faisaleffendiAvatar border
TS
faisaleffendi
Mengelola Harga BBM
Eskalasi konflik di Timur Tengah beberapa hari terakhir sempat menyulut kenaikan harga minyak dunia hingga ke level US$60 per barel. Meski lajunya kemudian tertahan, ancaman kenaikan harga minyak lebih lanjut masih ada. Di sisi lain, sejumlah ahli memprediksi harga minyak akan kembali turun. Bahkan angkanya bisa mencapai US$30 per barel, di bawah angka Desember-Januari lalu yang berada di level US$40 per barel.

Perkiraan-perkiraan itu menunjukkan tingginya ketidakpastian harga minyak di pasar internasional. Pergerakan naik dan turun bisa kerap terjadi sepanjang tahun ini. Harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri akan ikut bergerak seperti roller coaster, naik dan turun, seiring dengan pergerakan harga minyak dunia. Pasalnya, pemerintah tidak lagi menyubsidi premium dan memangkas subsidi solar.

Harga BBM yang dibayar masyarakat bakal lebih mahal jika nilai tukar rupiah tetap lemah. Risiko kenaikan harga jasa dan barang lainnya pun terus menghantui. Para pedagang dan penyedia jasa transportasi serta-merta menaikkan harga ketika harga BBM naik. Yang lebih berperan ialah faktor psikologis, bukan dampak riil penaikan harga BBM. Ketika harga BBM turun, harga komoditas lainnya cenderung bergeming.

Pemerintah boleh saja merujuk ke angka-angka deflasi alias penurunan harga-harga, seperti pada Januari dan Februari lalu. Namun, faktanya masyarakat merasakan daya beli mereka melemah. Harga BBM turun, tetapi harga elpiji naik. Tarif angkutan umum lambat turun, tetapi harga cabai menjulang. Belum lagi harga beras yang menyusul. Kini, ketika harga beras mulai turun dan harga cabai kembali normal, kenaikan harga bawang menyeruak.

Kenaikan harga barang dan jasa seakan tidak ada habisnya bergiliran menggerus daya beli masyarakat. Nyaris tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memulihkan diri. Sekarang, harga BBM bersiap naik. Mau tidak mau masyarakat harus kembali mengencangkan ikat pinggang, bersiap menghadapi kenaikan harga yang lebih luas. Subsidi BBM yang menggerogoti anggaran negara memang selayaknya dipangkas terutama sebab mayoritas konsumennya ialah kalangan menengah ke atas.

Meski begitu, pemerintah diharapkan memikirkan cara agar penaikan harga BBM seminimal mungkin menimbulkan gejolak dalam perekonomian rakyat. Bila tidak mampu mengatasi dampak ikutannya dalam waktu cepat, sebaiknya periode evaluasi harga BBM diperpanjang. Misalnya, dari 1-2 kali sebulan menjadi enam bulan sekali. Dengan demikian, naiknya harga-harga akibat penaikan harga BBM yang menggerus daya beli bisa diatasi.

Belanja pemerintah yang didorong pembangunan besar-besaran proyek infrastruktur boleh jadi digadang-gadang sebagai motor pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini. Namun, penopang utama pertumbuhan tetaplah konsumsi masyarakat. Terlebih lagi, untuk apa pertumbuhan tinggi bila rakyat justru merasa beban ekonomi kian berat? Karena itu, jagalah daya beli rakyat, wahai penguasa, dengan antara lain mengatur dan mengelola harga BBM sebijak mungkin, serta mengendalikan harga-harga barang.
0
731
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.