muyasy
TS
muyasy
Love, Where Are You?


PROLOG

.
.

"Ayah."

Imran menitikkan air matanya kala Anin menyebut namanya. Namun, rasa bersalah itu membuatnya tidak pantas jika dipanggil ayah.

"Kenapa kamu pulang? Bukankah lebih baik kamu tidak di sini ketimbang melihat ayahmu yang jahat ini." Imran merutuki dirinya sendiri. Akan tetapi, ini adalah pilihan terbaik. Dia tidak pantas disebut ayah.

Ani terkesiap mendengar perkataan ayahnya. Dirinya menoleh ke arah Irsyad. Lelaki itu pun sama terkejutnya.

"Ayah ... aku rindu. Kenapa ayah bilang gitu? Apa ayah tidak rindu denganku?"

"Tidak. Ayah tidak rindu. Cepatlah pergi! Lebih baik kamu tinggalkan ayah sendiri." Imran berbalik meninggalkan Irsyad dan Anin dengan rasa yang menahan sakit karena rindu. Hampir saja lelaki paruh baya itu menitikkan air mata kembali, tetapi segera dia usap secara kasar.

Dia mendengar tangisan Anin yang memilukan. Irsyad langsung memeluknya dari samping.

Anin berlari ke arah ayahnya yang sudah masuk ke ruang tengah. Dipeluknya tubuh ringkih itu.

"Ayah bohong, 'kan. Ayah pasti rindu dengan Anin. Ayah ... bilang ke Anin kalo ayah rindu. Jangan mengusirku, karena aku ingin bertemu dengan ayah. Tapi, kenapa ayah malah mengusirku. Kenapa!"

Imran melepas rengkuhan anak semata wayangnya. "Pergilah dan jangan kembali. Aku tidak pantas menjadi ayahmu. Cepat pergi!"

Anin terpaku. Dia merasa deja vu. Luka itu secara tiba-tiba mengingatkannya. Tak ada tangis atau ucapan memohon. Kaki Ani melangkah ke luar. Dia pun tak menghiraukan panggilan Irsyad.

"Pak ... kenapa Pak Imran malah mengusir anak sendiri? Dalam pikiran bapak itu apa sebenarnya?" Irsyad berkata dengan tegas dihadapan Imran. Biar saja dia dikata tidak sopan. Namun, Imran sangat keterlaluan hari ini.

"Aku pantas dijauhi, Nak. Anin lebih baik menjauhiku."

"Dia datang ke sini sudah memaafkan perlakuan bapak yang dulu. Kami sama-sama ke sini untuk meminta restu. Secepatnya kami akan bertunangan. Tapi, rencana kami malah berantakan. Saya permisi dulu."

Imran menatap pintu rumah dengan tatapan nanar. Anaknya meminta restu dan dia akan bertunangan dengan lelaki yang dari dulu bersamanya.

"Anin, Sayang. Maafkan ayah."

***

Irsyad mencari ke ujung jalan sampai mentok ke jalan yang dilalui tadi. Matanya tidak bisa menemukan kemana gadisnya itu.

"Apa dia ke terminal? Astaga ... Anin."

Tanpa berpikir panjang, lekaki itu menginjak pedal gas cukup kencang. Dia cemas karena panasnya matahari siang ini sangatlah terik. Apalagi jika benar Anin ke terminal, pasti dia belum jauh saat ini.

Matanya menangkap seseorang berjongkok di bawah pohon mangga. Baju dan hijab yang dikenakan sama seperti yang Anin pakai. Irsyad pun menepikan mobilnya, lalu dia turun dan berlari menghampiri gadisnya itu.

"Anin," panggilnya sembari tangannya mengelus puncak kepala gadis itu.

"A-ku mau ba-lik."

"Tapi ...."

"Aku mau ba-balik, Mas!" bentak Anin dengan tubuhnya yang masih bergetar. Irsyad langsung merangkul tubuh Anin yang masih menangis sesenggukan.

"Iya. Aku anter kamu balik."

Irsyad mengajak Anin kembali ke mobil. Lalu, Irsyad membersihkan sisa air mata dipipi Anin dengan tisu. Dia tidak mau bertanya apapun kali ini. Cukup hari ini saja yang membuat raga dan hati Anin kelelahan.

Dalam perjalanan, mereka berdua sama-sama diam. Sampai Anin tertidur dengan pulas. Mungkin karena kelelahan sehabis menangis.
Irsyad juga tidak menduga bahwa akan terjadi seperti ini. Padahal, setahunya Pak Imran sangat merindukan Anin.

Beliau pernah berkata kabar Anin bagaimana saat di Surabaya. Dan, matanya sangat berbinar jika Irsyad bercerita tentang Anin. Namun, kenapa Pak Imran malah mengusir anak semata wayangnya ini?

Anin sudah berucap sudah menerima maaf ayahnya. Di sisi lain, perasan ayahnya yang dulu pernah kasar dengan Anin malah ingin menjauh dari anaknya.

Irsyad mengusap wajahnya dengan kasar. "Saat kita tunangan, terpaksa kita tidak menunggu restu ayahmu, Nin." Irsyad berbicara sendiri.

Hatinya kalut. Bagaimana perasaan Anin saat dia tersadar dari mimpinya? Dia takut, traumanya tidak bisa hilang gara-gara dia merasa tidak dianggap.

Pada tempat lain, Imran membanting semua barang yang ada di ruang tengah sampai habis tak tersisa. Dia mulai merutuki dirinya dengan apa yang dilakukannya siang tadi. Dia baru menyesali perbuatannya.

"Maafkan, Ayah, Nak. Maaf ...." Imran terduduk di samping pintu dengan tangisnya yang menyayat hati.

Kecewa memang selalu datang belakangan. Sebelum bertindak, seharusnya dipikir terlebih dahulu. Kini, nasi sudah menjadi bubur.


🥺🥺🥺





Sumber gambar : pixabay
Grrsik, 10052022
Diubah oleh muyasy 11-05-2022 18:50
indrag057penthouse.3unhappynes
unhappynes dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.6K
65
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread•40.9KAnggota
Tampilkan semua post
enjihalala25
enjihalala25
#6
Here i am
penthouse.3muyasy
muyasy dan penthouse.3 memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.