ValkyrjurAvatar border
TS
Valkyrjur
Pro Kontra Pelumas diesel di motor roda 2
Salam tjendol agan agan kaskuser sekalian. Thread ini ane buat untuk memberikan sudut pandang berimbang mengenai pro kontra pelumas diesel yang dibahas di tabloid otomotif edisi 51 23-29 april 2015.

Harap dibaca dengan seksama sebelum meletakkan komentar, komentar ASBUN, siap siap terima yang merah merah emoticon-army:


Dengan ini saya ingin menyampaikan tanggapan terhadap publikasi pro kontra oli diesel untuk motor pada edisi 51 23-29 april 2015 yang menurut komunitas kami berat sebelah dan cenderung memutarbalikkan informasi mengenai pelumas diesel, bensin, dan motor. Informasi yang disampaikan cenderung setengah setengah, sepotong sepotong, dan kurang lengkap. Komunitas Long Drain Inverval Community sudah ada sejak 2012 bermula dari kaskus lalu merambah ke facebook. Inisiatif kami dalam menggunakan pelumas mobil dan diesel heavy duty bermula dari keprihatinan kami pada konsumsi pelumas motor yang berlebihan dan juga kinerja proteksi pelumas motor yang memprihatinkan ketika digunakan dalam interval pergantian yg panjang.

ada baiknya pihak redaksi mengkaji lebih jauh tentang pelumasan karena pelumasan tidak sekedar mengenai TBN, tetapi jauh lebih kompleks dari itu. Saya ingin menyanggah pendapat populer yg mengatakan bahwa TBN dapat berpengaruh negatif bagi mesin bensin. apakah pihak redaksi pernah mengetahui pelumas motor roda dua bermerek Amsoil premium MCF? itu adalah produk pelumas dari Amsoil khusus untuk motor dengan TBN 11.0. Tidak hanya 1 produk, Amsoil punya banyak varian produk oli motor dengan TBN diatas angka 10 yang didedikasikan khusus untuk pemakaian jangka panjang hingga 10,000 km pada kendaraan roda 2 dengan viskositas 10W40 hingga 20W50. Jika saya boleh bertanya kepada nara sumber yang mengatakan TBN tinggi berbahaya, apakah TBN tinggi tersebut menjadikan pelumas motor Amsoil itu haram untuk motor roda dua dengan mesin bensin karena TBN-nya setara oli diesel?

Saya akan berusaha menjelaskan dengan bahasa awam lebih detail tentang pelumas agar sudut pandang publik menjadi berimbang. TBN merupakan Total Base Number, suatu angka index kadar basa dalam pelumas yang berguna untuk menetralkan sulfuric acid hasil pembakaran mesin internal combustion. sulfuric acid didapat dari kandungan sulfur pada bahan bakar, baik solar maupun bensin, dalam jumlah sedikit maupun sangat sedikit. berapapun jumlah sulfur pada BBM ketika BBM disemprotkan ke dalam ruang bakar lalu bertemu udara dan suhu panas yang tinggi, maka ia akan menjadi asam sulfat, suatu senyawa yang sangat korosif terhadap logam. Tugas dari TBN sebagai reserved (cadangan) alkaly peroxida ialah mengkonsumsi asam sulfat tersebut sehingga tidak menggerogoti komponen logam di dalam mesin. seiring dengan semakin aktifnya pembentukan asam sulfat selama mesin dioperasikan, maka cadangan alkali peroksida tersebut akan semakin berkurang. sekarang bisa dibayangkan apa jadinya bila jumlah TBN habis lebih dini sebelum waktunya ganti pelumas? TBN dalam jumlah besar tidak berefek negatif karena dia bersifat pasif.

Jika kita berbicara mengenai pelumas, di dunia ini standar pelumas tidak hanya API dan JASO semata. ada juga ILSAC, ACEA, Allison, dan lain lain. Semua standar pelumas tersebut diuji dengan metode yang baku secara international dari American Society of Testing and Materials (ASTM). Jika dulu pengembangan spesifikasi baru pelumas adalah untuk memberikan proteksi lebih baik pada mesin, maka pada perkembangan pelumas API SM, SN, serta CJ-4 memiliki konsep berbeda. 3 jenis spesifikasi API terbaru tersebut dibuat untuk memenuhi regulasi EPA (USA Environment Protection Agency) yang menuntut perlindungan terhadap Catalytic Converter serta Diesel Particulate Filter.

EPA menuntut pembatasan kadar sulfur dan phosphorus pada pelumas agar perangkat emisi dapat terlindungi. Hal ini serta merta didukung dengan regulasi kadar sulfur BBM yang harus dibawah 50ppm. bahkan untuk regulasi BBM solar dituntut memiliki kadar dibawah 30 PPM, yang mana itulah standar yg dipergunakan bagi pelumas spesifikasi API SM, SN, serta CJ-4. Hal ini berakibat negatif jika saat menggunakan pelumas dengan standar tersebut, BBM yang kita gunakan masih memiliki sulfur sangat tinggi. Dulu Pertamina pernah menetapkan rencana kedepan mereka bahwa pada 2012 mereka akan menerapkan EURO 4 dengan kadar sulfur dibawah 50ppm pada BBM mereka, akan tetapi jika menilik regulasi pemerintah yang masih baru baru ini akan memulai EURO 3 di tahun 2015, maka masih jauh panggang daripada api.

Sebelum membahas lebih spesifik mengenai standar pelumas mobil dan diesel heavy duty, ada baiknya mengenal terlebih dahulu pelumas standar JASO MA. pada dokumen implementasi JASO MA T903:2011, di bagian latar belakang disebutkan bahwa inisiatif dibentuknya JASO MA adalah sebagai langkah preventif atas kekhawatiran terhadap pengembangan pelumas mobil yang semakin ditujukan untuk efisiensi konsumsi BBM yang diraih dengan cara membentuk oli yg lebih licin dan tipis. Pada Annex A dokumen JASO T903 tersebut juga terdapat tabel yang menunjukkan kriteria dan syarat yg harus dipenuhi suatu pelumas sebelum bisa mengikuti uji friksi JASO MA.

Pada tabel 3 Annex A, terdapat 3 standar pelumas yg harus dipenuhi yaitu API, ACEA, dan ILSAC dimana pelumas diperbolehkan memenuhi satu saja dari 3 syarat tersebut. lalu pada tabel 4 Annex A, terhadap kriteria psikometrik kimia yang harus dipenuhi oli pelumas tersebut. diantaranya. Kadar sulfur, fosfor, penguapan (NOACK volatility), tingkat pembentukan buih (Foaming tendency), kestabilan pelumas (Shear stability), dan ketahanan viskositas pelumas dari suhu tinggi (high temp high shear - HTHS). bahkan pengujian shear stability JASO MA tertulis jelas di Annex A dokumen JASO T903:2011 tersebut menggunakan injektor diesel dengan 30 kali siklus serta memiliki rating dan toleransi sama persis seperti rating toleransi yang ditetapkan oleh lembaga ASTM dengan nomor metode uji ASTM D 6278.
Spoiler for doc:


Ada hal menarik yang dapat dijumpai jika kita melihat metode ASTM D6278. pada metode tersebut terdapat tabel kriteria toleransi shear stability bagi 3 jenis grup, yaitu grup pelumas bensin dan light duty diesel, pelumas bensin dan light duty diesel dengan after treatment, serta pelumas heavy duty diesel engine oil. Pada grup pertama, kriteria rentang toleransinya sama persis seperti yang digunakan oleh JASO MA. lalu pada grup ke-2, tidak ada rentang toleransi setelah 30 siklus, sedangkan pada grup ke-3 tidak ada rentang toleransi setelah 90 siklus. ketiga grup tersebut diuji pada tempetaratur yg sama, yaitu 100 derajat celcius.

ini artinya, pelumas heavy duty diesel engine 3x lipat lebih kuat kestabilan viskositasnya dari paparan suhu tinggi dibandingkan pelumas bensin atau light duty diesel. ASTM DS E N S O Rmerupakan salah satu rujukan dalam standar pelumas seperti JASO MA, JASO DH, API, ACEA dan lain lain. bahkan menjadi rujukan pula dalam berbagai pengujian kualitas oli oleh pihak independent maupun OEM. Dari satu aspek ASTM DS E N S O Rini apakah heavy duty diesel berefek negatif bagi mesin bensin? justru tidak, malah lebih baik pada aspek tersebut.

Berikutnya yang bisa kita lihat adalah kriteria Foaming tendency. pada dokumen T903 table 3, kriteria maksimal foaming tendency ialah 10/0, 50/0, dan 10/0. angka tersebut sama persis dengan kriteria foaming tendency yang tertera di Index G dokumen Engine Oil Licensing and Certification System (EOLCS ) API. Angka tersebut masih sama persis hingga API SH, juga sama persis dengan yang tertera pada dokumen ACEA European Oil Sequences 2012 seksi A/B yang mengatur standar pelumas bagi mesin bensin dan diesel ligh duty sekaligus. Jika kita menilik API untuk mesin diesel pada dokumen EOLCS tersebut, angka maksimal foaming tendency hampir sama persis, bahkan pada sequence 2, angkanya lebih kecil. yaitu 10/0, 20/0, dan 10/0. angka tersebut terus berlaku hingga ke level API CH-4.

dari dua contoh itu, bisa diartikan bahwa lagi lagi pelumas diesel lebih baik terhadap pembentukan buih. Sehingga bisa disimpulkan bahwa menggunakan pelumas mobil/diesel lebih banyak kebaikannya ketimbang negatifnya. Jika kembali pada mitos populer mengenai TBN, maka perbedaan mendasar mengenai TBN hanyalah di jumlah sulfur yang ada pada jenis BBM yang digunakan. Bahkan, pelumas pelumas modern API CJ-4 rata rata memiliki TBN dibawah 10 dan banyak juga yang TBN-nya 9 kebawah, ini dikarenakan jumlah sulfur pada solar untuk pelumas API CJ-4 diregulasi oleh EPA hampir setara bahkan lebih rendah daripada kadar sulfur bahan bakar bensin.

Dengan demikian pelumas diesel bukanlah sesuatu yang haram bagi mesin bensin, bahkan jauh sebelum ada regulasi tentang kadar sulfur dari EPA, sudah banyak muncul pelumas pelumas dengan rating ganda seperi API S*/C* dan C*/S* yang ditujukan untuk mixed fleet pada industri transportasi dengan kendaraan bermesin bensin maupun diesel. Ada juga perusahaan jasa transport di Indonesia yang menggunakan oli heavy duty diesel engine untuk semua kendaraan bensin dan diesel mereka.

pada bagian kekurangan, dibahas mengenai emisi. Ini perlu diperjelas agar tidak menimbulkan kesesatan yang sangat menyesatkan dan lebih sesat daripada kami yang terlanjur dicap komunitas sesat. Pelumas tidak membuat hasil pembakaran lebih beracun atau lebih berbahaya dari hasil pembakaran BBM itu sendiri. Yang harus digaris bawahi ialah, pada kondisi mesin tertentu, pelumas dapat mengganggu kinerja perangkat emisi seperti catalytic converter dan diesel particulate filter. Ketika pelumas yang digunakan memiliki rating evaporasi NOACK yang tinggi, maka pelumas tersebut dapat menguap naik dan terbawa hingga ke catalytic converter.

penguapan ini dapat terjadi pada area ring piston yang memang tidak pernah dirancang 100% akan menahan sisa pembakaran atau pelumas yang menguap naik ke ruang bakar dan sebaliknya. ketika sulfur dan fosfor ikut masuk ke ruang bakar, maka mereka terbawa sampai catalytic converter dan akan merusak keramik katalis pada knalpot. lolosnya sulfur dan phosphor dari pelumas akan lebih parah jika kondisi ring piston atau seal klep sudah aus. pembatasan sulfur dan phosphor ini diatur oleh EPA karena EPA menuntut penggunaan catalytic Converter dan Diesel Particulate Filter hingga 240.000 km. Jika kurang dari itu atau ada perubahan pada perangkat emisi tersebut sebelum mencapai batasan tadi, maka bisa dikenakan sanksi oleh EPA.

Padahal sulfur dan phosphor berperan penting dalam melindungi mesin dari kondisi extreme pressure, dengan demikian interval pergantian pelumas harus dikompensasi menjadi lebih singkat dari sebelumnya. Ini berbanding terbalik dengan standar ACEA yang lebih mengedepankan perlindungan mesin ketimbang perangkat emisi karena ACEA tidak membatasi pergantian atau pembongkaran perangkat Catalytic Converter serta Diesel Particulate Filter pada kilometer tertentu. Bagi industri fleet, secara akumulatif, lebih murah memperbaiki atau mengganti perangkat emisi ketimbang harus lebih sering mengganti pelumas.

Hal menggelitik lain yang sangat ingin saya tanggapi ialah mengenai selip kopling. Di mata saya, tidak ada namanya additif anti selip kopling, yang ada ialah Friction Modifier (F/M), yaitu additif yang digunakan untuk mengurangi koefisien friksi (bukan meningkatkan) dan ini justru pada kadar tertentu dapat membuat kopling selip. Penggunaan Molybdenum sudah dikenal sejak era 50-an pada indusri grease (gemuk), namun pada saat diterapkan untuk pelumas mobil dalam jumlah besar beresiko membuat kopling selip, hal tersebutlah yang mendasari asosiasi manufaktur otomotif Jepang (JAMA) membentuk panel untuk mengembangkan standar pelumas khusus untuk motor wet clutch (JASO MA). pengenalan friction modifier pada era pelumas setelah API SG menjadi kekhawatiran besar bagi JAMA.

Pada laporan teknis dari Dr. Neil Canter berjudul Fuel Economy: The Role of Friction Modifiers and VI Improvers, Pelumas mobil mutakhir terkini dibuat untuk mengejar efisiensi BBM dan pendekatan yang dilakukan ialah dengan membuat pelumas menjadi setipis mungkin, anda mungkin tidak akan percaya kalau saya katakan bahwa proposal API terbaru setelah API SN yang sedang digodok hingga 2016 nanti memasukkan kriteria baru viskositas 0W16. Dengan viskositas yang lebih tipis, boundary lubrication yang terjadi pada mesin menjadi lebih besar sehingga Friction Modifier sangat dibutuhkan untuk mengurangi friksi tersebut. Friction Modifier dalam jumlah besar sangat dibutuhkan pada pelumas dengan viskositas tipis 10W30 kebawah.

Pelumas dengan viskositas lebih tipis, boundary lubricationnya akan semakin meningkat berkali lipat sehingga penggunaan F/M adalah keharusan yang mutlak. Dr. Mark Sztenderowicz dari Chevron Oronite dalam laporan Dr. Neil Canter tersebut juga mengatakan bahwa menurunkan viskositas menjadi lebih tipis tidak akan meningkatkan efisiensi BBM tanpa menggunakan friction modifier. Beliau menegaskan penggunaan pelumas tipis seperti 0W20 sangat membutuhkan friction modifier untuk tetap dapat meraih efisiensi BBM.


Spoiler for JAMA doc 2014:



Sedangkan pada pelumas Heavy Duty Diesel Engine, pendekatannya berbeda. Mesin Heavy Duty Diesel tidak bisa menggunakan viskositas tipis karena load yang dibawa lebih besar daripada mesin bensin, sehingga 15W40 adalah viskositas ideal yang berada di tengah tengah, tidak terlalu berat dan tidak terlalu tipis. Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai efisiensi BBM pada mesin heavy duty tersebut ialah dengan menurunkan viskositas pelumas menggunakan VI Improver. Dr. Neil Canter menuliskan dalam laporannya bahwa menurunkan viskositas pelumas HDEO, yang kebanyakan berada pada kondisi hydrodynamic, dari 15W40 ke 5W40 sudah dapat meningkatkan efisiensi BBM sebesar 1%.

Penggunaan friction modifier dalam jumlah besar baru akan diperlukan jika boundary lubrication yang terjadi lebih besar apabila viskositas pelumas dibuat lebih tipis. Penggunaannya dibatasi untuk menjaga bagian seperti cam lobe dan sejenisnya, lagipula pada beberapa jenis mesin diesel Cummins yang terbuat dari material tertentu mengalami korosi akibat terpapar molybdenum. Dengan demikian pelumas diesel heavy duty tidak beresiko menimbulkan selip kopling karena tidak membutuhkan friction modifier dalam jumlah besar, bahkan tidak mengandung friction modifier sama sekali. Apa yang dikatakan dalam publikasi majalah otomotif kalau gas harus diurut itu karena viskositas 15W40 lebih kental, lebih berat. hal itu wajah dan akan dialami pula jika menggunakan pelumas 20W50 atau pelumas dengan xW lebih tinggi.

Jika ingin performa lebih spontan, maka langkah yang benar adalah menggunakan viskositas lebih tipis seperti 5W30 dengan friction modifier yang sedikit, tentunya dgn resiko yang sudah dijabarkan diatas. Penggunaan pelumas dengan spesifikasi mutakhir atau viskositas tipis belum tentu baik bagi mesin dengan desain lama dan desain tertentu. Contohnya dalam proposal PC-11 yang akan menjadi spesifikasi API terbaru 2016 nanti, pelumas Heavy Duty Diesel Engine akan dibagi dua kategori, untuk mesin diesel dengan desain terbaru sesuai regulasi EPA dan mesin diesel yang didesain sebelum PC-11 tersebut karena tidak semua mesin dirancang mampu menggunakan pelumas dengan viskositas tipis untuk tujuan extended interval. Dari sebuah blog penggemar otomotif terkenal yang pernah mewawancara insinyur pelumas dari Sh**l juga pernah disinggung mengenai larangan menggunakan pelumas mobil dengan viskositas tipis pada motor karena pasti licin, dan viskositas tipis itu jika merujuk pada laporan teknis Dr. Neil Canter adalah pelumas dengan viskositas 5W30 kebawah.

Pada pelumas Heavy Duty Diesel Engine dikenal pula sertifikasi Allison. sertifikasi tersebut merupakan sertifikasi untuk wet cluch yang menguji suatu pelumas HDEO agar tidak membuat selip sistem wet clutch pada transmisi Allison, tidak hanya Allison, CAT TO juga merupakan transmisi kopling basah yang mampu berputar ribuan hingga puluhan ribu rpm selama puluhan jam non-stop. Allison diuji dengan perangkat test wet cluch SAE #2 dimana perangkat itu juga digunakan dalam test JASO T903 dan JASO M348 Friction Clutch Test. Alat SAE #2 tersebut memiliki rentang pengujian rpm rendah 0-300, menengah 300-3600, dan tinggi yaitu 0-3600. sehingga Allison sudah dapat mewakili JASO MA dalam kompatibilitasnya terhadap kopling basah.

Ada fakta sangat menarik dari JAMA, dalam presentasi JAMA 2014 mengenai JASO MA, disebutkan bahwa pelumas dengan kadar molybdenum 700ppm menimbulkan slip kopling yang signifikan. Dan pada presentasi tersebut juga disebutkan fakta terkini bahwa pelumas 5W30 dapat menimbulkan kerusakan pada roda gigi gearbox di motor motor keluaran 4 brand ternama Jepang. Dalam presentasi tersebut maka JAMA memerintahkan JALOS untuk menyusun revisi terhadap JASO MA dalam waktu 2 tahun. Dalam Presentasi JASO DH 2009 mengenai biodiesel, dijumpai fakta bahwa penggunaan biodiesel dapat membentuk terjadinya lumpur seperti Gel di dalam mesin ketika terjadi fuel dilution. Sehingga apa yang dikatakan terbentuknya Gel akibat menggunakan pelumas diesel adalah benar jika BBM yg digunakan adalah BioDiesel dan terjadi fuel dilution secara massif.

Spoiler for SAE #2:


Diubah oleh Valkyrjur 26-04-2015 07:03
0
18.2K
74
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.