yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.2K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#465
Jelang Final_Part 5
Gue dan Emi yang terbiasa melakukan trip kemanapun sambil mendengarkan lagu-lagu bergenre metal, hari itu harus sedikit menurunkan ego kami. Emi meminta gue untuk mendengarkan lagu-lagu pop. Demi kenyamanan Papa dan Mama Emi. Sepertinya mereka masih belum terbiasa dengan Emi si pendiam (bagi mereka) ternyata menyukai lagu-lagu dengan distorsi gitar yang sangat kuat, tabuhan drum yang cepat, yang dipadukan dengan vokal gahar.

“Jangan salahin gue ya kalo gue nanti ngantuk.” kata gue ketika kami berhenti sebentar untuk mengisi bahan bakar sebelum masuk ke dalam tol.

“Ya jangan ngantuk lah!”

“Egois banget lo! Sini coba lo ngerasain nyetir sendiri. Gimana rasanya mesti nyetir lebih dari 2 jam di jalan tol yang ngebosenin sambil ditemenin lagu pop gitu. Mana volume suaranya nggak bisa kenceng-kenceng! Gue bisa sering ngantuk nanti! Kalo udah nggak di tol sih masih mending.”

“Ya udah kalo ngantuk, kita istirahat dulu di rest areadah.”

“Iya, terus kita nggak nyampe-nyampe entar! Padahal kampung lo itu nggak nyampe setengah hari perjalanan juga! Entar tinggal sakit aja gue.”

“Lo kenapa sih, Zy? Ini kita mau ngurusin administrasi nikahan lo. Lo nggak terima? Apa lo nggak suka? Lo keberatan? Iya???”

Gue melirik Papa dan Mamanya Emi yang masih duduk anteng di dalam mobil. Memastikan mereka sama sekali tidak mendengar pertengkaran kami. “Kalo mau dibilang keberatan mah, KELUARGA GUE JUGA SEEEMUANYA KEBERATAN! Kakek nenek lo itu udah nggak ada! Kenapa masih aja mau susah-susah numpang nikah di kampung sih? Nyusahin kita tau nggak! Nanti kalo ngurus ini itu, jauh mesti kesana—”

“Mau ngurus apa lagi emang? Cerai?! Lo udah mikir sampe sana?! Iya???”

Padahal bukan itu maksud gue. Biasanya ada saja kelakuan ASN negara kita ini. Walaupun sejauh ini gue sudah menyiapkan semuanya dengan lengkap, bawa cadangan, dan udah punya back-up data-data lain yang MUNGKIN dibutuhkan di Dropbox, tetapi gue tetap merasa takut ‘dikerjai’ sama mereka. Entah ada yang kurang ini lah atau itu lah. Apapun itu. Resenya, nanti gue diminta balik lagi ke Kelurahan, Kecamatan, atau KUA deket rumah. Ah anj*ng!

Dan Emi sepertinya tidak berpikir sampai sana. Dia ini people pleaser banget. Apalagi buat keluarganya. Dia nurut saja apapun yang diminta keluarganya, walaupun dia sama sekali tidak berkenan. Apa namanya kalau bukan people pleaser? Kadang, gue juga lelah melihat dia begini. BUKAN LELAH YANG MENJURUS INGIN PISAH YA, hanya lelah ingin memperjuangan kebahagiaan dia.

“Bukan itu. Kalo nanti ada yang kurang gimana? Mesti balik ke rumah gue dulu, terus balik kesana lagi. Ongkosnya emang siapa yang nanggung? Emak bapak lo? Atau ada warisan dari kakek nenek lo? Nggak kan? Kita berdua. Terus yang seharusnya bisa diurus kita berdua naik motor atau bolehlah naik mobil, kenapa jadi segambreng diajak semuanya? Efeknya sampe ke urusan denger musik aja gue nggak dibolehin loh! Bukan maen!”

“Siapa yang bilang lo nggak boleh dengerin lagu?”

“Ya gue nggak boleh dengerin lagu metal?”

“Sekali ini aja, dengerin lagu pop dulu. Kalo udah ngantuk, boleh deh dengerin lagu metal. Tapi volumenya kecil aja ya?”

“Kalo boleh dengerin lagu metal make volume kecil, kenapa gue nggak dengerin dari awal aja make volume kecil? Apa bedanya sih?”

“Lo itu kenapa sih, Zy?”

“Lo yang kenapa sih? Apa bedanya sekarang gue tanya?”

“Ya udahlah, suka-suka lo aja mau dengerin apa. Yang penting volumenya kecil. Kasian Mama mau tidur di jalan—”

“Iya padahal Mama bisa istirahat di rumah bukan? Egois banget bokap lo!” Tutup gue.

---

Emi kelihatannya masih tidak enak hati dengan perkataan gue sebelumnya, dia diam dan menoleh ke arah kiri jalan terus tanpa sama sekali menoleh ke arah gue untuk sekedar mengajak ngobrol atau semacamnya. Gue coba menurunkan ego gue dengan mendengarkan lagu pop sesuai permintaan Emi DAN DENGAN VOLUME KECIL. Sesuai permintaan dia juga. Tetapi dia tetap masih merasa kesal dengan perkataan gue. Halah!

Perjalanan kali ini jadi terasa sangat panjang dan melelahkan. Emi tidak mau bicara sama sekali sampai saat ini sudah kurang lebih 2 jam dan gue harus mendengarkan lagu pop kami yang stoknya terbatas, belum lagi Mamanya Emi tak hentinya meracau dengan suara parau dan kata-kata yang tidak jelas.

Kadang beliau melantunkan surat-surat pendek dan dzikir. Kadang beliau menangis ke Papanya Emi karena beliau merasa kakinya kesemutan, pinggangnya kesakitan, atau kepalanya pusing. Papanya Emi tidak cukup sabar menangani beliau. Mungkin karena istirahat beliau terganggu oleh Mamanya Emi. Jadi beliau kadang marah dan sedikit membentak agar Mamanya Emi mau diam.

“Lewat jalur biasa aja ya, Ji. Jangan lewat Cipali.”

“Lah kenapa, Om?”

“Nggak apa-apa. Toh jalurnya kan kosong. Enak bisa liat pemandangan.” jawabnya singkat.

Gue melirik Emi dengan pandangan luar biasa emosi. Perjalanan ini seharusnya fokus untuk pengurusan administrasi kami karena kami hanya memiliki 3 hari cuti, itupun sudah termasuk perjalanan pulang kami. Tapi mereka malah memilih untuk membuat perjalanan kami lama? Jika misalnya KUA di sana sudah keburu tutup, kami harus mengulur waktu pengurusan administrasi kami keesokan hari loh! Bagaimana pengurusan tempat akad nikahnya? Bagaimana dengan undangan, catering, dan persiapan lainnya? Kapan mau ngurusinnya?

Sepertinya Emi memiliki pemikiran yang sama dengan gue. Dia menggenggam tangan gue seraya berkata dalam senyap “Please… Sabar ya.” Untuk melampiaskan emosi gue, gue pun memacu kendaraan gue hingga 120 km/jam sembari membunyikan klakson ketika ada kendaraan apapun yang menghalangi perjalanan kami.

Memang, jalur yang kami lewati super kosong saat itu. Jalanan hanya digunakan oleh pemotor lokal yang tidak menggunakan plat nomor ataupun helm dan bis-bis kecil dengan trayek dekat. Sebagian besar bis memang mengubah jalur perjalanan mereka menggunakan Tol Cipali atau ya belum waktunya bis malam untuk mengaspal saat itu. Makanya, jalanan begitu kosong.

“Iya? Kenapa, Ma?” tanya gue pada Mamanya Emi ketika beliau sepertinya memanggil nama gue.

“Jangan ngebut-ngebut.” jelas Emi.

“Biasa aja kok ini. Wong jalanan juga kosong. Gue pingin sampe sana sebelum Dzuhur atau jam 13.00 lah paling lama. Takutnya kalo sampe sana jam 14.00, yang ada keburu tutup KUA-nya. Kita ngurusnya diundur besok takutnya jadi lama lagi ngurusnya.”

“Ya nggak usah sampe 100an gitu lah speed-nya. InsyaAllah kekejar kok.”

“Sini lo nyetir sendiri kalo lo bisa mastiin kita speed-nya 60-70 bisa sampe sana tepat waktu.” tantang gue pada Emi. Sepertinya Papanya Emi dapat merasakan kekesalan gue. Beliau memilih untuk tidak berkomentar apapun sembari terus menerus menegur Mamanya Emi. Gue jadi tidak tega melihatnya.

Intinya, mereka seharusnya tidak ikut bersama kami.

---

Berulang kali Emi menegur Papanya untuk lebih sabar pada Mamanya dan meminta Mamanya untuk bekerjasama agar perjalanan ini bisa lebih nyaman. Emi pun memberi tahu Papanya Emi bagaimana cara agar Mamanya Emi lebih nyaman dan tidak terus menerus mengeluh sakit. Tetapi Bapaknya ini selalu saja mengeluarkan kata-kata mutiara (bagi beliau) yang mementahkan semua perkataan Emi.

“Aaah udah nggak apa-apa”, “Alaaah ribet banget. Biasanya juga nggak perlu begitu!”, “Udahlah nggak apa-apa”, “Udah nggak usah sok tau kamu” dan kata-kata senada lainnya terus keluar dari mulut Bapaknya. Ingin rasanya gue menimpali, tetapi gue memilih diam, karena takutnya suasana perjalanan menjadi tidak enak. Apalagi ini kami belum sampai ke tujuan. Calon bapak mertua gue, cukup denial.

“Udah sampe sini. Alhamdulillah. Paling 1 jam lagi sampe…” kata Emi sembari memeriksa Maps dari HP dia.

“Bisa tolong cariin kang pijet nggak?” tanya gue.

“Kenapa, Ji?” tanya Papanya Emi.

“Ini kaki sama pinggang berasa banget pegelnya. Tumben banget. Kalo bisa ada kang pijet urut, enak pasti ini entar malem dipijet.” jawab gue.

“Aku coba cari dulu ya…”

Instead of Papanya Emi membantu pencarian Emi dengan menghubungi keluarganya yang ada di sana. Beliau malah membiarkan Emi mencari sendiri. Percayalah mencari tukang pijat urut yang berkualitas di kampung via internet itu susah banget. Mostly mereka masih belum secanggih itu untuk memasang informasi jasa mereka di internet. Jadi Emi putar otak sampai mencoba mencari menggunakan Google Street View. Siapa tau, ada posternya di jalan.

“Pa bisa tolong hubungi Om Asep nggak? Kali aja dia tau.” pinta Emi.

“Halah! Emang Om kamu itu suka diurut? Setau Papa mah nggak pernah dia diurut begitu. Mana tau dia yang kayak begitu.” Benar kan kata gue? Bukannya usaha dulu ditanyain, beliau memilih untuk menjawab demikian.

“Ya dicoba dulu, Pa.”

“Kamu cari dulu aja di internet. Coba hubungi sendiri dulu, baru nanya-nanya. Nggak enak, nyampe aja belom udah nyusahin aja nanya ini itu.” NGGAK ENAK APANYA? KENAPA BISA, KITA CUMA MAU NANYA INFORMASI TUKANG PIJAT JADI HAL YANG TIDAK ENAK UNTUK DIBAHAS? GIMANA SIH MIKIRNYA?

“Ini udah dicoba dicari, cuma ada 2. Udah dicoba hubungi 2-2nya, nggak ada yang ngebales atau angkat teleponnya.”

“Ya berarti nggak ada.” Singkat, padat, dan sama sekali tidak membantu.

Gue juga bingung dengan badan gue ini. Gue dan Emi sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dan rasanya tidak pernah selelah ini. Gue terbiasa mengendarai mobil atau motor tanpa bergantian dengan Emi karena Emi tidak bisa mengendarai apapun. Eh kecuali sepeda. Jadi, harusnya perjalanan ini tidak ada bandingannya daripada trip-trip kami yang lain.

Mungkin, lelah yang gue rasakan utamanya karena lelah mental. Gue yang ingin berteriak, harus ditahan. Gue tidak tahan juga mendengar Papanya Emi yang terus membantah Emi. Mamanya Emi yang tidak kunjung mau menuruti permintaan Papanya Emi. Serta ada rasa khawatir kalo nanti perjalanan ini menjadi tertunda atau sia-sia. Semua kelelahan mental gue ini menambah kelelahan fisik gue karena gue sama sekali tidak menikmati perjalanan ini.

Gue ingin sekali mengakhiri perjalanan ini. Langsung tidur di peraduan sejuk rumah kakeknya Emi. Tapi hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena gue harus mengurus administrasi di KUA kampung sana. Seperti yang kita ketahui bersama, kalo urusan publik di negeri ini, tidak ada yang bisa diharapkan. Mau di kota maupun di desa.

Tidak jarang, pengurusan birokrasi di pedesaan atau dusun itu lebih parah karena cenderung tidak terpantau. Ironisnya, minimnya mereka bekerja berbanding terbalik dengan kesejahteraan yang mereka dapatkan. Bajingan memang kadang-kadang, jika melihat fenomena yang sudah membudaya di seantero negeri menyedihkan ini.

---

Benar saja, tidak lama gue sampai di tujuan, tidak ada yang melayani gue dan Emi di KUA yang kami tuju tersebut. Tidak ada orang di lobi kantor. Bagian resepsionis yang menerima tamu sebagai bagian dari fungsi pelayan publik pun tak nampak satupun batang hidungnya. Gue yakin, kantor ini belum tutup karena pintu masih terbuka lebar dan masih ada kendaraan. Selain itu, gue masih melihat bekas rokok yang masih sedikit mengeluarkan asap di beberapa meja kerja yang ada. Pertanda, mereka belum lama meninggalkan meja mereka.

Hal ini sempat membuat gue kesal bukan main, tapi gue berusaha memaklumi karena sepertinya ini memang menjadi kebiasaan mereka, si pelayan publik. “Duduk dulu aja di ruang tunggu. Paling lagi pada makan siang.” jawab Papanya Emi sembari keluar mencoba bertanya pada warga sekitar.

“Makan siang? Ini jam setengah setengah 2 loh. Bener kan gue bilang? Kita kesiangan!”

“Sabar, Zy. InsyaAllah masih bisa diurus hari ini kok.”

Gue melihat ada pasangan muda lain yang sepertinya bermaksud mengurus administrasi untuk pernikahan mereka. Mereka duduk di bangku yang berhadapan dengan kami. Tidak berapa lama ada pasangan lainnya lagi yang sepertinya seumuran nyokap gue datang membawa anaknya yang masih SD masuk bersama dengan bapak-bapak yang sudah setua Papanya Emi. Entah mereka mau mengurus apa. Soalnya kalo mengurus perceraian, seharusnya mereka ke Pengadilan Agama bukan? Entahlah. Bodo amat juga gue. Yang gue pikirin adalah KEMANA INI ASN-NYA WOY?!

Sekitar hampir setengah jam gue menunggu, ada pasangan yang sepertinya sudah mulai menyerah. Mereka berniat melanjutkan kepengurusan besok. Dari obrolan yang gue pahami sih, “Biasa mah tutup jam 2an, A. Besok aja ngurusnya dilanjut lagi.” Gue panik. Gue segera menyusul Papanya Emi yang tidak kunjung masuk ke dalam kantor. Gue ingin meminta Papanya Emi untuk membantu di sini karena kami terkendala bahasa. Gue tidak ingin perjalanan hari ini ke KUA sia-sia.

“Om, gimana?”

“Sebentar lagi juga udah balik lagi katanya.”

“Balik lagi darimana? Emang Om udah ketemu sama yang kerja di sini?”

“Ini hari Senin, beberapa karyawan teh lagi ikut kunker (Kunjungan Kerja) ke propinsi katanya mah. Penghulunya lagi keluar untuk datengin resepsi sampe sore katanya. Hari ini ada 4 nikahan, lokasinya jauh-jauh. Terus itu di sana…” Papanya Emi menunjuk salah satu tempat makan ala sunda yang jaraknya kurang lebih 100 m dari lokasi kami. “Ibu yang jaga resepsionis sama bagian admin lagi mau makan dulu katanya. Tadi pas Om keluar, mereka lagi boncengan mau keluarin motor.”

Gue memijat kepala gue. “Terus kenapa satu orang ada yang pulang?”

“Pulang dulu. Katanya abis ngurus apaan gitu di rumah. Bentar lagi juga sampe. Rumahnya 10 menit dari sini katanya.”

“Enak banget ya ASN bisa begitu. Ya kunker lah, ya makan bukan di jam makan siang lah, bahkan pulang ke rumah buat ngurus hal yang nggak ada urusannya sama kerjaan? Gokil banget. Resisten pemecatan pula. Mantap.”

“Sabar ya, Ji. Udah biasa di sini mah. Toh yang ngurus juga nggak rame pisan.”

“Sabaaarrrr terus. Ngent*t!” gumam gue perlahan dan memastikan tidak didengar oleh Papanya Emi. Gue kembali ke dalam ruangan.

Tidak sampai 10 menit, orang yang dimaksud Papanya Emi datang. Beliau memakai sandai jepit sambil merokok. Beliau meminta maaf membuat kami menunggu dan menanyakan maksud masing-masing dari kami. Ternyata yang tersisa hanya kami dan pasangan bapak ibu dengan anak 1 yang tadi. Sisanya memutuskan untuk pulang.

HEBATNYA, ibu-ibu dimanapun itu tipikal! Ibu-ibu yang gue pikir lebih sabar ala sunda ini sadar diri. Beliau akan membiarkan gue dan Emi untuk mengurus lebih dulu. Tapi ternyata tidak. Dengan alibi kedekatan beliau dengan orang tersebut atau mungkin hanya SKSD saja, beliau minta dilayani lebih dulu. Sedangkan gue diminta untuk menunggu hingga bagian admin datang.

“Saya kan datang duluan, Pak. Saya jauh dari Jakarta.” ucap gue sangat lantang dan tegas. Cukup menegaskan kalo gue tidak terima diselak emak-emak yang mau nikah lagi ini.

“Sabar ya, A. Iya saya tau dari bapaknya Aa kalo Aa dateng duluan dan dari jauh. Tapi ini saya coba cek kelengkapan berkas masing-masing dulu ya. Kalo Aa lengkap, bisa langsung dilayani sama saya. Nanti ibu sama bapak bisa dibantu sama bagian admin saya. Ini udah jalan kesini kok, Bu.” Sepertinya beliau kurang nyaman dengan bentakan gue, makanya beliau jadi mendahulukan gue.

Gue bisa lihat kesinisan emak-emak itu. Sepanjang pemeriksaan berkas dia terus melotot ke arah kami. Walaupun ketika bagian admin mereka datang, beliau masih terlihat kesal. Dia sangat tidak terima dengan keputusan si bapak ASN tersebut. Apalagi ketika Emi menjawab dengan tegas juga kalo dia sudah memastikan data kami sangat lengkap. Makan tuh kimpoi lagi! Jangan kebiasaan makanya. Ew*an aja digedein lo gobl*k. Hahaha.

“Tolong tulisin rencana tanggal akad nikahnya di form ini ya, A. Ini buat ngecek ketersediaan penghulunya. Takutnya bentrok. Kalo bisa sekalian waktu dan lokasinya.”

Gue terdiam. “Saya baru bisa tulisin tanggal sama waktunya aja gimana, Pak?”

“Emangnya belum dapet lokasinya, A?”

“Hmm. Kita sih rencananya di Masjid Agung depan alun-alun, Pak.” jawab Emi.

“Hah? Masjid Agung? Kenapa jadinya Masjid Agung sih, Mi?” Papanya Emi kaget dan mendekat ke arah kami. Tadinya beliau duduk di ruang tunggu.

“Ya emang mau di masjid mana lagi? Kalo di rumah kakek emang nggak apa-apa? Entar ribet nggak mesti bayar dekorasi lagi?” tanya Emi pada Papanya.

“Hmm. Perlu saya kasih waktu untuk dibahas dulu, A?”

“Nggak perlu, Pak. Kalo saya kosongin dulu atau diisi sama opsi yang saya pilih dulu gimana?”

Bapak tersebut diam sesaat. “Boleh. Kalo bisa ditulis aja daerah lokasi masjid yang Aa sama Teteh pilih. Kalo Aa sama Teteh nikah di luar KUA alias penghulu mesti datang ke lokasi akad Aa sama Teteh, ada biaya yang harus dibayarin. Tapi, kalo Aa sama Teteh nikah di KUA terus di hari Senin sampai dengan Jumat, Aa sama Teteh nikahnya gratis. Nggak perlu bayar apapun lagi. Paling yaaa, kasih uang rokok aja ke penghulunya. Hehehe.”

“Emang kalo nikah di KUA sini, tempatnya dimana, Pak?” tanya Emi.

Gue kaget dengan pertanyaan Emi. “Kamu seriusan mikir mau nikah di sini?” Gue nggak mau lah! Jauh-jauh keluarga gue kesini, eh nikahnya masa di KUA? Kayak nggak bisa bayar banget sih? Berapa sih emang biaya kalau nikah di luar?

“Coba sini. Aa sama Teteh liat dulu ruang serba guna kami yang biasa dipake buat akad nikah.”

Kami diajak berkeliling kantor mereka untuk melihat ruangan yang dimaksud. Ruangan sangat sederhana bahkan kayak ruang kelas anak sekolah. Bedanya di ruangan tersebut sudah dipasang AC. Mungkin untuk kenyamanan mereka yang akan melaksanakan pernikahan sembari mengundang beberapa kerabat.

TAPI GUE TETAP NGGAK MAU NIKAH DI KUA!

Kali ini gue diajak masuk ke dalam ruangan. Entah ruang kerja siapa ini. “Emang kalo nikah di luar KUA kena berapa, Pak?” tanya gue.

Bukannya Bapak tersebut ngejawab pertanyaan gue, beliau malah ngajak Papanya Emi ngobrol di luar ruangan sembari menawarkan beliau rokok yang pastinya ditolak oleh Papanya Emi. Beliau sudah berhenti merokok sejak lama. Entah apa yang mereka bicarakan.

Sembari menunggu Papanya Emi, Emi memutuskan untuk mencari info mengenai biaya pernikahan di luar KUA. Ternyata hanya sebesar Rp600.000,- dan langsung dibayarkan ke rekening Kementrian Agama RI. Jadi tidak ada transaksi apapun di kantor ini.

Namun…

“Udah, nikah di sini aja lah, Mi. Entar acara makan-makannya di rumah kakek. Ijab kabulnya di sini nggak apa-apa. Bayarnya mahal kalo nikah di luar KUA, kena 1jt-an. Bisa kena 1,5jt bahkan. Ribet, mesti tunai sama transfer.”

“Hah?!” Gue dan Emi langsung kaget bukan main! Apa-apaan segitu? Ini mereka lagi mau nipu apa gimana sih???
oktavp
kaduruk
caporangtua259
caporangtua259 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.