• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)

nightwishersAvatar border
TS
nightwishers
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
slamat pagi, sore, siang dan malam untu agan2 semua.
sebelumnya ane minta maaf kalo thread ane agak belepotan dikit, maklum newbie..
okee ane pengen ngebahas asal daerah aneh, tepatnya di sul sel, Tana Toraja..
mungkin udah banyak yang tau tapi gak pa2 ane cuma pengen sekedar share gimana indahnya kampung halaman ane..
lanjut gan emoticon-Toast emoticon-Toast emoticon-I Love Indonesia

"Di akhir perjalanan, saya tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang. Beginilah kehidupan di Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan." _ Alfian Widiantono Suroso (Aan)


Malam hampir berganti hari, mobil akhirnya sampai di tujuan terakhir. Enggan rasanya pantat ini beranjak dari kursi akibat lelah menggelayut efek dari perjalanan panjang nonstop, 4 jam Jakarta-Makassar via udara, 10 jam Makassar-Rantepao via bis, dan 45 menit Rantepao-Nanggala via mobil jemputan. Satu-satunya penyemangat bagi Kami untuk bangkit adalah nyala lampu dari susunan bangunan yang bentuknya selalu terbayang di pikiran Saya seharian ini. Tak lama beranjak, akhirnya susunan bangunan dengan kedua ujungnya yang lancip tersaji langsung di depan mata, Tongkonan, rumah adat Toraja. Lelah pun berganti dengan semangat dan rasa penasaran dengan apa yang akan Saya hadapi esok hari.

Bersama dua orang rekan, Fatur dan Yoyo, Kami merasa cukup beruntung bahwa perjalanan kami yang pertama kali ke bumi Sulawesi ini bertepatan dengan berlangsungnya Rambu Solo, upacara pemakaman adat khas Toraja. Saat itu di kampung Nanggala tengah diadakan pemakaman bagi Elisa Siman Pongpalita, yang meninggal tahun 2005 lalu pada usia 80 tahun. Mendiang adalah salah satu tokoh masyarakat sekaligus keturunan ke enam Raja Luwu, salah satu penguasa Toraja jaman dulu. Kami datang agak terlambat sebenarnya. Karena acara prosesi yang memakan waktu hampir satu minggu ini sudah berlangsung 3 hari sebelum kami tiba di Nanggala. Akibatnya kami terlewatkan 3 prosesi, pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke Alang/Lumbung (tempat menyimpan padi) lalu ke Lakkian (tempat khusus menaruh jenazah sebelum dimakamkan) , penyambutan tamu dan Ma’pasilaga Tedong atau adu kerbau. Namun demikian tetap saja kami beruntung karena bisa mengikuti sisa prosesi secara lebih dalam, karena kami tinggal di Lantang , yaitu bangunan yang dibuat khusus untuk para tamu dan keluarga yang menginap dalam rangka menghadiri Rambu Solo ini. Jadi kami memiliki kesempatan untuk mengenal dan memahami budaya Toraja secara lebih mendalam. Semua ini berkat bantuan dari seorang teman, Theresia Kurniasari Pongpalita, yang tak lain adalah cucu mendiang.

Hari pertama, atau hari keempat rangkaian prosesi, Kami disuguhi dengan prosesi Ma’tinggoro Tedong atau penyembelihan kerbau khas Toraja, yaitu menyembelih dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Sebenarnya bukan hanya kerbau saja yang dikorbankan, tapi ada juga babi. Kerbau dan babi ini adalah persembahan dari keluarga sebagai bentuk persembahan terakhir bagi almarhum. Total ada 17 kerbau dan 3 ekor babi yang dikorbankan, termasuk 1 ekor kerbau belang atau biasa disebut Tedong Bonga. Sekedar diketahui, semakin banyak belangnya, semakin mahal harganya. Kisaran harga kerbau belang bisa mencapi sampai ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kerbau biasa yang berharga sekitar 20 juta.

Selanjutnya daging dan organ kerbau atau babi ini dimasak untuk disajikan ke keluarga dan dibagi-bagikan atau dilelang ke para tetangga dan orang-orang yang terlibat dalam acara pemakaman. Yang unik adalah tanduk kerbau yang setelah dibersihkan kemudian dipasang di bagian depan Tongkonan sebagai penanda jumlah kerbau yang dikorbankan oleh keluarga. Semakin banyak tanduk yang dipasang, artinya semakin makmur juga keluarga yang bersangkutan.







Hari kedua, atau hari kelima rangkaian upacara sekaligus hari terakhir, berlangsung prosesi penurunan peti jenazah dari Lakkian ke lapangan yang biasanya berada di depan Tongkonan. Peti jenazah ini kemudian dirangkai dengan Lettoan/Duba-Duba, yaitu keranda khas Toraja yang bentuknya mirip atap Tongkonan. Di tengah prosesi perangkaian ini, beberapa anggota keluarga tampak menangis. Dua orang diantaranya bahkan histeris meratap di samping keranda. Ada kejadian langka sebelum prosesi ini berlangsung. Saat itu para keluarga dan orang-orang yang terlibat dalam proses berkumpul di pinggir lapangan dan beberapa orang yang kami yakini tokoh masyarakat setempat bergantian berorasi dalam bahasa Toraja. Kami tidak tahu persis apa maknanya, tapi dari teman kami Sari, kami tahu bahwa mereka tengah menyuarakan kegelisahan dan penolakan mereka terhadap pemerintah daerah dan gereja setempat yang melarang adanya prosesi adu kerbau dan adu ayam yang berlangsung selama prosesi Rambu Solo karena dianggap kental berbau judi. Padahal ritual tersebut memang sudah menjadi bagian tradisi Rambu Solo sejak dulu kala.






Peti telah dipasang pada Lettoan/Duba-Duba. Ada satu prosesi unik, yaitu secara beramai-ramai peti jenazah diangkat sementara orang-orang pembawa peti berjingkrak-jingkrak sambil meneriakkan semacam mantra. Sebenarnya rencana awal mendiang akan dimakamkan ke kubur batu. Namun karena kondisi lubang di tebing yang akan dijadikan makam masih kurang memadai, maka peti disemayamkan dulu di Patane, yaitu rumah khusus untuk menaruh peti jenazah. Nanti setelah lubang kubur batu diperbaiki, barulah peti dipindahkan lagi. Peti pun dibawa beramai-ramai dengan dikawal pembawa gong dan umbul-umbul. Orang-orang beramai-ramai berteriak dengan sesekali terjadi prosesi unik yaitu para pembawa Duba-Duba yang jumlahnya banyak itu menarik dengan arah yang berbeda, ke depan dan belakang. Sesampainya di Patane, peti jenazah dimasukkan ke dalam, bergabung dengan lima peti lainnya.

(patane, tempat untuk menaryh peti jenazah)


Malam harinya, sambil menikmati suguhan kopi toraja, kami mengobrol dengan beberapa anggota keluarga almarhum. Inilah kesempatan untuk mencari informasi. Kenapa harus ada upacara Rambu Solo ini? Itulah pertanyaan pertama yang terlontar. Tidur atau sakit. Ya itulah jawabannya. Meninggal secara medis, bagi tradisi Toraja baru dianggap sebagai tidur atau sakit, sampai keluarga bersangkutan melaksanakan Rambu Solo. Tidak heran, sebelum Rambu Solo diadakan, almarhum masih diperlakukan layaknya orang hidup seperti ditemani, disediakan makan minum dan rokok. Selain itu menurut ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan tradisional Toraja), Rambu Solo adalah bentuk penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal sebelum menuju alam baka.

*landskap, persawahan di kampung nanggala


Dalam tradisi Toraja sendiri dikenal empat jenis tingkatan Rambu Solo. Dipasang Bongi, upacara yang berlangsung hanya satu malam saja. Dipatallung Bongi, berlangsung tiga malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipalimang Bongi, berlangsung lima malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Terakhir, Dipapitung Bongi, berlangsung selama tujuh malam dengan disertai pemotongan hewan setiap malamnya. Semakin tinggi strata sosial si almarhum, semakin lama waktu prosesinya. Dalam hal ini, pemakaman bagi almarhum Elisa Siman Pongpalita termasuk dalam Dipalimang Bongi.

*Barisan Alang/Lumbung di depan rumah adat Tongkonan di Kete Kesu.

*Kubur di tebing batu Lemo


Uang dan waktu. Itulah jawaban untuk pertanyaan Kami berikutnya, kenapa Rambu Solo bagi mendiang baru diadakan tahun 2013, berselang hampir delapan tahun sejak almarhum mulai ‘tidur’. Rambu Solo butuh biaya yang banyak. Meskipun keluarga almarhum tidak menyebut secara detil, tapi kami perkirakan untuk melaksanakan Rambu Solo yang sedang kami ikuti ini menghabiskan lebih dari lima ratus juta, bahkan bisa hampir satu milyar. Untuk membuat bangunan dan ornamennya saja menghabiskan empat ratus juta sendiri. Belum lagi hewan persembahan dan biaya operasional selama upacara berlangsung. Ketika uang sudah terkumpul, yang tak kalah sulitnya adalah menemukan waktu yang tepat untuk mengumpulkan anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan adanya ketentuan bahwa semua anggota keluarga wajib hadir ketika Rambu Solo berlangsung. Almarhum sendiri memiliki dua orang istri. Istri pertama, Yohana Tambing, menghasilkan dua orang putri, Corry Taruk Datu dan Alberthin Siman Taruk. Kemudian dengan istri kedua, Ludia Ramma, menghasilkan dua orang putra, Samuel Barumbun dan Yusuf Kadang Pongtinamba.

Miniatur Tau tau


Selain budayanya yang khas, Toraja dianugrahi tanah yang subur dengan lanskap dinding bukit yang seolah menjadi benteng alam. Setidaknya itu yang muncul dalam benak Saya ketika di hari terakhir kami mengunjungi lokasi-lokasi makam batu yang sekaligus menjadi obyek wisata di Toraja seperti Kete’kesu, Londa dan Lemo. Di akhir perjalanan, kami tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang Elisa yang ikut menemani kami. Beginilah kehidupan Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu yaitu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan. Dan itulah bentuk penghomatan terakhir dari mereka yang ditinggalkan.

Sumber : http://orangtoraja.blogspot.com/2015...-kematian.html
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 3 suara
TORAJA, HIDUP UNTUK MEWAHNYA KEMATIAN (LIFE FOR ALUXURIOUS DEATH)
5
33%
5
67%
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
5.2K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.