- Beranda
- Stories from the Heart
Keluargaku Tulang Wangi
...
TS
muyasy
Keluargaku Tulang Wangi

Part 1
Aku mengajak Putri, anak pertamaku yang masih berumur tiga tahun beli jajan di rumah tetangga. Rumahnya terletak di belakang menghadap kebun. Kebun yang dulunya angker.
Dulu terdapat pohon Kepoh yang batangnya sangat tinggi dan besar. Banyak burung gagak yang selalu bertengger di ranting. Suaranya cumiakkan telinga dan gemar membuat bising. Terkadang ada aroma dupa yang menusuk hidung. Wanginya menyesakkan dada. Ternyata selain angker, tempat tersebut dijadikan makam para warga yang ada di desa maupun luar desa. Itu sekitar tahun 70-an. Sekarang tidak digunakan lagi karena, tiap dusun sudah mempunyai tempat makam sendiri.
Makin malam, sekitar jam delapan aku mengajak Putri untuk pulang. Kutuntun dia agar tidak terjatuh. Karena, jalan yang kulewati berbatu.
"Ayo, Put. Pulang," ajakku. Setelah aku sadar dengan ajakanku yang salah, aku mengganti ucapanku dengan yang lain. "Eh, salah. Ayo balik!"
Hatiku gelisah. Ucapanku mengajak anak pulang ternyata salah. "Moga nggak terjadi apa-apa."
Malam pun tiba. Putri tidur dengan gelisah. Lalu, menangis sambil meronta.
"Nak, bangun! Ayo buka matamu. Jangan merem. Buka matamu!"
Mas Dul, suamiku jadi bingung sekaligus kesal. "Putri ngelindur ini. Aku ambilkan garam brosok."
"Put, bangun, Nak!"
Pelan-pelan, anak semata wayangku membuka matanya. Aku lega, tetapi ....
"Itu, Bu ... aku takut. Itu .... hwa ...."
Putri malah menangis histeris sambil menutup mata. Dia memelukku erat sambil menunjuk di belakang pintu. Katanya takut. Takut dengan siapa? Tidak ada siapapun di sana.
Jangan-jangan ....
Kulihat Mas Dul membuang garam brosok ke setiap penjuru rumah. Mulutnya komat-kamit seperti baca doa. Entah doa apa itu.
Putri masih menangis. Ibu dan Bapak ikut terbangun.
"Masih jam dua pagi. Wajah anakmu bersihkan dengan air dan baca bismillah," titah Ibuku.
Aku langsung ke kamar mandi sambil berlari. Putri digendong neneknya malah tidak mau. Dia terus berteriak dan terus menunjuk pojokan belakang pintu. Rumah berlantai semen yang kupijak sangat bergerindil karena penuh garam. Seperti kata Mbah Buyut, guna garam brosok untuk mengusir hantu.
"Putri abis main kemana sampe ngelindur begitu," tanya Mas Dul dengan wajah marah. Namun, ekspresinya yang semula tegang terlihat tenang karena di sampingku ada Ibu sekaligus mertuanya.
Aku sedang menyeka wajah Putri dengan sapu tangan yang basah agar dia membuka matanya. Namun, tetap saja dia tidak mau membuka matanya. Tidak mengapa, asalkan anakku sudah tidak menangis lagi. Mungkin doa dan garam brosok yang membuat hantunya sudah pergi.
"Kemarin aku ajak Putri beli jajan di rumah Cak Diono. Saat pulang aku salah ngomong. Harusnya bilang balik, tapi aku bilang pulang," jawabku dengan polosnya.
"Kamu, Dek. Besok jangan beli ke sana lagi!"
"Iya," jawabku singkat.
Baru saja Putri diam, tetiba anakku menangis lagi. Meronta dan memelukku erat seperti tadi.
"Put ... udah, tenang. Ayo tidur lagi. Cup ... cup ...."
Kuelus rambut dan wajahnya. Ibu yang semua di ruang tengah menghampiriku ke kamar.
"Ayo gendong sama nenek, yok!"
"Itu ... itu hantuu ... orangnya gede hitam, matanya merah ... hwa ...."
"Mana, sih, Put. Nggak ada apa-apa di sana," bujukku pada Putri.
Telunjuknya mengarah ke belakang pintu. Aku seperti orang bodoh yang tidak bisa melihat yang tak kasat mata. Memang yang kulihat tidak ada apa-apa, selain beberapa baju tergantung di gantungan yang menempel di tembok.
Aku memeluk anakku karena tidak mau digendong. Dia sesenggukan. Ibu kusuruh tidur lagi. Mas Dul masuk kamar dan duduk menatapku yang memeluk anak perempuannya ini.
Kulihat jam empat pagi. Berarti dua jam Putri menangis. Lambat laun kudengar napasnya taratur menandakan tidurnya nyenyak kembali.
"Mas, sini tidur lagi. Pasti ngantuk."
"Nggak. Hampir subuh."
Kami berbicara berbisik, takutnya menganggu Putri yang baru terlelap.
"Mas liat di pojokan pintu ada hantunya. Kata Putri tadi ada orang gede hitam dan matanya merah. Bukankah itu Genderuwo."
"Nggak ada apa-apa."
Mas Dul rebahan dan menutup matanya. Aku sangat kesal dibuatnya.
"Katanya bisa liat hantu, ditanya malah nggak ada apa-apa," gumamku dengan lirih.
Aku pun menutup mata. Rasa ngantuk mulai datang. Minta satu jam saja untuk tidur sejenak. Nanti azan Subuh pasti dengar karena musala terletak tak jauh dari rumah.
Bersambung
Note:
Garam brosok : garam kasar
Cak : Mas
Sumber gambar : pinterest edit by PicsArt
Diubah oleh muyasy 22-08-2024 18:02
sukhhoi dan 45 lainnya memberi reputasi
46
23K
1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
muyasy
#209
PART 52
Setelah menulis cerita di Kaskus Forum, diri ini mencari cerita horor misteri milik Om Drag di forum SFTH. Beliau kaskuser juga yang hobi menulis cerita genre tersebut. Cerita yang kubaca berjudul short story Alam Lelembut Petualangan Om Drag dan Mas Slamet Penceng, entah bagian cerita ke berapa yang kubaca. Seingatku Om Drag menuliskan tentang peri. Cukup menarik di Pulau Jawa ada peri. Aku scroll ke bawah beberapa komen tentang peri cantik bernama Dayang Kesambi. Kaskuser lain memuji kecantikan peri tersebut setelah melihat mulustrasi yang kutahu Dayang Kesambi kagum dengan Om Drag. Namun, kekagumanku luntur saat membaca balasan komenan Om Drag pada kaskuser lain. Katanya, peri itu sebelas dua belas kayak kunti. Weleh ... senyumku hilang sudah diganti dengan rasa takut karena pikiranku langsung membayangkan rupa Mbak Kunti yang menyeramkan.
Aku pun penasaran. Coba, ah, tanya sama Mas Dul. Mungkin saja suamiku pernah lihat peri. Bertepatan Mas Dul sedang bercengkerama dengan ponselnya sebelum tidur. Kebiasaan, dia nonton drama cina.
Aku merebahkan badanku di dekatnya dan kugoyangkan lengannya agar menghadap padaku. Setelah pemilik wajah bulat itu menoleh, aku pun bertanya, "Mas, ndek Jowo enten peri tah."
(Mas, di Jawa ada peri tah)
"Enten ae. Opo'o?"
(Ada aja. Kenapa?)
"Bee pean tau ketok peri. Soale koncoku seng nulis ndek Kaskus tau diketoki peri," ujarku meyakinkan. Aku sengaja tidak bilang temanku itu Om Drag. Bisa-bisa Mas Dul cemburu. Wkwkwk.
(Mungkin kamu pernah liat peri. Soalnya temanku yang nulis di Kaskus pernah melihat peri)
"Enten ae. Tapi, kulo gak tau eroh peri. Nek tuyul tau. Cilik sakmene," jawab Mas Dul sambil melebarkan tangannya mengukur tinggi tuyul yang dia lihat hanya sejengkal.
(Ada aja. Tapi, aku gak pernah liat peri. Kalo tuyul pernah. Kecil segini)
"Jarene pean tau eroh tuyul rodok gede sak Husain ngunu," ujarku mengingatkan Mas Dul.
(Katamu pernah liat tuyul agak besar se-Husain gitu)
"Engge. Tapi, iku pas kulo sek cilik," tukas Mas Dul.
(Iya. Tapi, itu las aku masih kecil)
Mulailah Mas Dul bercerita tentang tuyul yang lumayan besar, sebesar anak umur lima tahun. Sekitar tahun 80-an, saat itu Mas Dul kecil bermain ke rumahnya Mak Suwati. Dik Alif, Cak Usman, Cak Is dan Neng Suwani berkumpul di sana. Bertepatan mereka semua habis mandi sore. Bedak tabur putih menghiasi wajah mereka sehingga wanginya harum bunga menguar ke mana-mana.
Mas Dul kecil senang main ke rumah Cak Usman (dia anaknya keduanya Mak Suwati) karena halaman rumahnya yang sangat luas. Halaman rumahnya masih berupa tanah dan di depannya di tanami pohon kelapa yang sudah menjulang tinggi. Batangnya yang tinggi lurus dengan daun blarak melambai-lambai saat tertiup angin. Kelapa kuning yang ditanam sangat berguna karena santannya sangat bermanfaat untuk dibuat masakan. Jadi, dulu tidak ada orang yang membeli kelapa karena di tiap rumah mereka punya pohon kelapa sendiri-sendiri.
Di seberang jalan, ada tanah kosong sepanjang puluhan meter. Dekat tanah kosong tersebut di situlah ada kali kecil. Seperti aliran air dari Dusun Sumberejo mengarah ke Dusun Bureng Lor sini sampai bertemu ke hulu. Kemudian, ada dam yang lebarnya tiga meter tak jauh dari rumah Mak Suwati. Tanah kosong seberang jalan milik Lek Mat Pendik. Di situ ada dua pohon kelapa dan satu pohon sukun. Cukup rindang dan gelap. Memang lampu jalan dulu belum ada. Listrik belum semuanya terpasang.
Saat siang banyak anak berteduh di bawah pohon kelapa milik Mak Suwati saat hari mulai panas. Mereka suka bermain lompat tali, angkle, ondel dan gobak sodor. Kadang, Mak Suwati sering marah jika tidurnya terganggu.
Senja sudah datang, tetapi Mas Dul kecil belum mau beranjak pada tempatnya. Mas Dul kecil mengamati keempat saudaranya itu bermain hompimpa. Dia tidak ikut main karena dirinya sudah mandi sore. Pantang dirinya ikut main dengan teman sebaya maupun dengan saudaranya jika sudah mandi, karena kakeknya yang bernama Mbah Tajib tidak akan membuka pintu rumah saat Mas Dul pulang. Belum lagi hadiah jeweran di kupingnya. Ketimbang kena jewer, mending menonton mereka saja.
Main hompimpa jika salah satu diantara mereka kalah, maka dia menjadi polisi. Anak-anak yang lain menjadi maling dan berlarian mencari persembunyian yang sudah ditentukan areanya. Area yang dekat-dekat saja. Takut polisinya tidak bisa menemukan maling dan akan ngambek nantinya.
Permainan pertama Cak Usman menjadi polisi karena dia kalah. Yang lain bersembunyi di balik tiang listrik, di belakang pohon kluweh, dibalik pohon kelapa. Cak Usman berlarian mengejar sampai mereka bisa ditangkap. Meskipun lelah sampai keringat bercucuran, mereka tetap bermain lagi. Yang penting azan magrib belum terdengar.
"Hompimpa alaehom gambreng!" seru mereka berempat mengibaskan salah satu tangan dan di akhir memilih memperlihatkan bagian telapak tangan atau punggung tangan. Terus berulang sampai tinggal dua orang. Diganti dengan sut. Jari jempol bertemu jari telunjuk maka yang menang jari jempol. Karena jari jempol dianggap seekor gajah dan jari telunjuk dianggap manusia. Manusia jika diinjak gajah maka yang menang gajah. Lalu, jika jari jempol bertemu jari kelingking maka yang menang kelingking. Kenapa? Karena, kelingking dianggap semut. Jadi, gajah bertemu semut maka yang menang adalah semut. Kok bisa, kan yang besar gajah? Semut berkelompok dan dapat mengerubungi badan gajah serta mereka bisa masuk ke hidung. Jadi, gajah bisa tumbang karena merasa kesakitan. Nah, yang terakhir jika jari kelingking bertemu jari telunjuk maka yang menang adalah jari telunjuk. Telunjuk dianggap manusia bertemu kelingking yang dianggap semut. Manusia dapat menginjak semut, kan. Jadi, begitulah.
Ketiga kalinya mereka bermain. Mengibaskan tangan dengan mengatakan hompimpa sampai tinggal Dik Alif, Cak Usman dan Neng Suwani. Cak Is sedang duduk di teras rumah Mak Suwati sedang menunggu siapa yang akan jadi malingnya.
Mas Dul kecil masih berdiri melihat Dik Alif, Cak Usman dan Neng Suwani. Dia ikutan main hompimpa saja karena ingin ikutan. Saat itu juga, Mas Dul kecil heran. Kenapa ada enam tangan? Harusnya, kan, empat. Tangan Dik Alif, Cak Usman, Neng Suwani dan Mas Dul kecil.
Mas Dul kecil melihat milik siapa tangan itu. Ada dua orang anak setinggi dirinya ikutan bergabung main hompimpa. Keduanya botak dan tidak memakai pakaian. Mereka hanya memakai kain putih untuk menutup area pribadi. Bedanya, badan salah satu dari mereka pucat. Mata mereka nampak sayu. Satunya lagi badannya berwarna merah. Entah kenapa badannya di cat berwarna merah? Mas Dul kecil heran, tetapi dia tidak bertanya atau bilang pada saudara yang lain jika ada dua anak botak yang ikut bermain. Sampai akhirnya Dik Alif yang kalah dan harus mengejar ketiganya sampai dapat.
Di situlah keheranan Mas Dul kecil terjawab. Dik Alif berlari dan tidak sengaja menembus badan kedua anak botak itu. Mereka tersenyum, eh bukan. Seperti menyeringai seram. Anak botak satunya malah tersenyum lebar dengan sudut bibirnya menganga sampai telinga. Giginya runcing kuning kehitaman. Mas Dul kecil tidak banyak bicara karena kaget dengan apa yang dilihatnya. Kedua makhluk tersebut berlari cepat dan langsung naik ke pohon kelapa milik Lek Mat Pendik. Dan, Mas Dul tersadar bahwa mereka bukan manusia seperti dirinya. Mereka memang tuyul yang ingin main hompimpa.
Azan Magrib mulai berkumandang. Mas Dul kecil bergegas pulang dengan berlari secepat mungkin. Dia bungkam dan tidak ingin mengatakan pada yang lain apa yang dilihatnya barusan. Karena, saudara dan teman-temannya pasti akan ketakutan atau malah mengejeknya.
Mas Dul selesai bercerita. Aku langsung bertanya karena heran.
"Kok enten tuyul warna abang. Bedane opo?" tanyaku pada Mas Dul.
(Kok ada tuyul warna merah. Bedanya apa?
"Kirangan," jawab Mas Dul singkat.
(Gak tau)
"Opo iku tuyul pesugihan? Soale aku, kan ngertine teko hape. Koyok kunti warna abang iku jarene kunti pesugihan."
(Apa itu tuyul pesugihan? Soalnya aku, kan ngertinya dari hape. Kayak kunti merah itu katanya kunti pesugihan)
"Gak mesti. Tapi, biyen jelas onok ae. Wong kulo sek cilik dereng ngerti opo-opo."
(Belum tentu. Tapi, dulu jelas ada aja. Emang aku dari kecil belum ngerti apa-apa)
Cerita Mas Dul sampai di sini saja. Membuatku tambah penasaran. "Iko ndek RT.05 gumek tuyul. Duwike Yu Rubiah karo Kaji As bendino ilang. Dapak duwek receh, tapi 100 ewu terus seng ilang."
(Dulu di RT.05 rame ada tuyul. Uangnya Yu Rubiah dan Kaji as tiap hari hilang. Kalo uang receh, tapi 100 ribu terus yang hilang)
"Saiki mboten enten tuyul. Gak percoyo kulo!" M Mas Dul membelakangiku karena kesal.
(Sekarang gak ada tuyul. Gak percaya aku!)
"Jare Kaji As wonge jalok tulung dukun. Malah dukune ngerti sopo seng duwe tuyul kumaeng."
(Kata Kaji As orangnya minta tulung dukun. Malah dukunnya ngerti siapa yang punya tuyul tadi)
"Dukun ae dipercoyo!"
(Dukun aja dipercaya!)
Bersambung
Setelah menulis cerita di Kaskus Forum, diri ini mencari cerita horor misteri milik Om Drag di forum SFTH. Beliau kaskuser juga yang hobi menulis cerita genre tersebut. Cerita yang kubaca berjudul short story Alam Lelembut Petualangan Om Drag dan Mas Slamet Penceng, entah bagian cerita ke berapa yang kubaca. Seingatku Om Drag menuliskan tentang peri. Cukup menarik di Pulau Jawa ada peri. Aku scroll ke bawah beberapa komen tentang peri cantik bernama Dayang Kesambi. Kaskuser lain memuji kecantikan peri tersebut setelah melihat mulustrasi yang kutahu Dayang Kesambi kagum dengan Om Drag. Namun, kekagumanku luntur saat membaca balasan komenan Om Drag pada kaskuser lain. Katanya, peri itu sebelas dua belas kayak kunti. Weleh ... senyumku hilang sudah diganti dengan rasa takut karena pikiranku langsung membayangkan rupa Mbak Kunti yang menyeramkan.
Aku pun penasaran. Coba, ah, tanya sama Mas Dul. Mungkin saja suamiku pernah lihat peri. Bertepatan Mas Dul sedang bercengkerama dengan ponselnya sebelum tidur. Kebiasaan, dia nonton drama cina.
Aku merebahkan badanku di dekatnya dan kugoyangkan lengannya agar menghadap padaku. Setelah pemilik wajah bulat itu menoleh, aku pun bertanya, "Mas, ndek Jowo enten peri tah."
(Mas, di Jawa ada peri tah)
"Enten ae. Opo'o?"
(Ada aja. Kenapa?)
"Bee pean tau ketok peri. Soale koncoku seng nulis ndek Kaskus tau diketoki peri," ujarku meyakinkan. Aku sengaja tidak bilang temanku itu Om Drag. Bisa-bisa Mas Dul cemburu. Wkwkwk.
(Mungkin kamu pernah liat peri. Soalnya temanku yang nulis di Kaskus pernah melihat peri)
"Enten ae. Tapi, kulo gak tau eroh peri. Nek tuyul tau. Cilik sakmene," jawab Mas Dul sambil melebarkan tangannya mengukur tinggi tuyul yang dia lihat hanya sejengkal.
(Ada aja. Tapi, aku gak pernah liat peri. Kalo tuyul pernah. Kecil segini)
"Jarene pean tau eroh tuyul rodok gede sak Husain ngunu," ujarku mengingatkan Mas Dul.
(Katamu pernah liat tuyul agak besar se-Husain gitu)
"Engge. Tapi, iku pas kulo sek cilik," tukas Mas Dul.
(Iya. Tapi, itu las aku masih kecil)
Mulailah Mas Dul bercerita tentang tuyul yang lumayan besar, sebesar anak umur lima tahun. Sekitar tahun 80-an, saat itu Mas Dul kecil bermain ke rumahnya Mak Suwati. Dik Alif, Cak Usman, Cak Is dan Neng Suwani berkumpul di sana. Bertepatan mereka semua habis mandi sore. Bedak tabur putih menghiasi wajah mereka sehingga wanginya harum bunga menguar ke mana-mana.
Mas Dul kecil senang main ke rumah Cak Usman (dia anaknya keduanya Mak Suwati) karena halaman rumahnya yang sangat luas. Halaman rumahnya masih berupa tanah dan di depannya di tanami pohon kelapa yang sudah menjulang tinggi. Batangnya yang tinggi lurus dengan daun blarak melambai-lambai saat tertiup angin. Kelapa kuning yang ditanam sangat berguna karena santannya sangat bermanfaat untuk dibuat masakan. Jadi, dulu tidak ada orang yang membeli kelapa karena di tiap rumah mereka punya pohon kelapa sendiri-sendiri.
Di seberang jalan, ada tanah kosong sepanjang puluhan meter. Dekat tanah kosong tersebut di situlah ada kali kecil. Seperti aliran air dari Dusun Sumberejo mengarah ke Dusun Bureng Lor sini sampai bertemu ke hulu. Kemudian, ada dam yang lebarnya tiga meter tak jauh dari rumah Mak Suwati. Tanah kosong seberang jalan milik Lek Mat Pendik. Di situ ada dua pohon kelapa dan satu pohon sukun. Cukup rindang dan gelap. Memang lampu jalan dulu belum ada. Listrik belum semuanya terpasang.
Saat siang banyak anak berteduh di bawah pohon kelapa milik Mak Suwati saat hari mulai panas. Mereka suka bermain lompat tali, angkle, ondel dan gobak sodor. Kadang, Mak Suwati sering marah jika tidurnya terganggu.
Senja sudah datang, tetapi Mas Dul kecil belum mau beranjak pada tempatnya. Mas Dul kecil mengamati keempat saudaranya itu bermain hompimpa. Dia tidak ikut main karena dirinya sudah mandi sore. Pantang dirinya ikut main dengan teman sebaya maupun dengan saudaranya jika sudah mandi, karena kakeknya yang bernama Mbah Tajib tidak akan membuka pintu rumah saat Mas Dul pulang. Belum lagi hadiah jeweran di kupingnya. Ketimbang kena jewer, mending menonton mereka saja.
Main hompimpa jika salah satu diantara mereka kalah, maka dia menjadi polisi. Anak-anak yang lain menjadi maling dan berlarian mencari persembunyian yang sudah ditentukan areanya. Area yang dekat-dekat saja. Takut polisinya tidak bisa menemukan maling dan akan ngambek nantinya.
Permainan pertama Cak Usman menjadi polisi karena dia kalah. Yang lain bersembunyi di balik tiang listrik, di belakang pohon kluweh, dibalik pohon kelapa. Cak Usman berlarian mengejar sampai mereka bisa ditangkap. Meskipun lelah sampai keringat bercucuran, mereka tetap bermain lagi. Yang penting azan magrib belum terdengar.
"Hompimpa alaehom gambreng!" seru mereka berempat mengibaskan salah satu tangan dan di akhir memilih memperlihatkan bagian telapak tangan atau punggung tangan. Terus berulang sampai tinggal dua orang. Diganti dengan sut. Jari jempol bertemu jari telunjuk maka yang menang jari jempol. Karena jari jempol dianggap seekor gajah dan jari telunjuk dianggap manusia. Manusia jika diinjak gajah maka yang menang gajah. Lalu, jika jari jempol bertemu jari kelingking maka yang menang kelingking. Kenapa? Karena, kelingking dianggap semut. Jadi, gajah bertemu semut maka yang menang adalah semut. Kok bisa, kan yang besar gajah? Semut berkelompok dan dapat mengerubungi badan gajah serta mereka bisa masuk ke hidung. Jadi, gajah bisa tumbang karena merasa kesakitan. Nah, yang terakhir jika jari kelingking bertemu jari telunjuk maka yang menang adalah jari telunjuk. Telunjuk dianggap manusia bertemu kelingking yang dianggap semut. Manusia dapat menginjak semut, kan. Jadi, begitulah.
Ketiga kalinya mereka bermain. Mengibaskan tangan dengan mengatakan hompimpa sampai tinggal Dik Alif, Cak Usman dan Neng Suwani. Cak Is sedang duduk di teras rumah Mak Suwati sedang menunggu siapa yang akan jadi malingnya.
Mas Dul kecil masih berdiri melihat Dik Alif, Cak Usman dan Neng Suwani. Dia ikutan main hompimpa saja karena ingin ikutan. Saat itu juga, Mas Dul kecil heran. Kenapa ada enam tangan? Harusnya, kan, empat. Tangan Dik Alif, Cak Usman, Neng Suwani dan Mas Dul kecil.
Mas Dul kecil melihat milik siapa tangan itu. Ada dua orang anak setinggi dirinya ikutan bergabung main hompimpa. Keduanya botak dan tidak memakai pakaian. Mereka hanya memakai kain putih untuk menutup area pribadi. Bedanya, badan salah satu dari mereka pucat. Mata mereka nampak sayu. Satunya lagi badannya berwarna merah. Entah kenapa badannya di cat berwarna merah? Mas Dul kecil heran, tetapi dia tidak bertanya atau bilang pada saudara yang lain jika ada dua anak botak yang ikut bermain. Sampai akhirnya Dik Alif yang kalah dan harus mengejar ketiganya sampai dapat.
Di situlah keheranan Mas Dul kecil terjawab. Dik Alif berlari dan tidak sengaja menembus badan kedua anak botak itu. Mereka tersenyum, eh bukan. Seperti menyeringai seram. Anak botak satunya malah tersenyum lebar dengan sudut bibirnya menganga sampai telinga. Giginya runcing kuning kehitaman. Mas Dul kecil tidak banyak bicara karena kaget dengan apa yang dilihatnya. Kedua makhluk tersebut berlari cepat dan langsung naik ke pohon kelapa milik Lek Mat Pendik. Dan, Mas Dul tersadar bahwa mereka bukan manusia seperti dirinya. Mereka memang tuyul yang ingin main hompimpa.
Azan Magrib mulai berkumandang. Mas Dul kecil bergegas pulang dengan berlari secepat mungkin. Dia bungkam dan tidak ingin mengatakan pada yang lain apa yang dilihatnya barusan. Karena, saudara dan teman-temannya pasti akan ketakutan atau malah mengejeknya.
Mas Dul selesai bercerita. Aku langsung bertanya karena heran.
"Kok enten tuyul warna abang. Bedane opo?" tanyaku pada Mas Dul.
(Kok ada tuyul warna merah. Bedanya apa?
"Kirangan," jawab Mas Dul singkat.
(Gak tau)
"Opo iku tuyul pesugihan? Soale aku, kan ngertine teko hape. Koyok kunti warna abang iku jarene kunti pesugihan."
(Apa itu tuyul pesugihan? Soalnya aku, kan ngertinya dari hape. Kayak kunti merah itu katanya kunti pesugihan)
"Gak mesti. Tapi, biyen jelas onok ae. Wong kulo sek cilik dereng ngerti opo-opo."
(Belum tentu. Tapi, dulu jelas ada aja. Emang aku dari kecil belum ngerti apa-apa)
Cerita Mas Dul sampai di sini saja. Membuatku tambah penasaran. "Iko ndek RT.05 gumek tuyul. Duwike Yu Rubiah karo Kaji As bendino ilang. Dapak duwek receh, tapi 100 ewu terus seng ilang."
(Dulu di RT.05 rame ada tuyul. Uangnya Yu Rubiah dan Kaji as tiap hari hilang. Kalo uang receh, tapi 100 ribu terus yang hilang)
"Saiki mboten enten tuyul. Gak percoyo kulo!" M Mas Dul membelakangiku karena kesal.
(Sekarang gak ada tuyul. Gak percaya aku!)
"Jare Kaji As wonge jalok tulung dukun. Malah dukune ngerti sopo seng duwe tuyul kumaeng."
(Kata Kaji As orangnya minta tulung dukun. Malah dukunnya ngerti siapa yang punya tuyul tadi)
"Dukun ae dipercoyo!"
(Dukun aja dipercaya!)
Bersambung
Diubah oleh muyasy 04-11-2024 22:52
arinu dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup