byanbyanAvatar border
TS
byanbyan
Sebuah Janji Sekumtum Bunga Abadi
Malam ini tiba-tiba bayangan sebuah bunga nampak jelas dipikiranku. Tak ada angin tak ada hujan dan apapun tentang bunga itu aku pikirkan sebelumnya. Sembari menunggu kabar seseorang yang tak kunjung membalas obrolanku dalam satu aplikasi sosial berlogo hijau itu. Kali itu membuat aku pertama kali bertemu dia di sebuah cafe yang mempunyai banyak jendela, bertemakan klasik, dan sedang menyajikan coklat, kopi, dibalut dengan komedi saat itu.


Seorang wanita yang mempunyai mahkota dengan warna hitam panjang yang ia gerai begitu saja mempesonaku. Dia memiliki inisial “A”. Walaupun belum sempat memperkenalkan diri ataupun bercengkrama langsung, aku sudah mengetahui itu dari temannya yang juga seorang temanku. Begitulah. Dunia memang sempit. Ini kenal itu, itu kenal ini.


Pesan yang kukirimkan belum sempat terbals, otakku sudah bergerilya kemana-mana. Sekumtum bunga yang menyeruak dalam pikiranku tadi entah tak tau kenapa, apa, dan bagaimana, bunga itu ingin sekali kupersembahkan untuk seorang wanita berinisialkan “A”. Ada apa? Kenapa? Alasannya? Entah. Akupun tak tahu.


Memang bunga yang kumaksud itu sudah sangat sulit sekali menemukannya kecuali di tempat asalnya, tempat dia hidup yaitu gunung. Bunga yang seringkali dijuluki bunga abadi karena ia tidak akan layu meskipun sudah jatuh dari pohonnya. Edelweis. Iya itu namanya. Memang bunga itu sangat sulit mendapatkannya. Penjagaan di gunung gunung pun sudah ketat, sudah tidak boleh lagi membawa bunga itu pergi dari Taman Nasional setiap gunung. Tapi hasratku untuk membawakan sekuntum bunga itu untuk “A” sudah menggebu-gebu. Gila? Entah. Padahal aku dengannya hanya sebatas teman. Dahulu dengan mantan tunanganku pun tak pernah seperti ini. Boro-boro bunga, aku membawakannya bubur ayam saja sudah syukur syukur. Mungkin aku bukan tipikal laki-laki yang romantis dan memberikan ini itu. Tapi kenapa kali ini bunga yang sudah jelas-jelas sulit untuk didapatkan bisa mendorongku dan tak menyurutkan niatku untuk membawakannya ke dalam genggaman “A”.


Malam semakin larut, beberapa pesan sempat terbalas olehnya dan tiba-tiba dia diam tak membalas obrolan terakhirku. “Kamu takut kenapa?” kurang lebih itu yang terakhir kukirimkan padanya, dan sampai sekarang belum terbalas. Aku tengok berkali-kali di aplikasi hijau itu, tetap saja tak ada perubahan. Sidahlah, aku putuskan untuk tidur, mungkin karena kondisi badanku yang sedikit tidak fit memaksaku tidur lebih awal dari biasanya.


Pukul 06.48 pagi aku terbangun karena suara televisi yang lupa aku matikan sejak semalam. Bangun bukannya mengambil remote televisi lalu mematikannya kemudian kembali tidur, malahan tanganku reflek merayap mencari telepon genggamku dan kulihat obrolan yang tak terbalaskan sejak semalam. Mata menyala tak bisa kembali tidur. Sudahlah, mungkin aku memang harus sesekali bangun pagi untuk berolahraga pikirku.


Seperti biasa, bangun lalu ke dapur mengambil segelas air putih. Kebiasaan sejak dulu yang tak tau menurun dari siapa. Aku teguk sampai air di dalam gelas habis, sekelebat niat untuk mencari Edelweis muncul kembali. Aku tak mencoba untuk menolaknya, rasanya hati semakin semangat dan raga juga tak menolak walaupun memang sedang tidak fit. Tapi apalah ini, hitung-hitung olahraga. Aku kirimkan pesan singkat ke beberapa temanku yang sering juga mendaki gunung. Kutanyakan apa mereka mau naik gunung sore ini.


Aku letakkan telepon genggam di kasur sambil menunggu balasan pesan dari mereka. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.20 dan belum ada balasan, begitupula dengan pesanku kepada “A”. Lalu aku beranjak mandi agar tak membuang waktu bermalas-malasan di kamar.


Selesai mandi kulihat beberapa pesan sudah masuk di kotak masukku. Semuanya menolak dan tidak bisa mendaki gunung sore ini. Tidak masalah untukku. Dengan semangat aku putuskan mendakisore ini, aku siapkan beberapa perlengkapan seperti tenda, jaket, matras, dan bekal untuk bermalam disana nanti.


Tengah hari aku mulai bersiap untuk berangkat. Mengecek kembali apa semua yang aku butuhkan sudah kubawa. Satu persatu aku teliti,jangan sampai ada satupun yang tertinggal. Karena aku sendiri mendaki kali ini, jadi semuanya harus siap. Setelah semua lengkap dan tak ada yang terlewat, aku berangkat pukul 15.00.


Di perjalanan hanya ada Edelweis dan seorang wanita berinisial “A” di pikiranku. Riang saja kulalui aspal yang panas itu. Kali ini yang aku daki adalah Gunung Merbabu. Dari ayahku yang dahulu juga hobi mandaki gunung, aku mendapatkan informasi bahwa Edelweis di gunung ini kualitasnya bagus dan sulit untuk bisa membawanya pulang atau keluar Taman Nasional Gunung Merbabu. Tapi biarlah, kalau belum mencoba kan belum tahu bagaimana nantinya.


Aku mendaki via Wekas, jalur pendakian ini memang yang terpendek, namun jalur ini juga paling berbahaya, karena tanjakannya cukup curam dan jarang sekali ada jalur landai. Kurang lebih dua jam tiga puluh menit aku sampai desa Wekas, lalu melewati jalan menanjak bebatuan dan hutan pinus serta perkebunan warga sekitar. Akhirnya aku sampai di Basecamp Pendakian Merbabu via Wekas.


Malam itu sepi, hanya ada aku yang mendaftarkan diri untuk mendaki. Seorang penjaga basecamp meminta data dan retribusi pendakian Merbabu. Petugas itu kaget, sangat terlihat dari wajahnya saat aku mengatakan naik sendirian malam itu. Kemudian ia menawarkan jasa porter/guide untuk mendaki. Tapi aku menolak, karena bagiku sendiripun tak apa.


Tepat pukul 19.00 aku berangkat mendaki dari base camp menuju pos 1. Pendakianku kali ini hanya ditemani tas cerrier 80 liter, jaket, dan masker. Tak lupa aku berdoa agar lancar sampai ke puncak nantinya. Baru beberapa meter berjalan sudah disuguhi tanjakan curam dengan material batu yang tersusun rapi. Pelan pelan kakiku berpijak melewati jalur itu. Tak berapa lama, aku sampai di Makam Ki Hajar Demo, mungkin beliau sesepuh atau priyayi desa setetmpat. Dari sini jalur yang aku lalui sudah berbeda, masuk hutan dengan jalan tanah dan penerangan satu senter yang kubawa. Semangat yang besar ini sanhgat membantu, karena didalam hutan ini hanya aku seorang. Tak ada pendaki yang naik atau turun saat ini.


Saat hampir menginjakkan kaki di pos 1, kabut mulai turun dan suhu berubah menjadi sangat dingin, aku pakai jaketku, syal, masker, dan sarung tangan yang kubawa. Pendakian menjadi semakin berat, karena jarak pandang yang terbatas serta tubuh yang ditusuk jarum jarum dingin malam. Pelan tapi pasti. Aku tak terburu-buru mendaki dengan kondisi yang seperti ini.


Sampai di pos satu aku beristirahat sejenak, pos yang berapa di dalam hutan dan hanya ada tulisan “pos 1” yang tertancap di pohon itu sepi. Tak ada siapapun. Aku selonjorkan kakiku lalu aku buka bekal air minum yang aku beli di perjalanan menuju Wekas tadi.


Setelah menengguk air mineral tadi, langsung kulanjutkan perjalanan, agar tak malas melanjutkan perjalanan. Satu setengah kilometer lagi menuju pos 2. Memang sih hanya satu setengah kilometer, tapi di jalur ini selain sangat gelap, tanjakan 20-40 derajat membentang disepanjang jalan, dengan medan yang berbeda-beda. Mulai dari lumpur, tanah, akar pohon, rerumputan, dan sebagainya.


Sempat beristirahat beberapa kali untuk mengisi tenaga. Aku buang juga satu botol air mineral besar agar bebanku sedikit lebih ringan karena medan yang kulalui cukup berat apalagi dengan membawa beban di dalam tas sebanyak itu.


Semakin malam udara semakin dingin, ini sudah membuat jari tangaku mati rasa dan menggigil sepanjang perjalanan. Empat jam kulalui di dalam hutan menuju pos 2. Akhirnya aku sampai pos 2 yaitu tanah yang cukup lapang, sudah ada dua tenda berdiri, mungkin pendaki sebelumnya.


Aku taruh tas, dan mengeluarkan tenda, dengan cepat aku berusaha melawan dingin yang kali ini membuat kakiku yang memakai safety boots menjadi mati rasa. Tenda dome berukuran 2x2 meter kudirikan sendiri dengan jari tangan mati rasa walaupun sudah memakai sarung tangan. Jam menunjukkan pukul 11.38, aku masukkan tas kedalam tenda dan diam karena kedinginan. Seketika kompor yang kubawa aku ambil dari dalam tas, menaruhnya diluar tenda dan akhirnya memasak air menggunakan nasting. Sambil berharap, dengan segelas kopi badanku bisa hangat kembali.


Tak lama berselang air yang aku masak sudah mendidih, kemudian aku seduh kopi dalam gelas plastik yang kubawa dari rumah. Duduk bersila di pojok tenda sambil menikmati segelas kopi. Kopi yang sedikit mambantuku lepas dari dingin malam itu, lalu aku memutuskan untuk tidur, karena jam 2 dini hari aku harus melanjutkan pendakian ke puncak mencari Edelweis untuk “A”.


Baru saja memejamkan mata, angin bertiup kencang dan membawa hawa udara dingin masuk ke dalam tendaku. Angin yang semakin besar mulai datang, aku tahu itu karena pohon yang ada di atas tendaku sudah berisik saking bertengkar setiap rantingnya karena tertiup angin. Tanpa sleeping bag, selimut ataupun penghangat lain malam ini. Aku tidur dengan memakai celana panjang, topi, jaket, syal, dan masker yang aku pakai mendaki tadi.


Aku ingat bahwa aku membawa mantel ponco didalam tasku. Aku ambil lalu memakaikannya di kakiku, agar tak terasa mati rasa. Mata terus berkedip, senter masih menyala di dalam tenda, sembari menggigil kedinginan. Di luar tenda sedang badai. Aku iseng melihat berapa suhu malam ini, yang bisa-bisanya membuat tangan dan kakiku mati rasa serta menggigil tak ada hentinya. Angka 9 derajat celcius, pukul 00.57 dini hari. Kaget dan tak tau harus bagaimana, karena mantel ponco yang kupakai untuk tutup kakiku malah menjadi semakin dingin. Dengan kaleng susu, aku bakar parafin satu persatu didalam tenda, cukup menghangatkan tubuhku, namun tak bisa meredakan mati rasa tangan dan kakiku. Malam itu aku teringat rindu oleh si “A”. Telepon genggam yang tak ada signalnya, aku hanya bisa melihat foto dalam profil picture-nya.


Ingatankku semakin mendorongku untuk tidak lupa tujuan aku mendaki kali ini. Entah setan apa yang merasukiku sampai aku bisa mendadak sampai gunung dan mendaki ini di tengah badai sendirian. Akupun sampai saat ini tak tahu kenapa dan apa sebabnya.


Alarmku berbunyi tepa pukul 02.00 dini hari, dan aku masih sibuk menghangatkan diri ditengah badai. Pendaki di tenda yang lain sudah bergegas naik, kudengar sudara derap langkah dan obrolan mereka melewati tendaku. Aku kemas keperluan yang akan kubawa ke puncak, dengan tas yang lebih kecil aku bergegas menyusul para pendaki yang lain namu tetap tidak terkejar. Dini hari yang masih disertai angin dan kabut yang dingin tidak menyurutkan langkahku menuju ke puncak.


Ini nih baru mulai pendakian sebenarnya, jalan setapak terjal menanjak terus. Setelah beberapa lama mendaki dengan keadaan yang sangat dingin. Akhirnya aku sampai di Jembatan Setan, ini medan yang paling aku benci di jalur ini. Jalan setapak menanjak yang hanya muat untuk dua kaki di tambah dengan bagian kanan serta kiri Jembatan setan ini adalah jurang yang sudah memakan banyak korban. Awalnyaaku memang takut, tapi mau tidak mau harus melewati ini. Jalan yang gelap juga semakin menyulitkanku melewati jalan ini.


Tiga jam perjalanan dari pos 2 sampai ke puncak. Duduk manis, sudah ada beberapa pendaki di puncak yang sama-sama menunggu sunrise. Sebenarnya bukan ini tujuan utamaku mendaki ke gunung ini, tapi tak ada salahnya jika menyempatkan sejenak menikmati sunrise pagi ini. Tak mungkin juga dini hari pagi buta seperti ini aku mencari-cari Edelweis. Bisa salah ambil bunga nantinya.


Pukul 5.30 matahari sudah merangkak naik dari peraduannya semalam, sembilu biru langit yang dipecah oleh sinar orange perlahan menyibakkan kabut dan awan awan di langit. Suhu mulai menghangat dan tak sedingin tadi malam.


Keindahan sunrise dengan samudera di atas awan sudah jangan diragukan lagi keindahannya. Semua orang pasti sudah tahu itu. Lalu pukul 06.30 aku turun untuk mencari Bunga Abadi. Pohon satu ke pohon lain kucari mana bunga yang tumbuh dan mekar dengan menawan. Beberapa batang bunga abadi sudah kupilih, satu persatu aku potong dengan gunting yang sudah aku bawa dari rumah. Dengan cueknya satu persatu kupotong dan kumasukkan ke tas kecil yang memang sudah kusiapkan khusus untuk tempat bunga. Setelah kukira cukup, aku turun kembali ke pos 2 dimana tendaku berdiri, dan hampir terpeleset di Jembatan Setan karena jalan yang licin.


Sampai di tenda aku memasak untuk sarapan dan merapikan barang yang berserakan di dalam tenda, agar aku cepat untuk siap-siap pulang kembali ke Jogja. Biasanya orang yang mengambil Edelweis itu disembunyikan agar tak ketahuan. Namun tidak untukku, bunga itu aku taruh saja ditumpukan paling atas dalam tasku, kalu memang tidak boleh dibawa dan aku harus mengembalikannya, ya kulakukan, kalau memang lolos untuk kubawa pulang, berarti memang jodohku. Ya hanya itu saja yang ada dipikiranku.


Setelah selesai semuanya, aku bersiap turun ke basecamp. Tapi sialnya saat aku mulai berjalan turun, jarum jarum hujan mulai menghujam ke tanah. Kupakai mantel ponco yang semalam kupakai untuk menghalau dingin.


Dari pos 2 menuju pos 1 harus kerja ekstra keras, hujan yang cukup deran membuat jalan sangat licin beserta dipenuhi lumpur. Beberapakali harus jatuh bangun terpeleset dan terbentur pohon atau jalan setapak. Cedera di kaki satu persatu semakin memberatkan jalan untuk turun. Lutut kanan dan kiri terkilir, sendi di mata kaki kiri bengkak karena menahan setiap turunan. Hujan bertambah deras, aku semakin harus bekerja keras untuk turun, kabut mulai mengikuti turun dan membuat jarak pandang dan suhu udara menjadi semakin tidak mendukung.. Jatuh lagi berkali-kali lagi dan lagi kupaksakan untuk turun sesegera mungkin.


Tiga jam perjalanan turun, aku sudah sampai basecamp pendakian. Kutemui banyak rombongan pendaki yang menunggu hujan reda, karena hujan turun sangat deras kali ini. Kulepaskan mantel ponco kemudian duduk di depan basecamp. Tas sudah kuletakkan di dalam agar di cek oleh petugas. Duduk menunggu sambil jantung berdebar memikirkan bunga Edelweis yang kutaruh dalam tas itu diambil atau tidak. Mencoba menenangkan diri sendiri dengan berpikir pasrah, jika harus aku kembalikan ya aku akan naik dan mengembalikannya. Itu sudah konsekuensinya. Sambil membalut kaki kiriku yang sendinya bergeser. Ngilu, perih, bengkak, rasanya campur aduk. Biarlah, yang penting keinginanku memeti bunga abadi untuk “A” sudah tercapai, walaupun mungkin aku tidak bisa membawanya pulang setidaknya aku sudah berusaha. Segala keinginan harus ada pengorbanan, bukan? Iya.


Sembari menunggu hujan reda, kubersihkan badanku yang penuh lumpur dengan tissue. Baju, celana, sepatu sudah tak jelas warna dan bentuknya. Hujan mulai reda, aku memutuskan kembali ke dusun Wekas dan bergegas pulang ke rumah. Tak ada tanda-tanda petugas menyuruhku kembali naik untuk mengembalikan Edelweis. Padahal bunga itu jelas tak kusembunyikan, malahan ada di tumpukan paling atas di dalam tasku.


Kabar baik ini kusambut dengan senyu dan kelegaan yang amat sangat.” Berarti ini memang untukku, sudah jodoh” dalam hatiku menyeletuk. Dengan jalan terseok-seok aku kembali ke desa Wekas dan pulang mengendarai motorku sampai ke Jogja.


Bunga abadi ini sudah ditangan, namun “A” tampaknya sibuk atau mungkin tak mau menemuiku. Setidaknya aku sudah tau kabar darinya. Itu sudah lebih membahagiakan untukku. Kusimpan Edelweis ini didalam almariku sampai nanti saatnya ia bertemu dengan “A” dan menyampaikan pesan-pesan yang tak bisa kusampaikan. “Katakanlah dengan bunga” itu pepatah lama yang mungkin sekarang cocok untukku. Bagaimanapun aku hanya ingin menyampaikannya, memberikan bunga abadi ini kepada “A”.


Saat ini badan baru terasa sakitnya, sendi kaki kiriku semakin menjadi, kedua lututku menyusul terasa panas dan pegal. Kususun janji dengan dokter kenalan Ayahku untuk terapi infrared agar lekas membaik semua cederaku. Ayahku memang mengerti apa yang aku lakukan, bahkan beliau tahu aku mendaki sejak kemarin di tengah badai itu untuk mencari Edelweis untuk “A”. Walaupun ayah belum mengenal atau pun belum pernah bertemu “A”.


Terimakasih kepada Tuhan YME yang selalu melindungiku dalam perjalanan, terimakasih kepada Ayah yang memberikan izin dan pengertiannya untukku, terimakasih “A” yang secara tidak langsung membuatku semangat dan pantang menyerah, terimakasih kepada alam sudah memberikan beberapa Edelweis yang kupetik dan kubawa pulang, terimakasih kepada ragaku yang sudah berkorban kedinginan, jatuh terpontang-panting, cedera, dan sebagainya demi menuruti keinginan hatiku, terimakasih untuk semua yang kutemui di sepanjang jalan dari rumah menuju puncak Merbabu.

“Segala keinginan, memang harus ada pengorbanan.”
-T.D-

anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
1.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.