Action camera dirancang untuk satu tujuan: mengabadikan momen dari sudut, posisi, ataupun kondisi yang hampir tidak mungkin dan tidak bisa dilakukan dengan kamera biasa.
Kamera aksi juga biasa disebut point-of-view (POV) camera. Sebab, berbeda dengan kamera konvensional yang dioperasikan menggunakan tangan, sebagian besar action camera dikenakan di tubuh atau perangkat tertentu. Misalnya di kepala, dada dan lengan. Atau di handlebar sepeda gunung dan motor cross, di ujung papan surfing, di helm, di kap mobil, dan tempat-tempat lainnya. Dari situlah istilah POV (sudut pandang orang pertama) muncul.
Istilah POV menjadi penting karena seolah-olah visual berupa video atau foto yang dihasilkan itu memperlihatkan apa yang dialami langsung oleh pelakunya. Karena itu, perkembangan tren action camera ini pada awalnya adalah para atlet, fotografer, videografer, hingga mereka yang menggemari olah raga ekstrem.
Berlahan, tren action camera ini meluas. Ekosistemnya terbentuk, industrinya mulai gemuk. Vendor seperti Contour, Sony, JVC, GoPro, hingga Drift bermunculan dengan berbagai model action camera mereka untuk menangkap keinginan pasar yang dinilai sangat menjanjikan.
Indikator sederhananya adalah ini: banyaknya video yang diambil menggunakan action camera di situs seperti YouTube ataupun Vimeo. Video yang memperlihatkan adegan menerjang ombak, terjun dari atas pesawat, hingga menembus hutan dengan sepeda tidak hanya indah dan seru, tapi juga memicu ketertarikan orang untuk melakukan hal yang sama.
”Kamera action memang menarik minat para pecinta adrenalin atau pelaku olah raga ekstrem seperti saya,” ujar Dito Sugiarto, 26, seorang skater. ”Dengan kamera ini pelaku olah raga ekstrem dapat mengabadikan video, dan membagi sensasi olah raga yang mereka rasakan ke orang lain,” tambahnya.
Dito memilih menggunakan GoPro Hero3: Silver Edition, yang dinilainya kecil dan ringan, tapi memiliki kualitas hasil rekam yang sangat bagus. ”Fungsinya juga beragam, mulai merekam video High Definition, memotret biasa, memotret dengan selftimer, hingga membuat timelapse ataupun memotret secara cepat (burst),” tuturnya.
Nyatanya, walau ukurannya sangat kompak, namun fitur-fitur yang dimiliki kamera ini bisa dibilang sangat advance. Bahkan sudah memenuhi standar industri televisi ataupun video klip.
GoPro Hero3 Black Edition, misalnya, telah dilengkapi dengan fitur rekam 4K. Resolusi 4K (3840 pixels × 2160 pixels) atau ultra high definition saat ini hanya eksis di digital sinema (film bioskop). Bayangkan sebuah kamera yang tak lebih besar dari ponsel namun memilki kemampuan untuk merekam video yang sesuai standar layar perak!
Model flagship GoPro itu memiliki sudut pengambilan gambar sangat lebar (hingga 170 derajat), juga bisa diajak nyebur ke laut hingga kedalaman 60 meter menggunakan standar waterproof housing bawaannya.
Soal harga, rata-rata action camera ini sebenarnya dibanderol cukup terjangkau. GoPro Hero3 Black Edition yang sudah memenuhi standar profesional itu saja dibanderol tak sampai Rp5 jutaan. Sisanya mematok harga setara dengan kamera poket digital yang ada saat ini.
Tentu saja keberadaan action camera juga tak luput dari kekurangan. Misalnya ketiadaan layar LCD, atau kalaupun ada ukurannya sangat kecil. Melihat hasil rekam video atau gambar umumnya dilakukan lewat tambahan aksesoris ataupun langsung melalui komputer. Juga, perlunya tambahan aksesoris seperti mounting yang jumlahnya sangat beragam agar kamera ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal.
Nah, berikut ini adalah beberapa model action camera yang tersedia di pasar Indonesia. Meski fungsinya kurang lebih sama, namun masing-masing memiliki desain, fitur, dan aksesoris serta rentang harga yang berbeda. Mana yang jadi pilihan Anda?