Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Malam itu setelah menghabiskan dua mie instan cup, gua kembali duduk di balkon apartemen Resti sambil merokok. Sementara, Resti masuk kedalam kamarnya dan belum keluar lagi sampai sekarang.
Setelah obrolan barusan, gua merasa lebih lega. Lega karena sudah mengungkapkan perasaan dan lega karena Resti sepertinya memiliki perasaan yang sama. PR gua selanjutnya adalah meyakinkan Resti dan Gua sendiri bahwa ‘rasa’ ini benar-benar untuknya, tak lagi untuk Larissa.
Kata-kata Resti; “Bilang lo suka sama gw kalo lo udah bisa ngeliat gw sebagai Resti, bukan Sasa” mulai terngiang-ngiang di kepala.
Gimana caranya?
Pintu kaca balkon bergeser, Resti melangkah keluar. Ia berdiri di sebelah gua sementara tangannya membawa sebuah kotak kardus besar. Kotak yang sebelumnya pernah gua lihat di dalam kamarnya. Ia menyibak rambutnya, lalu duduk bersila dengan kotak tersebut di pangkuannya. Pelan ia membuka penutup, dan mengeluarkan kartu ucapan dari dalam kotak tersebut lalu mulai membacanya perlahan.
‘Ini bukan hadiah, bukan pula pemberian. Ganti sepatu jelek lo! -Resti-’
Resti mengeluarkan sepatu berbahan kanvas dari dalam kardus dan menyerahkannya ke gua.
“Kenapa lo nggak pernah ngasih itu ke gua?” Tanya gua.
Ia nggak menjawab, hanya tersenyum.
Gua menyambut sepatu pemberiannya dan langsung mencoba memakainya; Pas!
“Besok pake ya…” Pintanya.
“Iya…”
“Sepatu lo yang itu, tinggal disini aja…” Ucap Resti, sambil menunjuk dengan dagu ke arah pintu depan. Merujuk ke sepatu olahraga usang yang dulu dibelikan oleh Larissa.
“Kenapa lo nggak pernah ngasih itu ke gua?” Gua mengulang pertanyaan sebelumnya.
Resti menggeser duduknya, bersandar pada jendela di sebelah gua, ia mendongak ke atas, menatap kosong ke arah langit Jakarta yang hitam.
“Mitosnya, kalo kita ngasih sepatu ke orang… Orang itu bakal pergi jauh…” Ucapnya.
Gua menyeringai, nggak percaya dengan hal-hal semacam itu. “Besok gua mulai pake sepatunya. Gua janji nggak akan pergi dari elo…”
Kini gantian Resti yang menyeringai, seakan menertawakan ucapan gua barusan. “Kalo gw yang pergi gimana?” Tanyanya.
Gua menoleh ke arahnya, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala; “Lo nggak bakal gua lepas” Ucap gua sambil menggenggam tangannya.
Resti pelan-pelan mencoba melepas genggaman tangan gua, kemudian berbisik; “Jangan terlalu yakin, kalo lo belom melihat gw sebagai Resti seutuhnya...”
Ia lalu berdiri.
“Lo nggak usah balik, tidur disini aja. Udah malem… Gw mau ke balik ke Bintaro” Ucapnya kemudian bergegas kembali ke dalam.
“Gua balik aja…” Ucap gua sambil meraih jaket dan tas di atas sofa.
“Udah malem…” Balas Resti mengiba. Baru kali ini gua melihatnya nggak tersulut emosi saat gua mendebatnya.
“Gapapa, gua udah biasa…”
Resti menoleh ke arah jam digital berbentuk ayam yang terletak di meja televisi. Angkanya menunjukkan nyaris jam 12 malam. Ia lalu mengambil kunci mobil miliknya dan menyerahkannya ke gua; “Kalo tetep mau balik, pake mobil nih…”
“Nggak usah, Res…” Gua bersikeras.
“Yaudah nggak usah balik kalo gitu, udah malem…”
“Gua kan juga nggak bawa baju…” Gua beralasan.
Resti lalu meletakkan kunci mobil miliknya ke dalam genggaman tangan gua. “Yaudah makanya kalo mau pulang pake mobil… dengerin kalo orang tua ngomong…” Bisikinya.
Gua tersenyum dan mengangguk.
“Sepatunya mau langsung di pake, kan?” Tanyanya saat gua hendak pergi.
“Iya…”
“Tunggu bentar…” Ucap Resti kemudian berlari menuju ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan sepasang kaos kaki baru. “Nih…” Gua menyambut kaos kaki pemberian Resti dan mulai mengenakannya.
—
Baru saja gua masuk ke dalam mobil, saat terlihat berlari kecil menghampiri gua. Ia membungkuk, terlihat kelelahan dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Kenapa?” Tanya gua seraya membuka kembali pintu mobil.
Masih dengan nafas yang nggak teratur, ia menyerahkan sebuah kartu ATM ke gua.
Gua mengernyitkan dahi, menatap ke arah Kartu ATM yang ia sodorkan. Kartu ATM berwarna hitam dengan ukiran namanya berwarna emas.
“Nih, ntar kalo mau ngisi bensin…” Ucapnya, sementara tangannya masih menyodorkan kartu ATM ke arah gua.
“Lo pikir gua nggak punya duit?” Tanya gua.
Resti mengangguk, sambil menyeka keringat di dahinya. Disaat yang bersamaan terlihat jelas bekas luka memanjang di dahinya.
“Nggak usah…” Jawab gua, kemudian kembali masuk ke dalam mobil.
Resti mencegah gua masuk dengan menahan pintu bagian kemudi. Ia meraih dan menggenggam kerah kemeja yang gua kenakan, dan mulai menebar ancaman; “Ambil, atau….”
“Atau apa?” Tanya gua.
“Atau gw pergi, ninggalin lo…”
Gua menatapnya matanya yang teduh dan menghangatkan. Lalu, meraih kartu ATM yang ia sodorkan kemudian menutup pintu mobil. Sebelum pergi, gua menurunkan kaca mobil dan balik mengancamnya; “Jangan pernah ngancem gua lagi pake kata-kata tadi…”
Perlahan gua mulai pergi, dari kaca spion terlihat Resti berdiri menatap diam ke arah gua, kemudian melambaikan tangannya.
Gua menghentikan laju mobil dan kembali menurunkan kaca jendela; “PIN nya apaan?” Teriak gua bertanya kepadanya sambil menjulurkan kepala keluar, menoleh ke arahnya.
Resti membentuk corong dengan menggunakan telapak tangannya, dan mulai berteriak; “Tanggal ulang tahun Lo….”
Gua tertegun dan terdiam.
Cepat gua membuka pintu kembali turun, dan berjalan mendekat ke arahnya. Membiarkan pintu mobil dalam kondisi terbuka dengan mesin masih menyala.
Gua mempercepat langkah menuju ke Resti yang masih berdiri mematung; kami saling menatap. Beberapa meter saat posisi kami berdua semakin dekat, gua memperlambat langkah, meraih pinggulnya dan menariknya ke arah gua.
Masih sambil saling menatap. Kali ini posisi wajah kami berdua sangat dekat. Saking dekatnya gua bahkan bisa melihat pantulan wajah gua sendiri melalui bola matanya yang jernih dan berkilau.
“Gua kan?” Tanya gua.
“Hah!”
“Gua kan cinta pertama lo?” Tanya gua lagi, masih sambil menatap matanya.
Resti nggak langsung menjawab, kedua pipinya terlihat merah, merona. Sementara pandangannya dialihkan ke bawah. Resti menunduk dan menyandarkan tubuhnya di dada gua. Kemudian ia menjawab lirih; “Iya…”
Gua meraih dagunya, membuatnya mendongak dan menatap gua. Sepertinya, Resti sengaja menghindari kontak mata dengan gua; ia memejamkan kedua matanya. Gua mendekat dan menciumnya.
Ia membalas ciuman gua.
Beberapa saat kemudian perlahan ia menarik tubuhnya. Jarinya ia tempelkan di ujung bibirnya, masih tak berani menatap ke arah gua; “Siapa yang barusan lo cium, Resti apa Sasa?”
Ia melepas pelan tangan gua yang melingkar di pinggangnya dan melangkah mundur. Memutar tubuhnya kemudian berjalan menjauh, ke arah lobby lift yang ada di basement parkiran mobil. Sementara, gua hanya berdiri diam menatap punggungnya yang perlahan menjauh dan menghilang, lalu menjawab pada diri sendiri; pelan, sangat pelan; “Sasa…” sambil menyentuh bibir.
Gua menatap kosong ke depan, ke arah Resti pergi. Kemudian mulai berlari menyusulnya.
Pintu kaca pada lobby perlahan mulai menutup. Setelah tertutup sempurna, pintu akan terkunci, dan membutuhkan kartu akses milik Resti untuk membukanya. Gua mempercepat langkah, hingga akhirnya berhasil menahan pintu kaca pada lobby lift basement agar tak tertutup. Sementara, Resti terlihat masih berdiri menunggu pintu lift yang tengah terbuka. Suara ribut langkah kaki dan dentuman tubuh gua yang membentur pintu kaca mungkin menarik perhatian Resti yang saat ini sudah berada di dalam lift. Begitu melihat gua, ia kembali menekan tombol, kembali keluar dari lift dan menghampiri gua.
“Tunggu disini…” Ucap gua dengan nafas tersengal-sengal. Kemudian kembali bergegas ke arah mobil yang gua tinggalkan dengan kondisi pintu terbuka dan mesin menyala.
Gua kembali ke lobby lift begitu selesai memarkirkan mobil ke tempat semula. Resti menempelkan kartu aksesnya dari dalam untuk membuka pintu kaca pada lobby lift basement dan membiarkan gua kembali masuk.
“Ngapain?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab. Menggandeng tangannya ke depan lift dan menekan tombol naik. Sementara, Resti nggak banyak bertanya, ia hanya mengikuti gua dalam diam. Begitu sampai di lantai atas, tepat di depan pintu kamarnya, gua meraih kartu akses yang berada di tangan Resti, membuka pintu dan mengajaknya masuk kedalam.
Resti masih terdiam, sementara tangannya berada dalam genggaman gua, dan terus menariknya masuk kedalam, kemudian kami berdua duduk diatas sofa.
“Nggak jadi balik?” Tanya Resti pelan.
Gua menggeleng, lalu meraih pundak dan memeluknya.
“Gua mau disini aja, tidur sambil meluk lo sampe pagi”
Resti lalu melepas pelukan gua. Ia berdiri, berjalan ke arah kamarnya dan kembali dengan sebuah bantal juga selimut. Ia meletakkan bantal yang dibawanya pada sandaran sofa bagian atas, persis dibelakang kepala gua. Lalu, berbaring di sofa dengan kepalanya berada di pangkuan gua dengan tubuhnya ditutupi selimut. Sambil berbaring, ia meraih tangan gua dan mulai menggenggamnya.
Nggak lama, ia pun tertidur.
Baru beberapa menit terlelap, Resti kembali membuka matanya, duduk dan menatap gua; “Besok lo kerja pake baju apa?” tanyanya.
“Ini..” Jawab gua sambil menunjuk kemeja yang masih gua kenakan.
“Buka, sini gw cuci dulu…” Ucapnya sambil berusaha membuka kancing bagian atas kemeja gua.
“Semua?” Tanya gua.
“Iya, celananya sekalian…” Jawabnya.
“Lah, trus sekarang gua pake apa?” Tanya gua. Mendengar pertanyaan gua barusan, Resti menghentikan kegiatan membuka kancing kemeja gua. Ia menatap ke atas, sambil menggigit bibirnya, terlihat seperti tengah berpikir keras.
Ia lalu berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia kembali dan menyerahkan celana olahraga berwarna merah dan sweater pink dengan gambar Teddy Bear pada bagian depan.
“Ganti sana” Titahnya sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
Gua menuruti ucapannya. Berjalan pelan menuju ke kamar mandi sambil menatap nanar sweater pink bergambar Teddy Bear yang gua bawa.
Resti berdiri tepat di depan pintu kamar mandi begitu gua selesai mengganti pakaian. Ia menatap gua yang kini sudah mengenakan pakaian darinya. Terlihat ia berusaha amat keras untuk menahan tawa, hingga menutup mulut dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya mengambil baju kotor dari pelukan gua dan mulai memasukkan satu persatu ke dalam mesin cuci.
“Lo nggak pake celana dalem?” Tanyanya saat mengetahui tak ada pakaian dalam di antara pakaian gua yang dimasukkan ke dalam mesin cuci.
“Ee.. pake lah…” Jawab gua sambil menunduk.
“Lepas.. sini gw cuci..” ucapnya.
“Nggak usah lah…” Gua berusaha menghindar dan keluar dari kamar mandi. Namun, Resti menahan gua dengan tangannya. Kemudian mendorong gua kembali masuk kedalam kamar mandi; “Lepas..” Ucapnya.
“Res…” Gua menyebut namanya, dengan nada memohon.
“Lepas..” ia mengulang perintahnya.
Gua menutup pintu kamar mandi, beberapa saat kemudian membuka pintunya dan kembali memohon ke Resti sambil berharap ia berubah pikiran. “Res, It's not really necessary lho…”
Resti menatap gua tajam; “LEPAS!”
Gua menutup pintu kamar mandi dan kali ini benar-benar mengikuti perintahnya tanpa bertanya lagi.
‘Tit.. Tit..’ Resti sibuk memilih dan menekan pilihan tombol pada mesin cuci miliknya kemudian disusul suara pemutar mesin cuci menderu pelan. Ia meninggalkan mesin cuci dan bergegas menuju ke kamarnya, sementara gua menjatuhkan diri diatas sofa dan mulai menyalakan televisi.
Resti menghentikan langkahnya saat hendak membuka pintu kamarnya. Ia lalu menoleh ke arah gua; “Elo katanya mau tidur sambil meluk gw sampe pagi, itu bullshit doang apa bener?”
Gua menoleh ke arahnya; “Bener…” Jawab gua singkat, melompati sofa menuju ke arahnya, lalu menarik lengannya masuk ke dalam kamar.
—
“Gimana hari ini?” Resti bertanya sambil berbisik.
“Selain pala gua yang bocor dan kenyataan harus make sweater menjijikan ini, so far, so good..” Jawab gua sambil mengendus wangi rambutnya dalam dekapan.
“Gw kan nggak punya sweater lain..”
“Bohong, Gua tau kalo sweater lo banyak…”
“Hehehe…” Resti tertawa, lalu memutar tubuhnya. Kali ini kami saling berhadapan. Ia menyentuh pelan hidung gua dengan jarinya, kemudian berbisik; “Lo masih ganteng kok, walau dengan perban di kepala dan sweater pink”
—
Suara notifikasi email yang bertubi-tubi membangunkan gua. Saat membuka mata, terlihat Resti duduk diatas ranjang disebelah gua. Seperti biasa, ia terlihat mempesona dengan sweater hitamnya. Sementara, laptop berada di pangkuannya ia menatap ke arah gua; “Mau berangkat jam berapa?”
“Sekarang jam berapa?” Tanya gua.
“Jam 6” Jawabnya pelan, sementara matanya kembali menatap ke arah layar laptop.
Mengingat saat ini jarak gua ke kantor hanya butuh waktu nggak sampai 10 menit dengan berjalan kaki, Gua kembali memejamkan mata, mencoba untuk kembali tidur. Dengan mata tertutup, gua menggumam; “Hari ini lo sengaja pake sweater item buat ngeledek gua kan?”
Lalu disambut tawanya; “Haha…”
“Jangan tidur lagi…” Tambahnya.
“Kenapa?” Tanya gua dengan mata masih terpejam.
“Bangun, cepet…” Ujarnya, kali ini sambil menggoyang goyang tubuh gua.
Gua bangun dan bersandar di sebelahnya, menatap ke arah layar laptop yang tengah digunakan Resti. Terlihat, ia tengah membuat materi presentasi yang sepertinya membahas seputar desain interior. Sementara, notifikasi pesan instan dan email dari laptopnya tak henti-hentinya berbunyi.
Jari-jemarinya lincah menari diatas keyboard laptop. Sesekali ia menatap ke langit-langit sambil menggigit bibirnya; seperti tengah berpikir, kemudian lanjut mengetik.
Gua berpaling dari layar laptop ke wajahnya. Resti yang menyadari bahwa saat ini gua tengah menatapnya menutup kedua mata gua dengan tangan kirinya; “Ngapain?” Tanyanya.
“Ngeliatin lo” Jawab gua.
Ia tersenyum kemudian menurunkan tangannya yang menutup kedua mata gua dan membiarkan gua berlama-lama menatap wajahnya.
Ok. Untuk kali ini saja; biarkan gua menjelaskan betapa cantiknya Resti dimata gua tanpa membandingkannya dengan Larissa. Ia memiliki kulit kuning langsat mendekati pucat, rambutnya hitam, wangi, berkilau dan memiliki kontur sedikit bergelombang; mungkin akibat terlalu sering dikuncir atau ditutupi topi dan kupluk. Dengan poni menutupi hampir seluruh dahinya, yang ia gunakan untuk menutupi bekas luka. Bekas luka yang mungkin ia dapatkan saat lepas SMA atau semasa berkuliah, bekas luka yang sebelumnya nggak pernah gua ketahui saat masih bersama Larissa.
Untuk ukuran wanita Indonesia, Ia nggak begitu tinggi dan nggak begitu pendek. Sementara, beratnya mungkin sama dengan dua karung beras ukuran kecil; atau sekitar 45-50 kg. Matanya bulat, bulu matanya lentik, dengan kedua alis nya terlihat tipis. Tak pernah sekalipun semenjak gua mengenalnya ia mengenakan aksesoris perempuan pada umumnya, seperti anting, cincin, kalung maupun gelang. Sementara, jari jarinya jenjang dengan kuku berwarna natural namun berkilau. Lehernya jenjang dengan dagu mungil terlihat padu dengan bibirnya yang tipis dan hidung mungil mancung nya.
Kulit wajahnya begitu memukau, gua bahkan belum pernah melihat sekalipun setitik jerawat pada wajahnya. Satu-satunya ‘gangguan’ kulit pada wajahnya adalah saat ia merasa malu; dimana kedua sisi pipinya bakal berubah merah merona.
Resti menutup layar laptopnya, kemudian menoleh ke arah gua yang kedapatan masih memandangi wajahnya. Ia tersenyum dan reflek membetulkan posisi poni di dahinya.
“Kenapa ditutupin?” Tanya gua.
“...”
“...Malu?” Tambah gua.
“Nggak…” Jawabnya singkat.
“Coba liat…” Gua mendekat ke arahnya dan menyibak poni yang menutupi dahinya, memperlihatkan bekas luka miliknya.
Gua mengernyit menatap bekas luka kecil tersebut, kemudian menggelengkan kepala; “Dengan luka kayak gini, kesempatan lo jadi Miss Indonesia ilang…” Ucap gua.
“Kata siapa?” Tanya Resti.
“Kata gua… Lagian tinggi lo juga kurang… dan emang ada Miss Indonesia yang pernah nggak naek kelas…” Ucap gua.
“Rese lo…” Resti bicara sambil memukul gua.
Gua tersenyum, sementara tangan gua masih menyibak rambut yang menutupi dahinya. Dengan cepat gua mengecup bekas luka di dahinya dan kabur keluar dari kamar.
—
Howie Day - Collide
The dawn is breaking
A light shining through
You're barely waking
And I'm tangled up in you
Yeah
But I'm open, you're closed
Where I follow, you'll go
I worry I won't see your face
Light up again
Even the best fall down sometimes
Even the wrong words seem to rhyme
Out of the doubt that fills my mind
I somehow find
You and I collide
I'm quiet you know
You make a first impression
Well, I've found I'm scared to know
I'm always on your mind
Even the best fall down sometimes
Even the stars refuse to shine
Out of the back you fall in time
I somehow find
You and I collide
Don't stop here
I lost my place
I'm close behind
Even the best fall down sometimes
Even the wrong words seem to rhyme
Out of the doubt that fills your mind
You finally find
You and I collide
You finally find
You and I collide
You finally find
You and I collide