doniariyantoAvatar border
TS
doniariyanto
Suku DAYAK dari jaman ke jaman part 1 ++++
Kalimantan sebagai salah satu pulau besar di Indonesia menyimpan berbagai kekayaan baik itu berupa kekayaan alam, juga kekayaan dari unsur manusia penghuni wilayah Kalimantan. Esai ini mencoba untuk dapat melukiskan manusia Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah dengan sejumlah kebiasaan hidupnya, dan sekelumit situasinya masa kini secara ringkas.


Hutan dan sungai adalah nadi kehidupan suku Dayak dimasa lalu. Jika kita membicarakan tentang Kalimantan pastilah tidak akan terlepas dari penduduk asli Pulau Kalimantan yakni Suku Dayak.






Ada berbagai pendapat berberedar mengenai asal usul Suku Dayak. Tjilik Riwut dalam Bukunya Maneser Panatau Tatu Hiang, menyatakan bahwa orang Dayak percaya bahwa mereka berasal dari langit ke tujuh dan diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau ( tempat sesajian yang terbuat dari emas) oleh Ranying Hatalla (Allah)[1]. Secara ilmiah dikatakan sekitar 200 tahun SM terjadilah perpindahan Bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia, yang kemudian datang secara bergelombang dari Yunan. Pada awalnya mereka mendiami daerah pantai, namun karena kedatangan bangsa Melayu Muda, maka bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, terdesak dan masuk ke pedalaman. Hal ini bisa saja terjadi akibat kalah perang atau karena kebudayaan Melayu Tua lebih rendah bila dibandingkan dengan kebudayaan Melayu Muda.

Seorang Antropolog bernama Kohlbrugge membagi suku Dayak menjadi 2 bagian yakni, suku Dayak yang berkepala panjang atau dolichocehaall yang mendiami sepanjang Sungai Kapuas dan bermuara di sebelah barat kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kedua adalah Suku Dayak yang berkepala bulat atau brachyoephal, antara lain Suku Dayak Kayan.[2] Suku Dayak di Kalimantan terdiri atas 7 suku. Ketujuh suku ini terdiri dari 18 anak suku sedatuk yang terdiri dari 405 suku kekeluargaan.[3]

Di masa lalu sering sekali terjadi perang antar sesama Suku Dayak sendiri. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa Suku Dayak sampai tersebar di seluruh Kalimantan, karena mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan suku lain. Hal ini mengakibatkan walau sama-sama orang Dayak namun kebudayaan antar suku menjadi berbeda.

Karena maraknya peperangan antar suku pada masa lalu, maka suku Dayak membangun rumah betang atau lamin, rumah yang dibangun dengan ukuran besar dengan panjang mencapai 30-150 meter, dan lebarnya antara 10-30 meter, bertiang tinggi antara 3-4 meter dari tanah. Lantai terbuat dari kayu, berdinding kayu dan atap rumah terbuat dari bahan sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun rumah adalah kayu ulin. Selain anti rayap kayu ulin juga berdaya tahan sangat tinggi, bahkan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Rumah betang dihuni bersama-sama beberapa keluarga inti dalam satu rumah dapat ditinggali hingga lebih dari 200 orang. Hal tersebut dilakukan demi alasan keamanan. Karena pada masa lalu orang Dayak mengenal mengayau atau memotong kepala musuh. Dalam tradisi mengayau wanita dan anak-anak dilarang keras untuk dikayau atau dipotong kepalanya, namun bagi wanita yang ikut berjuang dalam peperangan hanya diperkenankan untuk dijadikan jipen atau budak.Kebiasaan mengayau, Kayau, habunu atau mambalah adalah kebiasaan memenggal kepala yang dilakukan oleh Suku Dayak dalam peperangan. Mereka yang mampu memotong kepala lawannya dalam sebuah peperangan berarti adalah seorang ksatria. Semakin banyak mereka berhasil memenggal kepala lawannya orang tersebut akan semakin dihargai dan disegani baik dari pihak sendiri ataupun dari pihak musuh.

Untuk membangun rumah betang mereka selalu memilih lokasi dipinggir sungai. Rumah betang dapat pula dikatakan sebagai rumah suku karena didalamnya dihuni oleh satu keluarga besar yang dipimpin oleh seorang Bakas Lewu atau Kepala suku. Setiap keluarga inti memiliki kamar sendiri berbentuk ruangan petak-petak, serta dapur sendiri-sendiri. Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat Balai atau pasanggrahan yang digunakan sebagai tempat menerima tamu atau sebagai ruang pertemuan. Meskipun ukuran rumah betang sangat besar namun pintu dan tangga hanya tersedia satu buah saja yang terletak dibagian depan rumah. Tangga tersebut dinamakan hejan atau hejot. Di bagian sebelah belakang rumah betang biasanya terdapat sebuah balai berukuran kecil yang digunakan untuk menyimpan alat perladangan. Sedangkan di halaman depan rumah biasanya terdapat sapundu yaitu patung berukuran tinggi yang fungsinya untuk tiang pengikat binatang-binatang yang dikorbankan pada saat upacara adat. Sedangkan di halaman depan atau kadang kala di halaman belakang rumah betang biasanya terdapat sandung, yaitu tempat untuk menyimpan kerangka keluarga mereka yang telah meninggal dan telah mengalami ritual tiwah. Hingga saat ini tradisi tinggal bersama-sama dalam rumah betang masih dibertahan walau sudah sangat jarang sekali.

Masa Kolonial

Masa penjajahan Belanda juga banyak membawa perubahan di Kalimantan, antara lain pergeseran pada sistem masyarakat, religi dan sistem pengobatan mereka. Sebelum masa kolonial Belanda, Suku Dayak sudah mempunyai perkampungan sendiri yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Kepala suku tersebut bertindak sebagai hakim di daerahnya. Namun setelah masuknya kolonial Belanda, kedudukan kepala suku diubah menjadi pembakal atau juru tulis. Sedangkan untuk tingkat yang lebih tinggi disebut Damang atau Tumenggung.

Perkembangan selanjutnya, kekuasaan kepala suku semakin hari semakin dipersempit. Hingga pada akhirnya kepala suku hanya menjalankan perintah demi kepentingan pemerintahan kolonial Belanda, seperti sebagai pemungut pajak atau tukang dayung untuk mengantarkan pegawai kolonial dalam melakukan perjalanan ke pedalaman.

Di masa kolonial, baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang perkembangan Kaharingan sebagai agama atau kepercayaan asli Suku Dayak banyak mengalami hambatan dan tekanan. Para penjajah tanpa mempedulikan perasaan orang Dayak mengatakan bahwa agama Kaharingan adalah kafir, menyembah berhala. Padahal segala ritual kaharingan yang dijalani Suku Dayak merupakan ekspresi sesuai dengan keadaan alam sekitar mereka yang dikelilingi dengan hutan lebat serta sungai yang sangat panjang dan luas. Meskipun demikian, pihak penjajah masih tetap memberikan izin pada masyarakat setempat untuk melakukan berbagai ritual upacara adat yang wajib mereka laksanakan.

Orang Dayak mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga

keharmonisannya, yaitu :

Hubungan manusia dengan Ranying Hatalla[4]. Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit.

2. Hubungan manusia dengan manusia lainnya baik secara kelompok, maupun individu. Hatamuei Lingu Nalata. Artinya saling kenal mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong. Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit. Artinya berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan.

3. Hubungan manusia dengan alam semesta.

Ciptaan Ranying Hatalla yang paling mulia dan sempurna adalah manusia. Oleh karena itu manusia wajib menjadi suri tauladan bagi segala mahluk lainnya. Keajaiban- keajaiban yang terkadang terjadi adalah sarana untuk mengetahui dan lebih menyadari kebesaran Ranying Hatalla. Dengan demikian, segala mahluk semakin menyadari bahwa hanya Ranying Hatalla yang patut disembah. Alam merupakan suatu tatanan harmoni, dan terjadinya keharmonisan merupakan tanggung jawab manusia.

Masyarakat Suku Dayak percaya bahwa Kaharingan sudah ada sejak awal manusia pertama. Hal tersebut sangat diyakini oleh orang Dayak selama berabad-abad lamanya. Dalam siklus kehidupan, seperti pada saat kelahiran bayi, pemberian nama, pernikahan, bahkan hingga kematianpun mereka selalu melakukan apa yang digariskan oleh Ranying Hatalla yaitu ritual adat. Berbagai ritual adat sudah dilakukan oleh masyarakat Dayak sejak berabad-abad lampau terbukti dengan banyak ditemukannya Sandung (tempat menyimpan tulang pada upacara Tiwah). Sandung sendiri terbuat dari kayu ulin yang tahan panas dan tahan air.

Dalam kebudayaan Suku Dayak juga ada kebiasaan untuk memberikan persembahan kepala musuh hasil mengayau pada upacara Tiwah bagi orang tua si pengayau. Mereka memiliki keyakinan bahwa kelak, arwah musuh yang kepalanya dipotong tersebut akan menjadi pelayan bagi orang tua mereka kelak di Lewu Liaw (akherat) Namun di sini satu hal yang perlu diingat dan diketahui, bahwa kebiasaan tersebut bukan aturan yang digariskan oleh Ranying Hatalla.

Masuknya Ajaran Kristen di Kalimantan

Menurut Fridolin Ukur, ajaran injil diberitakan untuk pertama kalinya di Kalimantan oleh para misionaris dari Rheinische Missionsgesselschaft. Ketika para misionaris Rheinische Missionsgesselschaft dan Hallesche Mission tiba di Kalimantan sekitar tahun 1835. Injil sebenarnya sudah di bawa masuk di Kalimantan oleh seorang perwira berkebangsaan Inggris yang bernama Daniel Beekmann yang pernah menulis jurnal di tahun 1718, mengisahkan tentang ekspedisinya pada abad ke-17.[5] Jurnal tersebut mengisahkan seorang paderi dari Portugis yang berhasil masuk ke pedalaman Kalimantan, namun sebelum berhasil misinya, paderi tersebut tewas dibunuh warga setempat.

Tjilik Riwut dalam bukunya Maneser Panatau Tatu Hiang menyatakan bahwa masyarakat Dayak sangat kokoh mempertahankan ajaran kaharingan, yang merupakan ajaran yang yang telah turun temurun diwariskan oleh para leluhur mereka.[6] Di pihak lain para misionaris tidak pernah lelah dan pantang menyerah untuk mendekati warga setempat dan mulai mengenalkan ajaran injil. Berkat kegigihan para misionaris, akhirnya sedikit demi sedikit usaha mereka untuk menyebarkan injil di Pulau kalimantan akhirnya menampakkan hasil. Walau perlahan namun pada akhirnya masyarakat Dayak mulai mau menerima ajaran Kristus. Setelah masyarakat Dayak mulai mau mempelajari dan mengenal injil maka Gereja Kristen di kalimantan mengeluarkan Aturan Ungkup. Isinya antara lain menetapkan bagi warga Suku Dayak yang mau dibabtis untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam mempelajari Kristen dan wajib untuk mengikuti kebaktian setiap hari minggu, dan tidak lagi hadir pada saat ritual-ritual adat. Jika mereka melanggar aturan tersebut mereka tidak akan menerima pembabtisan. Ketaatan mereka akan aturan yang dikeluarkan pihak gereja Kristen mau tidak mau harus ditaati oleh mereka yang terpanggil untuk dibabtis. Hal tersebut mengakibatkan mereka terlepas dari kebudayaan mereka. Maka tidak mengherankan jika banyak generasi muda suku Dayak saat ini yang tidak begitu mengenal kebudayaan leluhur mereka sendiri.

Masuknya Sistem Pengobatan Modern di Kalimantan

Bagi Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, penyakit beserta pengobatannya, sangat erat kaitannya dengan alam religius mereka tentang ajaran Kaharingan. Masyarakat Dayak cenderung melihat penyebab dari suatu penyakit dengan cara metafisik. Suku Dayak mempercayai Balian sebagai penyembuh mereka. Masyarakat Dayak biasa menggunakan ritual tertentu yang dipimpin oleh seorang Balian dalam pengobatan suatu penyakit.

Bagi masyarakat Dayak keberadaan Balian sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan mahluk lain yang keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata.( Riwut, 2003:259) Balian menduduki tempat yang penting dalam kebudayaan Dayak. Masyarakat Dayak percaya bahwa Balian memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh setiap orang, oleh karenanya Balian mampu mengobati penyakit terutama penyakit-penyakit yang mereka percaya disebabkan oleh mahluk halus.






Sumber : [URL="[img]http://s.kaskus.id/images/2014/03/26/1501140_20140326092130.jpg[/img]"]Sumur[/URL]

0
4.8K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.