arda17Avatar border
TS
arda17
“Kompor Gas”: 34 Tahun Saya Hidup bersama Warkop DKI
Quote:
TIGA anak muda di tahun 1973 mengguncang ‘’udara’’ Jakarta melalui Radio Prambors. Obrolan Malam Jumatan, Obrolan di Warung Kopi,selalu dinanti pendengarnya. Nanu, Kasino, Rudy Badil. Setahun kemudian, menyusul Dono, dan ‘’Si Bungsu’’, Indro.

Meski saya bukan anak Jakarta, saya hapal betul lirik lagunya:

Ngobrol di warung kopi

Sentil sana dan sini

Sekedar suara rakyat kecil

Bukannya mau usil


Warkop Prambors yang kelak menjadi Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) mulai mengIndonesia, dan masuk dalam kehidupanku, ketika mereka ‘’menelurkan’’ kaset lawakannya, sejak 1979, yang kukoleksi hingga kini. Di antaranya, Warung Kopi Prambors (Cangkir Kopi & Warung Tenda) - 1979, Warung Kopi & OM PSP -1979, Mana Tahaaan – 1980, Pingin Melek Hukum – 1983, Pokoknya Betul-1984, Sama Juga Bohong – 1984.

Dari kaset ini, yang beberapa di antaranya berupa rekaman ‘’live’’ penampilannya di panggung, terasa betapa kritis, satir bahkan sarkasnya mereka mengkritik keadaan sekeliling, di tengah masyarakat yang tak berani ‘’mengkritisi’’ kemahakuasaan Orde Baru di bawah tatapan dingin ‘’The Smiling General’’-nya, Soeharto. Mereka sudah berani mengkritisi korupsi yang merajalela di negeri ini, sampai sindiran tentang betapa minoritas ditekan, dengan meminjam folklore khas James Danandjaja. Bagaimana minoritas Cina diminta & ‘’dipaksa’’ mengubah namanya, menghapus aksara Cina di ‘’ranah publik’’ dan sebagainya, dan lahirlah istilah: Asnawi Karna Dipanegara. Nama yang indah, padahal singkatan dari ASli ciNA betaWI tuKAR NAma DIPAksa NEGARA!

Mengeritik penguasa dengan celetukan, ‘’Indonesia katanya negara besar tapi impor terbesarnya kok hanya jemaah haji dan TKI.’’ Juga, bagaimana mereka menyanyikan lirik yang intinya, ‘’Koruptor, cempulingin aja ke bak mandi.’’ Atau lirik, lagu anak-anak ‘’Sepatu Kaca’’ - Cinderella yang diplesetkan menjadi: Ha ha ha ha ha hi hi hi hi hi harganya pada naik/ ha ha ha ha ha hi hi hi hi hi korupsi ikut naik/ Ha ha ha ha ha hi hi hi hi hi koruptor diadili/ Ha ha ha ha ha hi hi hi hi hi masyarakat dikibulin.’’

Sungguh, tak banyak orang atau penampil yang seberani seperti itu, di era Soeharto berkuasa.

Popularitas Warkop makin menjadi-jadi, dan masuk dalam kehidupan saya, ketika mulai 1979, Warkop muncul di layar lebar lewat film perdananya, Mana Tahaaan, yang juga dibintangi Rahayu Effendi, Kusno Sudjarwadi, dan pedangdut yang kelak kemudian dikenal sebagai Ratu Dangdut, Elvie Sukaesih. Hingga dua tahun jelang wafatnya Kasino, tepatnya 1995, mereka menelurkan 34 film, yang banyak diwarnai adegan slapstick dan penampilan perempuan-perempuan cantik berbusana seksi.

Penonton mengular, antre membeli karcis untuk bisa menonton filmnya. Tukang catut sampai produser panen rejeki. Rata-rata setahun 2 kali mereka menelurkan film layar lebar yang diputar serentak di bioskop-bioskop pada Hari Raya Idul Fitri dan/atau Tahun Baru.

Banyak di antara film-filmnya yang meraih penjualan tiket terbanyak, sampai 400.000 di awal 1980an, yang membuatnya mendapat penghargaan sebagai film terlaris di beberapa FFI dan juga penghargaan dari GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) serta –mudah-mudahan saya tidak salah — Perfiki (Persatuan Film Keliling) alias persatuan film layar tancap.

Kelak, ketika sudah mengenal personelnya, saya ajukan pertanyaan ‘’sok kritis’’: mengapa film-film Warkop tak sekritis penampilan mereka di panggung atau rekaman kaset?’’

Ketiganya punya suara yang sama. Berdasarkan survei kecil-kecilan, mereka temukan data bahwa masyarakat menengah ke bawah menginginkan tontonan yang ‘’tidak membuat kening berkerut’’. ‘’Hidup sudah susah, jangan dibikin susah. Sebaliknya, dibuat ringan-ringan saja. Masak sudah bayar karcis masih disuruh mikir yang berat-berat!’’

Jadilah formula Warkop layar lebar seperti yang kita saksikan. Unsur komersialisasi lebih menonjol. Tapi, mereka lagi-lagi sepakat, tetap ada unsur idealisnya. Pertama, sejumlah pesan kritis tetap mereka selipkan dalam dialog, meski harus diakui, tidak banyak. Sedikit. Kedua, mereka tidak mau penonton Indonesia terus-menerus dijajah oleh film-film dari luar negeri. ‘’Saat itu, film-film asing terus menajajah kita. Bioskop-bioskop hanya putar film asing karena penontonnya banyak. Film kita, satu-dua hari sudah diturunkan,’’ jelas Indro.

Nah, film-film warkop membalikkan keadaan. Bila sebelumnya, ‘’Film kita paling banyak meraih 185 ribu penonton, film-film warkop bisa 250.000, bahkan 400.000, bahkan lebih…. Makanya, di hari-hari besar, Lebaran atau Tahun baru, bioskop percaya diri untuk memutar film kami melawang film-film asing! Terbukti, kami unggul!’’

‘’Idealisme’’ ini, di mata Indro, sedikit banyak, ikut membantu menyuburkan pertumbuhan film layar lebar Indonesia, di eranya.

PRAKTIS hanya alm. Nanu Mulyono yang tak kukenal secara pribadi, karena ia telah wafat pada 22 Maret 1983, setahun sebelum saya menjadi warga FISIP Universitas Indonesia, adik kelasnya di kampus. Tapi kelucuannya, logat Bataknya dan celetukannya, ‘’Matilah kau, supir!’’ masih kudengar setiap kuputar kaset lawakan Warkop Prambors di mobil, menemaniku menerobos kemacetan Jakarta.

Almarhum Kasino, yang alumni Administrasi-FISIP-UI kukenal semenjak di Radio Suara Kejayaan dan saat ia menjadi produser pelaksana film layar lebar Bagito (Miing, Didin, Unang) yang pertama, yang kalau tak salah, judulnya BTN – Bayar Tapi Nyicil. Setelah itu saya sering ‘’menyerap’’ ilmu darinya, sosok yang sangat piawai memelesetkan lirik lagu, dari ‘’My Bonnie’’ sampai ‘’Oh Doris (Callebout) yang Indah’’, eh maksudnya ‘’Kidung’’ dan yang paling selalu terngiang di kupingku, ‘’Andeca Andeci…’’ Bersama almarhum Taufik Savalas, saya kerap bersilaturahmi setiap Idul Fitri tiba, ke rumahnya, dan kemudian berbagi tawa bersama. Ia tak pernah pelit berbagi ilmu, dan selalu gelisah untuk melahirkan ‘’penerus-penerusnya’’, pelawak-pelawak, penghibur warga negeri. Harus jujur diakui, dari ‘’tangan dingin’’ Kasino lah terasah pelawak hebat Dedi Gumelar yang akrab dengan panggilan ‘’Miing’’ dan Bagito-nya.

Rudy Badil, satu dari 3 personel awal grup ini saat pertama kali cuap-cuap di Radio Prambors (1973) – bersama Kasino dan Nanu – kukenal sebagai pribadi sejak saya masih menjadi jurnalis di Kelompok Kompas Gramedia. Ia sosok idola saya dalam penulisan. Di tangannya, berita tidak ‘’sekaku’’ biasanya. Ia olah dengan renyah, penuh nuansa dan selalu punya pilih sisi yang khas: satir dan menimbulkan senyum simpul bagi pembacanya. Mengajak kita untuk selalu kritis dan skeptik pada permasalahan yang diliputnya.

Saat menjadi salah seorang penulis buku di Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), saya pun kerap bertemu dengannya, memintanya mengkritisi tulisanku dan juga penampilanku sebagai pewawancara di acara Matahati – KompasTV. Kalau suka, dia akan langsung SMS saat menonton Matahati, begitu pula sebaliknya. Terus terang, tanpa basa-basi.

Kalau suka, dia bahkan memberi tambahan SMS dan mengajak ketemuan di KPG, lalu membawa masakan olahannya dari rumah, yang jujur: yummy. Dia anak gunung, dedengkot Mapala UI bersama Kasino dan Nanu, yang jago masak. Dia juga yang selalu mendorong saya untuk menulis buku, sampai sekarang.

Dengan almarhum Dono, saya beruntung pernah menyerap banyak ilmu dari asisten dosen Guru Besar Jurusan Sosiologi-UI, Prof Selo Soemardjan ini. Sosok yang cerdas dan selalu kritis namun tak pernah tak membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa. Aku pernah menulis kisah hidupnya secara bersambung di Tabloid Nova, dan berhaji bersama di tahun 1993. Banyak pengalaman relijius dan lucu terjadi bersamanya di Tanah Suci. Di antaranya, saat kami berjalan bersama di Pasar Seng, tanpa ba bi bu, seorang perempuan bertubuh besar, yang ‘’berkicau’’ dalam Bahasa Arab, menampar pipinya dua kali. Perempuan itu kemudian berlalu begitu saja, tanpa rasa bersalah.

Dono yang terbengong-bengong, hanya mengucapkan istigfar. Tak marah sama sekali. ‘’Mas kenal?’’ tanya saya. Dia menggeleng sambil tersenyum. ‘’Mungkin ini yang dinamakan balasan atas perbuatan kita, yang biasa dialami jamaah haji. Saya kan kalau main film selalu jadi orang yang beruntung dikelilingi perempuan-perempuan seksi dan cantik. Nah, ini balasannya,’’ ucapnya sambil nyengir-nyengir kuda.

Setahun sebelumnya, dosen idola yang bernama lengkap Wahyu Sardono ini hadir di pesta pernikahanku. Kebetulan, saya meminang adik kelasnya di jurusan Sosiologi. Dan dia memberi kado yang tak pernah saya lupa: KOMPOR GAS!

Entah apa hubungannya dengan kado itu, setiap memberi penilaian kepada finalis Stand Up Comedi Indonesia (SUCI) di KompasTV, di mana saya ikut menjadi mentor, Indrojoyo Kusumonegoro alias Indro Warkop sebagai juri, sering sekali mengucapkan, ‘’Kompor Gas!!!!’’

Sebelum bersama-sama di SUCI, saya pernah membuat ajang pencarian bakat grup lawak kampus, bernama Meteor Kampus (Membuat Tertawa Orang ala Kampus) yang ditayangkan di anteve. Nama acaranya terinspirasi dari drama seri TV ‘’impor’’ yang sedang digandrungi saat itu: Meteor Garden. Saya dan Mas Indro selalu menjadi jurinya, baik untuk seleksi di Bandung, Jogyakarta, maupun Surabaya. Di Jakarta, ia digantikan oleh Joe P Project, karena Indro masuk rumah sakit, harus menjalani operasi jantung, yang sudah ia rasakan sejak menjadi juri di Surabaya. Ia selalu merasa seperti masuk angin, dan minta dikerok punggungnya, padahal tidak pernah dialaminya sebelumnya. ‘’Ternyata jantung, Pak Haji,’’ tutur Indro, yang selalu memanggil saya dengan sebutan, ‘’Pak Haji.’’

Indro juga yang menyeret saya menjadi pengurus PaSKI (Persatuan Seniman Komedi Indonesia) periode pertama, di mana dia menjadi Ketua Umum dan saya didapuk sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan. Impian Mas Kasino yang belum terwujud, diwujudkan Indro lewat PaSKI: membina para pelawak dari berbagai ‘’genre’’ di negeri ini. Di periode kedua, ia minta tidak dipilih lagi, tapi tetap masuk dalam jajaran Dewan Pembina, dan meminta saya untuk tetap menjadi pengurus, menjadi Wakil Ketua, mendampingi Ketum baru, Derry ‘’4 Sekawan’’ Sudarisman. Praktis, setiap minggu kamu selalu bertegur sapa, meski hanya lewat SMS atau telepon-teleponan.

Ada kenangan tak terlupa, yang diceritakannya, bagaimana Indro harus menjadi ‘’penengah’’ saat Kasino dan Dono tidak bertegur sapa sama sekali selama waktu yang cukup lama, bertahun-tahun. Meski ‘’perang dingin’’ Warkop DKI tak pernah bubar. Untuk membicarakan materi lawakan, atau materi ngemsi, Dono akan menyampaikan idenya kepada Indro untuk diteruskan kepada Kasino, demikian pula sebaliknya. Dan ketika di atas panggung, tak ada yang pernah tahu kalau Kasino dan Dono tak bertegur sapa di belakang mau pun di bawah panggung, dalam kehidupan sehari-hari.

Sampai pada suatu saat, keduanya ‘’lelah’’ bermusuhan, dan kemudian berkumpul bersama di Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol. Setelah saling buka-bukaan, 3 ‘’pejantan tangguh’’ ini luluh, dan tanpa malu ditatap orang, mereka berpelukan seperti teletubbies, sambil nangis-nangisan.

Mereka pada dasarnya memang sehati-sejiwa. Ajaklah Indro mengenang keduanya, dijamin Indro yang tampangnya garang, akan langsung mewek. Bagaimana beberapa saat sebelum Dono menghembuskan napas dan terlihat ‘’resah’’ memikirkan nasib anak-anaknya, Indro yang merasakan kegelisahan itu memberi jaminan, ‘’Mas, kita pernah sama-sama senang, sama-sama susah. Makan bersama, lapar bersama. Anak Mas Dono, anak Mas Kasino, juga adalah anak-anak saya.’’ Dan, Dono pun ‘’pergi’’ dengan tenang meninggalkan alam fana ini. Indro mewujudkan perkataannya dengan membentuk ‘’yayasan’’ yang mengelola semua ‘’warisan’’ kebesaran Warkop DKI, yang beranggotakan anak-anak Kasino-Dono-Indro.

Dari ketiganya, saya mendapat pelajaran yang tak pernah bisa saya lupa. Modal untuk bisa bertahan dan tak terpecah adalah ‘’saling tenggang rasa’’ satu sama lain. Menjaga komitmen!

Ketiganya tak pernah mau menerima undangan untuk tampil sendiri-sendiri di atas panggung hiburan, baik untuk menjadi MC, bintang iklan, melawak atau bermain sinetron/film. ‘’Semua Untuk Satu, Satu Untuk Semua’’ seperti ‘’teriakan’’ Three Musketeers! Itu mereka jaga hingga akhir hayat Mas Kasino dan Mas Dono.

Ketiganya sosok yang tak pernah pelit berbagi ilmu. Tanya apa saja tentang dunia komedi, pasti akan diuraikannya panjang lebar. Mereka tak tak takut ‘’kunci keberhasilannya’’ ditiru (calon) pelawak lainnya. Bahkan sebaliknya, mendorong pelawak-pelawak muda untuk tampil dan memberi aksi yang terbaiknya.

Dan hebatnya, mereka tak pernah ‘’menusuk dari belakang’’ satu sama lain. Bahkan, saling melindungi. Meski, pada satu masa yang panjang, Dono dan Kasino ‘’bermusuhan’’, tapi jangan pernah menjelek-jelekkan Dono di depan Kasino, begitu pula sebaliknya. Mereka pasti akan membela mati-matian satu sama lain.

Tiga puluh empat tahun saya hidup bersama Warkop Prambors yang kemudian menjadi Warkop DKI. Dari cuma menyaksikannya di layar lebar dan mendengarkan celotehannya di kaset (1979), hingga mengenalnya secara pribadi, sampai sekarang.

Dan tahun ini Warkop DKI genap berusia 40 tahun. Warkop DKI tak pernah mati meski personelnya tinggal sendiri: Indro Warkop. ‘’Manuskrip’’ tentang mereka, berupa film layar lebar, masih selalu kita tonton berulang-ulang di layar TV. Dan kaset-kasetnya, yang kukoleksi, selalu menemaniku sambil menyetir.

Aku tak pernah bosan. Selalu saja tertawa-tawa sendiri saat mendengarkannya. Dan mungkin, sopir di sebelah saya akan menganggap saya orang gila. Karena sambil tertawa, tak jarang saya berurai air mata, mengenang sosok-sosok guru kehidupanku yang telah tiada: Mas Kasino dan Mas Dono

Sehat selalu sahabatku, Mas Indro juga Mas Badil, jangan pernah berhenti berbagi dan menginspirasi!

Doaku selalu untuk Mas Nanu, Mas Kasino dan Mas Dono. Tertawalah dan ajaklah tertawa mereka-mereka yang sudah terlebih dahulu berpulang, juga malaikat-malaikat di alam sana.

Toh, kamu pernah bilang, ‘’Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang!’’

Spoiler for Sumber:
Diubah oleh arda17 13-11-2013 10:11
0
8.2K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.