat menolak revisi No.99 karena dapat meringankan hukuman para koruptor.

 

"Dari 187 ribu lapas di Indonesia, 50 persen lebih adalah warga binaan yang tekait kasus narkoba. Mereka yang dipidana, pengguna narkoba, sudah rajin nyapu, tapi karena PP 99 2012 ini, susahnya setengah mati (mendapat remisi). Jadi ketika kami berkunjung di sana (lapas), pertanyaan (napi) sama, 'untuk apa kami ini berkelakukan baik, mencoba merubah prilaku buruk kami, walaupun kami sadar salah, tapi tidak mendapatkan remisi'. Sementara napi kasus pembunuhan, perampokan, kejahatan biasa, mereka mudah dapat remisi, lancar-lancar saja," ujar Arsul.

Sumber : http://news.metrotvnews.com/read/201...s-di-indonesia

---

Kumpulan Berita Terkait KERUSUHAN PENJARA :

- Komisi III Cerita Rumitnya Masalah Lapas di Indonesia

- Penyebab Lapas di Indonesia Over Kapasitas

- Menteri Yasona Dituding Lebih Peduli Parpol Ketimbang Lapas

0
1.1K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Medcom.id
Medcom.id
icon
23KThread598Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.