kemalmahendraAvatar border
TS
kemalmahendra
Kapolri Sutarman Naik Kijang
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman menilai bahwa dirinya tidak pantas untuk menggunakan mobil dinas yang mewah, karena anggaran belanja kepolisian yang terbatas. Ia memilih untuk menggunakan Toyota Kijang agar dana alokasi anggaran dinas sisanya bisa dipakai untuk membiayai operasional polisi lain di lapangan.

Kita angkat khusus sikap Kapolri dalam kolom kali ini, karena sudah langka sikap seperti ini diperlihatkan oleh para pejabatnya. Bukan mustahil sikap Sutarman ditertawakan oleh polisi dan pejabat negara yang lain, karena dianggap munafik dan sekadar mencari muka.

Sikap hidup yang berbeda pasti akan menjadi bahan ejekan, apalagi dalam kehidupan yang hedonistis seperti sekarang ini. Para pejabat justru menjadikan kekuasaan sebagai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri.

Lihat saja apa yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai sebuah contoh. Jabatan tinggi sebagai penjaga konstitusi justru dijadikan alat untuk membuat hidupnya bergelimangan harta. Setelah tertangkap tangan menerima suap, kita lihat puluhan mobil yang kebanyakan mewah menjadi harta kekayaannya.

Tidak salah apabila orang menyebut hidup sekarang ini sebagai zaman edan. Bahkan pepatah Jawa mengatakan: saiki zamane zaman edan, yen ora edan ora keduman, sekarang ini adalah zaman edan, kalau tidak edan, kita tidak akan dapat bagian. Hanya saja kemudian pepatah Jawa juga mengingatkan: sak bejo bejane wong kang lali, luwih bejo wong kang eling lan waspodo, sebesar apa pun untungnya orang yang lupa diri, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada.

Zaman edan ini memang harus dilawan dan tidak boleh membuat kita semakin larut dalam keedanan. Kita membutuhkan hadirnya memimpin yang punya hati dan berani untuk keluar dari zona kenyamanannya.

Jenderal Sutarman sangat tersentuh ketika menghadiri peluncuran buku tentang Kapolri Hoegeng yang ditulis Wartawan Kompas, Suhartono. Sutarman sampai meneteskan air mata ketika mengikuti cerita kehidupan Jenderal Hoegeng yang penuh kebersahajaan.

Kita mengira air mata Sutarman hanyalah sebuah kepura-puraan. Kesedihan Jenderal Hoegeng akan gaya hidup polisi yang berorientasi kepada kekayaan, sudah lama ia sampaikan. Ketika ia mengetahui ada seorang polisi bisa memiliki rumah mewah di kawasan elite, Jenderal Hoegeng selalu bertanya bagaimana bisa seperti itu?

Namun pertanyaan Jenderal Hoegeng itu seperti angin lalu saja. Kapolri baru kemudian datang silih berganti. Yang terjadi adalah gaya hidup jenderal-jenderal polisi yang semakin menjadi-jadi. Mereka berlomba pamer rumah mewah, mobil mewah, jam tangan mewah, serta semua yang mewah-mewah.

Tidak pernah mereka bayangkan kehidupan polisi yang berada di bawah. Bagaimana seorang brigadir prajurit dua polisi harus bekerja lembur sebagai pengawal angkutan barang, hanya demi mendapatkan uang untuk menambah kehidupan keluarganya.

Kita sungguh berharap Jenderal Sutarman menjadi Kapolri yang berbeda. Ia memilih jalan untuk meninggalkan sejarah sebagai Kapolri yang mengembalikan polisi kepada jati dirinya sebagai rastra sewakotama, bukan menjadi Kapolri yang dikenang karena besarnya harta kekayaan yang dimilikinya.

Kita percaya masih banyak Hoegeng-Hoegeng lain di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Polisi yang tahu bahwa tugasnya adalah menjadi abdi negara untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib serta aman.

Polisi yang menjalankan tugasnya sebagai abdi negara akan dikenang selamanya oleh rakyat. Seperti Jenderal Hoegeng selalu diingatkan akan kejujuran dan integritas pribadinya yang tinggi. Ia tidak pernah silau oleh yang namanya harta dan jabatan. Apa yang benar akan ia katakan benar, tetapi apa yang salah akan ia katakan tetap salah.

Orang tidak pernah meremehkan kebersahajaan dari Jenderal Hoegeng. Orang bahkaan selalu menghormati dan menempatkan posisi yang tinggi kepada kapolri yang satu ini. Bahkan seluruh keluarga Jenderal Hoegeng merasa bangga dengan sikap hidup yang dijalankan polisi teladan yang satu ini.

Jenderal Sutarman tidak boleh goyah dengan berbagai godaan yang dihadapi. Jenderal Sutarman tidak perlu berkecil hati kalau pun harus dicibir oleh polisi lain yang merasa terganggu kenikmatannya. Sekarang saatnya untuk mengembalikan polisi kepada jati dirinya sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan dari masyarakat.    

Sikap pertama yang dilakukan dengan memilih kendaraan dinas yang fungsional menjadi modal untuk menjalankan kepemimpinan yang lebih berarti. Kita percaya bahwa Jenderal Sutarman tidak sedang berpura-pura, air matanya bukan air mata buaya, tetapi ia berupaya menemukan jati dirinya sebagai seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang sesungguhnya.


0
1.4K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.