Mitos hingga kesalahpahaman tentang dominasi laki-laki atas perempuan, bagaimana sebenarnya budaya patriarki dimulai?
26 Juni 2023
Foto ilustrasi.
Penulis, Angela Saini
Selama berabad-abad, orang-orang memiliki asumsi yang keliru mengenai asal usul masyarakat yang didominasi oleh laki-laki, tulis Angela Saini.
Pada tahun 1930, ketika Kebun Binatang London, Inggris, mengumumkan akan menutup kandang hewan babun, cerita itu menjadi berita utama.
Selama bertahun-tahun, "Monkey Hill", demikian sebutannya, telah menjadi tempat terjadinya kekerasan berdarah dan sering memakan korban jiwa.
Majalah berita AS, Time, melaporkan insiden yang terbukti menjadi pukulan terakhir:
"George, babun muda dari koloni, telah menculik betina milik 'raja', babun tertua dan terbesar di Monkey Hill." Setelah pengepungan yang menegangkan, George akhirnya membunuhnya.
Monkey Hill menggambarkan bayangan panjang tentang bagaimana ahli hewan melihat dominasi laki-laki dalam koloni hewan.
Primata pembunuh memperkuat mitos populer pada saat itu bahwa manusia pada dasarnya adalah spesies patriarki.
Bagi para pengunjung kebun binatang, rasanya seolah-olah mereka sedang mengintip masa lalu evolusioner kita, di mana para pejantan yang secara alami melakukan tindakan kekerasan selalu menjadikan betina yang lebih lemah korban.
Sebenarnya, Monkey Hill tidaklah normal. Kandang itu 'dibungkus' oleh lingkungan sosial yang salah, di mana jumlah babun jantan lebih banyak dibandingkan dengan betina.
Hanya dalam beberapa dekade kemudian –
dengan penemuan bahwa salah satu kerabat primata genetik terdekat kita, kera bonobo, adalah matriarkal (meskipun spesies pejantannya lebih besar) – para ahli biologi menerima bahwa patriarki pada spesies manusia mungkin tidak cukup dijelaskan hanya berdasar pada alam saja.
Selama beberapa tahun terakhir, saya telah berkeliling dunia untuk memahami asal usul patriarki pada manusia untuk buku saya The Patriarchs.
Saya belajar bahwa, meskipun ada banyak mitos dan kesalahpahaman tentang bagaimana laki-laki memiliki kekuatan yang besar, sejarah yang sebenarnya juga memberi wawasan tentang bagaimana kita akhirnya bisa mencapai kesetaraan gender.
Sebagai permulaan, cara manusia mengatur diri sendiri sebenarnya tidak memiliki banyak kesamaan dengan dunia hewan.
Kata "patriarki", yang berarti "kekuasaan bapak", mencerminkan bagaimana kekuasaan laki-laki telah lama diyakini dimulai dalam keluarga, di mana laki-laki menjadi kepala rumah tangga lalu mewariskan kekuasaan kepada anak laki-lakinya.
Tetapi di dunia primata, pola seperti ini sangat langka. Seperti yang diamati oleh antropolog Melissa Emery Thompson di University of New Mexico, hubungan keluarga antar generasi pada primata secara konsisten diatur melalui ibu, bukan ayah.
Di antara manusia, patriarki juga tidak universal. Antropolog telah mengidentifikasi setidaknya 160 masyarakat matrilineal yang ada di seluruh Amerika, Afrika, dan Asia, di mana setiap orang dianggap milik keluarga ibu mereka dari generasi ke generasi, dengan warisan yang diturunkan dari ibu ke anak perempuan.
Pada beberapa komunitas ini, para dewi disembah dan orang-orang akan tinggal di rumah keluarga ibu sepanjang hidup mereka.
Laki-laki Mosuo di China barat daya, sebagai contoh, akan membantu membesarkan anak saudara perempuan mereka daripada anak mereka sendiri.
Seringkali dalam masyarakat matrilineal, kekuasaan dan pengaruh dibentuk antara perempuan dan laki-laki.
Dalam komunitas matrilineal Asante di Ghana, kepemimpinan dibagi antara ibu ratu dan kepala suku laki-laki, yang mana ratu akan membantu memilih.
Pada tahun 1900, penguasa perempuan Asante, Nana Yaa Asantewaa memimpin pasukannya memberontak melawan pemerintahan kolonial Inggris.
Apa yang terjadi di Monkey Hill, Kebun Binatang London tidak seperti biasanya.
Semakin dalam kita menyelami masa prasejarah, semakin beragam bentuk organisasi sosial yang kita lihat.
Situs Çatalhöyük yang berusia 9.000 tahun di Anatolia selatan, sekarang di wilayah Turki, pernah digambarkan sebagai kota tertua di dunia karena ukuran dan kerumitannya.
Hampir semua data arkeologi menunjuk sebuah pemukiman di mana gender berpengaruh berbeda soal bagaimana orang hidup.
"Di sebagian besar situs kuno yang digali para arkeolog, Anda akan menemukan laki-laki dan perempuan, karena mereka memiliki kehidupan yang berbeda, mereka memiliki makanan yang berbeda, dan mereka berakhir dengan pola makan yang berbeda," menurut arkeolog Ian Hodder di Universitas Stanford, yang memimpin Proyek Penelitian Çatalhöyük hingga 2018 .
"Tapi di Çatalhöyük Anda tidak melihat itu sama sekali."
Analisis terhadap sisa-sisa manusia menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pola makan yang identik, menghabiskan waktu yang sama di dalam dan di luar ruangan, dan melakukan jenis pekerjaan yang serupa. Bahkan perbedaan tinggi badan di antara kedua jenis kelamin itu tipis.
Perempuannya juga bukannya tidak terlihat. Penggalian situs ini dan situs lain yang berasal dari rentang waktu yang sama telah menemukan banyak sekali patung perempuan, yang sekarang memenuhi museum arkeologi lokal.
Yang paling terkenal adalah the Seated Woman of Çatalhöyük, yang kini dipajang di Museum Peradaban Anatolia di Ankara.
Patung itu menggambarkan seorang perempuan yang duduk tegak, dengan tubuh yang berlekuk karena usia dan sejumlah bagian tubuhnya tampak berlemak. Di bawah lengannya yang bertumpu, tampak dua kucing besar, mungkin macan tutul, menatap lurus ke depan seolah-olah perempuan itu telah menjinakkannya.
Patung perempuan Çatalhöyük, penguasa perempuan pertama.
Seperti yang kita ketahui, cara hidup yang relatif 'buta gender' di Çatalhöyük tidak berlangsung selamanya.
Selama ribuan tahun, hierarki sosial berangsur-angsur menyebar ke wilayah yang lebih luas, mencakup Eropa, Asia, dan Timur Tengah modern.
Ribuan tahun kemudian, di kota-kota seperti Athena kuno, kebudayaan sepenuhnya berkembang seputar mitos misoginis bahwa perempuan itu lemah, tidak bisa dipercaya, dan paling baik dikurung di rumah.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa?
Para antropolog dan filsuf telah menanyakan apakah pertanian bisa menjadi titik kritis keseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan.
Pertanian membutuhkan banyak kekuatan fisik. Periode baru bercocok tanam juga dimulai ketika manusia memelihara harta benda seperti ternak.
Menurut teori ini, elit-elit sosial muncul karena beberapa orang membangun lebih banyak properti daripada yang lain, mendorong laki-laki memastikan kekayaan mereka akan diteruskan ke anak-anak mereka yang sah. Maka, mereka mulai membatasi kebebasan seksual perempuan.
Yang menjadi masalah dari situasi ini adalah perempuan selalu melakukan pekerjaan pertanian.
Dalam sastra Yunani dan Romawi kuno, misalnya, ada penggambaran perempuan yang sedang menuai jagung dan cerita tentang perempuan muda yang bekerja sebagai gembala.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa, bahkan saat ini,
perempuan merupakan hampir setengah dari tenaga kerja pertanian dunia dan hampir setengah dari manajer peternakan skala kecil dunia di negara-negara berpenghasilan rendah.
Perempuan di kelas pekerja dan yang ‘diperbudak’ di seluruh dunia selalu melakukan kerja manual yang berat.
Lebih penting lagi untuk cerita patriarki, ada domestikasi tumbuhan dan hewan jauh sebelum catatan sejarah menunjukkan bukti nyata penindasan berdasarkan gender.
"Gagasan kolot bahwa segera setelah Anda bertani, Anda mendapatkan properti, dan karena itu Anda mengontrol perempuan sebagai properti," jelas Hodder, "adalah salah, jelas-jelas salah."
Garis waktunya tidak pas.
Sebuah prasasti runcing Mesopotamia dari Uruk, menampilkan kesan sosok laki-laki, anjing pemburu, dan babi hutan
Tanda-tanda pertama yang jelas menunjukkan perempuan diperlakukan secara kategoris berbeda dari laki-laki muncul jauh kemudian, di negara bagian pertama di Mesopotamia kuno, wilayah bersejarah di sekitar sungai Tigris dan Efrat di tempat yang sekarang disebut Irak, Suriah, dan Turki.
Sekitar 5.000 tahun yang lalu, prasasti peninggalan kuno dari kota Uruk di Sumeria, selatan Mesopotamia, menunjukkan bahwa ‘mereka yang bertanggung jawab’ telah bersusah payah menyusun daftar populasi dan sumber daya yang terperinci.
"Kekuatan seseorang adalah kunci kekuasaan secara umum," jelas ilmuwan politik dan antropolog James Scott di Universitas Yale, yang penelitiannya berfokus pada negara-negara agraris awal.
Para elit di masyarakat awal ini membutuhkan orang-orang yang tersedia untuk menghasilkan surplus sumber daya bagi mereka, dan tersedia untuk mempertahankan negara – bahkan untuk menyerahkan hidup mereka, jika diperlukan, pada saat perang.
Mempertahankan tingkat populasi memberikan tekanan yang tak terelakkan pada keluarga. Seiring waktu, perempuan muda diharapkan untuk fokus memiliki lebih banyak bayi, terutama anak laki-laki yang akan tumbuh untuk berperang.
Hal yang paling penting bagi negara adalah bahwa setiap orang memainkan peran mereka sesuai dengan kategori mereka: laki-laki atau perempuan. Bakat, kebutuhan, atau keinginan individu tidak penting.
Seorang pemuda yang tidak ingin berperang mungkin diejek sebagai pramuriadang; seorang perempuan muda yang tidak ingin punya anak atau tidak keibuan dapat dianggap tidak wajar.
Seperti yang didokumentasikan oleh sejarawan Amerika Gerda Lerner, catatan-catatan tertulis sejak saat itu menunjukkan perempuan berangsur-angsur menghilang dari dunia kerja dan kepemimpinan publik, dan didorong ke dalam bayang-bayang rumah tangga untuk fokus menjadi ibu dan pekerjaan rumah tangga.
Hal itu juga dikombinasikan dengan praktik pernikahan patrilokal, di mana anak perempuan diharapkan meninggalkan rumah masa kecilnya untuk tinggal bersama keluarga suaminya, meminggirkan perempuan dan membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan di rumah mereka sendiri.
Seiring berjalannya waktu, perkimpoian berubah menjadi lembaga hukum yang kaku yang memperlakukan perempuan sebagai milik suaminya, seperti juga anak-anak dan budak.
Tembikar Yunani, bertanggal 400 SM, menggambarkan sekelompok perempuan yang mengumpulkan air untuk mempelai perempuan.
Alih-alih dimulai dari keluarga, sejarah malah menunjukkan bahwa patriarki dimulai oleh para penguasa di negara-negara pertama.
Tuntutan dari atas mengalir ke dalam keluarga, memaksa pecahnya hubungan manusia yang paling mendasar, bahkan antara orang tua dan anak-anak mereka. Tekanan itu kemudian menanamkan rasa ketidakpercayaan di antara orang-orang yang mungkin saling mencintai dan mendukung.
Orang tidak lagi hidup untuk diri mereka sendiri dan orang-orang terdekat mereka. Sekarang, mereka hidup untuk kepentingan negara patriarkal - sistem sosial di mana pria sebagai pemegang kekuasaan utama.
Preferensi memiliki anak laki-laki masih menjadi gambaran dari negara-negara tradisional yang menerapkan patriarki saat ini, seperti India dan Cina, di mana bias tersebut telah menyebabkan tingginya tingkat pembunuhan terhadap perempuan, sehingga rasio jenis kelamin sangat berat sebelah.
Sensus di India tahun 2011 menunjukkan ada 111 anak laki-laki di setiap 100 anak perempuan, meskipun data menunjukkan figur ini membaik karena norma sosial berubah yang menginginkan anak perempuan.
Eksploitasi terhadap perempuan dalam pernikahan patriarki terus berlanjut. kimpoi paksa, versi paling ekstrim dari ini, ditetapkan sebagai bentuk perbudakan modern oleh Organisasi Perburuhan Internasional dalam statistiknya untuk pertama kalinya pada tahun 2017.
Perkiraan terbaru dari tahun 2021, menunjukkan bahwa 22 juta orang secara global hidup dalam pernikahan paksa.
Kerusakan psikologis yang bertahan lama dari negara patriarki adalah untuk membuat tatanan gendernya tampak normal, bahkan alami, dengan cara yang sama seperti penindasan kelas dan ras secara historis telah dibingkai sebagai hal yang wajar oleh mereka yang berkuasa.
Norma-norma sosial tersebut menjadi stereotip gender saat ini, termasuk gagasan bahwa perempuan secara universal memiliki karakter peduli dan mengasuh, dan bahwa laki-laki pada dasarnya adalah orang yang kasar dan cocok untuk perang.
Dengan sengaja membatasi orang pada peran gender yang sempit, patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga banyak laki-laki. Niatnya hanya untuk melayani mereka yang berada di puncak: elit masyarakat.
Seperti Monkey Hill di Kebun Binatang London pada tahun 1920-an, ini adalah sistem yang menyesatkan, yang telah menumbuhkan ketidakpercayaan dan pelecehan.
Gerakan untuk kesetaraan gender di seluruh dunia adalah gejala dari ketegangan sosial yang dialami manusia dalam masyarakat patriarki selama berabad-abad.
Seperti yang ditulis oleh ahli teori politik Anne Philips, "Siapa pun, yang diberi setengah kesempatan, akan lebih memilih kesetaraan dan keadilan daripada ketidaksetaraan dan ketidakadilan."
Betapapun menakutkannya perjuangan melawan patriarki kadang-kadang terasa, tidak ada dalam sifat manusia yang mengatakan bahwa kita tidak dapat hidup secara berbeda.
Tatanan masyarakat yang diciptakan oleh manusia juga bisa direkonstruksi oleh manusia sendiri.
Sumber