infonitascomAvatar border
TS
infonitascom
Sungai, Anugerah Alam atau Sumber Bencana?

Penampakan sungai di jantung Jakarta yang bersih dan keren.

JAKARTA – Tak banyak yang tahu, kalau Jakarta ini dialiri 13 sungai. Kebanyakan warga hanya tahu Sungai Ciliwung. Padahal ada sungai Krukut yang membentang 40 kilometer dari Sungai Citayam di Bogor, hingga Sungai Ciliwung, Jakarta, itu melintasi wilayah mereka. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, karena tidak dikelola dengan baik, sungai menjadi sumber bencana di kala musim penghujan tiba.

Tak banyak pula orang yang tahu bagaimana bersih dan beningnya sungai-sungai ini. Kali Krukut misalnya. Kali ini membelah Kelurahan Pela Mampang dan Petogogan sepanjang 2 kilometer. Krukut kini penuh lumpur hasil pengendapan tanah dan sampah. Airnya kecoklatan. Aroma tak sedap muncul di sejumlah tempat di wilayah Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang.

Sulit mencari warga yang memiliki ingatan saat kali ini bersih. Misalnya Isah (58), warga yang tinggal di bantaran Krukut sejak 1987 ini, mengatakan tak pernah melihat kali itu dalam keadaan bersih. Sejak ia tinggal di sana, ia hanya melihat air yang keruh penuh lumpur dan sampah. Karena memang warga sekitar membuang limbah rumah tangganya di kali tersebut.

Akibatnya, warga sekitar menjadi langganan banjir. Meski sudah tahu penyebabnya, toh warga tetap membuang sampah di kali tersebut. “Mungkin karena belum ada hukumannya, jadi warga asal cemplungin sampah ke kali. Tapi mau buang kemana lagi. Tak ada petugas pengangkut sampah di wilayah sini,” katanya lagi.

Seperti disebutkan di awal tadi, keberadaan 13 sungai di Jakarta sesungguhnya anugerah alam. Menurut ahli sumber daya air Institut Pertanian Bogor (IPB), Kukuh Murti Laksono, pekan lalu, sungai di Jakarta itu sebetulnya kecil-kecil. Hanya Ciliwung yang terbesar. Dan sebenarnya, jika tidak dikepung dengan permukiman dan gedung, fungsi sungai sebagai resapan air dan penahan intrusi air laut akan bekerja secara optimal. “Pastinya sangat bermanfaat bagi Jakarta yang berada di dataran rendah,” jelasnya.

Namun sayangnya, Jakarta sebagai magnet ibukota dan mata pencaharian membuat urbanisasi tak bisa dielakkan. Jumlah penduduk otomatis terus membubung. “Tanpa pengembangan teknologi pengelolaan air dan sungai, kata Kukuh, kualitas hidup warga akan semakin buruk,” katanya lagi.

Ahli hidrologi IPB, Hidayat Pawitan, menambahkan, saat ini potensi gelontoran air dari hulu ke Jakarta dengan curah hujan lima tahunan mencapai 2.000 meter kubik per detik. Sebaliknya total kapasitas sungai di Jakarta tidak lebih dari 1.000 meter kubik per detik. “Dibutuhkan rekayasa teknik pengelolaan air karena lahan yang tersedia kian sempit,” ujarnya.

Revitalisasi terbaik sungai ini adalah dengan melibatkan warga di sekitarnya. Untuk mendekatkan kembali warga dengan sungai itulah, Kompas akan memulai liputan khusus menelusuri satu per satu dari 13 sungai tersebut dalam beberapa bulan ke depan.

Ramah Sungai

Jakarta dilanda banjir itu sebenarnya sudah ada sejak jaman Kerajaan Tarumanegara yang Rajanya bernama Purnawarman. Atau tepatnya sejak abad V, Raja Purnawarman membendung Sungai Candrabaga serta menggali dua sungai di Bekasi dan Tangerang untuk mengatasi banjir.

Sejarawan Restu Gunawan dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal menegaskan, Jakarta sudah akrab dengan banjir sejak dulu. Pada 1 Januari 1892, curah hujan yang turun di Batavia mencapai 286 milimeter. Hujan lebat turun selama lebih dari 8 jam. Akibatnya,

sejumlah wilayah, baik di kawasan Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng) maupun pinggiran yang dilewati Sungai Ciliwung, tergenang.

Kemudian pada 1893, kawasan yang tergenang air meluas dan melumpuhkan aktivitas perekonomian. Di wilayah pesisir, seperti di Marunda, Jakarta Utara, rob menghantam dan mengganggu aktivitas nelayan dalam menangkap ikan. “Tidak ada cerita di dalam sejarah itu Jakarta bisa bebas banjir,” tutur Restu dalam sebuah kesempatan forum diskusi beberapa waktu lalu.

Setelah tahun 1892, banjir berturut-turut terjadi pada 1895, 1899, 1904, 1909. Pasca 1892, banjir terparah kembali terjadi pada 1977. Banjir merendam sebagian Jakarta dengan ketinggian rata-rata 70 sentimeter. Di sebagian kawasan, seperti Karet, Guntur, dan Taman Mini, ketinggian air mencapai 3 meter. Air bahkan merendam kawasan Monas menjadi kolam raksasa.

Banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh kondisi sungai yang tidak bisa mengalirkan air sesuai tarikan gravitasi. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kondisi geografis Jakarta dan kondisi sungai yang dipenuhi sampah dan sedimentasi. Keadaan itu diperparah dengan pembangunan kota yang tanpa kendali. Ruang terbuka hijau yang seharusnya menyerap air kini dipadati bangunan beton. Apalagi, secara geografis, 40 persen wilayah Jakarta berketinggian 1 meter-1,5 meter di bawah muka laut pasang.

Dalam penanganan banjir di Jakarta, aspek sosial budaya masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai, mulai dari hulu sampai hilir, kurang menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah lebih fokus dan menggenjot percepatan normalisasi sungai, waduk, dan saluran air. Padahal, peran dari 10 juta warga yang tinggal di Jakarta mutlak diperlukan.

Ketua Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana Chaerudin (54) atau yang biasa disapa Bang Idin menuturkan, melibatkan masyarakat untuk menjaga sungai sangat diperlukan. “Kalau warga cinta sungai dan memiliki keterikatan dengan sungai, secara otomatis mereka menjaga sungai. Melibatkan masyarakat membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sebentar,” tutur Chaerudin.

Pakar tata kota Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, memperlihatkan, potret pembangunan jembatan, jalan di atas sungai, ataupun tanggul sungai saat ini tak memberikan ruang bagi warga untuk dapat berinteraksi dengan sungai. Tidak ada tangga yang bisa digunakan warga untuk menuju ke area sungai. Padahal, zaman dahulu, berbagai aktivitas, mulai dari mencuci pakaian hingga transportasi menggunakan rakit, dilakukan di sungai.

Hal itu berbeda dengan penataan di negara lain, seperti Thailand, Tiongkok, dan Italia. Pemerintah mendesain sungai dengan mempertimbangkan aspek interaksi. Setelah kesadaran warga tumbuh, ikatan antara warga dan sungai pun akan tercipta. Warga tak lagi melihat sungai sebagai halaman belakang yang dilupakan.

SUMBER

Biasakan hidup dengan jangan membuang sampah ke sungai Gan emoticon-Cool emoticon-Cool


0
716
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.