Dizolimi nih yeee
Saya rasa tidak ada pertunjukan yang memperlihatkan secara gamblang pengunaan strategi "Politik Dizolimi"; "Politik Lempar Batu Sembunyi Tangan"; dan "Politik Ken Arok" dari kubu Jokowi-JK selain cara mereka menangani serangan para ulama dan kiai kepada mereka sehubungan dengan bocornya rencana PDIP mengintai masjid satu Indonesia, sebab sudah sangat jelas bahwa sumber berita adalah Eva Sundari jubir PDIP dan William Yani Ketua DPC Jakarta Timur, namun tanggapan PDIP terhadap kecaman ulama tersebut adalah membantah ada rencana memantau; dan menyalahkan kubu Prabowo-Hatta tanpa membahas sumber berita adalah para petinggi PDIP sendiri (selengkapnya lihat di http://m.kompasiana.com/post/read/661913/1/kepanikan-jokowi-karena-bocornya-rencana-mengintai-masjid-.html ).
Dengan kata lain strategi kubu Jokowi-JK sekarang adalah menyalahkan semua kemalangan yang terjadi di Indonesia dan/atau terjadi terhadap kubu Jokowi-JK kepada kubu Prabowo-Hatta terlepas ada bukti untuk menyalahkan atau tidak; pokoknya nanti bila Jokowi sakit perut karena makan makanan basi maka penyebabnya pasti intel Prabowo menyamar sebagai penjual makanan dan membubuhi obat sakit perut. Ini adalah strategi umum dari Jokowi-JK atau dikenal sebagai Politik Lempar Batu Sembunyi tangan.
Tentu saja Politik Dizolimi atau strategi menyalahkan semua kesalahan kepada orang lain memang berasal dari Jokowi sebagaimana dikatakan oleh Prijanto, wakil gubernur periode lalu yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan korupsi pada era Foke yang mengatakan bahwa dari masukan mantan anak buahnya di Pemprov DKI, menyimpulkan Jokowi bukan pemimpin bertanggung jawab:
"Saya pernah bertanya, mengapa PT MRT banyak dikendalikan oleh orang Ahok?, dengan santai Jokowi menjawab, biarin. Kalau MRT gagal yang salah Wagub, tapi kalau MRT berhasil yang dikenang Gubernur."
Membicarakan daftar bukti-bukti tentang sikap Jokowi yang suka mengklaim keberhasilan dan selalu menolak bertanggung jawab bila gagal bisa panjang, jadi akan kita tinggalkan sejenak sebab ada isu yang lebih penting, yaitu membicarakan sisi mengerikan dari rencana strategi Lempar Batu Sembunyi Tangan yaitu bila ditingkatkan menjadi strategi Ken Arok.
Strategi Ken Arok meminjam nama dari pendiri Kerajaan Singosari yaitu Ken Arok di mana sebelumnya dia menjadi penguasa daerah Tumapel dengan membunuh "kepala desa" bernama Tunggul Ametung dan kemudian menempatkan semua kesalahan kepada temannya sendiri, Kebo Ijo sehingga Kebo Ijo dituduh membunuh Tunggul Ametung.
Cara Ken Arok memfitnah Kebo Ijo adalah dengan membuat keris dan membunuh pembuat keris yaitu Mpu Gandring, selanjutnya dia memberikan keris barunya yang indah kepada Kebo Ijo yang segera memamerkan keris kepada semua kenalannya. Setelah itu Ken Arok mencuri keris tersebut; membunuh Tunggul Ametung dengan membiarkan keris yang dikenal sebagai milik Kebo Ijo tertancap di tubuh Tunggul Ametung sehingga orang-orang segera menuduh Kebo Ijo membunuh Tunggul Ametung.
Bagaimana cara tim Jokowi-JK akan melakukan strategi Ken Arok? Yaitu mengatur terjadi kerusuhan rasial atau kerusuhan bernuansa keagamaan untuk mendiskriditkan lawannya, Prabowo sekaligus meningkatkan citra kepada dirinya. Saya benar-benar memiliki kekuatiran mengenai hal ini karena Jokowi pernah membuat kerusuhan di Solo pada Mei 2012 demi memenangkan Pilkada DKI!!
Fitnah? Sama sekali bukan. Yang menarik adalah dari hasil penelusuran melalui Google saya hanya bisa menemukan link berita tentang kerusuhan saat itu di website RMOL dan Beritasatu padahal saya ingat sekali semua media nasional meliput kejadian tersebut secara besar-besaran, tapi mengapa sekarang berita-berita seputar kejadian itu seperti hilang tidak tahu rimbanya? Untung saya memiliki ingatan yang cukup kuat.
Jadi pada Bulan Mei 2012 ketika Pilkada DKI sedang panas-panasnya tiba-tiba kita dikejutkan dengan terjadinya kerusuhan agama di Solo antara ormas Islam radikal melawan Iwan Walet yang beragama Katolik. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada hasil penyelidikan polisi, semua komponen pendukung Jokowi dari PDIP sampai media massa menyatakan bahwa kerusuhan kerusuhan tersebut adalah kampanye hitam untuk memojokan Jokowi seperti bisa dilihat di link berikut ini:
http://www.rmol.co/read/2012/05/06/62909/Upaya-Memojokkan-Jokowi-Lewat-Kerusuhan-Solo-Gagal-Total!-
http://m.beritasatu.com/megapolitan/46381-kerusuhan-solo-kampanye-hitam-untuk-jokowi.html
Saya harus mengingatkan bahwa ini adalah ketika kita tidak tahu siapa sebenarnya Jokowi dan pada saat bersamaan kita memiliki antipati dan sentimen negatif terhadap Foke sehingga kita cenderung mengikuti penggiringan opini oleh Jokowi dan medianya bahwa yang terjadi adalah sedang ada kampanye hitam oleh "orang luar" untuk mendiskriditkan Jokowi, termasuk bahkan ketika Jokowi mengatakan: "Sungguh keji bila kejadian ini terkait Pilkada DKI Jakarta."
Namun ketika sekarang kita tahu banyak tentang Jokowi termasuk strategi Politik Dizoliminya dan hubungan dengan ormas-ormas radikal di Solo termasuk ponpres Ngruki pimpinan Abu Bakar Ba'asyir maka kita bisa memiliki perspektif berbeda tentang Kerusuhan Solo Mei 2012 tersebut. Kedekatan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir tersebut bahkan sampai membuat sang ustad mengirim orang bertemu Jokowi di Jakarta pada Januari 2013 padahal Ba'asyir sedang ada di Nusakambangan! Berikut link beritanya:
http://m.arrahmah.com/read/2013/01/31/26416-jokowi-ucapkan-terima-kasih-atas-nasihat-ustadz-baasyir.html
Selanjutnya saya menemukan dugaan kuat bahwa FX Hadi Rudyatmo, Wakil Walikota Solo saat itu adalah dalang bentrokan warga dan ormas karena Iwan Wallet merupakan binaan Wakil Walikota Solo sebagaimana disampaikan Khoirul, juru bicara FPI Solo setelah terjadinya kerusuhan:
"Kami bisa bicara Wakil Wali Kota dibalik bentrokan ini, karena kami memiliki bukti berapa kali orang binaannya Rudy (panggilan akrab Wakil Wali Kota Solo), Iwan Wallet menghubunginya, sebelum pecah bentrokan awal,"
Mengejutkan bukan, ternyata dua pihak yang bertikai masing-masing memiliki hubungan dekat dengan Jokowi dan wakilnya, FX Hadi! Jadi pertanyaannya sekarang dengan fakta yang baru muncul ini siapa yang lebih mampu membuat kerusuhan, Jokowi atau orang luar, katakanlah Foke? Ingat juga bahwa FX Hadi adalah orang yang pasang badan demi Jokowi dengan melawan Megawati ketika menguatnya berita Puan akan menjadi calon wakil presiden dan hal ini dilakukan sehari setelah Jokowi bertemu FX Hadi, yang bisa kita duga memintanya melakukan sesuatu untuk mencegah Puan jadi cawapres karena Jokowi sudah memiliki kesepakatan dengan JK untuk menjadikannya cawapres.
Yang lebih berbahaya dan menimbulkan kekuatiran lagi bagi saya adalah fakta bahwa orang-orang yang mendukung Jokowi pada faktanya adalah para perancang Kerusuhan 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 yang memiliki tujuan mendiskriditkan Presiden Soeharto dan menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia yang baru (selengkapnya bisa dibaca di tulisan saya di sini: http://m.kompasiana.com/post/read/658823/1/dalang-kerusuhan-mei-1998-mendukung-jokowi.html ).
Jadi Jokowi memiliki pengalaman membuat kerusuhan di Solo demi mendapatkan kursi Gubernur DKI sebagai langkah pertama menjadi Presiden R.I.; dan pendukungnya memiliki pengalaman membuat kerusuhan massal berskala nasional; dan terbukti menjelang dimulainya masa kampanye tiba-tiba Jogjakarta yang biasanya damai terjadi kerusuhan antar ormas Islam dan Kristen. Kami menyebut para penyerang itu Laskar Ken Arok, kenapa Ken Arok? Lihat penjelasan di atas.
Saya tidak bermaksud menakut-nakuti seperti yang dilakukan oleh Neta S. Pane tokoh IPW yang suka asal bunyi dan selalu mencari panggung membuat pernyataan tidak kondusif bahwa ada kemungkinan kerusuhan tersebut karena Pilpres, namun tidak ada salahnya berhati-hati, karena sebagaimana guru mereka Benny Moerdani, para Jenderal Merah pendukung Jokowi juga percaya pada prinsip Shang Yang, tokoh legisme China yang hidup ribuan tahun lalu, yaitu "bunuh sepuluh untuk melindungi seribu adalah layak.", sebagaimana diungkap oleh David Jenkins, wartawan senior Australia yang memiliki jaringan sangat luas kepada jenderal-jenderal Orde Baru dalam orbituari kepada Benny Moerdani berjudul "Charismatic, Sinister Soeharto Man" berikut ini:
"Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means. He had a reputation for shooting from the hip and his language was sometimes intemperate, even when he held high office. He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so."
http://www.smh.com.au/articles/2004/09/09/1094530768057.html
Dengan kata lain bagi Jenderal Merah, membunuh banyak orang demi menaikan orang yang menurut mereka akan membawa keselamatan bagi negara ini adalah layak dilakukan, sekalipun pernah terbukti bahwa Megawati Soekarnoputri adalah pemimpin terburuk yang pernah memimpin negara ini; dan sekalipun terbukti bahwa para pendukung Jokowi mulai dari Hasyim Muzadi; Anies Baswedan; Dahlan Iskan; Guruh Soekarnoputra sampai Jusuf Kalla sang cawapres sendiri mengatakan Jokowi tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas apapun untuk memimpin negeri ini, dan Indonesia bisa hancur bila ditangani oleh Jokowi.
Sebaliknya, bagi Jokowi pilpres adalah satu-satunya opsi sebab dia tidak mungkin kembali ke Pemprov DKI karena sebagaimana diungkap oleh Prijanto, bahwa sekarang anak buah Jokowi di Pemprov DKI lebih memilih untuk tidak menjalankan perintah Jokowi daripada "diudarkan" sebuah ungkapan ketika anak buah menjalankan permintaan Jokowi untuk melanggar hukum seperti mengeluarkan dana di luar anggaran secara lisan namun ketika terjadi masalah sang anak buah yang dikorbankan. Ini terlihat sekali dalam pidato penuh kesombongan dan kampanye di luar jadwal di depan KPU hari minggu kemarin.
Singkat kata, berhati-hatilah, ini bukan bualan, sebab bahkan Romo Magnis Suseno sendiri pernah mengatakan bila Jokowi tidak dicapreskan akan terjadi kerusuhan, sekarang Jokowi sudah capres, bayangkan apa yang akan dilakukan Jokowi demi mendiskriditkan lawan untuk memastikan kemenangan atau bila dia gagal terpilih menjadi presiden!