- Beranda
- Stories from the Heart
Keluargaku Tulang Wangi
...
TS
muyasy
Keluargaku Tulang Wangi

Part 1
Aku mengajak Putri, anak pertamaku yang masih berumur tiga tahun beli jajan di rumah tetangga. Rumahnya terletak di belakang menghadap kebun. Kebun yang dulunya angker.
Dulu terdapat pohon Kepoh yang batangnya sangat tinggi dan besar. Banyak burung gagak yang selalu bertengger di ranting. Suaranya cumiakkan telinga dan gemar membuat bising. Terkadang ada aroma dupa yang menusuk hidung. Wanginya menyesakkan dada. Ternyata selain angker, tempat tersebut dijadikan makam para warga yang ada di desa maupun luar desa. Itu sekitar tahun 70-an. Sekarang tidak digunakan lagi karena, tiap dusun sudah mempunyai tempat makam sendiri.
Makin malam, sekitar jam delapan aku mengajak Putri untuk pulang. Kutuntun dia agar tidak terjatuh. Karena, jalan yang kulewati berbatu.
"Ayo, Put. Pulang," ajakku. Setelah aku sadar dengan ajakanku yang salah, aku mengganti ucapanku dengan yang lain. "Eh, salah. Ayo balik!"
Hatiku gelisah. Ucapanku mengajak anak pulang ternyata salah. "Moga nggak terjadi apa-apa."
Malam pun tiba. Putri tidur dengan gelisah. Lalu, menangis sambil meronta.
"Nak, bangun! Ayo buka matamu. Jangan merem. Buka matamu!"
Mas Dul, suamiku jadi bingung sekaligus kesal. "Putri ngelindur ini. Aku ambilkan garam brosok."
"Put, bangun, Nak!"
Pelan-pelan, anak semata wayangku membuka matanya. Aku lega, tetapi ....
"Itu, Bu ... aku takut. Itu .... hwa ...."
Putri malah menangis histeris sambil menutup mata. Dia memelukku erat sambil menunjuk di belakang pintu. Katanya takut. Takut dengan siapa? Tidak ada siapapun di sana.
Jangan-jangan ....
Kulihat Mas Dul membuang garam brosok ke setiap penjuru rumah. Mulutnya komat-kamit seperti baca doa. Entah doa apa itu.
Putri masih menangis. Ibu dan Bapak ikut terbangun.
"Masih jam dua pagi. Wajah anakmu bersihkan dengan air dan baca bismillah," titah Ibuku.
Aku langsung ke kamar mandi sambil berlari. Putri digendong neneknya malah tidak mau. Dia terus berteriak dan terus menunjuk pojokan belakang pintu. Rumah berlantai semen yang kupijak sangat bergerindil karena penuh garam. Seperti kata Mbah Buyut, guna garam brosok untuk mengusir hantu.
"Putri abis main kemana sampe ngelindur begitu," tanya Mas Dul dengan wajah marah. Namun, ekspresinya yang semula tegang terlihat tenang karena di sampingku ada Ibu sekaligus mertuanya.
Aku sedang menyeka wajah Putri dengan sapu tangan yang basah agar dia membuka matanya. Namun, tetap saja dia tidak mau membuka matanya. Tidak mengapa, asalkan anakku sudah tidak menangis lagi. Mungkin doa dan garam brosok yang membuat hantunya sudah pergi.
"Kemarin aku ajak Putri beli jajan di rumah Cak Diono. Saat pulang aku salah ngomong. Harusnya bilang balik, tapi aku bilang pulang," jawabku dengan polosnya.
"Kamu, Dek. Besok jangan beli ke sana lagi!"
"Iya," jawabku singkat.
Baru saja Putri diam, tetiba anakku menangis lagi. Meronta dan memelukku erat seperti tadi.
"Put ... udah, tenang. Ayo tidur lagi. Cup ... cup ...."
Kuelus rambut dan wajahnya. Ibu yang semua di ruang tengah menghampiriku ke kamar.
"Ayo gendong sama nenek, yok!"
"Itu ... itu hantuu ... orangnya gede hitam, matanya merah ... hwa ...."
"Mana, sih, Put. Nggak ada apa-apa di sana," bujukku pada Putri.
Telunjuknya mengarah ke belakang pintu. Aku seperti orang bodoh yang tidak bisa melihat yang tak kasat mata. Memang yang kulihat tidak ada apa-apa, selain beberapa baju tergantung di gantungan yang menempel di tembok.
Aku memeluk anakku karena tidak mau digendong. Dia sesenggukan. Ibu kusuruh tidur lagi. Mas Dul masuk kamar dan duduk menatapku yang memeluk anak perempuannya ini.
Kulihat jam empat pagi. Berarti dua jam Putri menangis. Lambat laun kudengar napasnya taratur menandakan tidurnya nyenyak kembali.
"Mas, sini tidur lagi. Pasti ngantuk."
"Nggak. Hampir subuh."
Kami berbicara berbisik, takutnya menganggu Putri yang baru terlelap.
"Mas liat di pojokan pintu ada hantunya. Kata Putri tadi ada orang gede hitam dan matanya merah. Bukankah itu Genderuwo."
"Nggak ada apa-apa."
Mas Dul rebahan dan menutup matanya. Aku sangat kesal dibuatnya.
"Katanya bisa liat hantu, ditanya malah nggak ada apa-apa," gumamku dengan lirih.
Aku pun menutup mata. Rasa ngantuk mulai datang. Minta satu jam saja untuk tidur sejenak. Nanti azan Subuh pasti dengar karena musala terletak tak jauh dari rumah.
Bersambung
Note:
Garam brosok : garam kasar
Cak : Mas
Sumber gambar : pinterest edit by PicsArt
Diubah oleh muyasy 22-08-2024 18:02
sukhhoi dan 45 lainnya memberi reputasi
46
23K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
muyasy
#268
PART 66
Aku sampai lupa bertanya pada Mas Dul saat dia mendatangi Cak Soir di rumahnya sore itu. Kata Mas Dul, ada istrinya Cak Soir juga di rumah. Namanya Neng Is.
"Lapo, Dul?" tanya Cak Soir. Dia sedang duduk di teras bersama istrinya.
(Ada apa, Dul?)
"Enten perlune kaleh sampeyan," jawab Mas Dul singkat. Kemarahannya dia tahan.
(Ada perlunya sama kamu)
"Perlu opo, rek? Nek ngunu ayo melbu nang bale," suruh Cak Soir segera berdiri dari duduknya dan mempersilakan Mas Dul masuk ke ruang tamu. Neng Is pun ikutan masuk dengan segala tanda tanya di kepalanya.
(Perlu apa, rek? Kalo gitu ayo masuk ke ruang tamu)
Mereka bertiga duduk di kursi anyaman yang terbuat dari plastik sintetis. Nampak elegan dengan berwarna hitam. Sementara, Neng Is menyuguhkan air mineral kemasan di atas meja. Mas Dul hanya mengangguk saja.
"Wes langsung ae, Cak. Kate magreb soale. Ngene, Putri pean takoni opo ae sampe arek'e wedi karo pean? Iko, Putri ndek omah, sekolah paleh jalok ditunggok'i. Ngaji paleh gak gelem. Krungu sepeda montor pean ae wes keplayon. Padahal suoro sepeda pean sek adoh ngunu arek'e wes keweden," ujar Mas Dul panjang lebar sampai kedua orang di depannya itu keheranan. Terlebih Neng Is yang tidak tahu apa-apa.
(Udah langsung aja, Cak. Mau magrib soalnya. Begini, Putri kamu tanyai apa aja sampe dia takut sama kamu? Itu, Putri di rumah, sekolah jadi ingin ditunggui. Mengaji jadi gak mau. Dengar sepeda motormu aja udah lari terbirit-birit. Padahal suara sepedamu masih jauh gitu dia udah ketakutan)
"Putri pean apakno, Mas?" tanya Neng Is pada suaminya.
(Putri kamu apain, Mas?)
"Kapan, Dul? Aku gak lapo-lapo, kok," ucap Cak Soir seperti lupa akan kesalahan yang dia lakukan membuat Mas Dul naik pitam.
(Kapan, Dul? Aku gak ngapa-ngapain, kok)
"Wes oleh pirang wulan, Cak. Aku sek kaet iki ngomong nang pean. Mergo Putri koyok ngunu. Moso' pean lali. Areke budal ngaji jam e ngepres pean takoni ae. Arek wes gopoh budale malah pean cegat. Gok dalan pengger omahe Cak Rokman kunu. Maringono areke moleh nanges sampe mutah-mutah." Mas Dul menceritakan kembali awal masalah ini terjadi.
(Udah berapa bulan ini, Cak. Aku baru ngomong sekarang ke kamu. Karena, Putri kayak begitu. Masa' kamu lupa. Dia berangkat mengaji jamnya mepet kamu tanyain aja. Dia udah tergesa berangkatnya malah kamu cegat. Di jalan samping rumahnya Cak Rokman situ. Abis itu dia pulang menangis sampe muntah-muntah)
Cak Soir diam dengan ekspresi gugup. Laki-laki berambut gondrong yang diikat dengan tali karet itu sepertinya mengingat-ingat kesalahannya waktu itu. Akan tetapi ....
"Aku mek takok tok kok. Moro-moro areke nanges," kata Cak Soir tanpa rasa bersalah.
(Aku hanya tanya aja kok. Tiba-tiba dia nangis)
"Masi pean takok tok wong arek ngaji dicegat. Pean negak percoyo, delok'en Putri nang omah. Arek terus keweden ae. Nek onok opo-opo gelem a pean tanggung jawab?" ancam Mas Dul membuat keduanya diam.
(Meskipun kamu tanya aja, tapi dia mengaji dicegat. Kamu kalo gak percaya, liat Putri di rumah. Dia terus ketakutan. Kalo kenapa-napa, apa kamu mau tanggung jawab?)
"Pokoke mene nek Putri gelem ngaji maneh tah bee pean petok Putri liwat kene, ojok atek takon, ojok atek nyopo. Pokoke menengo. Ibukne ndek omah sampe bengong bujuk Putri yokpo carane gelem ngaji maneh. Yo nek onok dalan maneh ngunu isok liwat dalan liyane. Wong kate ngaji liwate isok dalan sitok iki tok," lanjut Mas Dul lagi.
(Pokoknya besok kalo Putri mau mengaji lagi atau mungkin kamu liat Putri lewat sini, jangan sekali-kali ditanyai, jangan sekali-kali menyapa. Pokoknya diam aja. Ibunya di rumah sampe bingung bujuk Putri gimana caranya mau mengaji lagi. Ya kalo ada jalan lagi gitu bisa lewat jalan lainnya. La kan mau mengaji lewatnya bisa jalan satu ini aja)
"Ancene pean kemalan gudo arek cilik," tuduh Neng Is pada suaminya. Cak soir hanya diam saja.
(Memang kamu berlebihan goda anak kecil)
"Wes, Neng, Cak. Aku tak balek," pamit Mas Dul pada sang pemilik rumah. Mas Dul lekas keluar rumah dengan perasaan sedih.
(Udah, Neng, Cak. Aku tak balik)
"Sepurane, ngge, Dul. Bojoku kemalan ngunu ancene," kata Neng Is pada Mas Dul. Mas Dul hanya mengangguk dan langsung pulang.
(Maaf, ya, Dul. Suamiku berlebihan gitu emang)
***
Pelajaran baru telah tiba. Aku sebenarnya belum siap hal ini terjadi, tetapi aku sudah menduganya jika Putri tidak akan mau jauh dariku. Apalagi yang kukawatirkan saat ini adalah kakak iparku yang bernama Neng Pah juga menyekolahkan anak bungsunya di sini. Anaknya bernama Rena. Aku takut jika kakak iparku ini akan memarahiku atau menyuruh ini itu. Akan tetapi, nasihat yang mungkin saja akan dia utarakan nanti, aku tidak memerlukannya. Cukuplah diam dan amati saja. Jangan ikut merepotkanku. Pikiranku sudah buntu soalnya.
Sampai sekolah SDN Sumberwaru 1, kami semua mencari bangku sekolah. Bukan mencari, lebih tepatnya berebut bangku agar dapat bangku paling depan. Aku mendapatkan bangku nomor 4 paling belakang. Tidak apa-apa, yang penting anakku mau sekolah. Pikirku begitu.
Bel sekolah pun berbunyi. Para wali murid masih memegangi kursi dan bangku. Supaya anak mereka tahu duduk di mana. Wali kelas sudah masuk ke ruang kelas dan memahami situasi di sana, karena beliau sudah hapal keadaan menjelang tahun ajaran baru.
Putri malah menangis. Tidak mau masuk ke ruang kelas. Aku peluk dia di teras sekolahan.
"Gak popo. Enten Ibuk. Ibuk gak nandi-nandi. Ayo, Ibuk melok menjero lenggah karo pean." Akhirnya Putri mau masuk ke ruang kelas sambil memeluk badanku dengan erat. Semua orang melihatku dan aku tidak mengapa.
(Gak papa. Ada Ibuk. Ibuk gak kemana-mana. Ayo, Ibuk ikut ke dalam duduk denganmu)
"Lapo, Dek?" tanya Neng Pah.
(Kenapa, Dik?)
"Mboten poron melbet, Neng. Niki kaleh kulo melbete. Ngken tak sanjang gurune nek kulo tumut teng lebet," jawabku pada kakak iparku itu.
(Gak mau masuk, Mbak. Ini denganku aja masuknya. Nanti aku bilang gurunya kalo aku ikut ke dalam)
"Yo wes gak popo," ucap Neng Pah membawa angin segar pagi ini. Pikiran burukku gampang merasuki semenjak sering ada masalah. Namun, memang kubenarkan sifat kakak iparku satu ini. Dia lebih mengerti aku dan tidak banyak menuntut. Kecuali, kakak iparku satunya. Ah, sudahlah.
(Ya udah gak papa)
Aku berjalan sedikit terseok karena badan Putri berat juga. Dia merangkul pinggangku begitu erat sampai aku susah berjalan. Kuhampiri meja nomor empat paling belakang. Putri duduk sebangku dengan Vika. Dia masih saudara dari suamiku. Untung Vika mengerti soal Putri, jadi diam saja.
Wali kelas di sini wanita berumur setengah abad. Tampak tersenyum tulus dan terlihat penyabar. Namanya Bu Tutik. Beliau berjalan ke murid-murid barunya dan bertanya bagaimana perasaan mereka. Barulah Bu Tutik sampai ke meja anakku. Aku pun berdiri, tetapi tangan kiriku tetap dipegangi Putri.
"Bu, ngapunten. Kulo ijin tumut lenggah teng mriki, nggeh. Soale yugo kulo niki enten trauma kaleh tiyang jaler. Dados ngeten," ucapku pada Bu Tutik.
(Bu, maaf. Aku ijin ikut duduk di sini, ya. Soalnya anakku ini ada trauma sama laki-laki. Jadi begini)
"Ya Allah, saknoe, Mbak. Asale kengeng nopo?" tanya Bu Tutik sambil mengelus kepala Putri.
(Ya Allah, kasian, Mbak. Asalnya kenapa?)
"Ket sekolah TK B niko, Bu. Yugo kulo bidal ngaji jam e ngepres dicegat tanggi kulo jaler. Mantuk'e nanges sampe mutah," ceritaku pada Bu Tutik.
(Dari sekolah TK B dulu, Bu. Anakku berangkat mengaji jamnya mepet dicegat tetangga laki-laki. Pulangnya nangis sampe muntah)
"Ngge, ngge. Mboten nopo-nopo sampeyan teng mriki, pokoke yugo pean poron sekolah. Ngoten mawon," tutur Bu Tutik membuatku lega.
(Iya, iya. Gak papa kamu di sini, pokoknya anakmu mau sekolah. Gitu aja)
Beliau mendekat dan badannya sedikit dibungkukkan. "Namanya siapa?"
"Putri."
"Oh, Mbak Putri. Ini sebangku sama Mbak Putri siapa namanya?"
"Vika."
"Oh, Mbak Vika. Pinter. Belajar yang rajin sama Mbak Putri, ya," kata Bu Tutik pada Vika. Vika menjawab iya.
"Sekarang ayo nyanyi lagu anak-anak. Lagu apa hayo?" ucap Bu Tutik dengan suara keras. Ruangan kelas ini memang begitu besar. Apalagi mengajar anak kelas satu yang baru saja masuk sekolah dasar. Masih petakilan dan ribut sendiri.
Aku lupa berapa bulan, diri ini menunggui Putri di ruang kelas. Satu kursi kecil kududuki dengan Putri. Memang Putri tidak mau jauh denganku. Sebelah kakiku kesemutan sampai paha. Memang tidak nyaman duduk berhimpitan dengan Putri. Sampai aku memohon pada Putri, agar aku duduk di bangku lain, tetapi masih di ruang kelas dan tetap memantaunya. Akhirnya, dia mengabulkan permintaanku.
Benar-benar aku menunggunya di ruang kelas sampai jam pelajaran usai. Jam tujuh pagi sampai jam 10 pagi. Saat jam istirahat, Putri mau diajak teman-temannya ke kantin. Malah dia senang sekali. Aku ikut tersenyum saat dia tersenyum. Akan tetapi, saat pelajaran olah raga dia tidak mau ikut. Karena gurunya seorang laki-laki. Aku lupa belum memberitahu Pak Rehan. Putri sampai berlari sambil menangis dan bersembunyi di belakang punggungku. Padahal Pak Rehan hanya menyapanya.
Pernah suatu hari Bu Tutik menyuruh anak kelas 1 jalan santai. Pertama, melewati jembatan yang berada di depan sekolah dan berjalan ke Timur sampai melewati jembatan bagian Barat. Kemudian, belok ke jalan yang mengarah ke sekolah. Sebelum melewati jembatan di bagian Barat, Putri tidak sengaja melihat Cak Soir sedang nonkrong di warung kopi milik Cak Parno. Bu Tutik tahu hal itu, karena sudah kuberitahu ciri-ciri Cak Soir. Bu Tutik segera mendekat ke Putri dan memeluknya.
"Gak popo. Enten Bu Tutik. Iko, se, wonge rambute dowo," ujar Bu Tutik dengan pelan. Putri mengangguk.
(Gak papa. Ada Bu Tutik. Itu, kan orangnya rambutnya panjang)
"Halah ... wonge ngopi, kok. Gak popo, ngge. Ayok, jalan maneh!"
(Halah ... orangnya ngopi, kok. Gak papa, ya. Ayok, jalan lagi!)
Sampai di sekolah, Bu Tutik menceritakan hal itu padaku. "Ngge, Mbak. Putri awake ngejer. Wedi, ngge, larene."
(Iya, Mbak. Putri badannya gemetar. Takut, ya, dia)
"Ngge, Bu. Suwon wau ngerangkul Putri, Bu. Kulo kwater nek Putri nanges."
(Iya, Bu. Makasih tadi memeluk Putri, Bu. Aku kawatir kalo Putri menangis)
"Ngge, sami-sami. Pon tugas kulo, Mbak. Mugi-mugi Mbak Putri pulih maleh, ngge."
(Iya, sama-sama. Udah tugasku, Mbak. Moga-moga Mbak Putri pulih lagi, ya)
Bersambung
Aku sampai lupa bertanya pada Mas Dul saat dia mendatangi Cak Soir di rumahnya sore itu. Kata Mas Dul, ada istrinya Cak Soir juga di rumah. Namanya Neng Is.
"Lapo, Dul?" tanya Cak Soir. Dia sedang duduk di teras bersama istrinya.
(Ada apa, Dul?)
"Enten perlune kaleh sampeyan," jawab Mas Dul singkat. Kemarahannya dia tahan.
(Ada perlunya sama kamu)
"Perlu opo, rek? Nek ngunu ayo melbu nang bale," suruh Cak Soir segera berdiri dari duduknya dan mempersilakan Mas Dul masuk ke ruang tamu. Neng Is pun ikutan masuk dengan segala tanda tanya di kepalanya.
(Perlu apa, rek? Kalo gitu ayo masuk ke ruang tamu)
Mereka bertiga duduk di kursi anyaman yang terbuat dari plastik sintetis. Nampak elegan dengan berwarna hitam. Sementara, Neng Is menyuguhkan air mineral kemasan di atas meja. Mas Dul hanya mengangguk saja.
"Wes langsung ae, Cak. Kate magreb soale. Ngene, Putri pean takoni opo ae sampe arek'e wedi karo pean? Iko, Putri ndek omah, sekolah paleh jalok ditunggok'i. Ngaji paleh gak gelem. Krungu sepeda montor pean ae wes keplayon. Padahal suoro sepeda pean sek adoh ngunu arek'e wes keweden," ujar Mas Dul panjang lebar sampai kedua orang di depannya itu keheranan. Terlebih Neng Is yang tidak tahu apa-apa.
(Udah langsung aja, Cak. Mau magrib soalnya. Begini, Putri kamu tanyai apa aja sampe dia takut sama kamu? Itu, Putri di rumah, sekolah jadi ingin ditunggui. Mengaji jadi gak mau. Dengar sepeda motormu aja udah lari terbirit-birit. Padahal suara sepedamu masih jauh gitu dia udah ketakutan)
"Putri pean apakno, Mas?" tanya Neng Is pada suaminya.
(Putri kamu apain, Mas?)
"Kapan, Dul? Aku gak lapo-lapo, kok," ucap Cak Soir seperti lupa akan kesalahan yang dia lakukan membuat Mas Dul naik pitam.
(Kapan, Dul? Aku gak ngapa-ngapain, kok)
"Wes oleh pirang wulan, Cak. Aku sek kaet iki ngomong nang pean. Mergo Putri koyok ngunu. Moso' pean lali. Areke budal ngaji jam e ngepres pean takoni ae. Arek wes gopoh budale malah pean cegat. Gok dalan pengger omahe Cak Rokman kunu. Maringono areke moleh nanges sampe mutah-mutah." Mas Dul menceritakan kembali awal masalah ini terjadi.
(Udah berapa bulan ini, Cak. Aku baru ngomong sekarang ke kamu. Karena, Putri kayak begitu. Masa' kamu lupa. Dia berangkat mengaji jamnya mepet kamu tanyain aja. Dia udah tergesa berangkatnya malah kamu cegat. Di jalan samping rumahnya Cak Rokman situ. Abis itu dia pulang menangis sampe muntah-muntah)
Cak Soir diam dengan ekspresi gugup. Laki-laki berambut gondrong yang diikat dengan tali karet itu sepertinya mengingat-ingat kesalahannya waktu itu. Akan tetapi ....
"Aku mek takok tok kok. Moro-moro areke nanges," kata Cak Soir tanpa rasa bersalah.
(Aku hanya tanya aja kok. Tiba-tiba dia nangis)
"Masi pean takok tok wong arek ngaji dicegat. Pean negak percoyo, delok'en Putri nang omah. Arek terus keweden ae. Nek onok opo-opo gelem a pean tanggung jawab?" ancam Mas Dul membuat keduanya diam.
(Meskipun kamu tanya aja, tapi dia mengaji dicegat. Kamu kalo gak percaya, liat Putri di rumah. Dia terus ketakutan. Kalo kenapa-napa, apa kamu mau tanggung jawab?)
"Pokoke mene nek Putri gelem ngaji maneh tah bee pean petok Putri liwat kene, ojok atek takon, ojok atek nyopo. Pokoke menengo. Ibukne ndek omah sampe bengong bujuk Putri yokpo carane gelem ngaji maneh. Yo nek onok dalan maneh ngunu isok liwat dalan liyane. Wong kate ngaji liwate isok dalan sitok iki tok," lanjut Mas Dul lagi.
(Pokoknya besok kalo Putri mau mengaji lagi atau mungkin kamu liat Putri lewat sini, jangan sekali-kali ditanyai, jangan sekali-kali menyapa. Pokoknya diam aja. Ibunya di rumah sampe bingung bujuk Putri gimana caranya mau mengaji lagi. Ya kalo ada jalan lagi gitu bisa lewat jalan lainnya. La kan mau mengaji lewatnya bisa jalan satu ini aja)
"Ancene pean kemalan gudo arek cilik," tuduh Neng Is pada suaminya. Cak soir hanya diam saja.
(Memang kamu berlebihan goda anak kecil)
"Wes, Neng, Cak. Aku tak balek," pamit Mas Dul pada sang pemilik rumah. Mas Dul lekas keluar rumah dengan perasaan sedih.
(Udah, Neng, Cak. Aku tak balik)
"Sepurane, ngge, Dul. Bojoku kemalan ngunu ancene," kata Neng Is pada Mas Dul. Mas Dul hanya mengangguk dan langsung pulang.
(Maaf, ya, Dul. Suamiku berlebihan gitu emang)
***
Pelajaran baru telah tiba. Aku sebenarnya belum siap hal ini terjadi, tetapi aku sudah menduganya jika Putri tidak akan mau jauh dariku. Apalagi yang kukawatirkan saat ini adalah kakak iparku yang bernama Neng Pah juga menyekolahkan anak bungsunya di sini. Anaknya bernama Rena. Aku takut jika kakak iparku ini akan memarahiku atau menyuruh ini itu. Akan tetapi, nasihat yang mungkin saja akan dia utarakan nanti, aku tidak memerlukannya. Cukuplah diam dan amati saja. Jangan ikut merepotkanku. Pikiranku sudah buntu soalnya.
Sampai sekolah SDN Sumberwaru 1, kami semua mencari bangku sekolah. Bukan mencari, lebih tepatnya berebut bangku agar dapat bangku paling depan. Aku mendapatkan bangku nomor 4 paling belakang. Tidak apa-apa, yang penting anakku mau sekolah. Pikirku begitu.
Bel sekolah pun berbunyi. Para wali murid masih memegangi kursi dan bangku. Supaya anak mereka tahu duduk di mana. Wali kelas sudah masuk ke ruang kelas dan memahami situasi di sana, karena beliau sudah hapal keadaan menjelang tahun ajaran baru.
Putri malah menangis. Tidak mau masuk ke ruang kelas. Aku peluk dia di teras sekolahan.
"Gak popo. Enten Ibuk. Ibuk gak nandi-nandi. Ayo, Ibuk melok menjero lenggah karo pean." Akhirnya Putri mau masuk ke ruang kelas sambil memeluk badanku dengan erat. Semua orang melihatku dan aku tidak mengapa.
(Gak papa. Ada Ibuk. Ibuk gak kemana-mana. Ayo, Ibuk ikut ke dalam duduk denganmu)
"Lapo, Dek?" tanya Neng Pah.
(Kenapa, Dik?)
"Mboten poron melbet, Neng. Niki kaleh kulo melbete. Ngken tak sanjang gurune nek kulo tumut teng lebet," jawabku pada kakak iparku itu.
(Gak mau masuk, Mbak. Ini denganku aja masuknya. Nanti aku bilang gurunya kalo aku ikut ke dalam)
"Yo wes gak popo," ucap Neng Pah membawa angin segar pagi ini. Pikiran burukku gampang merasuki semenjak sering ada masalah. Namun, memang kubenarkan sifat kakak iparku satu ini. Dia lebih mengerti aku dan tidak banyak menuntut. Kecuali, kakak iparku satunya. Ah, sudahlah.
(Ya udah gak papa)
Aku berjalan sedikit terseok karena badan Putri berat juga. Dia merangkul pinggangku begitu erat sampai aku susah berjalan. Kuhampiri meja nomor empat paling belakang. Putri duduk sebangku dengan Vika. Dia masih saudara dari suamiku. Untung Vika mengerti soal Putri, jadi diam saja.
Wali kelas di sini wanita berumur setengah abad. Tampak tersenyum tulus dan terlihat penyabar. Namanya Bu Tutik. Beliau berjalan ke murid-murid barunya dan bertanya bagaimana perasaan mereka. Barulah Bu Tutik sampai ke meja anakku. Aku pun berdiri, tetapi tangan kiriku tetap dipegangi Putri.
"Bu, ngapunten. Kulo ijin tumut lenggah teng mriki, nggeh. Soale yugo kulo niki enten trauma kaleh tiyang jaler. Dados ngeten," ucapku pada Bu Tutik.
(Bu, maaf. Aku ijin ikut duduk di sini, ya. Soalnya anakku ini ada trauma sama laki-laki. Jadi begini)
"Ya Allah, saknoe, Mbak. Asale kengeng nopo?" tanya Bu Tutik sambil mengelus kepala Putri.
(Ya Allah, kasian, Mbak. Asalnya kenapa?)
"Ket sekolah TK B niko, Bu. Yugo kulo bidal ngaji jam e ngepres dicegat tanggi kulo jaler. Mantuk'e nanges sampe mutah," ceritaku pada Bu Tutik.
(Dari sekolah TK B dulu, Bu. Anakku berangkat mengaji jamnya mepet dicegat tetangga laki-laki. Pulangnya nangis sampe muntah)
"Ngge, ngge. Mboten nopo-nopo sampeyan teng mriki, pokoke yugo pean poron sekolah. Ngoten mawon," tutur Bu Tutik membuatku lega.
(Iya, iya. Gak papa kamu di sini, pokoknya anakmu mau sekolah. Gitu aja)
Beliau mendekat dan badannya sedikit dibungkukkan. "Namanya siapa?"
"Putri."
"Oh, Mbak Putri. Ini sebangku sama Mbak Putri siapa namanya?"
"Vika."
"Oh, Mbak Vika. Pinter. Belajar yang rajin sama Mbak Putri, ya," kata Bu Tutik pada Vika. Vika menjawab iya.
"Sekarang ayo nyanyi lagu anak-anak. Lagu apa hayo?" ucap Bu Tutik dengan suara keras. Ruangan kelas ini memang begitu besar. Apalagi mengajar anak kelas satu yang baru saja masuk sekolah dasar. Masih petakilan dan ribut sendiri.
Aku lupa berapa bulan, diri ini menunggui Putri di ruang kelas. Satu kursi kecil kududuki dengan Putri. Memang Putri tidak mau jauh denganku. Sebelah kakiku kesemutan sampai paha. Memang tidak nyaman duduk berhimpitan dengan Putri. Sampai aku memohon pada Putri, agar aku duduk di bangku lain, tetapi masih di ruang kelas dan tetap memantaunya. Akhirnya, dia mengabulkan permintaanku.
Benar-benar aku menunggunya di ruang kelas sampai jam pelajaran usai. Jam tujuh pagi sampai jam 10 pagi. Saat jam istirahat, Putri mau diajak teman-temannya ke kantin. Malah dia senang sekali. Aku ikut tersenyum saat dia tersenyum. Akan tetapi, saat pelajaran olah raga dia tidak mau ikut. Karena gurunya seorang laki-laki. Aku lupa belum memberitahu Pak Rehan. Putri sampai berlari sambil menangis dan bersembunyi di belakang punggungku. Padahal Pak Rehan hanya menyapanya.
Pernah suatu hari Bu Tutik menyuruh anak kelas 1 jalan santai. Pertama, melewati jembatan yang berada di depan sekolah dan berjalan ke Timur sampai melewati jembatan bagian Barat. Kemudian, belok ke jalan yang mengarah ke sekolah. Sebelum melewati jembatan di bagian Barat, Putri tidak sengaja melihat Cak Soir sedang nonkrong di warung kopi milik Cak Parno. Bu Tutik tahu hal itu, karena sudah kuberitahu ciri-ciri Cak Soir. Bu Tutik segera mendekat ke Putri dan memeluknya.
"Gak popo. Enten Bu Tutik. Iko, se, wonge rambute dowo," ujar Bu Tutik dengan pelan. Putri mengangguk.
(Gak papa. Ada Bu Tutik. Itu, kan orangnya rambutnya panjang)
"Halah ... wonge ngopi, kok. Gak popo, ngge. Ayok, jalan maneh!"
(Halah ... orangnya ngopi, kok. Gak papa, ya. Ayok, jalan lagi!)
Sampai di sekolah, Bu Tutik menceritakan hal itu padaku. "Ngge, Mbak. Putri awake ngejer. Wedi, ngge, larene."
(Iya, Mbak. Putri badannya gemetar. Takut, ya, dia)
"Ngge, Bu. Suwon wau ngerangkul Putri, Bu. Kulo kwater nek Putri nanges."
(Iya, Bu. Makasih tadi memeluk Putri, Bu. Aku kawatir kalo Putri menangis)
"Ngge, sami-sami. Pon tugas kulo, Mbak. Mugi-mugi Mbak Putri pulih maleh, ngge."
(Iya, sama-sama. Udah tugasku, Mbak. Moga-moga Mbak Putri pulih lagi, ya)
Bersambung
Diubah oleh muyasy 11-12-2024 19:32
nderek.langkung dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup