23 Agustus 2006
Ketukan pintu terdengar tiga kali “Seville, buka pintunya dong? Ibu bawa makan siang buat kamu.”
“Iya bu, sebentar,” Seville menjawab dari dalam kamar.
Rantai diturunkan dan kunci diputar. Ibu Seville masuk dan meletakkan nampan makanan yang dibawanya diatas meja. Aroma dupa yang dipasang Seville sangat menusuk. Sejenak ia melihat ke sekeliling kamar putrinya tersebut. Seluruh dinding kamar dipenuhi dengan lukisan buatan Seville sendiri. Semua lukisan itu berbeda tapi hanya menggambarkan satu objek saja. Seorang gadis kecil yang sepi.
Wajah gadis kecil di lukisan tersebut sangatlah murung. Seakan-akan kehidupan tidak menawarkan sedikit pun kebahagiaan. Lukisan gadis itu ada yang menggambarkan sedang duduk sendiri di ayunan sebuah taman. Ada pula gadis kecil bersama seekor kucing. Gadis kecil bergantungan di atas kaki burung raksasa. Gadis kecil duduk berpangku tangan di atas bulan yang bopeng. Lukisan-lukisan tersebut bisa membuat orang yang melihatnya merasa kesepian yang sama. Menghisap gairah hidup hingga habis tak bersisa sedikit pun. Tapi tak ada orang lain yang pernah melihat lukisan-lukisan tersebut. Hanya ibu Seville saja.
Seville mulai melukis gambar-gambar tersebut semenjak ia menginjak usia 15 tahun. Setiap hari ia melukis satu buah. Lalu satu buah lukisan lagi keesokannya. Lalu satu lagi. Dan begitu terus hingga sekarang ia hampir memasuki usia 18 tahun. Ibu Seville, Maria, adalah seorang yang religius. Ia menyayangi putri satu-satunya itu sedemikian rupa. Ia meyakini putrinya sedang mengalami sesuatu yang istimewa. Dan setelah satu bulan Seville melukis tanpa henti, Maria meminta Seville melukis di kamar, dan membuat perjanjian agar Seville tidak melukai dirinya sendiri. Seville tidak gila. Ia hanya ingin melukis. Ia benar-benar hanya ingin melukis.
--//--
28 Agustus 2006
Seville menatap ke luar jendela. Ia sedang beristirahat sebentar dari kegiatan melukisnya. Hujan turun dengan derasnya di luar sana. Seville membuka jendela, membiarkan udara basah dan percikan air menerpa wajahnya. Angin bertiup kencang membuat tirai sesekali terangkat ke atas.
Seville bersenandung lemah …
Kau Putri Arakan.. membawa derita.. membawa derita
Aku bersamamu .. Aku bersamamu .. Kau Putri .. ..
Perlahan-lahan suara Seville menghilang. Air matanya menetes. .
“Siapa pria ini?” tanya Seville dalam hati.
Ia baru saja bangun dari tidurnya, jendelanya masih terbuka. Sesosok pria muda lagi tampan berdiri di dalam kamarnya. Rambutnya berwarna cokelat. Badannya tegap. Mengenakan kaus, cardigan, dan celana jeans kusam.
Seville perlahan duduk, badannya mundur hingga punggungnya menyentuh sandaran tempat tidur, kakinya menekuk. Ditariknya selimut hingga menyentuh dagunya. Seville sedikit gemetar.
Pria itu tersenyum. Senyumnya ramah. Senyum itu membuat Seville lebih tenang dan ia pun memberanikan diri untuk bertanya. “Kau siapa?” nada suaranya masih bergetar.
“Hai Seville, namaku Baan” pria itu menjawab sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Sedikit ragu-ragu, tetapi akhirnya Seville pun mengulurkan tangannya juga menyambut jabatan itu. “Kau kenal aku? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanya Seville lagi.
“Aku .. aku penjemput,” jawab Baan pelan.
“Oh …” hanya itu yang keluar dari bibir Seville.
“Aku datang untuk menjemput dia.” ucap Baan lagi seraya menunjuk lukisan gadis kecil yang dibuat Seville.
Sejak kedatangan Baan, Seville terus melukis dengan serius. Ibu Seville semakin cemas. Kini putrinya kembali bercakap-cakap sendiri. Ia mendengarkan dari ruang sebelah. Maria kadang sengaja masuk saat Seville sedang berbicara, tetapi ia tak pernah melihat lawan bicara Seville. Maria sudah diberitahu oleh Seville bahwa Baan, penjemput Putri Arakan, datang dan menemaninya. Itu membuat Maria sedih.
Maria duduk di kamarnya yang hanya diterangi sebatang lilin saja. Ia masih ingat saat-saat Seville menjadi berubah. Malam hari, sekitar jam sepuluh, Maria dan Seville sedang berjalan di dekat rumah sepulangnya dari rumah kerabat jauh mereka. Saat itu bulan Oktober tahun 2003. Ada seorang gadis kecil di seberang jalan melihat ke arah mereka. Seville berhenti, ia memegang tangan ibunya agar tidak terus berjalan.
“Ibu, siapa ya anak itu?” tanya Seville pelan.
“Ibu tidak pernah lihat anak itu.” jawab Maria.
Tiba-tiba anak kecil itu tersenyum manis sekali pada Seville. Ia berlari kecil hendak menyebrang jalan dan memanggil ke arah Seville, “Kakak”, tetapi sebuah mobil truk melaju dengan begitu kencangnya dari arah berlawanan.
Seville melepaskan tangan ibunya, dan berlari ke arah jalan sambil berteriak “Jangaaannn!!”
Suara benturan keras pun terdengar, truk itu terus melaju tanpa sedikit pun mencoba berhenti. Si gadis kecil bersimbah darah dan tewas seketika dengan tubuh remuk. Seville berlari memeluknya dan menjerit sangat keras hingga terdengar seperti lolongan yang sangat mengerikan. Seville menangis sejadinya. Orang-orang pun keluar dari rumah. Mereka yang berkumpul melihatnya tak berani mendekat. Pemandangan itu sangat tragis, mengerikan, dan memilukan. Maria ingat ia hanya bisa berdiri menatap. Di tempat ia berdiri, Maria menggigit bibir hingga berdarah.