- Beranda
- Stories from the Heart
Bukan Rama Shinta
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrishana
#14
Chapter 08 - Terpisah Jarak, Didekatkan Teknologi
“Rey Mysterio, six-one-nine!”
Seorang pemilik toko swalayan sedang asyik menatap layar gawai buatan Amerika Serikat. Menyaksikan video gulat yang sangat populer di seluruh dunia untuk menghabiskan waktu siang di dalam kantornya.
“Hen!” seseorang memanggil dari depan ruangan.
Sang pemilik toko swalayan langsung mengalihkan pandangannya ke arah seseorang yang memanggilnya dan duduk di depan mejanya.
“Eh, lo Jon. Biasanya karyawan lo yang ke sini,” ujar Mahendra.
“Ya sekali-kali lah gue ngunjungin kantor lo kan. Jadi, gimana perjodohan anak kita?”
“Lo ada ide nggak?”
“Ya, kalau gue sih bilangnya kantor gue mau bangkrut. Ada yang mau investasi, tapi syaratnya harus ada pernikahan antara anak investor dengan anak gue,”
“Ya sekali-kali lah gue ngunjungin kantor lo kan. Jadi, gimana perjodohan anak kita?”
“Lo ada ide nggak?”
“Ya, kalau gue sih bilangnya kantor gue mau bangkrut. Ada yang mau investasi, tapi syaratnya harus ada pernikahan antara anak investor dengan anak gue,”
Mahendra merubah posisi duduknya, bersandar sambil menyelonjorkan kakinya dan menatap langit-langit kantornya.
“Gimana?” tanya Jonathan.
“Gila juga sih ide lo. Tapi boleh dicoba.”
“Demi anak kita, bro!”
“Iya betul. Kita bisa kolaborasi. Makin menguntungkan,”
“Anak lo tahun ini udah 16 tahun kan?” tanya Jonathan.
“Iya,” jawab Mahendra singkat.
“Jangan bilang lo mau nikahin mereka tahun ini,” lanjutnya seraya merubah posisi duduknya menghadap Jonathan.
“Hahahaha! Ketebak ya,”
“Udah gila lo, Jon! Mereka masih sekolah!”
“Yang penting pihak sekolah sama teman-temannya ya jangan ada yang tau. Cukup kita-kita aja. Gimana?”
“Gila juga sih ide lo. Tapi boleh dicoba.”
“Demi anak kita, bro!”
“Iya betul. Kita bisa kolaborasi. Makin menguntungkan,”
“Anak lo tahun ini udah 16 tahun kan?” tanya Jonathan.
“Iya,” jawab Mahendra singkat.
“Jangan bilang lo mau nikahin mereka tahun ini,” lanjutnya seraya merubah posisi duduknya menghadap Jonathan.
“Hahahaha! Ketebak ya,”
“Udah gila lo, Jon! Mereka masih sekolah!”
“Yang penting pihak sekolah sama teman-temannya ya jangan ada yang tau. Cukup kita-kita aja. Gimana?”
Mahendra kembali merubah posisi duduknya seperti sebelumnya. Menatap langit-langit yang kosong. Berharap menemukan jawaban atas apa yang sahabatnya tawarkan.
“Anak gue sih udah bisa cari duit sendiri dari game online,” ujar Mahendra.
“Tapi,” lanjut Mahendra seraya merubah posisi duduknya kembali, “Kayaknya belom bisa buat nafkahin anak lo, Jon.”
“Alah, masalah itu, masih ada kita sebagai orang tua. Yang penting mereka nyatu dulu. Makin gede, makin susah dikibulinnya,” Jonathan terus berusaha merayu.
“Bener juga lo, Jon. Oke deh, gas!”
****
“Ram, udah sampai rumah?”
“Udah, Ra.”
“Maafin gue ya, Ram. Gue udah ngerepotin lo.”
“Hahahaha! Santai aja, Ra. Gue gak apa-apa.”
“Tapi,” lanjut Mahendra seraya merubah posisi duduknya kembali, “Kayaknya belom bisa buat nafkahin anak lo, Jon.”
“Alah, masalah itu, masih ada kita sebagai orang tua. Yang penting mereka nyatu dulu. Makin gede, makin susah dikibulinnya,” Jonathan terus berusaha merayu.
“Bener juga lo, Jon. Oke deh, gas!”
****
“Ram, udah sampai rumah?”
“Udah, Ra.”
“Maafin gue ya, Ram. Gue udah ngerepotin lo.”
“Hahahaha! Santai aja, Ra. Gue gak apa-apa.”
Langit gelap menghitam seraya matahari sudah berpindah posisi ke zona waktu yang berbeda. Satelit bumi yang kini menggantikan peran untuk menerangi malam yang sunyi tanpa ada suara desir udara yang bergerak. Pepohonan pun hanya tertunduk diam disinari oleh pantulan cahaya dari lampu penerang jalan.
Rama yang kala itu sedang asyik dengan gawainya. Ditemani oleh seorang perempuan yang menjadi primadona baru di sekolah. Dipisahkan dengan jarak belasan kilometer, tetapi didekatkan dengan tekonologi.
“Kamu tuh, Ram. Ada-ada aja,” ujar Mitha sambil memerika hasil kuis mahasiswanya.
“Yah, Ma. Rama juga gak mau begini,” ujar Rama yang sedang merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga.
“Hari pertama harusnya cari temen, ini malah cari musuh,” lanjut Mitha.
“Tapi kan mereka duluan yang mulai,” Rama membela diri.
“Iya sih, tapi kamu ya jangan nekat gitu. Bonyok tuh muka. Gantengnya hilang, nanti gak ada yang suka sama kamu,”
“Bodo amat, Ma. Aku lagi gak mikirin begituan,”
“Yah, Ma. Rama juga gak mau begini,” ujar Rama yang sedang merebahkan diri di atas sofa ruang keluarga.
“Hari pertama harusnya cari temen, ini malah cari musuh,” lanjut Mitha.
“Tapi kan mereka duluan yang mulai,” Rama membela diri.
“Iya sih, tapi kamu ya jangan nekat gitu. Bonyok tuh muka. Gantengnya hilang, nanti gak ada yang suka sama kamu,”
“Bodo amat, Ma. Aku lagi gak mikirin begituan,”
Beberapa detik kemudian, terdengar suara kendaraan roda dua yang berhenti di depan rumah mereka. Diikuti oleh suara dari pagar yang terbuka dan sosok lelaki yang berdiri di depan pintu.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam!”jawab Rama dan ibunya.
“Berantem sama siapa kamu, Ram?” tanya Mahendra kepada anaknya seraya melihat wajah Rama yang terluka.
“Sama senior,” jawab Rama singkat.
“Kok bisa?” tanya Mahenda yang duduk di atas sofa.
“Panjang kalau diceritain. Intinya sih dia kurang ajar sama temenku,” jawab Rama.
“Cewek?”
“Iya,”
“Pantesan dibelain sampe rela bonyok gini, hahahahaha!”
“Iya, satu lawan empat lagi. Hebat gak tuh anak kita,” Mitha menambahkan.
“Kayak dulu Papa dong. Jagoan,”
“Pret!” Mitha melemparkan segumpal kertas ke arah Mahendra, “Kamu lawan satu orang aja lari.”
“Ya orangnya bawa cerurit. Masa aku lawan. Kamu mau jadi janda sebelum nikah,”
“Ngelawak aja si bapak. Mandi sana, terus makan.” ujar Mitha.
“Wa ‘alaikum salam!”jawab Rama dan ibunya.
“Berantem sama siapa kamu, Ram?” tanya Mahendra kepada anaknya seraya melihat wajah Rama yang terluka.
“Sama senior,” jawab Rama singkat.
“Kok bisa?” tanya Mahenda yang duduk di atas sofa.
“Panjang kalau diceritain. Intinya sih dia kurang ajar sama temenku,” jawab Rama.
“Cewek?”
“Iya,”
“Pantesan dibelain sampe rela bonyok gini, hahahahaha!”
“Iya, satu lawan empat lagi. Hebat gak tuh anak kita,” Mitha menambahkan.
“Kayak dulu Papa dong. Jagoan,”
“Pret!” Mitha melemparkan segumpal kertas ke arah Mahendra, “Kamu lawan satu orang aja lari.”
“Ya orangnya bawa cerurit. Masa aku lawan. Kamu mau jadi janda sebelum nikah,”
“Ngelawak aja si bapak. Mandi sana, terus makan.” ujar Mitha.
Alat untuk mengukur waktu yang tergantung di dinding ruang tengah terus berputar tiap detiknya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rama terlihat masih sibuk dengan aplikasi obrolan pada gawainya. Ditemani oleh Ayara Prameswari dari kejauhan hanya untuk menghabiskan malam. Dan kini, Rama berpindah tempat ke kamarnya, melanjutkan obrolan di atas ranjangnya.
“Orang tua lo tau kalau lo berantem, Ram?” tanya Ara.
“Tau kok, kan gue pas balik ditanyain,” jawab Rama.
“Mereka marah nggak?”
“Nggak, malah becanda tuh mereka,”
“Ya udah, Ram. Udah malem. Lo istirahat ya, biar besok gak kesiangan,” tulis Ara.
“Iya, besok gue mau naik bus dari sini,”
“Good night, Rama,”
“Good night,
****
“Tau kok, kan gue pas balik ditanyain,” jawab Rama.
“Mereka marah nggak?”
“Nggak, malah becanda tuh mereka,”
“Ya udah, Ram. Udah malem. Lo istirahat ya, biar besok gak kesiangan,” tulis Ara.
“Iya, besok gue mau naik bus dari sini,”
“Good night, Rama,”
“Good night,
****
Enam jam sudah Rama terlelap dalam baringnya di bawah alam kesadarannya. Layar gawai buatan Amerika Serikat berlogo apel tiba-tiba saja menyala. Diikuti oleh suara nada dering dari lagu yang dipopulerkan oleh band asal California, Amerika Serikat yang berjudul ‘Dear God’. Dengan setengah kesadarannya, Rama berusaha membuka matanya dan meraih telepon genggamnya. Kesadarannya bertambah ketika melihat nama Ara di layar teleponnya.
“Halo, Ra!” sapa Rama.
“Halo, Rama. Udah bangun?”tanya Ara dari balik telepon.
“Kalau belum bangun, gue gak bisa jawab telpon dong, Ra,” jawab Rama.
“Hehehehe… Ya udah sana siap-siap dulu. Sampai ketemu di sekolah, Ram,”
“Iya, sampai ketemu, Ra.”
“Halo, Rama. Udah bangun?”tanya Ara dari balik telepon.
“Kalau belum bangun, gue gak bisa jawab telpon dong, Ra,” jawab Rama.
“Hehehehe… Ya udah sana siap-siap dulu. Sampai ketemu di sekolah, Ram,”
“Iya, sampai ketemu, Ra.”
Hari itu diawali dengan suara dari seorang perempuan berumur enam belas tahun yang kini sedang dekat dengan Rama. Sosok perempuan yang berhasil menjadi sumbu api penyempurna kesadaran yang tadinya masih di awang-awang. Setelah mendengar suara dari Ayara, Rama langsung bergegas membersihkan diri dan bersiap menuju sekolahnya.
Malam pun berakhir, hari sudah mulai ada penerangan dari pusat tata surya yang berada satu juta kilometer jaraknya dari bumi walaupun masih enggan untuk menampakkan diri. Tempat yang biasa dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan pun masih terlihat sepi pengguna. Hanya ada beberapa kendaraan dan pejalan kaki saja yang terlihat sedang melintas di atas jalan yang masih basah oleh embun pagi. Tak terdengar suara dari udara yang bergerak, hanya ada suara dari kicauan hewan bersayap yang bersahut-sahutan di atas pepohonan.
Sepuluh menit sudah berlalu. Itu adalah waktu yang dibutuhkan Rama untuk sampai ke halte bus di daerah rumahnya. Dia segera menempelkan kartu uang elektroniknya di atas mesin tap on di area halte dan menunggu bus yang berjalan ke arah sekolahnya. Tak butuh waktu banyak untuk menunggu bus tersebut. Hanya selang tiga menit, bus yang dinantikan sudah tiba.
Keadaan bus juga sangat sepi. Hanya ada beberapa penumpang yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah murid perempuan dari SMA Bumi Yadhika berambut panjang hitam hingga menyentuh bahu yang sedang asyik mendengarkan lagu kegemarannya memakai headset sambil melihat keluar jendela. Rama yang melihatnya seketika terkejut.
“Shinta?”
Rama pun berjalan dan duduk di bagian bangku sebelah kanan tepat di samping bagian di mana Shinta sedang duduk dan menikmati pemandangan luar. Sesekali Rama melihat ke wajah Shinta dan menatap matanya. Shinta yang menyadari dirinya sedang diperhatikan juga seketika menoleh ke arah Rama. Karena kedapatan saling bertatapan, mereka pun akhirnya saling membuang pandangan.
“Wajahnya, kayak gak asing. Kayak pernah lihat. Tapi di mana ya,”Rama bertanya-tanya dalam hati.
tariganna dan 2 lainnya memberi reputasi
3
