wawingAvatar border
TS
wawing 
Formula Sukses untuk Bisnis TV ala Indonesia
Spoiler for not a repost, ever:


Bagi yang mengalami hal berikut dipastikan bisa merasakannya… emoticon-Wink
Spoiler for kartun mice, edisi 8 Desember:


TV (swasta) di Endonesyaa.. bagi sebagian ini adalah acuan hiburan, karena cukup pake anten udah langsung bisa menikmati berbagai tayangan yang ada. “Ngapain langganan TV berbayar, udah bayar tayangannya diulang-ulang terus.. mendingan yang gratisan!!” jawaban sebagian besar penikmat TV via anten. Wajar pemikiran seperti itu, karena memang sebagian besar dari kita merasa bahwa yang ada sekarang adalah ter-keren atau ter-enak.

saya coba gambarkan seperti ini, Anda yang hanya menikmati coklat ayam jago tidak akan bisa membedakan dengan coklat ferrero rocher, ya karena Anda belum pernah merasakan yang jauh lebih bagus kemasannya dan enak rasanya.. jika sudah pasti Anda mampu membedakan kenapa coklat yang satu murah harganya sedangkan yang satu lagi bikin nangis liat isi dompet..

Spoiler for perbandingan:


Kurang lebih seperti itulah pentingnya kemasan dalam dunia entertainment dan tentunya juga dalam hal lain-lain termasuk dalam mengemas diri. Orang yang tidak pernah merawat diri atau tidak menggunakan busana yang baik tepat dan terawat pasti akan memberikan kesan yang berbeda dengan mereka yang sebaliknya. Jujur saja, kita dipastikan langsung maupun tidak akan menilai sesuatu berdasarkan kemasannya (saat kali pertama melihat / mendengar / dsb).

Fokus kali ini dalam hal dunia per-televisi-an, saya ambil dari blog salah satu mentor saya, Andy Rustam Munaf (yes he is the elder brother ofFariz RM) dan berikut tulisan beliau…

+++++++


11 Desember 2013
Formula Sukses untuk Bisnis TV ala Indonesia
oleh Andy Rustam

Saya tertarik dengan kartun Mice di Kompas, Minggu 8 Desember (lihat pada akhir tulisan ini) yang intinya mengajak masyarakat untuk mematikan pesawat televisi-nya di rumah masing-masing karena tayangan-tayangan televisi sekarang yang tidak bermutu. Dalam kartun tersebut yang dijadikan contoh sebagai tidak bermutu, digambarkan antara lain: (1) Slapstick, tidak menghibur dan tidak bermanfaat; (2) Host / Pembawa Acara yang kroyokan, mengumbar becandaan dan celaan; (3) Tari Joged yang konyol begitu-begitu aja tanpa inovasi; (4) Sinetron Penjual Mimpi, amat melemahkan mental; (5) Infotainment dengan info tak bermutu, dan kata-kata kasar; (6) Politisi yang sok suci saling membuka aib lawan politiknya.

Tapi di lain sisi, tidak bisa dipungkiri, acara dengan isi seperti begitu justru yang dinilai sukses dan berhasil meraih banyak pemirsa. Artinya uang pemasukan dari iklan tentu mengalir deras ke kocek stasiun televisi. Jadi, walau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari golongan terdidik pada protes, siaran model seperti ini akan terus berlangsung.

Matinya IDEALISME

Ketika stasiun televisi (juga radio) mengajukan permohonan izin siaran ke pemerintah agar dapat menggunakan ranah publik yang bernama “frekuensi” untuk berbisnis, semua perusahaan tersebut mencantumkan idealisme mereka, misalnya: Untuk mencerdaskan bangsa atau Untuk memberikan hiburan sehat dsb. Sebab tanpa mencantumkan itu, sudah pasti izin siaran tak akan diberikan. Namun setelah stasiun-stasiun televisi ini beroperasi, maka idealisme itu hanya jadi slogan dan realitanya idealisme uang-lah yang berbicara. Para pengusaha / konglomerat tersebut, sejak awal menggunakan uang Bank yang biaya-nya sangat mahal (bukan dengan modal sendiri). Maka mereka akan berusaha dengan cepat meningkatkan nilai saham mereka agar dapat meraup dana dari pasar modal secepatnya, demi mengembalikan pinjaman dan meningkatkan kekayaan mereka (asset) dengan cepat.

Cara termudah dan tercepat adalah, ciptakan pemirsa yang banyak (dengan rating sebagai indikator), dengan cara menayangkan / menyiarkan acara yang isinya mudah meraih popularitas, yaitu dengan mengeksploitasi “selera rendah dan penyebarluasan pembodohan“.

Lalu kemana “idealisme” yang dicantumkan dalam permohonan ijin siaran dulu?

Jawabannya: “Ini bisnis, boss. Kami berikan apa yang masyarakat sukai. Jadi jangan salahkan kami. Memang masyarakatnya baru sampai segitu“. Pola pikir mereka tidak bedanya dengan bandar narkoba. Karena peminatnya banyak, walau narkoba itu merusak, ya kita berikan terus apa yang disukai oleh peminat, agar keuntunganpun semakin berlipat. Namanya juga bisnis.

Kalau memberikan dan menjual narkoba jelas melanggar hukum, tapi kalau memberikan dan menjual acara yang berselera rendah serta membodohi masyarakat, tidak melanggar hukum, bukan? Padahal sama-sama disukai masing-masing peminatnya dan sama-sama merusak masa depan bangsa.

Tidak Pandai dan Ingin Gampang

Mereka selalu mengatakan bahwa kalau membuat acara yang berkelas selalu tidak laku. Ibarat pertunjukan musik R&B Alicia Keys yang jumlah penontonnya lebih sedikit dibanding pertunjukan musik dangdut Dewi Persik.

Di sinilah kesalahan cara pandangnya. Point-nya bukan soal banyak-sedikitnya penonton, melainkan penyelenggara pertunjukkan musik Alicia Keys ternyata tetap meraih untung walau dengan penonton yang lebih sedikit. Harga tiket bisa tetap dijual mahal (reasonable) dan sponsor untuk show Alicia Keys-pun ada dan bahkan cukup banyak.

Padahal melaksanakan pekerjaan penyelenggaraan show buat Alicia Keys jauh lebih rumit dengan biaya yang jauh lebih besar (karena tuntutan standard kualitas internasional yang tinggi), dibandingkan dengan menyelenggarakan show buat Dewi Persik. Show Alicia Keys, walau jumlah penontonnya lebih sedikit, namun sajian show-nya sangat menarik sebagai suatu pertunjukkan, tidak membosankan dan berkelas.

Nah begitu pula seharusnya bisa dilakukan oleh televisi agar selalu membuat dan menayangkan acara (musik; talkshow; drama dsb.) yang berkelas tinggi / bermutu dan tetap menarik sebagai suatu pertunjukan, dimana hasilnya bisa saja barangkali nanti jumlah pemirsanya (rating) tidak setinggi acara-acara berselera rendah, namun acara tersebut tetap dapat dijual dengan harga tinggi (reasonable) dan mampu mendatangkan sponsor serta pemasang iklan yang banyak.

Tinggal pertanyaannya sekarang, (1) Tahu ngga’ bagaimana caranya membuat acara yang berkelas / bermutu tapi tetap mampu menarik penonton? Kalau sudah tahu, bisa dan mau ngga’ melakukannya? (2) Kalau rating acara yang bermutu tersebut tidak terlalu tinggi, tahu ngga’ cara menawarkan dan menjualnya agar sponsor mau membeli dengan harga yang tetap tinggi (reasonable)? Bisakah menjual acara yang berkualitas tapi rating-nya tidak terlalu tinggi kepada pemasang iklan?

Wuiiiih… ngga bisa yaa? Ya sudah, cara yang gampang aja deh… cara seperti biasanya, satu-satunya cara yang sudah terbukti manjur.. . Formula suksesnya: Eksploitasi Sensasi & Selera Rendah, terus nanti pasti pemirsanya banyak (rating tinggi) maka pemasang iklannya mau pasang dengan harga tinggi, karena cost per rating point-nya rendah. Gitu aja deeh… ngapain susah-susah ah!

SUMBER: broadcastsukses.com

emoticon-Rate 5 Star
Diubah oleh wawing 12-12-2013 03:41
0
1.2K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.