- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#198
gatra 4
Quote:
KEBO PETENG diam –diam merasa kagum pada Arya Gading. Anak itu tentu anak yang sangat cerdas. Namun karena itu pula maka orang itu pun menjadi semakin berhati-hati. Anak muda yang dijumpainya itu benar-benar anak muda yang luar biasa. Meskipun telah diperlihatkan ilmu Kebo Peteng yang langka namun, pemuda itu masih bertarung dengan penuh perhitungan.
Dalam pada itu, Arya Gading semakin lama menjadi semakin susut tenaganya. Berkali –kali Kebo Peteng terlempar. Karena itulah, maka semakin lama terasa olehnya, bahwa kemampuan Kebo Peteng justru menjadi semakin berat. Semakin lama semakin terasa menekan. Kebo Peteng dapat membaca keadaan bahwa lawannya itu mulai kehabisan tenaga. Meskipun, anak muda itu masih mampu berloncatan secepat burung sikatan menyambar belalang.
Arya Gading benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk melawan. Beberapa kali tangan Kebo Peteng telah mengenai tubuhnya. Bahkan dua kali mengenai keningnya dan sekali menyambar tengkuknya. Rasa-rasanya tulang-tulangnya sudah berpatahan sehingga tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah.
“Anak-anak gila. Kau tidak juga mau menyerah?,” geram Kebo Peteng itu.
“ Aku masih mampu menghadapimu kisanak “, jawab Arya Gading sembari meloncat –loncat menghindaris erangan besi hitam di tangan Kebo Peteng yang menyambar –nyambar bagaikan halilintar.
Sekilas Arya Gading masih sempat melirik ke arah Doran yang tengah dikeroyok oleh emapat orang. Arya Gading juga tahu bahwa Doran dalam situasi yang sulit juga seperti dirinya saat ini. Beberapa saat ia masih mencoba bertahan. Namun sementara itu Kebo Peteng telah mampu menyentuh pundak Arya Gading. Sentuhan itu tidak telak. namu, Arya Gading merasakan seperti ditibani benda keras seberat timah hitam.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Doran pun harus bertempur menghadapi empat orang lawan. Meskipun dua di antara mereka masih belum pulih, tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang luar biasa. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Arya Gading melawan ilmu Kebo Peteng yang aneh, sementara Doran melawan empat orang. Untuk beberapa saat Arya Gading dan Doran masih bertahan. Namun akhirnya Arya Gading tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya yang diterimanya selama ia berguru, masih jauh dari mencukupi.
Demikian pula Doran. Ia harus menyadari, bahwa demikian ia lepas dari perguruannya, bukan berarti bahwa ia adalah orang yang terkuat di bawah lengkung langit. Ketika ia bertempur seorang melawan seorang, maka ia memang merasa bahwa ilmunya seakan-akan mampu mrantasi. Namun kemudian ternyata bahwa ia telah keliru menilai diri, sehingga tidak ada kemungkinan yang paling baik daripada menghindar.
Karena itu, maka pada kesempatan berikutnya, Arya Gading dan Doran itupun telah bergeser saling menjauh. Namun dengan isyarat tertentu, maka keduanya telah meloncat meninggalkan arena pertempuran, tanpa mencabut senjata mereka lebih dahulu.
Kebo Peteng itu tiba-tiba saja telah berteriak, “He, jangan biarkan anak itu lari. Cepat, kepung anak itu.”
Kedua anak muda itu telah berlari menghindari lawan-lawan mereka. Keduanya ternyata telah memilih arah yang berbeda. Meskipun lawan-lawannya berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka terpaksa berhenti sebelum sempat menangkap. Lawan-lawannya yang tahu kemampuan kedua anak muda itu tidak mau berpencar. Mereka mengejar kedua anak muda yang berlari ke arah yang berbeda itu dalam kelompok masing-masing. Mereka menyadari, jika mereka berpencar, maka mereka akan dapat menempuh bahaya, karena mereka masing-masing bahkan dua orang di antara mereka bersama-sama tidak akan dapat melawan seorang di antara anak-anak muda itu. Kecuali Kebo Peteng sendiri.
Karena itu, demikian kedua anak muda itu masuk ke gelapnya malam, mereka pun telah berhenti mengejar. Beberapa orang di antara mereka terdengar mengumpat. Orang yang berwajah cacat itu pun mengumpat pula.
Namun Kebo Peteng berkata, “Mereka memang pantas dihukum. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kagum terhadap mereka. Dengan jujur aku katakan, bahwa aku belum pernah bertemu dengan anak-anak muda seperti itu. Baik sikapnya maupun kemampuannya. Nah, siapakah di antara kita, seorang-seorang, merasa bahwa kemampuannya dapat mengimbangi anak muda itu?”
Semua orang terdiam, karena setiap orang memang mengakui di dalam hati, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mampu mengimbangi kemampuan anak-anak muda itu.
“Sudahlah,” berkata Kebo Petengitu, “kita lupakan saja mereka. Aku yakin mereka tidak akan kembali lagi ke padukuhan ini. Karena menurut pengamatanku mereka itu anak –anak muda yang baru turun gunung setelah sekian lama berguru. Jurus –jurusnya masih sangat kaku “
“ Karena aku yakin, menilik jurus -jurus geraknya, kedua anak muda itu adalah murid-murid seperguruan. Mereka agaknya baru saja keluar dari perguruannya untuk melihat cakrawala yang lebih luas dari dunia olah kanuragan. Kita adalah orang yang pertama atau setidak-tidaknya termasuk orang-orang di permulaan usaha mereka untuk menjajagi kemampuan mereka sendiri sebagaimana anak-anak muda yang baru mendapatkan ilmu ”
Orang berwajah cacat itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia membenarkan di dalam hati, bahwa dua orang anak muda itu sulit untuk dikalahkan.
“Sekarang kita akan membicarakan urusan kita sendiri,” berkata Kebo Peteng itu.
Orang berwajah cacat itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “ Baiklah kakang, kita kembali dulu ke pondok”
Kebo Peteng mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku rasa sebentar lagi malam juga kan menjelang.”
Dalam pada itu, Arya Gading semakin lama menjadi semakin susut tenaganya. Berkali –kali Kebo Peteng terlempar. Karena itulah, maka semakin lama terasa olehnya, bahwa kemampuan Kebo Peteng justru menjadi semakin berat. Semakin lama semakin terasa menekan. Kebo Peteng dapat membaca keadaan bahwa lawannya itu mulai kehabisan tenaga. Meskipun, anak muda itu masih mampu berloncatan secepat burung sikatan menyambar belalang.
Arya Gading benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk melawan. Beberapa kali tangan Kebo Peteng telah mengenai tubuhnya. Bahkan dua kali mengenai keningnya dan sekali menyambar tengkuknya. Rasa-rasanya tulang-tulangnya sudah berpatahan sehingga tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah.
“Anak-anak gila. Kau tidak juga mau menyerah?,” geram Kebo Peteng itu.
“ Aku masih mampu menghadapimu kisanak “, jawab Arya Gading sembari meloncat –loncat menghindaris erangan besi hitam di tangan Kebo Peteng yang menyambar –nyambar bagaikan halilintar.
Sekilas Arya Gading masih sempat melirik ke arah Doran yang tengah dikeroyok oleh emapat orang. Arya Gading juga tahu bahwa Doran dalam situasi yang sulit juga seperti dirinya saat ini. Beberapa saat ia masih mencoba bertahan. Namun sementara itu Kebo Peteng telah mampu menyentuh pundak Arya Gading. Sentuhan itu tidak telak. namu, Arya Gading merasakan seperti ditibani benda keras seberat timah hitam.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Doran pun harus bertempur menghadapi empat orang lawan. Meskipun dua di antara mereka masih belum pulih, tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang luar biasa. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Arya Gading melawan ilmu Kebo Peteng yang aneh, sementara Doran melawan empat orang. Untuk beberapa saat Arya Gading dan Doran masih bertahan. Namun akhirnya Arya Gading tidak dapat ingkar, bahwa ilmunya yang diterimanya selama ia berguru, masih jauh dari mencukupi.
Demikian pula Doran. Ia harus menyadari, bahwa demikian ia lepas dari perguruannya, bukan berarti bahwa ia adalah orang yang terkuat di bawah lengkung langit. Ketika ia bertempur seorang melawan seorang, maka ia memang merasa bahwa ilmunya seakan-akan mampu mrantasi. Namun kemudian ternyata bahwa ia telah keliru menilai diri, sehingga tidak ada kemungkinan yang paling baik daripada menghindar.
Karena itu, maka pada kesempatan berikutnya, Arya Gading dan Doran itupun telah bergeser saling menjauh. Namun dengan isyarat tertentu, maka keduanya telah meloncat meninggalkan arena pertempuran, tanpa mencabut senjata mereka lebih dahulu.
Kebo Peteng itu tiba-tiba saja telah berteriak, “He, jangan biarkan anak itu lari. Cepat, kepung anak itu.”
Kedua anak muda itu telah berlari menghindari lawan-lawan mereka. Keduanya ternyata telah memilih arah yang berbeda. Meskipun lawan-lawannya berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka terpaksa berhenti sebelum sempat menangkap. Lawan-lawannya yang tahu kemampuan kedua anak muda itu tidak mau berpencar. Mereka mengejar kedua anak muda yang berlari ke arah yang berbeda itu dalam kelompok masing-masing. Mereka menyadari, jika mereka berpencar, maka mereka akan dapat menempuh bahaya, karena mereka masing-masing bahkan dua orang di antara mereka bersama-sama tidak akan dapat melawan seorang di antara anak-anak muda itu. Kecuali Kebo Peteng sendiri.
Karena itu, demikian kedua anak muda itu masuk ke gelapnya malam, mereka pun telah berhenti mengejar. Beberapa orang di antara mereka terdengar mengumpat. Orang yang berwajah cacat itu pun mengumpat pula.
Namun Kebo Peteng berkata, “Mereka memang pantas dihukum. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kagum terhadap mereka. Dengan jujur aku katakan, bahwa aku belum pernah bertemu dengan anak-anak muda seperti itu. Baik sikapnya maupun kemampuannya. Nah, siapakah di antara kita, seorang-seorang, merasa bahwa kemampuannya dapat mengimbangi anak muda itu?”
Semua orang terdiam, karena setiap orang memang mengakui di dalam hati, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mampu mengimbangi kemampuan anak-anak muda itu.
“Sudahlah,” berkata Kebo Petengitu, “kita lupakan saja mereka. Aku yakin mereka tidak akan kembali lagi ke padukuhan ini. Karena menurut pengamatanku mereka itu anak –anak muda yang baru turun gunung setelah sekian lama berguru. Jurus –jurusnya masih sangat kaku “
“ Karena aku yakin, menilik jurus -jurus geraknya, kedua anak muda itu adalah murid-murid seperguruan. Mereka agaknya baru saja keluar dari perguruannya untuk melihat cakrawala yang lebih luas dari dunia olah kanuragan. Kita adalah orang yang pertama atau setidak-tidaknya termasuk orang-orang di permulaan usaha mereka untuk menjajagi kemampuan mereka sendiri sebagaimana anak-anak muda yang baru mendapatkan ilmu ”
Orang berwajah cacat itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia membenarkan di dalam hati, bahwa dua orang anak muda itu sulit untuk dikalahkan.
“Sekarang kita akan membicarakan urusan kita sendiri,” berkata Kebo Peteng itu.
Orang berwajah cacat itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “ Baiklah kakang, kita kembali dulu ke pondok”
Kebo Peteng mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku rasa sebentar lagi malam juga kan menjelang.”
Quote:
SEMENTARA ITU, Arya Gading dan Doran masih berlari-lari kecil menjauhi padukuhan itu. Mereka memang terpisah. Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah berusaha menemukan jalan induk. Keduanya memang saling mencari untuk beberapa saat. Namun akhirnya mereka pun dapat saling menemukan. Ketika Arya Gading berjalan menyusuri jalan induk di malam yang gelap, maka diketemukannya Doran tengah duduk di bawah sebatang pohon di pinggir jalan yang sepi, meskipun di siang hari jalan itu cukup ramai.
Arya Gading pun kemudian telah duduk pula di sampingnya. Ternyata keduanya memang terengah-engah. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Sementara itu Doran malahan bersandar pada batang pohon itu.
Baru sejenak kemudian Arya Gading berkata, “Rasa-rasanya kita sudah puas sempat berlari-lari dalam kegelapan. Hampir saja aku terperosok ke dalam sumur sebelum aku keluar dari padukuan itu.”
Doran menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia tertawa. Katanya, “Bukankah kita telah mendapat satu pengalaman yang menarik? Dengan demikian kita dapat menilai diri kita sendiri.”
“Bagaimana kita dapat menilai diri kita?” bertanya Arya Gading.
“Kita tidak mempunyai takaran, apakah orang-orang itu dianggap memiliki kemampuan tinggi, sedang, atau justru berkemampuan sangat rendah. Jika ternyata menurut ukuran dunia olah kanuragan, orang-orang itu berkemampuan sangat rendah, maka alangkah bodohnya kita.”
Untuk beberapa saat lamanya keduanya duduk berdiam diri di bawah pohon di pinggir jalan itu. Doran yang bersandar pada batangnya yang cukup besar justru mulai terkantuk-kantuk. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya dengan lembut.
Namun sambil memejamkan matanya Doran itu sempat berkata, “Mudah-mudahan orang –orang itu masih mengejar kita.”
“Ah, kau ini ada-ada saja,” desis Arya Gading.
Doran tertawa. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah. Kita berjalan terus. Bulak di hadapan kita adalah bulak yang panjang. Mungkin kita mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang itu lagi.”
“Jangan mengigau begitu,” potong Arya Gading.
Doran masih saja tertawa. Katanya, “Apakah salahnya mencari pengalaman? Bukankah pengalaman akan dapat menjadi guru yang sangat baik?”
“Ah, kau,” geram Arya Gading.
Tetapi Doran masih saja tertawa. Bahkan kemudian iapun telah menarik tangan Arya Gading sambil berkata, “Marilah. Kita berjalan terus.”
Arya Gading tidak dapat menolak. Iapun kemudian bangkit dan melangkah meneruskan perjalanan. Dalam gelapnya malam mereka menyusuri jalan yang agaknya menuju ke tempat-tempat terpenting di sekitar tempat itu. Meskipun keduanya belum mengetahui dengan pasti, namun keduanya mengerti bahwa jalan yang mereka lalui adalah jalan yang paling banyak dilewati orang di siang hari.
“ Gading, kita sudah cukup lama berjalan. Namun,masih saja bulak ini seperti tidak ada batas. Kanan kiri sawah,di depan sana jagung. Aku letih. Kita cari banjar desa di depan sana “
Namun, setelah sekian lama berjalan. Bulak itu masih seperti tidak bertepi. Akhirnya, Arya Gading ingin juga berhenti berjalan. Karena itu, maka ketika ia melihat sebuah gubug di tengah - tengah bulak sawah, maka ia pun tertarik untuk mendekatinya.
“ Doran, kita bermalam di gubug itu saja. Pagi –pagi kita lanjutkan perjalanan “
Arya Gading pun kemudian telah duduk pula di sampingnya. Ternyata keduanya memang terengah-engah. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Sementara itu Doran malahan bersandar pada batang pohon itu.
Baru sejenak kemudian Arya Gading berkata, “Rasa-rasanya kita sudah puas sempat berlari-lari dalam kegelapan. Hampir saja aku terperosok ke dalam sumur sebelum aku keluar dari padukuan itu.”
Doran menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia tertawa. Katanya, “Bukankah kita telah mendapat satu pengalaman yang menarik? Dengan demikian kita dapat menilai diri kita sendiri.”
“Bagaimana kita dapat menilai diri kita?” bertanya Arya Gading.
“Kita tidak mempunyai takaran, apakah orang-orang itu dianggap memiliki kemampuan tinggi, sedang, atau justru berkemampuan sangat rendah. Jika ternyata menurut ukuran dunia olah kanuragan, orang-orang itu berkemampuan sangat rendah, maka alangkah bodohnya kita.”
Untuk beberapa saat lamanya keduanya duduk berdiam diri di bawah pohon di pinggir jalan itu. Doran yang bersandar pada batangnya yang cukup besar justru mulai terkantuk-kantuk. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya dengan lembut.
Namun sambil memejamkan matanya Doran itu sempat berkata, “Mudah-mudahan orang –orang itu masih mengejar kita.”
“Ah, kau ini ada-ada saja,” desis Arya Gading.
Doran tertawa. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Marilah. Kita berjalan terus. Bulak di hadapan kita adalah bulak yang panjang. Mungkin kita mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang itu lagi.”
“Jangan mengigau begitu,” potong Arya Gading.
Doran masih saja tertawa. Katanya, “Apakah salahnya mencari pengalaman? Bukankah pengalaman akan dapat menjadi guru yang sangat baik?”
“Ah, kau,” geram Arya Gading.
Tetapi Doran masih saja tertawa. Bahkan kemudian iapun telah menarik tangan Arya Gading sambil berkata, “Marilah. Kita berjalan terus.”
Arya Gading tidak dapat menolak. Iapun kemudian bangkit dan melangkah meneruskan perjalanan. Dalam gelapnya malam mereka menyusuri jalan yang agaknya menuju ke tempat-tempat terpenting di sekitar tempat itu. Meskipun keduanya belum mengetahui dengan pasti, namun keduanya mengerti bahwa jalan yang mereka lalui adalah jalan yang paling banyak dilewati orang di siang hari.
“ Gading, kita sudah cukup lama berjalan. Namun,masih saja bulak ini seperti tidak ada batas. Kanan kiri sawah,di depan sana jagung. Aku letih. Kita cari banjar desa di depan sana “
Namun, setelah sekian lama berjalan. Bulak itu masih seperti tidak bertepi. Akhirnya, Arya Gading ingin juga berhenti berjalan. Karena itu, maka ketika ia melihat sebuah gubug di tengah - tengah bulak sawah, maka ia pun tertarik untuk mendekatinya.
“ Doran, kita bermalam di gubug itu saja. Pagi –pagi kita lanjutkan perjalanan “
Quote:
TANPA MENUNGGU persetujuan Doran Arya Gading pun kemudian meniti pematang, mendekati gubug itu. Ternyata gubug itu kosong. Pemilik gubug itu tidak berada di sawahnya di malam hari. Sambil menarik nafas panjang, Arya Gading naik tangga pendek masuk kedalam gubug itu. Arya Gading merasa beruntung bahwa ia menemukan sebuah gubug yang dapat dipergunakannya untuk bermalam. Karena itu, maka ia pun langsung membaringkan dirinya di gubug yang didasari dengan anyaman bambu itu.
Doran yang berbaring disampingnya telah terdengar dengkur dari pemuda ini. Arya Gading menggeleng –gelengkan kepalanya. Meskipun Arya Gading merasa letih, tetapi Arya Gading tidak segera dapat tidur. Nyamuk yang ganas telah merubunginya, menggigit sela-sela jari kakinya dan berterbangan di sekitar telinganya. Karena itu, maka Arya Gading terpaksa menggelar kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya dan bahkan telinganya. Arya Gading menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia memiringkan tubuhnya menghadap ke jalan beberapa puluh langkah dari gubug itu, Arya Gading terkejut. Ia melihat didalam keremangan malam sebuah keranda yang seperti terbang diatas jalan itu. Dengan serta-merta ia pun bangkit dan duduk sambil mengusap matanya.
Keranda yang diselimuti kain putih itu masih meluncur diatas jalan yang telah dilewatinya sebelum Arya Gading dan Doran turun dan meniti pematang mencapai gubug itu. Bulu tengkuk Arya Gading memang menjadi tergetar. Ia pernah mendengar dongeng tentang keranda yang melayang di malam hari, sebagai pertanda bahwa akan datang pageblug yang berbahaya.
Tetapi tiba-tiba timbul pertanyaan di hati Arya Gading, “Jika keranda itu dapat terbang atau berjalan sendiri, kenapa harus lewat diatas jalan. Bukankah keranda itu dapat meluncur di atas pematang, parit atau bahkan sungai dan bukit-bukit kecil. Kepada siapa pula hantu keranda itu menampakkan diri di tempat yang jauh dari padukuhan itu? Kepada dirinya? Jika benar, kenapa keranda itu tidak mendekatinya?”
Arya Gading yang sudah terlempar kedalam satu keadaan yang tidak diinginkannya itu telah bangkit. Keinginannya untuk mengetahui hantu keranda yang terbang itu telah mendesaknya untuk berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja Arya Gading itu turun. Dipakainya kain panjangnya sekenanya. Kemudian ia pun telah meloncat ke atas pematang. Meninggalkan Doran yang masih mendengkur di atas gubug.
Dengan hati-hati Arya Gading mendekati jalan tempat keranda itu lewat. Dengan hati-hati pula ia mengikutinya dan berusaha mendekat dari arah belakang. Namun jantung Arya Gading menjadi berdebar-debar ketika kemudian ia melihat bayang-bayang yang bergerak-gerak. Ternyata keranda itu tidak terbang atau meluncur sendiri. Arya Gading pun kemudian melihat beberapa orang berpakaian serba hitam memanggul keranda itu. Sementara beberapa orang mengikutinya.
Arya Gading menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Arya Gading tidak melepaskannya. Ia masih saja mengikutinya beberapa lama. Keranda itu justru meluncur mendekati sebuah padukuhan. Kemudian lewat jalan yang lebih sempit meluncur sejajar dengan dinding padukuhan itu. Arya Gading masih saja mengikutinya ketika keranda itu meluncur melewati sudut padukuhan dan kemudian kembali menjauh menuju ke sebuah gumuk yang seakan-akan sebuah pulau kecil ditengah-tengah lautan tanaman padi di sawah.
Doran yang berbaring disampingnya telah terdengar dengkur dari pemuda ini. Arya Gading menggeleng –gelengkan kepalanya. Meskipun Arya Gading merasa letih, tetapi Arya Gading tidak segera dapat tidur. Nyamuk yang ganas telah merubunginya, menggigit sela-sela jari kakinya dan berterbangan di sekitar telinganya. Karena itu, maka Arya Gading terpaksa menggelar kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya dan bahkan telinganya. Arya Gading menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia memiringkan tubuhnya menghadap ke jalan beberapa puluh langkah dari gubug itu, Arya Gading terkejut. Ia melihat didalam keremangan malam sebuah keranda yang seperti terbang diatas jalan itu. Dengan serta-merta ia pun bangkit dan duduk sambil mengusap matanya.
Keranda yang diselimuti kain putih itu masih meluncur diatas jalan yang telah dilewatinya sebelum Arya Gading dan Doran turun dan meniti pematang mencapai gubug itu. Bulu tengkuk Arya Gading memang menjadi tergetar. Ia pernah mendengar dongeng tentang keranda yang melayang di malam hari, sebagai pertanda bahwa akan datang pageblug yang berbahaya.
Tetapi tiba-tiba timbul pertanyaan di hati Arya Gading, “Jika keranda itu dapat terbang atau berjalan sendiri, kenapa harus lewat diatas jalan. Bukankah keranda itu dapat meluncur di atas pematang, parit atau bahkan sungai dan bukit-bukit kecil. Kepada siapa pula hantu keranda itu menampakkan diri di tempat yang jauh dari padukuhan itu? Kepada dirinya? Jika benar, kenapa keranda itu tidak mendekatinya?”
Arya Gading yang sudah terlempar kedalam satu keadaan yang tidak diinginkannya itu telah bangkit. Keinginannya untuk mengetahui hantu keranda yang terbang itu telah mendesaknya untuk berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja Arya Gading itu turun. Dipakainya kain panjangnya sekenanya. Kemudian ia pun telah meloncat ke atas pematang. Meninggalkan Doran yang masih mendengkur di atas gubug.
Dengan hati-hati Arya Gading mendekati jalan tempat keranda itu lewat. Dengan hati-hati pula ia mengikutinya dan berusaha mendekat dari arah belakang. Namun jantung Arya Gading menjadi berdebar-debar ketika kemudian ia melihat bayang-bayang yang bergerak-gerak. Ternyata keranda itu tidak terbang atau meluncur sendiri. Arya Gading pun kemudian melihat beberapa orang berpakaian serba hitam memanggul keranda itu. Sementara beberapa orang mengikutinya.
Arya Gading menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Arya Gading tidak melepaskannya. Ia masih saja mengikutinya beberapa lama. Keranda itu justru meluncur mendekati sebuah padukuhan. Kemudian lewat jalan yang lebih sempit meluncur sejajar dengan dinding padukuhan itu. Arya Gading masih saja mengikutinya ketika keranda itu meluncur melewati sudut padukuhan dan kemudian kembali menjauh menuju ke sebuah gumuk yang seakan-akan sebuah pulau kecil ditengah-tengah lautan tanaman padi di sawah.
Diubah oleh breaking182 17-04-2022 01:21
MFriza85 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Kutip
Balas