Kaskus

Story

afryan015Avatar border
TS
afryan015
AGRAPANA "NYAWA INGKANG DIPUN GANTOSAKEN"
     AGRAPANA "NYAWA INGKANG DIPUN GANTOSAKEN"
Bab 1


“Bu pokoknya Tias maunya kamar di lantai dua ya, sepertinya disana kamarnya nyaman” ucap Tias kepada Ibunya.


“Iya terserah kamu, yang penting kita pindahkan dulu barang bawaan kita ini kedalam, dan nanti kita tata semua bersama sama biar cepat selesai” ucap ibunya sambil melangkah kedalam rumah membawa kardus berisi barang dari rumah lama.


“Pokoknya terserahkamu saja yas, yang penting kamu nyaman tinggal disini, apa lagi di lantai dua ada tempat yang bisa kamu gunakan buat ngerjain pekerjaan kamu kan” imbuh ayah Tiyas yang sedang menurunkan barang – barang dari mobil bak yang membawa perabotan rumah mereka.


Tias dan keluarganya baru pindah ke rumah kontrakan yang baru, karena rumah kontrakan mereka yang lama sudah tidak bisa diperpanjang lagi, dan hari ini mereka mulai memindahkan perabotan rumah ke kontrakan yang baru.


Ayah Tias merasa beruntung mendapatkan rumah kontrakan yang murah dengan luas rumah yang cukup lega dibandingkan dengan kontrakan sebelumnya, ditambah lagi halaman yang juga luas, apalagi kontrakan yang sekarang memiliki dua lantai, dimana dilantai satu memiliki fitur, satu ruang tamu, dua kamar dengan salah satunya kamar utama, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang keluarga yang terbilang cukup luas dan halaman belakang yang terbilang cukup luas untuk menjemur pakaian, sedangkan untuk di lantai dua memiliki firur satu kamar dengan balkon, satu ruangan yang cukup untuk digunakan bersantai atau digunakan sebagai ruang kerja, dan satu kamar mandi, dengan fasilitas seperti itu Ayah Tias mendapatkan harga yang cukup terjangkau, dan rumah itu pun belum lama ditinggalkan oleh penyewa sebelumnya.


Tias membantu orang tuanya membawa masuk barang barang yang berada diluar untuk dimasukan kedalam rumah, satu persatu box kardus mulai dibuka dan dikeluarkan isinya untuk ditata pada tempat yang mereka inginkan, suasana riang keluarga kecil itu terdengar saat mereka sedang beristirahat disiang hari untuk melepas lelah karena sejak pagi berberes dan menata rumah.


“Hahaha, Apa lagi waktu Tias masih kecil ya yah, manjanya bukan main, dikit dikit buk, dikit dikit buk, sampe mau beol aja harus ada ibu, pernah waktu itu ibu di panggil Tias yang katanya mau beol tapi ibu lagi repot masak, bukannya pergi ke WC sendiri malah lompat – lompat kecil dibelakang ibu sambil sambil megangin pantat haha” ucap ibu Tias bercerita sambil terkakak.


“Ah ibu ah, itu kan dulu waktu aku kecil bu, sekarang kan udah nggak” dengan wajah cemberut menahan malu Tias protes pada ibunya.


“Haha terus yah, pas mau ibu angkat Tias buat dibawa ke WC, eh dia malah nangis sambil bilang, udah keluar bu, ahahaha” ucap ibu Tias tidak bisa menahan tawanya.


“Haha, namanya juga masih kecil ya yas, sini nggak usah cemberut, sini ayah cium” ucap ayah Tias membujuknya supaya tidak cemberut.


“Ah ibu tuh, sukanya ngejek aku terus” sambil mendepet ayahnya seolah mengadu.


“Udah nggak papa, eh tapi kok bau apa gitu ya ada yang aneh, kamu nggak beol kan yas?” ucap ayah Tias menggodanya.


“Ah ayah ih, sama aja, nggak lah aku udah bukan anak kecil lagi, ah udah ah aku mau keatas dulu ngerapiin kamar aku” sambil melepaskan pelukan ayahnya, Tias lantas bangkit dari posisi duduknya dan langsung melangkah ke lantai dua dengan menutup wajahnya karena tersipu malu namun gengsi untuk menunjukan pada kedua orang tuanya.


“ih ih ih cemberut sambil cengar cengir itu, nggak usah di tutupin, ibu udah liat kok haha” ucap ibu Tias menggoda.


“Haha, jangan kelamaan ya Yas, habis ini kita keluar buat makan, nanti kalo ayah panggil turun ya” ucap ayah Tias.


“Iya yah” ucap Tias singkat.


Setelah sampai di lantai dua, Tias mengambil beberapa kardus yang berada di ruangan yang sepertinya akan digunakan Tias sebagai tempat bersantai sekalikus beraktifitas, satu box kardus diraihnya untuk kemudian diletakan didalam kamar yang akan ditempatinya, box kardus itu kemuda dibukanya dan dikeluarkannya lah isi – isi didalamnya kemudian diletakan di atas kasur yang sebelumnya sudah ditata bersama dengan ayahnya, beberapa box yang isinya merupakan barang barang milik Tias sudah terbuka, dan satu persatu ditata pada tempatnya, seperti pakaian, buku buku dan lainnya ditata dengan sangat cekatan oleh Tias, dan tidak lupa gorden penutup jendela pun dia pasang, setelah dirasa lelah, Tias memutuskan untuk berhenti sebentar untuk beristirahat sebelum nyelesaikan menata barang yang masih tergeletak bukan pada tempatnya.


Teringat dengan perkataan ayahnya kalau mereka akan pergi makan siang diluar, lantas Tias menuju ke arah anak tangga lalu bertanya dengan nada yang kencang supaya orang tuanya di bawah mendengar.


“Yah? mau keluar makan siangnya jam berapa?” ucap Tias berteriak dari lantai dua.


“Sebentar lagi ya, ini masih tanggung beresin ruang tengah, biar nanti bisa buat santai dulu, soalnya nggak bakal selesai satu hari ini” ucap ayah Tias menjawab dari bawah.


“Oh ya udah yah, aku dikamar ya, mau istirahat sebentar, capek banget, nanti kalau mau berangkat panggil aku jangan ditinggal” ucap Tias membalas jawaban dari ayahnya.


“Iya tenang aja, sana istirahat dulu” dengan suara sambil membersihkan dan menata ruangan ayahnya menjawab.


Tias pun kembali kedalam kamarnya dan langsung mengarah ke kasur yang sepertinya terlihat sangat nyaman untuk ditiduri sebentar, “Bruughhh” suara tubuh Tias beradu dengan kasur umpuk terdengar saat Tias menjatuhkan dirinya dalam kondisi terlentang.


“Hmmhhh nyamannya, rasanya enak banget” ucap Tias berbicara sendiri sembari tangannya merangsak masuk kedalam saku celananya untuk meraih ponsel yang dia simpan disaku.


Tias dengan asiknya mengadu ibu jarinya dengan ponselnya untuk membuka beberapa informasi dan hal hal menarik lainnya yang bisa dia kases dari dalam ponselnya itu, semua aplikasi Novel kemudian dia buka untuk melanjutkan bacaan yang sebelumnya belum selesai dia baca.


Tak lama setelah dia asik membaca Novel dari ponselnya, tiba – tiba mata yang sedang asik memandang layar ponsel itu menjadi sedikit berat untuk membuka matanya, rasa kantuk sepertinya mulai menyerang Tias, maklum lah karena merasa lelah setelah dari pagi hingga siang ini dia terus berberes rumah baru alisa pindahan, dan tanpa sadar ponsel itu pun terlepas dari genggaman tangan Tias yang akhirnya ponsel itu harus beradu dengan wajahnya.


“Aduh, sakit, sakit” sambil menggosok wajahnya untuk meredakan rasa sakit akibat hantaman ponsel itu, Tias kemudian merubah posisi nya menjadi miring kesamping dan berbicara pada batinnya “mungkin tidur sebentar nggak papa kali ya, kan ibu sama ayah masih bersih bersih”. tak perlu waktu lama akhirnya Tias pun terlelap dalam tidurnya karena kelelahan.


“srek, srek, skrek” suara sapu bergesekan dengan lantai terdengar di luar kamarnya, Tias berfikir itu adalah orang tuanya yang sedang membersihkan ruangan yang berada di depan kamarnya itu, karena memang ruangan itu belum dibersihkan karena masih digunakan untuk meletakan barang – barang yang akan ditata di lantai dua ini.


“Bu, udah siap belum, kita mau keluar jam berapa” dengan keadaan masih terpejam Tias berkata.


“......” namun sama sekali tidak ada jawaban dari luar kamarnya.


“Bu, ih jawab lah, aku udah lapar ini” ucap Tias sedikit kesal.


“......” namun kembali lagi pertanyaan yang di ucapkan Tias sama sekali tidak mendapat jawaban dari ibunya.


Karena tidak mendapat jawaban, Tias pun kemudian membuka matanya dan ternyata saat dia membuka matanya kondisi kamarnya sudah sedikit gelap karena adanya awan mendung diluar rumah yang menandakan akan turun hujan, melihat hal itu, Tias kemudian bergegas keluar kamar dan menghampiri suara itu, dan saat sampai diluar kamar, Tias tidak mendapati ibunya berada disana, hanya ada sapu yang bersadar pada tembok dengan bagian sisinya terdapat kotoran yang sudah terkumpul.


“Duk duk duk” suara langkah kaki terengar menuruni anak tangga menuju ke lantai satu, Tias kemudian segera mengejar kearah suara langkah kaki itu sambil bertanya “bu, kapan kita keluarnya ini? keburu hujan lho” namun pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab, Tias melihat dari atas lanti dua bahwa ibunya itu turun dan berjalan menuju kearah dapur, karena merasa kesal tidak mendapat jawaban dan dicueki oleh ibunya, Tias kemudian mencoba untuk bertanya pada ayahnya, walaupun dia belum melihat ayahnya berada disana.


“Yah, kapan kita mau keluar buat makan, keburu hujan nih” Tias berkata sambil berjalan turun dan mengikuti ibunya.


Namun hal sama juga terjadi, tidak ada tanggapan atau jawaban dari ayahnya, yang mungkin memang sedang tidak berada disana, karena saat Tias sampai di lantai bawah pun, dia tidak melihat adanya sosok ayahnya disana, yang ada hanya keheningan rumah tanpa adanya aktifitas, namun sosok ibu Tias masih terlihat sedikit berbelok kearah salah satu sudut di ruang dapur, hingga akhirnya dia tidak melihat sosok ibunya lagi, dan karena butuh jawaban diapun mengejar ibunya ke dapur, berharap kalau dia bertanya secara langsung dengan jarak dekat akan langsung direspon.


Setelah Tias berjalan ke arah dapur, kini dia terkejut karena tidak mendapati ada seorangpun yang berada disana, padahal dia jelas jelas melihat kalau ibunya berjalan menuju kearah dapur ini, wajah bingung terlihat jelas pada raut muka Tias, otaknya seakan tidak bisa menerima apa yang baru saja dia liat, hal itu membuatnya berdiri mematung sambil memikirkannya.


Namun tak berselang lama, suara motor terdengar dari depan rumah dan berhenti disana, mendengar saura motor itu, Tias kemudian tersadar dari lamunanya karena memikirkan sosok yang tadi dia lihat, Tias kemudian berjalan menuju ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.


“Ceklek, ceklek” suara kunci pintu dibuka dari luar rumah.


“Assalamu’alaikum, buruan masuk yah, itu jangan lupa makanannya dibawa masuk, cepetan yah, keburu ujan nih, laper juga” ucap ibu Tias meminta suaminya untuk cepat masuk membawa makanan yang baru saja mereka beli.


“Wa’alaikum salam, loh ibu dari mana sama ayah?” tanya Tias keheranan melihat orang tuanya datang dari luar rumah.


“Ini, baru aja beli makanan buat kita makan siang, maaf ya kelamaan, abisnya lumayan antri tadi dipenjual nasi padangnya, kayaknya sih enak soalnya antri” ucap ibu Tias sambil membawa makanan yang baru saja diberikan ayah Tias padanya untuk segera dihidangkan.


“Loh ayah sama ibu udah dari tadi keluar, kok nggak bangunin aku sih?” dengan nada kesal Tias merajuk pada orang tuanya.


“Nggak tega ayah mau bangunin kamu yas, soalnya dari cara tidurmu kayaknya kamu capek banget, jadi ayah putusin buat biarin kamu tidur dan ayah sama ibu beli makanan buat dibungkus” sambil mengelus kepala Tias, ayahnya berlalu melewatinya.


“Jadi dari tadi aku sendirian dirumah?” tanya Tias pad orang tuanya.


“Iya, maaf ya, udah sekarang yang penting kita makan dulu, ini ibu siapun dulu ya di meja makan, eh iya ayah, tolong tutupi jendela balkon lantai dua ya, soalnya mau hujan, takut airnya nanti masuk kerumah” ucap ibu Tias.


Dengan ekspresi bingungnya, Tias hanya bisa terdiam, dia masih memikirkan sosok yang dia lihat tadi saat turun dari lantai dua, karena apa yang dia lihat itu perwujudannya sangat mirip dengan sosok ibunya.


Tidak mau berfikir macam – macam, Tias berusaha bersikap positif dan beranggapan apa yang dia lihat itu tidak benar, mungkin karena efek dari bangun tidur dimana nyawanya belum kembali seutuhnya.


Tias juga tidak menceritakan hal tersebut pada orang tuanya, dia tidak mau dianggap penakut oleh kedua orang tuanya, apalagi rumah ini baru saja akan dia tempati, tidak mungkin karena menganggap hal seperti itu serius membuatnya menjadi takut untuk tinggal disini.


Mencoba untuk melupakan hal yang baru saja dia lihat, Tias kemudian menyusul ibunya kedapur untuk menyiapkan makanan yang sudah dibeli tadi, sambil menyiapkan makanan, Tias terus melihat kesekeliling dapur, walaupun dalam pikirannya ingin melupakan hal tadi, namun bayangan itu terus muncul didalam otaknya, dengan kata lain otaknya masih belum menerima hal yang masih belum bisa masuk kedalam akal, karena Tias merasa setelah dia bangun tidur, dia merasa sudah sadar sepenuhnya.


Setelah semua makanan siap untuk disajikan, Tias diminta oleh ibunya untuk memanggil ayahnya turun kebawah supaya mereka bisa makan bersama, beberapa kali Tias mencoba memanggil dari arah tangga menuju lantai dua, ayahnya hanya menjawab sebentar, mungkin ayah Tias sambil mengecek barang – barang yang berada di lantai dua.


Karena terlalu lama, Tiaspun kemudian menyusul ke lantai dua dimana ayahnya berada, dan sesampainya di sana, ternyata ayahnya sedang asik melihat atau mengecek isi dari kotak yang belum dibuka, memastikan kalau semua barang sudah berada disini, jadi tidak perlu untuk kembali lagi ke kontrakan lama karena ada yang tertinggal.


“Ih ayah nih, udah ayo turun dulu, aku udah lapar lho, malah asik ngecek barang, kan bisa nanti” dengan sedikit kesal Tias meraih tangan ayahnya untuk segera turun kebawah.


“hehe iya, iya, ayo kita turun, ini ayah nyalain lampu sekalian, kayaknya mau ujan besar soalnya makanya gelap banget” ucap ayahnya sambil meraih saklar lampu dan menyalakannya.


Setelah itupun Tias turun bersama ayahnya menuju kearah meja makan, disana ibu Tias sudah menunggu sambil menonton TV yang kebetulan televisi masih bisa terlihat dari meja makan, Tias dan ayahnya pun kemudian duduk dikursi meja makan dan langsung menyantab makanan yang sudah tersaji.


Obrolan meja makan tak pernah mereka lewatkan, suasana keakraban mereka menandakan keluarga yang sangat harmonis, suasana hangat sangat nampak pada keluarga Tias ini, namun saat sedang asiknya ngobrol sambil menyantab makanan yang sudah dibeli tadi, hujan deraspun akhirnya turun, langit gelap sudah tidak bisa membendung volume air yang ditampungnya.


Suara gemricik air hujan beradu dengan genteng rumah terdengar sangat keras, angin berhembus dengan cukup kencang terlihat dari jendela yang menampakan dedaunan bergoyang dengan cepat karena tertiup angin.


Karena curah hujan yang cukup besar, ditambah petir mulai bergelegar di langit, TV yang tadinya menyala, terpaksa harus dimatikan karena takutnya TV itu akan tersambar petir, dan benar saja tak berselang lama setelah TV itu dimatikan oleh ibu Tias, “DIIIAARRR” suara petir menggelegar seolah tepat berada diatas rumah mereka, listrikpun padam, membuat rumah menjadi sedikit gelap karena masih ada cahaya yang masuk dari jendela.


Karena lampu padam, ibu Tias langsung berinisiatif mencari lilin untuk menerangi meja makan, soalnya tidak nyaman apabila makan namun dalam kondisi minim cahaya, disaat bersamaan dari arah lantai dua, tiba – tiba .....
Diubah oleh afryan015 12-03-2024 20:55
andrianallsizeAvatar border
nderek.langkungAvatar border
DhekazamaAvatar border
Dhekazama dan 37 lainnya memberi reputasi
38
9.9K
355
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
afryan015Avatar border
TS
afryan015
#149
Bab 24
“Oalah niki ternyata sek ndamel anake panjenengan kados niku pak” ucap pak Harjo menunjukan barang yang ditemukan setelah menggali
(Oalah ini ternyata yang membuat anak mu seperti itu pak)
“Nopo niku pak, kok kados ali – ali nggih?” ucap ayah Tias memperhatikan benda yang di tunjukan pak Harjo.
(Apa itu pak, kok seperti cincin ya?)
“Nuwun sewu pak, saget pundutaken kain tapi saking bekas ageman putri panjenengan?” Pak Harjo bertanya dan meminta kain untuk menyimpan benda itu.
(Permisi pak, bisakah mengambilkan kain tapi yang bekas dipakai anaknya)
“Oh nggih pak, enten sekedap kulo pendetaken” ayah Tias dengan sigap langsung masuk kedalam mencarikan pakaian milik Tias.
Sementara itu, barang yang ditemukan oleh pak Harjo langsung digenggam dengan erat ditangan kirinya, sementara tangan kanannya masih memegang sekop kecil, pak Harjo sepertinya sedang mencari barang yang lainnya, terlihat dari ekspresinya yang terus mengerutkan dahinya sambil sambil memejamkan mata untuk mendeteksi barang atau sesuatu yang dicarinya.
Masih dengan keadaan mata tertutup, pak Harjo melangkah perlahan dari satu titik ke titik yang lain, hingga akhirnya beliau membuka matanya dan langsung jongkok untuk menggali tanah di titik kedua, masih dengan hati hati beliau menggali tanah yang dia rasakan ada suatu benda yang disimpan didalam sana.
Tepat bersamaan dengan ayah Tias yang kembali sambil membawa pakaian milik Tias, pakaian itu langsung diserahkan pada pak Harjo, dan disaat itu juga pak Harjo menunjukan barang kedua yang ditemukan berwujud serupa dengan benda yang awal ditemukan, hanya yang membedakan adalah, kalau di benda pertama dihiasi dengan sebuah batu berwarna kuning emas, dan benda kedua dihiasi dengan batu berwarna putih bening.
“Niki pak kain sek di betahaken” ayah Tias memberikan kain yang diminta oleh pak Harjo.
(Ini pak kain yang dibutuhkan)
“Niki pak, betul enten kalih makhluk sek ndamel utawa sek mendet sukmane anake panjenengan, mulane mboten saget mbalik” ucap pak Harjo sembari menunjukan dua benda yang ditemukan.
(Ini pak, benar ada dua makhluk yang membuat atau yang mengambil sukma anaknya, makanya tidak bisa kembali)
“Masyallah terus pripun niku pak?” ucap ayah Tias terkejut.
(Masyallah terus gimana itu pak?)
“Pun, monggo langsung teng kamare Tias mawon, tak rampungke sedanten” ucap pak Harjo santai sambil melangkah masuk kedalam rumah.
(Sudah, ayo langsung ke kamarnya Tias saja, saya selesaikan semua)
Singkat cerita pak Harjo dan ayah Tias pun sampai di kamar Tias, pak Harjo cukup terkejut dan merasa kasian dengan kondisi Tias sekarang, wajah cemas dan tidak tega sangat terpancar pada wajah pak Harjo.
Sebelum melakukan prosesi penjemputan sukma Tias, aku diberikan tugas oleh pak Harjo untuk menyebarkan garam kasar ke seluruh sudut luar rumah, yang nantinya akan berfungsi sebagai tameng atau pagar jika terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.
Setelah selesai menyebar garam kasar aku kembari kekamar Tias, orang Tua Tias diminta oleh pak Harjo untuk tunggu diluar ruangan, sementara aku dan pak Harjo didalam kamar dan menutup pintu, pak Harjo berpesan pada orang tua Tias untuk tidak membukakan pintu manapun jika ada yang mengetuk ingin masuk, dan pesan itu diterima oleh orang tua Tias dengan anggukan kepala.
Pintu kamar Tias kemudian ditutup dan kitapun memulai prosesi yang akan dilakukan, aku duduk bersilah disamping kanan tempat tidur Tias, sementara pak Harjo berada disisi sebelahnya, kupejamkan mata dan tetntunya tetap dibantu oleh Shinta hingga aku bisa merasakan kedamaian supaya bisa fokus.
Setelah aku memejamkan mata, dan begitu juga pak Harjo, perlahan aku membuka mataku dan benar saja, aku merasakan aura yang sangat aku kenal, tidak seratus persen mengenalnya hanya saja ada aura yang aku kenali, ini merupakan aura perpaduan antara bangsa Bajra dan bangsa yang belum aku kenali.
“Kenangopo le, kok ekspresimu berubah koyo ngono?” tanya pak Harjo yang melihat ada sedikit raut ketakutan pada wajahku.
(Kenapa le, kok ekspresimu berubah seperti itu?)
“Anu pak, kenging nopo kok enten aura kodos niki nggih, wonten kalih aura sek tak rasaken, kulo sampun nate berurusan kaleh bangsa sek kagungan aura jahat niki, tapi sek sebagian dereng, kalih sek sebagaian niki cenderung netral” ucapku menerangkan apa yang kurasakan pada pak Harjo.
(Anu pak, kenapa kok ada aura seperti ini ya, ada dua arua yang saya rasakan, saya sudah pernah berurusan dengan bangsa yang memiliki aura jahat ini, tapi sebagian belum, sama yang sebagian ini cenderung netral)
“Iyo bener, soale iki ono neng daerah perbatasan, perbatasan antarane wilayahe bangsane Bajra karo bangsa Jayengrana” terang pak Harjo.
(Iya benar, soalnya ini ada di dearah perbatasan, perbatasan antara wilayahnya bangsa Bajra dengan bangsa Jayengrana)
“Jayengrana? Nopo niku bangsa siluman sami kados Bajra pak?” tanyaku penasaran.
(Jayengrana? Apa itu bangsa siluman sama seperti Bajra pak?)
“Ojo padake Bajra karo Jayengrana, derajate luweh duwur Jayengrana, opo meneh, bangsane Jayengrana kuwi ra tau nggawe masalah karo bangsa liane, wes ayo gek ndang nyelametke Tias” jelas pak Harjo sekaligus meminta untuk segera bertindak.
Kitapun kemudian keluar dari ruangan kamar dan apa yang kita lihat adalah memang hamparan luas, bau anyir yang memang masih aku ingat, tanah gersang dan pepohonan mati adalah ciri khas dari kerajaan Bajra, dan didepan kami ada sebuah tempat ditengah tengah jurang yang memisahkan wilayah Bajra dengan wilayah Jayengrana, dan tempat itulah pasti yang di maksud Shinta tempo hari.
Shinta yang masih membawa Murni dengan cara memegangi rambutnya, mengatakan padaku bahwa Tias berada disana, tepatnya disebuah ruangan yang mengarah ke arah Jayengrana, Shinta menunjuk kearah dimana Tias berada.
Aku kemudian berdiskusi dengan pak Harjo, apakah akan langsung di sergap saja kedalam atau bagaimana, pak Harjo hanya menanggapi dengan santai untuk kita melangkah dulu ke arah bukit yang semakin dilihat dan aku perhatikan bentuknya sama persis dengan penampakan tempat saat aku sedang melakukan meditasi untuk mencari petunjuk sukma Tias beberapa hari lalu.
Semakin lama langkah kami semakin mendekati bukit itu, bukit yang memisahkan antara wilayah Bajra dengan wilayah Jayengrana, sebuah jembatan besar terbuat dari bebatuan membentang didepan kami sebelum masuk kedalam goa yang berada di bukit itu, selama melangkah kesana pandanganku tidak lepas dari wilayah Bajra, aku tidak mau tiba – tiba ada serangan tak terduga dari mereka.
Pak Harjo yang sepertinya melihat gerak geriku dari awal hanya bisa tersenyum tipis, sambil mengatakan….
“ Ra usah wedi le, urip matine dewe iki wes diatur karo sek gawe urip, umpama dewe mati mergo nulungi wong lak yo luweh becik” ucap pak Harjo mencoba membuatku sedikit santai.
(nggak usah takut le, hidup matinya kita ini sudah diatur sama yang memberi hidup, seumpama kita mati karena menolong orang kan lebih bagus)
“Nggih pak, tapi estu kulo tasih enten roso mboten wantun” jawabku sedikit malu.
(Iya pak, tapi serius saya masih ada rasa tidak berani)
“Kuwi tandane uripmu durung merdeka le, dadi wong kuwi kudu urip sek merdeka, ra usah wedi opo – opo, asal koe wes percoyo karo gusti” ucapnya kembali menyadarkanku soal “Gusti”
(Itu tandanya hidupmu belum merdeka le, jadi orang itu harus hidup yang merdeka, nggak usah takut apa – apa, asal kamu sudah percaya dengan gusti)
“…..” aku hanya mengangguk tanpa mengucakpan kata kata karena merasa malu belum bisa mengaplikasikan ajaran pak Harjo.
Tak berselang lama akhirnya kita pun sampai di depan gerbang goa yang dimaksud oleh Shinta, sebuah batu besar yang sepertinya dimaksudkan menjadi sebuah gapura selamat datang terlihat menjulang tinggi.
Aku menyuruh Shinta untuk mengawasi dari atas bukit, dan bersamaan dengan itu ternyata Agrani juga membersamai Shinta dengan meminta Shinta untuk naik keatas punggungnya, dan dengan cepat mereka langsung melesat keatas dengan Murni yang masih dipegangi Shinta.
Sedangkan aku dan pak Harjo langsung melanjutkan langkah untuk masuk kedalam goa itu, dan segera mencari dimana sosok Jin yang menyembunyikan sukma Tias, setelah memasuki mulut goa ini, terlihat ruang didalam goa yang cukup lebar dan luas, beberapa titik terlihat air yang menetes dari stalaktit goa, hanya saja air itu memiliki bau yang kurasa tidak sedap, beberapa kelelawar bergelantungan disana, dan tak jarang juga hewan melata juga saling bersliweran di lantai goa dan didinding goa.
Aku dan pak Harjo terus melangkahkan kaki masuk semakin dalam kedalam goa, hingga akhirya kami berjumpa dengan jalur bercabang didalam sana, dan pak Harjo memutuskan untuk berpencar karena kondisi kita harus sesegera mungkin menemukan sukma Tias, karena jika semakin lama, raga Tias akan semakin lemah dan itu akan membuat tubuh Tias tidak bisa lagi menampung sukmanya.
Sekedar memberi tahu saja, tubuh kita ini adalah sebuah benda atau wadah, jika wadah itu rusak pasti sudah tidak bisa digunakan untuk menyimpan suatu benda atau zat lain, sama seperti Kantong yang sudah lapuk apa bila di berikan beban pasti juga sudah tidak akan mampu untuk menerimanya.
Dan dengan terpaksa aku mengiyakan walaupun dalam hati tetap ingin mencari bersama saja karena resiko diserang akan lebih mudah ditaklukan bersamaan, tapi karena ada desakan waktu apa boleh buat, akhirnya kita pun berpencar, dimana pak Harjo mengambil arah ke kiri dan aku kekanan.
Dalam perjalananku sendiri mencari Tias didalam goa, aku mencoba untuk terus memusatkan pikiranku untuk fokus mencari aura dari sukma Tias, hingga pada suatu saat, terdengar suara teriakan lirih dari arah depanku dan mungkin itu adalah suara Tias.
Aku bergegas untuk mencari sumber suara itu, suara langkah kakiku bergema didalam goa ini karena cukup sepi bunyi yang ditimbulkan langkah kakiku cukup kencang karena berlari, aku mencoba untuk menghentikan langkah kakiku untuk menajamkan pendengaranku ke suarah teriakan lirih tadi, namun sayang, terikan itu tidak terdengar lagi, sepertinya kalau dari suara tadi, dan jika benar itu Tias, dia sudah dalam keadaan yang aman terasa lelah.
Tak mau kelamaan berhenti mencari, aku putuskan untuk terus melangkah kedepan lagi dengan langkah kaki yang cepat, tidak peduli lagi dengan suara gema langkah kakiku ini, hingga akhirnya aku bercumpa dengan sebuah ruangan goa yang bisa dibilang berukuran sedang, dan disana aku ditemui oleh sosok perempuan bepakaian lusuh khas jawa dengan kain jarik bermotif rejeng sebagai bawahnnya, rambut panjang terurai lusuh menghiasi kepalanya, sebuah gambaran yang rambut yang hampir sama dengan yang di bawa Shinta waktu itu.
Sosok itu menyeringai menatap kearahku sambil tangan dalam posisi ngapurancang, dan saat aku sedang memperhatikan sosok itu, tiba tiba saja dengan seklebat sosok itu langsung menghilang, aku yang terkejut dengan pergerakan itu langsung melihat kesekililingku, berjaga jaga kalau dia tiba – tiba berada dibelakangku.
Namun setelah kuperhatikan kesekeliling, sosok itu sama sekali tidak muncul, dan aku putuskan untuk berlari ketempat dimana tadi dia muncul, yaitu di sebuah lubang gua yang menuju kesebuah tempat, karena dibelakang wanita tadi terdapat lorong yang menurutku mungkin saja diujung lorong sana adalah tempat dimana Tias berada.
Tak perlu berpikir panjang, aku menyiapkan energi di sekitaran tanganku untuk berjaga apabila nanti ada serangan dadakan dari pihak lawan.
Dan benar saja, saat aku mulai menyusuri lorong goa itu, beberapa ular keluar dari sela sela tembok lorong itu, tidak hanya memberikan sebuah warning, namun ular itu langsung menyerang begitu saja, dan kerana tanganku sudah ku kumpulkan energi, dengan mudah ular ular itu aku singkirkan dengan energi itu.
Suara tawa cekikikan terdengar menggema di lorong itu, dan aku juga menyadari lorong ini terasa sangat panjang seperti tidak berujung, dan setelah ku perhatikan di dinding dinding goa yang memiliki pola stalaktit dan stalakmit yang tidak beratruan, dan setelah di lihat kembali ternyata pola idari stalaktit dan stalakmit itu berulang dengan kata lain, aku hanya di putar putarkan saja oleh sook itu.
Setelah menyadarai hal tersebut, aku membaca amalan yang di ajarkan pak Harjo, bacaan itu kemudian aku kumpulkan ditangan dan setelah itu aku arahkah pada salah satu sisi tembok koa yang aku rasakan memiliki energi yang sedikit berbeda atau bisa dibilang memiliki celah.
Dan benar setelah aku arahkan tanganku yang sudah aku kumpulkan rapalan yang diajarkan pak Harjo, benar saja, sisi tembok itu langsung runtuh dan membuka sebuah ruangan yang ternyata disana sudah ada sosok wanita yang tadi menyeringai kepadaku, kali ini dia seolah sedang menugguku sambil duduk disebuah stalakmit sambil memangku dagu, dan tersenyum kepadaku.
“Lawas men tho le, angel tho nggoleki aku?” ucap wanita itu tersenyum.
(lama amat tho le, susah ya mencari aku?)
“Nengndi Tias?” tak ada basa basi, aku langsung menanyakan posisi Tias.
(Dimana Tias?)
“loh loh loh, kok kesusu wae, kene lungguh sek, koe lak yo sayah tho mesti?” ucap wanita itu menyuruhku untuk beristirahat dulu.
(loh loh loh, kok keburu buru aja, sini duduk dulu, kamu kan pasti capek kan?)
“Rausah kakean omong, bebasno Tias, koe bakal aman, ra perlu nganggo kekerasan, nek ora bakale rugi dewe koe” ucapku tetap meminta dia untuk segera melepaskan Tias.
(Nggak usah kebanyakan omong, bebaskan TIas, kamu bakal aman, tidak perlu pakai kekerasan, kalau tidak akan rugi sendiri kamu)
“eh eh eh, tibake koe sek ngekon wong wedok sek ngajar adiku tho, jebul ra bedo adoh yo” dengan ekspresi yang tiba tiba berubah menjadi melotot, sosok itu bertanya dan berdiri dari duduknya
(eh eh eh, ternyata kamu yang menyuruh cewek yang menghajar adik ku ya, ternyata tidak beda jauh ya)
“Oh kae rambut adimu tho, hehe, pantes ra asing karo rambut lecekmu sek podo persis karo sek digowo kancaku wingi, jebul asline pancen njijiki” ejeku berbalik padanya.
(Oh itu rambut adikmu tho, hehe, pantes tidak asing dengan rambut lusuhmu yang sama persis dengan yang dibawa temanku kemarin, ternyata aslinya memang menjijikan).
“Kurang aja, bakal tak enteki koe, pas dino iki bojoku bakal teko rene, koe sek bakal entek neng kene hahaha” ucap sosok wanita itu dengan PD berkata padaku.
(Kurang ajar, akan ku habisi kamu, pas hari ini kekasihku akan datang kemari, kamu yang bakal habis disini hahaha)
“Ha? Sopo? Bojo mu wes ra bakal wani karo aku, aku wes tau ketemu bojomu, dekne wes tau kalah nglawan pasukanku” ucapku sedikit menantang untuk memberanikan diri
(Ha? Siapa? Pacarmu sudah tidak akan berani denganku, aku sudah pernah bertemu pacarmu, dia sudah pernah kalah melawan pasukanku)
Terlihat ekspresi terkejut namun ragu pada wajahnya, degan langkah perlahan dia mencoba untuk mendekat, dan saat itu juga aku memperhatikan tangannya yang ternyata juga sedang bersiap untuk memberiku sebuah seragan.
Sementara itu dari sisi Shinta, tanpa aku sadari ternyata dia memiliki rencana sendiri, dia memastikan terlebih dahulu apakah Murni benar benar bisa dipercaya dan dapat dipegang kata katanya atau tidak, sebab Shinta merasa tidak ada yang perlu ditakutkan lagi karena disini hanya ada dua makhluk kakak beradik itu saja.
“Heh Murni, tak takoni pisan maneh, omonganmu iso di cekel ra, alias biso tak percaya ora?” tanya Shinta kasar sambil menjambak rambut Murni untuk melihat kearahnya.
(Heh Murni, ku tanyai sekali lagi, omonganmu bisa di pegang tidak, alias bisa dipercaya tidak?)
“Bisa, dijamin bisa, mergo pak Harjo karo Ryan wes janji karo aku meh nulungi aku ketemu mas Resmana” dengan mantab Murni menjawab pertanyaan Shinta.
(Bisa, dijamin Bisa, karena pak Harjo dan Ryan sudah janji sama aku mau membantu aku bertemu mas Resmana).
“Piye Agrani menurutmu, soale aku ono rencana ben cepet rampung masalah neng kene, opo koe bisa njamin Murni ora macem macem?” tanya Shinta pada Agrani.
(Gimana Agrani menurutmu, soalnya aku ada rencana biar cepat selesai masalah disini, apa kamu bisa menjamin Murni tidak macam – macam?)
“Saget putri, tenang mawon kulo ngraosaken nek Murni niki pancene niat kagem nulungi Tias, pun mboten nopo – nopo kulo sej njaga Murni, monggo putri Shinta gadah rencana kepripun?” ucap Agrani mantab menjamin Murni.
Setelah yakin dan berembug dengan Agrani, Shinta kemudian memberi tahu rencanya untuk menolong Tias, lebih tepatnya, karena Murni yang lebih paham dengan lokasi dimana Tias berada, Murni diminta oleh Shinta untuk membawa Argani ke lokasi dimana Tias berada, tepatnya mereka diminta untuk menyelamatkan Tias melalui jendela dimana Shinta dan Tias sempat berinteraksi tempo hari.
Sedangkan Shinta sendiri, dia berniat untuk kembali menyusul ke tempat ku berada, mungkin ada rasa khawatir pada batin shinta sehingga tidak percaya jika aku pergi sendirian, dan setelah menjelaskan rencananya itu, Agranipun menyetujuinya, begitu juga dengan Murni, dan tak perlu berlama lama, mereka pun dengan cepat melaksanakan rencana Shinta.
Aku terasa terpojok dengan sosok wanita bersisik dan berbulu itu, dilain gerakannya cepat, aku juga tidak tahan dengan aroma yang keluar dari tubuhnya, aroma busuk ini sama persis dengan potongan rambut yang dibawa oleh Shinta saat itu.
Beberapa kali aku merasa mual saat sosok itu bergerak dengan cepat untuk melawanku, sedangkan aku yang tidak kuat dengan aroma itu hanya bisa menghindar, karena karena bau busuk itu membuat energi yang sudah aku kumpulkan menjadi terpencar berantakan, entah bagaimana bisa SHinta dapat bertahan dari aroma sebusuk itu.
“kenangopo tho le, jarene meh nyelametake Tias, ngopo koe ra nyerang aku malah mung ngindar wae?” tanya sosok itu tertawa sambil terus bergerak menyerang.
(Kenapa tho le, katanya mau menyelamatkan Tias, kenapa kamu tidak menyerang aku malah hanya menghindar saja?)
“…..” aku sama sekali tidak bisa menjawab, justru saat dalam keadaaan dekat dan dia berbicara, bau busuk itu semakin kuat.
Namun hingga pada akhirnya aku menemukan celah, saat sosok wanita itu sedang tertawa mengejeku karena hanya menghindar saja, dan kebetulan dia bisa menangkap bajuku dibagian kerah, aku mencoba sebisa mungkin untuk menahan tidak mencium bau busuk darinya, konsentrasiku ku pusatkan pada cincin berwarna merah pemberian mbah Margono, dan hingga dia belum menyadari, ku arahkan pukulan itu tepat dirahang nya dan memberikan pukulan upercut.
Wanita itu kemudian terpental hingga membentur stalaktit goa yang berbentuk lumayan runcing dengan cukup kuat hingga mengakibatkan stalaktit itu juga patah terjatuh, stalaktit itu tepat mengenai rahang yang tadi juga aku pukulkan kepadanya, dan setelah itu sosok itu jatuh kelantai goa, sedangkan aku melompat menjauhinya untuk memberi jarak.
Aku melihat setelah dia terjatuh tak berselang lama kemudian, ada pergerakan kalau dia akan bangkit lagi, aku sama sekali tidak terkejut, aku akan terkejut apa bila sosok itu langsung tumbang oleh pukulanku yang hanya sekali, tapi dia berdiri dengan membelakangiku, dan saat dia berdiri sama aku melihat ada bagian dari tubuhnya yang menggelantung entah bagian apa itu.
Saat dia sudah berhasil bangkit lagi dan berbarik arah, ternyata yang menggantu itu adalah rahangnya, mungkin akibat benturan dan pukulan yang diterimanya tadi mengakibatkan rahanya patah dan lepas di salah satu sisinya.
Aku lumayan terkejut setelah melihat kondisinya itu, namun tak disangka, dengan tangan kanannya, rahang yang telah menggantung itu, dilepaskan sekalian olehnya, hingga perwujudannya sangat tidak normal dengan tidak adanya rahang bawah.
Suara erangan saat dia melepaskan rangannya terasa begitu menggelegar di goa ini membuatk telingaku lumayan kesakitan.
“Menungso kurang ajar, wani – wani ne nggawe aku koyo ngene!!” ucap sosok wanita itu, yang jelas juga membuatku terkejut, karena dengan rahang yang tidak ada, bagaimana cara dia berbicara.
(Manusia kurang ajar, berani – beraninya membuat aku seperti ini!!)
“Loh iseh iso ngomong jebul, marai aku kaget wae, la kan tambah ayu tho nek pacakane koyo iku?” ucapku mengejek sosok wanita itu.
(Loh masih bisa bicara ternyata, buat aku terkejut saja, la bukannya
regmekujo
arinu
arinu dan regmekujo memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.