- Beranda
- Stories from the Heart
Minta reviewnya dong gan
...
TS
saluyuincome
Minta reviewnya dong gan
Spoiler for Cerpennya:
Cerpen ini ane ambil nama karakternya dari game Line Lets Get Rich
Marinano dan Mariano sempat menghentikan pembicaraan dan satu sama lainnya saling memandang Alviro. Suasana benar-benar menjadi canggung sesaat setelah ia hadir. Riuh pikuk dari teriakan adik-adik Marinano seakan membisu.
Tak terlihat sejengkal pun bayangan mereka yang muncul di permukaan. Rupanya, matahari pun enggan menerpa lokasi dimana mereka berada. Alviro membentangkan kedua tangannya ke samping dan mengumpulkan mereka semua.
“Sebetulnya ayah hanya akan membicarakan perkara ini empat mata saja denganmu, Marinano. Akan tetapi setelah ayah pikir-pikir, sebaiknya ayah juga mengajak adik-adikmu untuk melihat sebagian dari kisah kehidupan kita berdua semasa di bumi.”
Marinano tak mengucapkan apa-apa, tidak ada sepatah katapun yang dapat ia ucapkan. Mulut beserta pikirannya betul-betul terkunci, satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berdiri mematung dengan pandang kosong kedepan.
Sinar sang surya sedikit demi sedikit meredup, sebuah lubang besar terpampang jelas di belakang mereka, semua panorama di sekitar mereka terhisap kedalamnya. Lubang besar itu membesar dan membesar hingga mereka semua pun ikut terhisap kedalamnya.
“Tik…tok…tik…tok…”
Empat buah jam raksasa mengelilingi mereka semua dari 4 arah mata angin di antara pekatnya gelap yang meliputi mereka semua. Jarum jam dari ke-empat jam itu bergerak dengan kencangnya melawan arah jarum jam.
Pekatnya hitam terkikis sekian demi sekian berganti latar menjadi panorama Sepia. Suara percakapan orang-orang menggema.
“Kau pasti sudah kehilangan akalmu !”
“Masuk ke kamarmu dan renungkan apa yang telah kamu ucapkan kepada ibumu !!”
“Hentikan omong kosongmu itu !! Sekarang pergi, dan enyahlah kamu dari pandanganku !”
“Ayahku tak lebih dari seorang pembual.”
“Aku benci ayahku, akan lebih baik jadinya jika ia segera mati sekarang juga !”
“Maafkan aku nak, aku paham bahwa ayahmu ini telah salah menilaimu, sejujurnya ayah tak menginginkan dirimu tak berguna di kemudian hari. Tapi ayah sadar bahwa, pilihanmu sebagai seorang Matador pun patut ayah pertimbangkan terlebih dahulu.”
“Hari ini aku dapat beristirahat dengan tenang, lakukan terus apa yang menjadi ambisimu, aku akan selalu mendukungmu meski aku tak akan pernah lagi di sisimu.”
“Mengapa harus begini jadinya ? Mengapa ayahku harus meninggalkanku saat ia mulai menerima kondisiku ? Bukan seperti ini yang aku mau…”
“Kau harus mengakhiri semua ini, tak ada gunanya kau seperti ini.”
“Aku tak akan berhenti dari semua ini, begini dan selamanya, hingga aku kembali bertemu dengannya.”
“Ayah ?! Mungkinkah itu engkau ?”
Jam itu akhirnya berhenti dan lenyap, suara-suara itu pun ikut berhenti. Dan kini, ketujuh orang tersebut sedang berada dalam sebuah ruangan. Ini adalah ruang dokter dimana Marinano dilahirkan.
Dua orang suster sedang merapihkan peralatan-peralatan yang di pakai untuk persalinan, satu suster lainnya sedang menggendong seorang bayi yang telah diberikan selimut dan memberikannya kepada seorang wanita yang tak lain adalah ibunya.
Dokter membukakan pintu, dan mempersilahkan seorang laki-laki berkumis janggut masuk kedalam. Perasaan bahagia menghias pada rona wajah pria tersebut. Pria itu tertawa serta menghampiri dan mengecup kening mereka berdua.
Sang wanita bertanya mengenai nama dari bayi tersebut. Si calon ayah tak langsung menjawab pertanyaan istrinya tersebut, untuk sesaat dia memperhatikan kondisi sekitar. Siang itu, cuaca di luar jendela begitu cerah, awan-awan hilir mudik berpasang-pasangan melintas angkasa.
“Sunggggg ——-!!”
Suara pesawat tempur F-22 Raptor memecah keheningan dan membuyarkan lamunan Alviro yang mulai hanyut dengan suasana luar. Terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menamai anaknya dengan hal-hal yang berhubungan dengan angkasa.
“Sudah kuputuskan, aku akan menamainya dengan Mariano, sang penakluk angkasa !! Bagaimana menurutmu, Vandes ?”
“Lidahku kelu saat menyebut nama itu, sebaiknya kau tambahkan satu karakter di tengahnya.”
“Marinano ?”
“Sempurna…”
“Ahhh ahhh… Mungkin akan lebih baik jika aku ganti menjadi Aleandro, si pelindung dari barat laut, bagaimana ?”
Dengan raut muka dingin sang istri menolak perubahan nama yang diberikan, ia lebih setuju jika sang buah hati di beri nama Marinano. Secara sepihak, akhirnya nama si bayi sudah di tentukan.
Kondisi ruangan beserta pemandangan diluar kembali berubah corak menjadi abu-abu dan semua aktifitas termasuk jam dinding seketika berhenti. Wujud asli Marinano kembali tersadar dan melihat keadaan sekitar.
Marinano kebingungan mengapa tiba-tiba saja ia berada di tempat ini. Yang ia tahu, ia melihat kedatangan ayahnya secara tiba-tiba dari arah air mancur lalu setelah itu tak ingat apa-apa. Hanya suara bisik-bisikan saja yang dia dengar.
Tapi, setelah melihat kedua pasangan yang sedang berada di ruangan itu, dia pun menyadarinya bahwa ia sedang berada di tempat di mana dia di lahirkan. Marinano mulai melangkahkan kakinya dan mendekat ke arah ranjang pasien dan melihat mereka dengan seksama.
Seorang wanita yang diperkirakan telah berumur 30an itu sedang menggendong seorang bayi, mulutnya agak sedikit menganga dan sorot matanya tertuju kepada sang pria, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu.
Bayi itu terlihat sedang menangis, kaki kirinya menyentuh dagu sang ayah. Tangan pria setengah paruh baya itu diletakan pada ubun-ubun anak itu.
“Itulah untuk pertama kalinya kau mencoba melawanku, dan seperti yang sudah ku duga, hingga menjelang ajalku pun kau masih tetap keras kepala dan tak mau menuruti perintahku.” Ucap Alviro memecah kesunyian.
Alviro melepaskan rangkulan tangannya dari ketujuh anaknya tersebut dan melangkah mendekat ke arah Marinano. Dan kembali merubah posisi wajahnya menghadap ke enam anaknya yang lain.
“Clik…”
Suara yang berasal dari jemari Alviro yang dibunyikan. Dan pada saat itu juga, ke enam orang lainnya ikut tersadarkan. Sama seperti Marinano, mereka pun ikut kebingungan.
“Apa yang terjadi kepada kami ayah ? Mengapa taman yang kami pakai untuk bermain lenyap dari pandangan kami ?” tanya Mirena dengan sedikit gugup.
“Aku sengaja membawa kalian semua kemari, ke kamar momento, dimana kenangan masa lalu para penghuni surga tercatat rapih di dalamnya. Hari ini aku akan memperlihatkan sebagian kehidupan keluargaku di masa lalu.”
“Dan perkenalkan, kedua orang itu adalah ayah kalian dan ibu dari kakakmu, Marinano. Kami berdua sedang berada di ruang persalinan dan —”
“Ah biar kutebak, bayi itu pasti kak Marinano, bukan ?” tanya Jerry memotong pembicaraan Alviro
“Uhmm, kau sudah paham tentunya.”
“Ternyata ayahku hebat juga, meski dia sudah terlihat tua, rupanya dia masih cukup lihai dalam urusan ranjang.”
“Anak ini !” gerutu Mirena sambil menjitak kepala Jerry.
“Apa ayah sudah lupa, bahwa ayah menyuruhku untuk menceritakan tentang penciptaanku kepada Marinano ?” tanya Mariano
“Bukan begitu, namun setelah ayah pikir, alangkah baiknya jika ayah sendiri lah yang membicarakannya langsung dengannya.”
“Hmm, sampai dimana tadi ? Oh ya, apa kau tahu dengan benda ini ?” lanjut Alviro
Alviro mengodok-ngodok kantong celana yang berada pada lutut pria tersebut dan mengeluarkan sebuah benda. Itu adalah sebuah replika kecil berbentuk sabuk mesin jet. Saat disentuh oleh Alviro, benda itu tiba-tiba berfungsi selayaknya sabuk jet pada umumnya dan melayang-layang di atas permukaan tangan Alviro.
Marinano menggelengkan kepalanya. Ayahnya kemudian menggerakan tangannya ke udara, seperti sedang mengganti halaman buku. Seperti halnya buku yang diganti halamannya, kondisi sekitar pun bergeser dan berganti ke tempat lainnya. Kali ini, tempat yang diperlihatkan adalah halaman belakang rumah Marinano.
Setidaknya di tempat itu terisi oleh 46 orang, dan semuanya adalah teman sebayanya Marinano. Sebuah kue Black Forest berbentuk persegi tersimpan pada sebuah meja kayu kecil di tengah-tengan halaman. Delapan potong lilin yang telah dinyalakan tertancap di atas kue tersebut.
Terdapat beberapa bungkus kado yang disimpan pada sudut halaman yang dibatasi oleh pagar kayu, sebagian dari kado itu telah di sobek. Marinano kecil terlihat tengah asik berlari-lari memainkan permainan polisi dan pencuri.
Seorang pria yang tak lain adalah ayahnya, masuk dan membawa sebuah bingkisan yang cukup besar, setidaknya bingkisan itu membuatnya tak mampu menengok jalan yang dia lalui. Tanpa dia ketahui, rupanya jalan yang akan di laluinya terdapat sebuah kulit pisang yang tergeletak dengan pasrah di lantai.
Pandangannya yang terhalang oleh bungkus kado telah membuatnya tak memiliki jalan lain kecuali menginjak kulit pisang tersebut dan menikmati setiap momen yang ia rasakan saat ia tergelincir dibuatnya.
Kepalanya terbentur cukup keras pada lantai berubin. Tapi untungnya, bungkus kado yang dia pegang tak mengalami cedera sedikit pun. Alviro segera bangkit dan meletakkan kado di lantai lantas mengambil kulit pisang yang telah mencelakakan dirinya tersebut.
Dengan nada yang cukup lantang dia bertanya siapa yang telah seenaknya meletakkan benda ini tepat di depan mulut pintu. Semuanya terdiam, tak ada yang berani berujar kata untuk menjawabnya. Akan tetapi, pandangan mereka tertuju kepada Marinano.
Menyadari bahwa tindakan tersebut adalah ulah anaknya sendiri, Alviro menghela nafas dan mengangkat jari jempolnya seraya berkata,
“Sebagai anakku, ternyata kau punya cukup nyali yang besar untuk mencelakai ayahmu ini, dan aku yakin kau melakukan itu dengan sengaja. Setidaknya, siasatmu akan berguna saat kau sudah berada di angkatan udara ketika kau sedang berperang.”
Alviro kembali meraih kado yang ia simpan di lantai dan datang menghampiri Marinano. Tak lupa juga ia meletakan kulit pisang tersebut di kepala Marinano. Dia memberikan bingkisan besar itu kepada Marinano.
Ayahnya berpesan agar sebaiknya hadiah itu di buka setelah pesta berakhir. Sengaja Alviro berpesan seperti itu karena yakin, anaknya tak akan mematuhi perintahnya. Dan benar saja, Marinano dengan segera menyobek bungkus kado tersebut dan segera membuka kotak kado tersebut.
Tanpa di duga, di dalam kotak tersebut masih ada kotak lainnya. Dan itu terus terjadi hingga kado yang dibuka olehnya berukuran kotak cincin. Terbesit dalam pikiran Marinano bahwa, hadiah yang akan dia terima pasti tak lain hanya sebuah cincin.
Marinano tak mau lagi meneruskan rasa penasarannya, dan langsung melemparkan kotak tersebut ke arah ayahnya. Dengan sigap, pria berjanggut keriting itu langsung menangkap kotak tersebut.
“Kau pasti sudah sinting memberikanku hadiah yang sepatutnya diberikan kepada seorang gadis.” cetus Marinano sambil berlalu dan masuk kedalam rumah.
Rekaman kenangan itu kembali terhenti, Alviro mengambil kotak hadiah tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah benda serupa yang ia ambil dari rekaman memori sebelumnya. Kedua ayah dan anak itu tertawa melihat kenyataan dari isi kotak tersebut.
Alviro tertawa karena ia telah berhasil mengelabui anaknya, sedangkan Marinano tertawa di sebabkan karena dia terlalu terburu-buru langsung menilai isi dari hadiah tersebut tanpa membukanya terlebih dahulu.
Sementara itu, ke enam adiknya tertawa tak henti-hentinya akibat ulah kakak sulungnya yang meletakkan kulit pisang yang menyebabkan ayah mereka terjatuh.
“Sejujurnya aku ingin mengetahui apa penyebabnya, ayah dan ibu berpisah, bolehkah aku melihat pemicu semua itu ? Sejak perceraian kalian berdua, ibuku sepertinya tak ingin sekali aku berkunjung ke kediamannya setiap kali aku mengabarkannya melalui telfon”
Sang ayah tertegun mendengar pertanyaan yang di layangkan oleh putra sulungnya itu. Awalnya ia menolak untuk menunjukkan perihal tersebut kepadanya. Akan tetapi, Marinano terus memaksa hingga akhirnya membuat sang ayah merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk memperlihatkan peristiwa tersebut kepadanya.
Alviro kembali menggerakan tangannya dan mengganti rekaman kenangan masa lalunya.
Sore itu hujan turun cukup deras….
Bersambung
Marinano Ep. IV
Marinano dan Mariano sempat menghentikan pembicaraan dan satu sama lainnya saling memandang Alviro. Suasana benar-benar menjadi canggung sesaat setelah ia hadir. Riuh pikuk dari teriakan adik-adik Marinano seakan membisu.
Tak terlihat sejengkal pun bayangan mereka yang muncul di permukaan. Rupanya, matahari pun enggan menerpa lokasi dimana mereka berada. Alviro membentangkan kedua tangannya ke samping dan mengumpulkan mereka semua.
“Sebetulnya ayah hanya akan membicarakan perkara ini empat mata saja denganmu, Marinano. Akan tetapi setelah ayah pikir-pikir, sebaiknya ayah juga mengajak adik-adikmu untuk melihat sebagian dari kisah kehidupan kita berdua semasa di bumi.”
Marinano tak mengucapkan apa-apa, tidak ada sepatah katapun yang dapat ia ucapkan. Mulut beserta pikirannya betul-betul terkunci, satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berdiri mematung dengan pandang kosong kedepan.
Sinar sang surya sedikit demi sedikit meredup, sebuah lubang besar terpampang jelas di belakang mereka, semua panorama di sekitar mereka terhisap kedalamnya. Lubang besar itu membesar dan membesar hingga mereka semua pun ikut terhisap kedalamnya.
“Tik…tok…tik…tok…”
Empat buah jam raksasa mengelilingi mereka semua dari 4 arah mata angin di antara pekatnya gelap yang meliputi mereka semua. Jarum jam dari ke-empat jam itu bergerak dengan kencangnya melawan arah jarum jam.
Pekatnya hitam terkikis sekian demi sekian berganti latar menjadi panorama Sepia. Suara percakapan orang-orang menggema.
“Kau pasti sudah kehilangan akalmu !”
“Masuk ke kamarmu dan renungkan apa yang telah kamu ucapkan kepada ibumu !!”
“Hentikan omong kosongmu itu !! Sekarang pergi, dan enyahlah kamu dari pandanganku !”
“Ayahku tak lebih dari seorang pembual.”
“Aku benci ayahku, akan lebih baik jadinya jika ia segera mati sekarang juga !”
“Maafkan aku nak, aku paham bahwa ayahmu ini telah salah menilaimu, sejujurnya ayah tak menginginkan dirimu tak berguna di kemudian hari. Tapi ayah sadar bahwa, pilihanmu sebagai seorang Matador pun patut ayah pertimbangkan terlebih dahulu.”
“Hari ini aku dapat beristirahat dengan tenang, lakukan terus apa yang menjadi ambisimu, aku akan selalu mendukungmu meski aku tak akan pernah lagi di sisimu.”
“Mengapa harus begini jadinya ? Mengapa ayahku harus meninggalkanku saat ia mulai menerima kondisiku ? Bukan seperti ini yang aku mau…”
“Kau harus mengakhiri semua ini, tak ada gunanya kau seperti ini.”
“Aku tak akan berhenti dari semua ini, begini dan selamanya, hingga aku kembali bertemu dengannya.”
“Ayah ?! Mungkinkah itu engkau ?”
Jam itu akhirnya berhenti dan lenyap, suara-suara itu pun ikut berhenti. Dan kini, ketujuh orang tersebut sedang berada dalam sebuah ruangan. Ini adalah ruang dokter dimana Marinano dilahirkan.
Dua orang suster sedang merapihkan peralatan-peralatan yang di pakai untuk persalinan, satu suster lainnya sedang menggendong seorang bayi yang telah diberikan selimut dan memberikannya kepada seorang wanita yang tak lain adalah ibunya.
1
Dokter membukakan pintu, dan mempersilahkan seorang laki-laki berkumis janggut masuk kedalam. Perasaan bahagia menghias pada rona wajah pria tersebut. Pria itu tertawa serta menghampiri dan mengecup kening mereka berdua.
Sang wanita bertanya mengenai nama dari bayi tersebut. Si calon ayah tak langsung menjawab pertanyaan istrinya tersebut, untuk sesaat dia memperhatikan kondisi sekitar. Siang itu, cuaca di luar jendela begitu cerah, awan-awan hilir mudik berpasang-pasangan melintas angkasa.
“Sunggggg ——-!!”
Suara pesawat tempur F-22 Raptor memecah keheningan dan membuyarkan lamunan Alviro yang mulai hanyut dengan suasana luar. Terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menamai anaknya dengan hal-hal yang berhubungan dengan angkasa.
“Sudah kuputuskan, aku akan menamainya dengan Mariano, sang penakluk angkasa !! Bagaimana menurutmu, Vandes ?”
“Lidahku kelu saat menyebut nama itu, sebaiknya kau tambahkan satu karakter di tengahnya.”
“Marinano ?”
“Sempurna…”
“Ahhh ahhh… Mungkin akan lebih baik jika aku ganti menjadi Aleandro, si pelindung dari barat laut, bagaimana ?”
Dengan raut muka dingin sang istri menolak perubahan nama yang diberikan, ia lebih setuju jika sang buah hati di beri nama Marinano. Secara sepihak, akhirnya nama si bayi sudah di tentukan.
Kondisi ruangan beserta pemandangan diluar kembali berubah corak menjadi abu-abu dan semua aktifitas termasuk jam dinding seketika berhenti. Wujud asli Marinano kembali tersadar dan melihat keadaan sekitar.
Marinano kebingungan mengapa tiba-tiba saja ia berada di tempat ini. Yang ia tahu, ia melihat kedatangan ayahnya secara tiba-tiba dari arah air mancur lalu setelah itu tak ingat apa-apa. Hanya suara bisik-bisikan saja yang dia dengar.
Tapi, setelah melihat kedua pasangan yang sedang berada di ruangan itu, dia pun menyadarinya bahwa ia sedang berada di tempat di mana dia di lahirkan. Marinano mulai melangkahkan kakinya dan mendekat ke arah ranjang pasien dan melihat mereka dengan seksama.
Seorang wanita yang diperkirakan telah berumur 30an itu sedang menggendong seorang bayi, mulutnya agak sedikit menganga dan sorot matanya tertuju kepada sang pria, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu.
Bayi itu terlihat sedang menangis, kaki kirinya menyentuh dagu sang ayah. Tangan pria setengah paruh baya itu diletakan pada ubun-ubun anak itu.
“Itulah untuk pertama kalinya kau mencoba melawanku, dan seperti yang sudah ku duga, hingga menjelang ajalku pun kau masih tetap keras kepala dan tak mau menuruti perintahku.” Ucap Alviro memecah kesunyian.
Alviro melepaskan rangkulan tangannya dari ketujuh anaknya tersebut dan melangkah mendekat ke arah Marinano. Dan kembali merubah posisi wajahnya menghadap ke enam anaknya yang lain.
“Clik…”
Suara yang berasal dari jemari Alviro yang dibunyikan. Dan pada saat itu juga, ke enam orang lainnya ikut tersadarkan. Sama seperti Marinano, mereka pun ikut kebingungan.
“Apa yang terjadi kepada kami ayah ? Mengapa taman yang kami pakai untuk bermain lenyap dari pandangan kami ?” tanya Mirena dengan sedikit gugup.
“Aku sengaja membawa kalian semua kemari, ke kamar momento, dimana kenangan masa lalu para penghuni surga tercatat rapih di dalamnya. Hari ini aku akan memperlihatkan sebagian kehidupan keluargaku di masa lalu.”
“Dan perkenalkan, kedua orang itu adalah ayah kalian dan ibu dari kakakmu, Marinano. Kami berdua sedang berada di ruang persalinan dan —”
“Ah biar kutebak, bayi itu pasti kak Marinano, bukan ?” tanya Jerry memotong pembicaraan Alviro
“Uhmm, kau sudah paham tentunya.”
“Ternyata ayahku hebat juga, meski dia sudah terlihat tua, rupanya dia masih cukup lihai dalam urusan ranjang.”
“Anak ini !” gerutu Mirena sambil menjitak kepala Jerry.
2
“Apa ayah sudah lupa, bahwa ayah menyuruhku untuk menceritakan tentang penciptaanku kepada Marinano ?” tanya Mariano
“Bukan begitu, namun setelah ayah pikir, alangkah baiknya jika ayah sendiri lah yang membicarakannya langsung dengannya.”
“Hmm, sampai dimana tadi ? Oh ya, apa kau tahu dengan benda ini ?” lanjut Alviro
Alviro mengodok-ngodok kantong celana yang berada pada lutut pria tersebut dan mengeluarkan sebuah benda. Itu adalah sebuah replika kecil berbentuk sabuk mesin jet. Saat disentuh oleh Alviro, benda itu tiba-tiba berfungsi selayaknya sabuk jet pada umumnya dan melayang-layang di atas permukaan tangan Alviro.
Marinano menggelengkan kepalanya. Ayahnya kemudian menggerakan tangannya ke udara, seperti sedang mengganti halaman buku. Seperti halnya buku yang diganti halamannya, kondisi sekitar pun bergeser dan berganti ke tempat lainnya. Kali ini, tempat yang diperlihatkan adalah halaman belakang rumah Marinano.
Setidaknya di tempat itu terisi oleh 46 orang, dan semuanya adalah teman sebayanya Marinano. Sebuah kue Black Forest berbentuk persegi tersimpan pada sebuah meja kayu kecil di tengah-tengan halaman. Delapan potong lilin yang telah dinyalakan tertancap di atas kue tersebut.
Terdapat beberapa bungkus kado yang disimpan pada sudut halaman yang dibatasi oleh pagar kayu, sebagian dari kado itu telah di sobek. Marinano kecil terlihat tengah asik berlari-lari memainkan permainan polisi dan pencuri.
Seorang pria yang tak lain adalah ayahnya, masuk dan membawa sebuah bingkisan yang cukup besar, setidaknya bingkisan itu membuatnya tak mampu menengok jalan yang dia lalui. Tanpa dia ketahui, rupanya jalan yang akan di laluinya terdapat sebuah kulit pisang yang tergeletak dengan pasrah di lantai.
Pandangannya yang terhalang oleh bungkus kado telah membuatnya tak memiliki jalan lain kecuali menginjak kulit pisang tersebut dan menikmati setiap momen yang ia rasakan saat ia tergelincir dibuatnya.
Kepalanya terbentur cukup keras pada lantai berubin. Tapi untungnya, bungkus kado yang dia pegang tak mengalami cedera sedikit pun. Alviro segera bangkit dan meletakkan kado di lantai lantas mengambil kulit pisang yang telah mencelakakan dirinya tersebut.
Dengan nada yang cukup lantang dia bertanya siapa yang telah seenaknya meletakkan benda ini tepat di depan mulut pintu. Semuanya terdiam, tak ada yang berani berujar kata untuk menjawabnya. Akan tetapi, pandangan mereka tertuju kepada Marinano.
Menyadari bahwa tindakan tersebut adalah ulah anaknya sendiri, Alviro menghela nafas dan mengangkat jari jempolnya seraya berkata,
“Sebagai anakku, ternyata kau punya cukup nyali yang besar untuk mencelakai ayahmu ini, dan aku yakin kau melakukan itu dengan sengaja. Setidaknya, siasatmu akan berguna saat kau sudah berada di angkatan udara ketika kau sedang berperang.”
Alviro kembali meraih kado yang ia simpan di lantai dan datang menghampiri Marinano. Tak lupa juga ia meletakan kulit pisang tersebut di kepala Marinano. Dia memberikan bingkisan besar itu kepada Marinano.
Ayahnya berpesan agar sebaiknya hadiah itu di buka setelah pesta berakhir. Sengaja Alviro berpesan seperti itu karena yakin, anaknya tak akan mematuhi perintahnya. Dan benar saja, Marinano dengan segera menyobek bungkus kado tersebut dan segera membuka kotak kado tersebut.
3
Tanpa di duga, di dalam kotak tersebut masih ada kotak lainnya. Dan itu terus terjadi hingga kado yang dibuka olehnya berukuran kotak cincin. Terbesit dalam pikiran Marinano bahwa, hadiah yang akan dia terima pasti tak lain hanya sebuah cincin.
Marinano tak mau lagi meneruskan rasa penasarannya, dan langsung melemparkan kotak tersebut ke arah ayahnya. Dengan sigap, pria berjanggut keriting itu langsung menangkap kotak tersebut.
“Kau pasti sudah sinting memberikanku hadiah yang sepatutnya diberikan kepada seorang gadis.” cetus Marinano sambil berlalu dan masuk kedalam rumah.
Rekaman kenangan itu kembali terhenti, Alviro mengambil kotak hadiah tersebut dan membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah benda serupa yang ia ambil dari rekaman memori sebelumnya. Kedua ayah dan anak itu tertawa melihat kenyataan dari isi kotak tersebut.
Alviro tertawa karena ia telah berhasil mengelabui anaknya, sedangkan Marinano tertawa di sebabkan karena dia terlalu terburu-buru langsung menilai isi dari hadiah tersebut tanpa membukanya terlebih dahulu.
Sementara itu, ke enam adiknya tertawa tak henti-hentinya akibat ulah kakak sulungnya yang meletakkan kulit pisang yang menyebabkan ayah mereka terjatuh.
“Sejujurnya aku ingin mengetahui apa penyebabnya, ayah dan ibu berpisah, bolehkah aku melihat pemicu semua itu ? Sejak perceraian kalian berdua, ibuku sepertinya tak ingin sekali aku berkunjung ke kediamannya setiap kali aku mengabarkannya melalui telfon”
Sang ayah tertegun mendengar pertanyaan yang di layangkan oleh putra sulungnya itu. Awalnya ia menolak untuk menunjukkan perihal tersebut kepadanya. Akan tetapi, Marinano terus memaksa hingga akhirnya membuat sang ayah merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk memperlihatkan peristiwa tersebut kepadanya.
Alviro kembali menggerakan tangannya dan mengganti rekaman kenangan masa lalunya.
Sore itu hujan turun cukup deras….
Bersambung
sumber
Mohon reviewnya yah gan.
Kalau misalkan jelek tolong kasih tau ane.
Kalau perlu komentarnya di pedesin.
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
Kutip
4
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.3KThread•40.9KAnggota
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru