rinovniAvatar border
TS
rinovni
Jokowi Sudah Benar Ketika Semua Orang Menyerangnya



Pada awal 90-an berlangsung debat
cukup sengit di antara para
budayawan dan seniman. Di antara
mereka terdapat nama nama yang
sekarang kadaluwarsa dalam dunia
pop kita dengan tenang, Nirwan
Dewanto, Sutardjo C. Bahri,
Goenawan Mohamad, Seno Gumira
Adjidarma mendebatkan tentang apa
yang dinamakan budaya Indonesia.
Bersamaan dengan debat terbit pula
buku edisi revisi dari Benedict
Anderson (1993) ikut mengubah arah
debat.
Apa yang mereka debat
berkesimpulan bahwa bangsa ini
brengsek dan terkutuk oleh tumbuh
kembangnya mental saling memakan,
saling menjepit, saling injak, dan
saling korupsi satu sama lain demi
kualitas hidup semu.
Semu karena kualitasnya ditentukan
dalam standar versi pemerintahan
yang hilang ambisi. Dengan segala
sumber daya yang ada, dengan
kebangkitan pendidikan sejak Daud
Yusuf merevival pendidikan
Indonesia ke tingkat paling sekuleris
(yang artinya paling fokus bicara
manusia dibanding bicara tentang
jampi jampi dan doa doa) tidak
pernah dilihat sebagai sumber daya
potensial, melainkan musuh yang
mesti ditaklukan oleh pemerintah.
Benar pemerintah memusuhi
rakyatnya, mereka takut rakyatnya
suatu saat akan memberontak, ini
terbaca pada 1997 saat berlangsung
dialog antara Wimar Witoelar dengan
Jalaluddin Rahmat di Bandung
dengan tema revolusi komunikasi
abad 21. Big show saat itu, Wimar
tengah dipuncak performa, dan Kang
Jalal belum menjadi syiah
sepenuhnya. Kesimpulannya,
pemerintah Orde Baru begitu
insecure pada rakyatnya, tercermin
pada program program
"pembungkaman" melalui jalan
ekspresi seni, sosial, juga ekonomi.
Salah satu cara membungkam itu
adalah dengan subsidi.
Saat subsidi membanjiri masyarakat,
yang muncul adalah zona nyaman.
Masyarakat lalu jadi paranoid jadi
traumatis pada perubahan dan
adaptasi zaman. Orde Baru berhasil
menanamkan kebencian pada
rakyatnya untuk menjadi pemenang
dalam arti lepas dari bantuan.
Pemerintah mengabdi para rakyat
bukan dengan pelayanan pelayanan
yang bagus, tap dengan mengirim
cek demi cek subsidi bagai orang tua
memberi jajan pada anaknya.
Jargon mengabdi pada rakyat dalam
arti pelayanan sudah lenyap sejak
1959. Lalu para elite pun sibuk
perang antar faksi serta ideologi
demi memperebutkan hak
pengasuhan subsidi, hak menjadi
"raja" yang mengayomi rakyatnya
dengan kesenangan. Dan akhirnya
tidak penting rakyat memiliki
pemimpin politik modern yang
mampu membawa konsep besar,
konsep perubahan dan revolusi jiwa
sendiri.
Rakyat Indonesia tidak bisa lepas
mencari pemimpin yang kharismatik,
dan meninggalkan pemimpin modern
yang membimbing mereka ke jalan
pemberdayaan. Indonesia seolah
masih berada di zaman nabi nabi
sebagai raja.
Satu demi satu pemimpin politik
muncul dan di nabikan, di anggap
sebagai dewa penyelamat dari
masyarakat pemalas yang berharap
magis serta keajaiban turun
selamatkan gaya hidup mereka. Saat
Suharto hilang "wahyu" mereka
gusur dari posisinya, saat Gusdur
terlalu "wahyuis" mereka jatuhkan
pula, saat Susilo Bambang
Yudhoyono mampu menjadi pabrik
wahyu melalui proses citrawi dashyat
masyarakat tenang tenang saja
walau di akhir pemerintahannya ada
kenaikan harga minyak hingga 350
persen, dan kenaikan nilai rupiah
juga ratusan persen.
Lalu Muncul Jokowi
Lalu muncul Joko "Jokowi" Widodo,
sosok yang hendak menjadi kurban
masyarakat selanjutnya. Nabi
pemegang wahyu untuk era
selanjutnya. Berkat bantuan tengik
dari gerombolan rasis bersurban
yang menyerang Jokowi dalam
kampanye hitam massif, sosok Jokowi
yang modern akhirnya mesti
diamankan oleh pendukungnya
sebagai sosok nabi yang lain.
Sebagaimana para nabi akan selalu
dibela oleh ummatnya, maka Jokowi
kembali terselubung mitos dan
wahyu wahyu yang sama.
Ini bagus sebetulnya dalam proses
perebutan kekuasaan, namun
akhirnya para penggarap wahyu
harus kecewa.
Jokowi justru menjadi musuh mereka
yang berharap segala sesuatu akan
mudah. Jokowi adalah monster
sebenarnya yang sejatinya
memegang "wahyu" Tuhan dan
bukan "wahyu" rakyat. Sebagaimana
Anda tahu, bahwa Tuhan hanya
memberikan apa yang manusia
butuhkan, bukan memberikan apa
yang manusia inginkan.
Maka saat rakyat berharap pemimpin
yang akan membawa mereka dalam
"kesenangan dan hura hura" fiskal
next level. Jokowi menghentikan
kesenangan itu. Hura hura fiskal
yang membanjiri orang orang dengan
segala subsidi yang selama ini
mengikat mereka untuk tidak
tumbuh dihentikan dengan berani
dan cuek, khas "bukan urusan saya"
yang terkenalnya itu. Tapi bukan
berarti rakyat tidak boleh senang
senang dengan negaranya..
"Nanti dulu, bangun dulu fisik
negaranya.." tukas Jokowi suatu
ketika. Maka dari itulah segala
program programnya yang dituliskan
dalam Nawa Cita, adalah menjadikan
rakyat produktif dengan
menghentikan konsumtifnya,
memulai segalanya dari nol,
mencabut semua selang selang infus
yang membuat rakyat nyaman
dibuaian.
Jokowi menuntut rakyat Indonesia
menjadi Mac Gyver yang mampu
membuat satelit dari penggorengan,
karena ia yakin semua rakyat bisa.
Sebagaimana dirinya sendiri adalah
Mc Gyver dari bentuk lainnya, hidup
bukan sebagai elite yang menerima
kucuran duit bapak moyangnya,
terkenal karena jadi anak si fulan
yang tokoh itu, tapi sebagai rakyat
perkerja keras dari pinggiran sungai
kumuh menjadi eksportir yang
mengendalikan nasib orang asing.
Anda bisa bandingkan cara kerja
pembantunya Susi Pudjiastuti yang
sejarah hidupnya 11-12 dengan
Jokowi sendiri, dengan cara kerja
Menteri lainnya yang putri mahkota
seorang elite partai, yang kenal duit
dan kehormatan sejak dimomongan,
terasa bedanya bukan?
Jokowi yang pernah dituding
komunis, malah membawa agenda
kapitalis yang paling murni dan
paling dibenci para komunis dan
pernah dituliskan oleh Max Webber.
Jokowi membawa semangat protestan
pada rakyat Indonesia, hidup tidak
tergantung pada tokoh tokoh
wahyuis, melainkan harus berdiri
sendiri hilang patronnya.
Tinggalkan Infus Subsidi
Tidak ayal, saat kenyamanan
direnggut maka semua orang
berteriak. Baik mereka yang menjadi
lawan politik, atau mereka yang
selama ini asyik asyik hidup dengan
infus dari pemerintahan, dan lupa
mengembangkan diri sendiri menuju
kemajuan. Semua menyerang Jokowi,
"salam gigit jari" kata mereka.
Adapula mahasiswa, yang selama ini
hidup di ketiak politisi keluar
membawa segala bau ketiak yang
ada, membakari benda benda,
"berjoget-joget" menuntut perhatian
media massa, bagai para alay yang
kurang selfie.
Mahasiswa yang selama ini menjadi
dongkrak perubah elite dari satu
elite kepada elite lain, kembali
"being used" alias digunakan
sebagai kartu selanjutnya, tapi
pertaruhan ini akan gagal, karena
rakyat semakin kritis. Dan tidak akan
mengandalkan kecerdasan mereka
yang tidak paham kemandirian dan
masih bergantung uang jajan tuisi.
Camkan ini. Apa yang sebenarnya
rakyat ini cari dari kisah indah masa
lalu, tidak akan pernah ada
disediakan oleh Joko Widodo.
Tanggung jawab fiskal Jokowi sudah
mencapai posisi yang benar. Dia
alihkan subsidi konsumsi pada
subsidi produksi.
Kemana uang uang pembangunan
rakyat? Dilempar tuh ke arah
pembangunan fisik, ke arah
pembangunan jembatan, jalan,
pelabuhan, gudang, industri, serta
mengundang semua investor serta
orang asing ke Indonesia dengan
pembebasan visa yang akan
mengundang adanya kerjasama
antara "pendukung sejati" nawa cita,
antara UMKM dengan investor asing.
Pertumbuhan 7 persen adalah target
Jokowi, dan pertumbuhan itu walau
data makro merupakan pertumbuhan
yang berkualitas, dan bukan
pertumbuhan dari sisi finansial saja
sebagaimana di era SBY, melainkan
riilnya. Pertumbuhan yang nyata
dirasakan orang banyak dalam
bentuk fisik. Sekali lagi jika Anda
berharap perbedaan dari Jokowi
seperti harga murah, semua itu
sudah di tangan Anda.
Segala harga bisa Anda kendalikan
sendiri melalui jalan kemandirian
dan berupaya menjadi lebih
berdaya. Lebih bangkit dibanding
merasa bangkrut, berangkat dari
tantangan lebih besar untuk
melewatinya.
Indonesia sendiri masih kolam susu,
kemarin penulis berhasil menuai
ratusan cabe dalam pot, dan
Alhamdulilah pohon tomat sudah
berbuah sejak menanamnya tiga
bulan lalu, lalu penulis menamam
apa yang bisa ditanam semuanya
dalam pot. Dan alhamdulilah lambat
laun keberdayaan dan irihati pada
Jokowi serta Susi mengantarkan
penulis untuk surplus bumbu dapur.
Tidak peduli berapapun harga
mereka di pasaran. Penulis pun
memulai surplus protein dengan
memelihara ayam, perkembangannya
cepat kini hendak protein hewani
kapanpun bisa tidak harus
menunggu harga pasar naik turun.
Inspirasi penulis adalah sang
presiden baru itu sendiri, yang
berhasil mandiri dari kampung
kumuh menjadi presiden. Penulis
tidak akan bisa mendapatkan
inspirasi dari mereka yang jadi
pemimpin karena seorang Jenderal,
seorang tokoh nasional, atau seorang
anak orang berpengaruh.***Red
emoticon-Traveller emoticon-Traveller
sumber [url]www.fiskal.co.id/berita/fiskal-4/5160/jokowi-sudah-benar-ketika-semua-orang-menyerangnya[/url]
Diubah oleh rinovni 03-04-2015 07:48
0
6.1K
77
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.