- Beranda
- Stories from the Heart
Mirror
...
TS
ny.sukrisna
Mirror

Quote:
INDEKS :
Part 1 Kematian Lili
Part 2 Ramon
Part 3 Telepon dari Rangga
Part 4 Penghuni Rumah Rangga
Part 5 Apartemen
Part 6 teror
Part 7 Bang Cen
Part 8 Teror wanita penghuni apartemen
Part 9 Dibalik tabir
Part 10 Psikopat
Part 11 Pemilik Apartemen baru
Part 12 Apartemen baru
Part 13 Pemakaman Aidil
Part 14 Live streaming Horor
Part 15 Desi
Part 16 Teror yang dialami Oma
Part 17 Keanehan
Part 18 cerita Koh Rudi
Part 19 Satria diculik
Part 20 pengakuan Raja
part 21 bang cen datang
Part 22 akhir tragedi
Part 23 memulai hidup baru
Part 24 teman lama
Part 25 menjenguk Ramon
Part 26 Tragedi Rumah Sakit Jiwa
Part 27 tim pemburu hantu
Part 28 Selamat Tinggal
Part 29 Korea Selatan
Part 30 misteri kematian antonio
Part 31 petunjuk baru
Part 32 Siapakah Lee?
Part 33 Kehidupan Lee yang sebenarnya
Part 34 Rumah Baru Daniel
Part 35 Penculikan Yuna
Part 36 cermin aneh
Part 37 Dalam Cermin
Part 38 Papa
Part 39 pulang
Part 40 Gangguan di kamar baru
Part 41 Rencana Liburan
Part 42 Tetangga Samping
Part 43 teror ular
Part 44 Ratu ular
Part 45 i still love you
Part 46 Jalan Jalan tipis
Part 47 Haris
Part 48 Sarang Kuntilanak
Part 49 Pulang
Part 50 Dunia sebelah
Part 51 kebersamaan
Part 52 hari pertama kerja
Part 53 musuh lama
Part 54 Hotel
part 55 serangan lagi
part 56 lee
part 57 papaku mantan gengster
part 58 wanita bunuh diri
part 59 gladis
Part 60 Salah Paham
Part 61 bukan manusia
Part 62 Teror di rumah
Part 63 nasib rizal
Part 64 Aku dilamar
Part 64 Awal hidup baru
TAMAT
Diubah oleh ny.sukrisna 23-04-2023 12:26
arieaduh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
4.8K
111
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ny.sukrisna
#8
8. Teror Wanita Penghuni Apartemen
Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi.
Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam.
"Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.
"Dasar tamu tidak tau diri kalian. Bawa makanan nggak?" tanya Mey sambil memeriksa meja dan menatap dapur.
"Makanan melulu anda, ya," tukas Nita.
"Laper, Sis. Belum makan. Selesai dari rumah Rangga, langsung balik kita." Mey menghempaskan tubuhnya di samping Indi. Mereka berdua sedang menonton drama Korea kegemaran dua sejoli itu.
"Film apa tuh?" tanyaku, melepas sweater dan tas.
"Hwarang. Bagus nih, Ros!" sahut Indi.
Aku ikut duduk di sofa, hanya melirik tanpa berminat ikut terjun bersama mereka. Rasanya tubuhku terlalu lelah.
"Itu makanan. Di meja," tunjuk Nita ke meja makan.
"Mana?" Netra Mey liar mencari keberadaan benda yang disebut makanan tadi.
"Buka tudung sajinya, Dodol!" tukas Nita lagi, masih fokus pada Tv layar datar di depan kami. Wanita bergigi gingsul tersebut segera berjalan ke meja makan. Dia terlihat asyik memeriksa tiap mangkuk dan wadah yang berada di dalam penutup makan berwarna pink tersebut.
"Ros, makan nggak?" tanya Mey.
"Nanti saja. Kamu duluan deh," sahutku lalu segera beranjak menuju kamar. Rasanya tubuhku sangat lengket, ingin mandi. Walau hari sudah malam, bukan berarti aku tidak akan mandi. Justru aku paling tidak suka dengan badan lengket. Tidur akan terganggu.
"Eh, bagaimana tadi? Lancar?" tanya Indi yang seolah kembali pada kehidupan nyata.
"Aman kok kata Bang Cen. Bukan gangguan yang parah," Mey menjawab sambil membawa piring dan kembali duduk di sofa. Mereka bertiga terlibat obrolan tentang apa yang terjadi di rumah Rangga. Samar-samar aku juga mendengar pembicaraan mereka mengenai penghuni apartemen ini. Mey belum tau banyak tentang gangguan yang aku alami tadi. Jadi momen seperti ini adalah camilan renyah bagi mereka. Obrolan tentang makhluk tak kasat mata terbaru cukup menarik bagi kami. Tentu aku juga memiliki ide untuk menuangkan dalam novelku selanjutnya.
Memiliki teman seperti mereka adalah sebuah berkah tersendiri bagiku. Di depan mereka aku tidak perlu menjadi orang lain. Bahkan mereka yang paling memahamiku selama ini. Nita dan aku pernah menjalani bahtera rumah tangga dan berujung kegagalan. Bukan pengalaman indah, tapi justru membuat kami menjadi tempat curhat untuk Indi dan Mey. Mey dan Indi adalah tipe wanita yang sering sekali galau karena masalah percintaan. Semua masalah akan kami hadapi bersama. Susah, senang, tangis, dan tawa, sudah menjadi makanan pokok kami selama ini.
"Mandi lu?" tanya Nita saat aku membawa handuk dan pakaian ganti.
"Iya, panas banget udaranya."
"Iya, kah, perasaan malah dingin," kata Indi menimpali.
"Kalian yang dari tadi pakai Ac ya jelas ngomong begitu. Kami berdua sejak tadi berkeliaran di luar, panas banget!" ujar Mey, tetap makan walau kalimatnya sedikit tidak jelas.
"Lu mandi juga dong," tukas Nita.
"Males!"
Kini suara mereka terdengar pelan, karena aku sudah masuk ke dalam kamar mandi. Tidak perlu air hangat hanya untuk mandi, karena aku lebih suka air dingin yang segar. Kucuran air dari shower membuat melodi tersendiri. Aku sengaja membasahi kepala agar semua bersih dari kotoran dan bau. Dalam heningnya kamar mandi, ingatanku seolah kembali pada masa lalu.
.
.
18 BULAN LALU.
"Kamu keterlaluan! Tega-teganya kamu melakukan itu!" jeritku, sambil memukul dada bidang Dimas, suamiku.
"Kamu yang buat aku jadi begini! Kamu terlalu sibuk sama novelmu. Kamu juga terlalu dingin sama aku. Wajar dong, aku mencari perhatian keluar? Istri sendiri saja nggak bisa membuat aku betah dan nyaman di rumah!"
"Jadi wanita itu bisa kasih itu semua?"
"Enggak! Kamu tetap yang terbaik, Rosi! Aku sayang kamu. Aku tau aku salah. Semua orang punya kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna. Kita perbaiki ini sama-sama, ya, sayang?" kata Dimas mulai melunak. Dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Menyatukan kening kami, dengan wajah yang hampir menempel. Nafasnya mengenai wajahku, begitu pula sebaliknya. "Aku minta maaf. Aku janji ini yang terakhir kalinya."
"Aku juga minta maaf. Karena belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu. Aku salah."
Ini bukan pertama kalinya Dimas berselingkuh. Sudah berkali-kali aku memergokinya asyik bercengkrama dengan wanita lain. Entah teman sekolahnya, atau teman kerjanya. Bahkan aku sering melihat chat mesra mereka saat tak sengaja membuka ponselnya. Tapi kali ini, paling parah. Dia bahkan sudah meniduri wanita tersebut. Aku sadar, semua berawal dariku. Aku mungkin belum bisa menjadi istri yang baik untuknya, sehingga dia harus mencari hal tersebut di luar sana.
Kembali lagi, aku menerima semua perlakuan dia. Sakit yang kuderita seakan sudah membuatku mati rasa. Dimas romantis, dia selalu mengucapkan kalimat cinta setiap hari. Tapi setelah apa yang dia lakukan, aku justru meragukan cinta yang berasal dari mulutnya. Kalau dia mencintaiku, kenapa dia mengkhianati ku?
.
.
.
"Ros! Lagi apa sih di dalam? Lama banget! Buruan!" jerit Mey dari luar.
"Mandi dong! Apa sih! Ganggu aja lu!" Aku pun ikut berteriak sepertinya.
"Gantian! Gue mules!" katanya lagi.
"Astaga! Lu ambil batu, duduki!"
"Gila lu. Kalau mules ya boker dong! Masa duduki batu! Ngadi-ngadi aja lu!"
Aku tertawa sambil membilas sabun yang sudah kubalur ke sekujur tubuh. Alhasil acara mandi ku sedikit terganggu kali ini. Tapi makin lama udara memang sedikit dingin. Kalau aku terlalu lama berada di bawah air, pasti aku bisa sakit.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 tapi di antara kami berempat belum ada yang menandakan akan tidur cepat. Aku masih berkutat dengan barisan keyboard di depan, sedikit menjauh dari mereka karena membutuhkan konsentrasi untuk menulis. Mereka bertiga masih asyik menonton drama Korea. Sesekali tertawa, menangis, dan berseru bersama-sama. Inilah yang aku suka dari mereka. Tidak lagi merasakan kesepian seperti biasanya. Walau terkadang aku lebih menyukai suasana sepi, hanya seorang diri saja.
Tiba-tiba mereka bertiga terdiam. Bersamaan menoleh ke arah pintu. Aku yang penasaran ikut menatap ke tempat yang mereka tuju. Rupanya gangguan ini kembali. Aku pikir jika kondisi ramai seperti ini, aku jauh lebih aman. Tapi ternyata kali ini lain.
"Ros ... Itu siapa?" tanya Mey, mulai mundur, menutupi tubuhnya di balik Indi.
"Ini? Setannya?" tanya Indi menunjuk pintu, bermaksud memperjelas siapa sosok yang mengganggu ku.
"Hm, sepertinya. Coba cek, Ndi!" pintaku setengah memerintah.
"Astaga. Disuruh nge-cek setan! Kurang ajar banget wanita satu ini," ungkapnya tapi tetap beranjak dari duduk. Tapi menarik Nita agar mengikutinya.
Kedua wanita itu berjalan mengendap-endap ke pintu. Aku ikut cemas, walau berada jauh dari tempat itu. Sementara Mey, menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
Nita dan Indi terlihat cukup berani. Apa karena memang mereka pemberani, atau hanya karena sekarang kami berkelompok? Apa pun itu, jika aku jadi Indi, aku tidak akan mendekat ke pintu.
"Serius? Mau dibuka?" tanya Nita begitu mereka sampai di belakang pintu.
Indi mengisyaratkan Nita diam. Dia melangkah lagi sekali, lalu mengintip dari door viewer. Hanya butuh waktu tiga detik, dia kembali pada posisi semula, sedikit menjauh.
"Kenapa?" tanya Nita berbisik.
"Nggak ada siapa-siapa." Wajah Indi terlihat bingung. Tapi dia masih penasaran, karena kini tubuhnya turun ke lantai. Tepatnya di bawah pintu. Sepertinya dia akan mengintip dari sana. Nita yang ada di sampingnya mengikuti langkahnya. Kedua nya menempatkan kepala sejajar dengan bawah pintu. Diam beberapa saat sampai akhirnya mereka beranjak lagi sambil menggeleng.
"Nggak ada siapa-siapa?" tanya Mey masih memeluk bantal di dada.
"Nggak ada. Aneh!"
Sekilas aku melihat Pergerakan dari pintu kamar mandi. Karena penasaran, aku berdiri dan memastikan. Mey yang masih duduk ikut beranjak saat melihatku aneh.
"Kenapa? Ros?" tanyanya.
"Lihat nggak? Tuh!" tunjukku ke gagang pintu kamar mandi. Kami berdua diam, lalu tersentak bersama-sama saat pegangan tersebut bergerak. Mey dan aku lantas menjerit dan berlari mendekat ke Indi dan Nita.
"Astaga. Kok bisa pindah?" tanya Indi. Penasaran dia akhirnya mendekat. Kami bertiga justru tidak ingin terlibat. Langkah Indi pelan namun pasti. Sampai akhirnya dia benar-benar sampai ke pintu kamar mandi. Gagang pintu yang sedari tadi terus bergerak, justru diam saat didekati. Entah mendapat keberanian dari mana, Indi menekan gagang pintu dan membukanya perlahan. Kami hanya diam sambil ikut melihat ke dalam sana. Tapi setelah ditunggu beberapa detik, Indi malah menoleh dan mengangkat kedua bahunya.
"Nggak ada siapa-siapa," ujarnya terlihat lega.
Tapi nafas ku yang hendak ku hembuskan cepat, kini justru tercekat. Bayangan hitam terlihat di belakang Indi, muncul dari kamar mandi yang masih terbuka lebar. Sosok wanita dengan rambut terurai, diikuti tetesan air dari sekujur tubuhnya, tampak lebih besar dari ukuran tubuh manusia normal. Hantu kerap berubah bentuk sesuai mau mereka, tapi aku tidak tau kalau makhluk sejenis dia dapat berubah sebesar itu.
Ternyata tak hanya aku saja yang melihat. Tangan Nita terangkat ke atas, menunjuk dengan gemetar ke arah Indi. Mey menjerit dan menutup wajahnya lagi, bersembunyi di belakangku. Indi yang sadar kalau bahaya mengintai, melirik ke belakang. Tapi tiba-tiba, tubuh Indi terjatuh ke lantai, dan diseret masuk ke kamar mandi dengan cepat.
"Indi!" jerit kami bersama-sama. Kami bertiga lari ke kamar mandi dan berusaha membuka pintu itu. Pukulan tangan terdengar cumakkan telinga, berharap dia segera melepaskan Indi karena merasa terintimidasi. Tapi justru kami yang merasa sedang terintimidasi oleh nya.
"Gimana ini!" rengek Nita panik.
"Nggak tau. Astaga!" sahutku menekan kepala.
"Kunci cadangan ini mana, Ros?!" tanya Mey dan membuatku segera bergerak ke laci nakas.
"Awas!" Aku kembali dengan sebuah kunci yang memang selalu aku letakan di sana, karena kamar mandi ini tidak pernah aku kunci dari luar.
Anehnya pintu ini tidak bisa terbuka. Bahkan lubang kunci tersebut seperti sulit dimasuki.
"Ya ampun, gimana dong! Susah banget sih!" rengekku terus mencoba.
"Salah mungkin kuncinya."
"Enggak. Bener ini. Tuh, ada label nya," tunjukku pada tempelan kertas putih dengan tulisan kecil berbunyi "kamar mandi".
"Indi! Lu nggak apa-apa? Indi jawab, ndi! Indi!" Berkali-kali Nita memanggil nama Indi tapi tak kunjung mendapat jawaban.
"Ros, kita harus cari bantuan!" kata Mey.
"Duh, siapa, ya? Oh iya, aku telpon satpam dulu, ya."
"Cepet, Ros!"
Aku berlari mencari ponsel, dan akhirnya menekan sebuah nomor yang cukup sering ku hubungi. Nomor Pak Rahmat, satpam apartemen paling senior.
"Halo, Pak? Maaf, saya minta tolong, bisa ke apartemen saya? Sekarang!" kataku tanpa menyapa apa pun.
"...."
"Apa, Pak?"
"...."
"Yang bener, Pak?" tanyaku dengan kedua bola mata yang seakan ingin keluar.
Panggilan ku akhiri, dan kedua temanku ini menatapku bingung. Walau Mey masih berusaha memasukan kunci, agar bisa segera terbuka.
"Udah, Mey. Stop," kataku dengan wajah kebingungan.
"Kenapa, Ros?"
"Indi ... Nggak ada di dalam."
"Maksud lu?"
"Dia ... Di pos satpam!"
"Hah?!"
"Kok bisa?"
Aku hanya mampu mengangkat kedua bahu ke atas.
Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam.
"Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.
"Dasar tamu tidak tau diri kalian. Bawa makanan nggak?" tanya Mey sambil memeriksa meja dan menatap dapur.
"Makanan melulu anda, ya," tukas Nita.
"Laper, Sis. Belum makan. Selesai dari rumah Rangga, langsung balik kita." Mey menghempaskan tubuhnya di samping Indi. Mereka berdua sedang menonton drama Korea kegemaran dua sejoli itu.
"Film apa tuh?" tanyaku, melepas sweater dan tas.
"Hwarang. Bagus nih, Ros!" sahut Indi.
Aku ikut duduk di sofa, hanya melirik tanpa berminat ikut terjun bersama mereka. Rasanya tubuhku terlalu lelah.
"Itu makanan. Di meja," tunjuk Nita ke meja makan.
"Mana?" Netra Mey liar mencari keberadaan benda yang disebut makanan tadi.
"Buka tudung sajinya, Dodol!" tukas Nita lagi, masih fokus pada Tv layar datar di depan kami. Wanita bergigi gingsul tersebut segera berjalan ke meja makan. Dia terlihat asyik memeriksa tiap mangkuk dan wadah yang berada di dalam penutup makan berwarna pink tersebut.
"Ros, makan nggak?" tanya Mey.
"Nanti saja. Kamu duluan deh," sahutku lalu segera beranjak menuju kamar. Rasanya tubuhku sangat lengket, ingin mandi. Walau hari sudah malam, bukan berarti aku tidak akan mandi. Justru aku paling tidak suka dengan badan lengket. Tidur akan terganggu.
"Eh, bagaimana tadi? Lancar?" tanya Indi yang seolah kembali pada kehidupan nyata.
"Aman kok kata Bang Cen. Bukan gangguan yang parah," Mey menjawab sambil membawa piring dan kembali duduk di sofa. Mereka bertiga terlibat obrolan tentang apa yang terjadi di rumah Rangga. Samar-samar aku juga mendengar pembicaraan mereka mengenai penghuni apartemen ini. Mey belum tau banyak tentang gangguan yang aku alami tadi. Jadi momen seperti ini adalah camilan renyah bagi mereka. Obrolan tentang makhluk tak kasat mata terbaru cukup menarik bagi kami. Tentu aku juga memiliki ide untuk menuangkan dalam novelku selanjutnya.
Memiliki teman seperti mereka adalah sebuah berkah tersendiri bagiku. Di depan mereka aku tidak perlu menjadi orang lain. Bahkan mereka yang paling memahamiku selama ini. Nita dan aku pernah menjalani bahtera rumah tangga dan berujung kegagalan. Bukan pengalaman indah, tapi justru membuat kami menjadi tempat curhat untuk Indi dan Mey. Mey dan Indi adalah tipe wanita yang sering sekali galau karena masalah percintaan. Semua masalah akan kami hadapi bersama. Susah, senang, tangis, dan tawa, sudah menjadi makanan pokok kami selama ini.
"Mandi lu?" tanya Nita saat aku membawa handuk dan pakaian ganti.
"Iya, panas banget udaranya."
"Iya, kah, perasaan malah dingin," kata Indi menimpali.
"Kalian yang dari tadi pakai Ac ya jelas ngomong begitu. Kami berdua sejak tadi berkeliaran di luar, panas banget!" ujar Mey, tetap makan walau kalimatnya sedikit tidak jelas.
"Lu mandi juga dong," tukas Nita.
"Males!"
Kini suara mereka terdengar pelan, karena aku sudah masuk ke dalam kamar mandi. Tidak perlu air hangat hanya untuk mandi, karena aku lebih suka air dingin yang segar. Kucuran air dari shower membuat melodi tersendiri. Aku sengaja membasahi kepala agar semua bersih dari kotoran dan bau. Dalam heningnya kamar mandi, ingatanku seolah kembali pada masa lalu.
.
.
18 BULAN LALU.
"Kamu keterlaluan! Tega-teganya kamu melakukan itu!" jeritku, sambil memukul dada bidang Dimas, suamiku.
"Kamu yang buat aku jadi begini! Kamu terlalu sibuk sama novelmu. Kamu juga terlalu dingin sama aku. Wajar dong, aku mencari perhatian keluar? Istri sendiri saja nggak bisa membuat aku betah dan nyaman di rumah!"
"Jadi wanita itu bisa kasih itu semua?"
"Enggak! Kamu tetap yang terbaik, Rosi! Aku sayang kamu. Aku tau aku salah. Semua orang punya kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna. Kita perbaiki ini sama-sama, ya, sayang?" kata Dimas mulai melunak. Dia menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Menyatukan kening kami, dengan wajah yang hampir menempel. Nafasnya mengenai wajahku, begitu pula sebaliknya. "Aku minta maaf. Aku janji ini yang terakhir kalinya."
"Aku juga minta maaf. Karena belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu. Aku salah."
Ini bukan pertama kalinya Dimas berselingkuh. Sudah berkali-kali aku memergokinya asyik bercengkrama dengan wanita lain. Entah teman sekolahnya, atau teman kerjanya. Bahkan aku sering melihat chat mesra mereka saat tak sengaja membuka ponselnya. Tapi kali ini, paling parah. Dia bahkan sudah meniduri wanita tersebut. Aku sadar, semua berawal dariku. Aku mungkin belum bisa menjadi istri yang baik untuknya, sehingga dia harus mencari hal tersebut di luar sana.
Kembali lagi, aku menerima semua perlakuan dia. Sakit yang kuderita seakan sudah membuatku mati rasa. Dimas romantis, dia selalu mengucapkan kalimat cinta setiap hari. Tapi setelah apa yang dia lakukan, aku justru meragukan cinta yang berasal dari mulutnya. Kalau dia mencintaiku, kenapa dia mengkhianati ku?
.
.
.
"Ros! Lagi apa sih di dalam? Lama banget! Buruan!" jerit Mey dari luar.
"Mandi dong! Apa sih! Ganggu aja lu!" Aku pun ikut berteriak sepertinya.
"Gantian! Gue mules!" katanya lagi.
"Astaga! Lu ambil batu, duduki!"
"Gila lu. Kalau mules ya boker dong! Masa duduki batu! Ngadi-ngadi aja lu!"
Aku tertawa sambil membilas sabun yang sudah kubalur ke sekujur tubuh. Alhasil acara mandi ku sedikit terganggu kali ini. Tapi makin lama udara memang sedikit dingin. Kalau aku terlalu lama berada di bawah air, pasti aku bisa sakit.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 tapi di antara kami berempat belum ada yang menandakan akan tidur cepat. Aku masih berkutat dengan barisan keyboard di depan, sedikit menjauh dari mereka karena membutuhkan konsentrasi untuk menulis. Mereka bertiga masih asyik menonton drama Korea. Sesekali tertawa, menangis, dan berseru bersama-sama. Inilah yang aku suka dari mereka. Tidak lagi merasakan kesepian seperti biasanya. Walau terkadang aku lebih menyukai suasana sepi, hanya seorang diri saja.
Tiba-tiba mereka bertiga terdiam. Bersamaan menoleh ke arah pintu. Aku yang penasaran ikut menatap ke tempat yang mereka tuju. Rupanya gangguan ini kembali. Aku pikir jika kondisi ramai seperti ini, aku jauh lebih aman. Tapi ternyata kali ini lain.
"Ros ... Itu siapa?" tanya Mey, mulai mundur, menutupi tubuhnya di balik Indi.
"Ini? Setannya?" tanya Indi menunjuk pintu, bermaksud memperjelas siapa sosok yang mengganggu ku.
"Hm, sepertinya. Coba cek, Ndi!" pintaku setengah memerintah.
"Astaga. Disuruh nge-cek setan! Kurang ajar banget wanita satu ini," ungkapnya tapi tetap beranjak dari duduk. Tapi menarik Nita agar mengikutinya.
Kedua wanita itu berjalan mengendap-endap ke pintu. Aku ikut cemas, walau berada jauh dari tempat itu. Sementara Mey, menutupi wajahnya dengan bantal sofa.
Nita dan Indi terlihat cukup berani. Apa karena memang mereka pemberani, atau hanya karena sekarang kami berkelompok? Apa pun itu, jika aku jadi Indi, aku tidak akan mendekat ke pintu.
"Serius? Mau dibuka?" tanya Nita begitu mereka sampai di belakang pintu.
Indi mengisyaratkan Nita diam. Dia melangkah lagi sekali, lalu mengintip dari door viewer. Hanya butuh waktu tiga detik, dia kembali pada posisi semula, sedikit menjauh.
"Kenapa?" tanya Nita berbisik.
"Nggak ada siapa-siapa." Wajah Indi terlihat bingung. Tapi dia masih penasaran, karena kini tubuhnya turun ke lantai. Tepatnya di bawah pintu. Sepertinya dia akan mengintip dari sana. Nita yang ada di sampingnya mengikuti langkahnya. Kedua nya menempatkan kepala sejajar dengan bawah pintu. Diam beberapa saat sampai akhirnya mereka beranjak lagi sambil menggeleng.
"Nggak ada siapa-siapa?" tanya Mey masih memeluk bantal di dada.
"Nggak ada. Aneh!"
Sekilas aku melihat Pergerakan dari pintu kamar mandi. Karena penasaran, aku berdiri dan memastikan. Mey yang masih duduk ikut beranjak saat melihatku aneh.
"Kenapa? Ros?" tanyanya.
"Lihat nggak? Tuh!" tunjukku ke gagang pintu kamar mandi. Kami berdua diam, lalu tersentak bersama-sama saat pegangan tersebut bergerak. Mey dan aku lantas menjerit dan berlari mendekat ke Indi dan Nita.
"Astaga. Kok bisa pindah?" tanya Indi. Penasaran dia akhirnya mendekat. Kami bertiga justru tidak ingin terlibat. Langkah Indi pelan namun pasti. Sampai akhirnya dia benar-benar sampai ke pintu kamar mandi. Gagang pintu yang sedari tadi terus bergerak, justru diam saat didekati. Entah mendapat keberanian dari mana, Indi menekan gagang pintu dan membukanya perlahan. Kami hanya diam sambil ikut melihat ke dalam sana. Tapi setelah ditunggu beberapa detik, Indi malah menoleh dan mengangkat kedua bahunya.
"Nggak ada siapa-siapa," ujarnya terlihat lega.
Tapi nafas ku yang hendak ku hembuskan cepat, kini justru tercekat. Bayangan hitam terlihat di belakang Indi, muncul dari kamar mandi yang masih terbuka lebar. Sosok wanita dengan rambut terurai, diikuti tetesan air dari sekujur tubuhnya, tampak lebih besar dari ukuran tubuh manusia normal. Hantu kerap berubah bentuk sesuai mau mereka, tapi aku tidak tau kalau makhluk sejenis dia dapat berubah sebesar itu.
Ternyata tak hanya aku saja yang melihat. Tangan Nita terangkat ke atas, menunjuk dengan gemetar ke arah Indi. Mey menjerit dan menutup wajahnya lagi, bersembunyi di belakangku. Indi yang sadar kalau bahaya mengintai, melirik ke belakang. Tapi tiba-tiba, tubuh Indi terjatuh ke lantai, dan diseret masuk ke kamar mandi dengan cepat.
"Indi!" jerit kami bersama-sama. Kami bertiga lari ke kamar mandi dan berusaha membuka pintu itu. Pukulan tangan terdengar cumakkan telinga, berharap dia segera melepaskan Indi karena merasa terintimidasi. Tapi justru kami yang merasa sedang terintimidasi oleh nya.
"Gimana ini!" rengek Nita panik.
"Nggak tau. Astaga!" sahutku menekan kepala.
"Kunci cadangan ini mana, Ros?!" tanya Mey dan membuatku segera bergerak ke laci nakas.
"Awas!" Aku kembali dengan sebuah kunci yang memang selalu aku letakan di sana, karena kamar mandi ini tidak pernah aku kunci dari luar.
Anehnya pintu ini tidak bisa terbuka. Bahkan lubang kunci tersebut seperti sulit dimasuki.
"Ya ampun, gimana dong! Susah banget sih!" rengekku terus mencoba.
"Salah mungkin kuncinya."
"Enggak. Bener ini. Tuh, ada label nya," tunjukku pada tempelan kertas putih dengan tulisan kecil berbunyi "kamar mandi".
"Indi! Lu nggak apa-apa? Indi jawab, ndi! Indi!" Berkali-kali Nita memanggil nama Indi tapi tak kunjung mendapat jawaban.
"Ros, kita harus cari bantuan!" kata Mey.
"Duh, siapa, ya? Oh iya, aku telpon satpam dulu, ya."
"Cepet, Ros!"
Aku berlari mencari ponsel, dan akhirnya menekan sebuah nomor yang cukup sering ku hubungi. Nomor Pak Rahmat, satpam apartemen paling senior.
"Halo, Pak? Maaf, saya minta tolong, bisa ke apartemen saya? Sekarang!" kataku tanpa menyapa apa pun.
"...."
"Apa, Pak?"
"...."
"Yang bener, Pak?" tanyaku dengan kedua bola mata yang seakan ingin keluar.
Panggilan ku akhiri, dan kedua temanku ini menatapku bingung. Walau Mey masih berusaha memasukan kunci, agar bisa segera terbuka.
"Udah, Mey. Stop," kataku dengan wajah kebingungan.
"Kenapa, Ros?"
"Indi ... Nggak ada di dalam."
"Maksud lu?"
"Dia ... Di pos satpam!"
"Hah?!"
"Kok bisa?"
Aku hanya mampu mengangkat kedua bahu ke atas.
itkgid dan pulaukapok memberi reputasi
2
Tutup