Bel sekolah pun berbunyi dimana para siswa harus segera masuk kedalam kelas setelah 15 menit beristirahat. Aku pun telah siap didepan kelas untuk berjaga-jaga menunggu kedatangan guru kekelasku. Ketika itu ada seorang wanita berjalan kearah kelasku untuk kembali kekelasnya. Wanita itu bertubuh sedikit gendut, berkulit putih dan memiliki senyum manis diwajahnya karna memiliki ginsul. “Wanita berginsul manis” itulah gelarku padanya
Ini adalah hari dimana aku mencoba peruntunganku untuk mendekatinya. Ini mungkin hal yang sudah biasa ku lakukan hanya untuk menggoda seorang wanita dimana pria diprioritaskan untuk memulai segala hal dalam masalah pendekatan. Mulai pada hari ini kisah percintaanku di masa putih abu-abu dimulai.
Saat dimana dia mulai berjalan melewati pintu kelasku tanpa ancang-ancang dan tanpa memasang kuda-kuda yang baik pada kakiku, dengan menambah unsur kePD an yang aku punya, aku memberanikan diri dan langsung menyapanya,
“Hai, boleh minta no handphone nya gak?” Tanya ku padanya.
Itu merupakan kalimat pertama untuk memulai basi-basi mendapatkan simpatinya.
Dengan memasang muka manis dan sedikit terkejut dia menjawab,
“siapa yang minta no hp ku?”.
“Aku kok yang minta bukan orang lain.” Jawabku dengan polos.
Dengan tersenyum dia membalas,
“Awas ya jangan diberikan ke orang loh no hpku” jawabnya sambil mengeluarkan hp dari saku celana abu-abunya.
Percakapan awal yang sangat singkat itu pun berbuah no hpnya yang tersave dikontak hpku. Mungkin suatu saat namanya yang akan tersave dihatiku terlintas dipikiranku saat itu.
Setelah beberapa hari aku tidak mempedulikan no hp itu sekali-kali ku cek no hpnya apa masih ada di kontak hpku. Terpikir dibenakku untuk mencoba menelponnya, ya mungkin untuk sedikit pendekatan kepadanya. Saat itu pun kucoba memberanikan diri untuk menelponnya walaupun dalam posisi hati yang tidak siap untuk memulai pendekatan.
“Halo ini aku yang kemaren minta no hp kamu depan kelasku, inget gak?” memulai pembicaraan.
Dengan nada yang terdengar lembut, dia merespon baik telpon dariku. Basi-basi pun terjadi di tiap detik pembicaraan kami.
Hingga pada suatu ketika,
“Kamu mau gak jadi wanita yang mengisi hari-hari aku”?
Kalimat yang aku keluarkan disaat sudah kehabis bahan pembicaraan.
“Gimana ya? Kamu serius dengan ucapanmu?” mengembalikan pertanyaanku.
“Ya aku serius kok, terserah sih ditolak pun aku siap kok” seru ku padanya.
“Ya aku pikir-pikir dulu ya, aku butuh waktu satu minggu untuk menjawab ini” jawabnya padaku.
Awalnya aku menolak untuk memberikan waktu yang menurutku terlalu lama untuk menerima jawaban itu. Filosopi mendunia yang pernah aku dengar, “menunggu itu membosankan”. Siapa juga yang gak bosan kalo cuma nunggu pilihan antara kata “IYA” atau “TIDAK” dalam jangka waktu satu minggu. Terjadi sedikit perdebatan ditelpon tentang jangka waktu yang dia minta. Awalnya aku terus bersikeras menolak permintaanya hingga sampai dimana aku menyerah dan menyetujui permintaannya yang menurutku aneh.
Waktu pun berjalan sampai akhirnya dia harus menjawab pertanyaan itu. Ini mungkin adalah hari yang tidak biasa aku jalani, karena memang aku tidak pernah menunggu jawaban dari wanita manapun jangka waktu selama itu. Beberapa kali saat pertemuan di sekolah, dia tidak pernah mendekatiku ataupun mencoba mengambil perhatianku untuk mendekatinya. Tidak ada tanda-tanda yang pasti dia akan menjawab pernyataanku satu minggu yang lalu padanya. Sayangnya aku pun tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya disekolah. Mungkin dalam benakku, dia menceritakan kepada teman-teman nya disekolah yang lebih menunjukku sebagai seorang pengecut karena mengungkapkan cinta melewati jalur telepon. Ya, di era modern ini masih ada pria pengecut seperti aku yang hanya berani mengungkapkan perasaan lewat telpon genggam. Beberapa hari pun terlewatkan dengan tanpa adanya kejelasan jawaban darinya tentang hubungan kami. Pada akhirnya aku memutuskan untuk melupakan bahwa aku pernah mengungkapkan perasaan kepadanya. Aku pun memilih untuk menghindar disetiap pertemuan kami.