mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Pertikaian mengatasnamakan “perang suku” merugikan orang asli Papua


Bupati Jayawijaya, Jhon R Banua saat melihat kondisi kerusakan rumah warga di Wouma akibat konflik. -Jubi/Islami
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Konflik atau pertikaian antar kelompok orang asli Papua yang mengatasnamakan “perang suku” tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat atau budaya orang asli Papua.  Pertikaian antar kelompok orang asli Papua tidak relevan dijadikan media untuk menyelesaikan masalah, karena justru merugikan orang asli Papua dan kerap memperpanjang masalah.

Hal itu dinyatakan Fasilitator Sekertariat Bersama Dewan Adat Suku-Suku Papua yang bermarkas di Timika Papua, Pdt Deserius Adii STh, Sabtu (15/1/2021). Adii menyatakan perang suku merupakan kegiatan yang dilakukan orang asli Papua sebelum mengenal agama dan hukum positif.

“Sekarang bukan zamannya orang Papua baku bunuh dan membunuh, baku serang dan menyerang. Perang suku juga [bisa disalahgunakan sebagai] satu pemusnahan etnis dan suku di Tanah Papua,” kata Adii mengingatkan.

Adii mengatakan pertikaian antar kelompok orang asli Papua yang disebut-sebut sebagai “perang suku” berulang kali terjadi di Kwamki, permukiman warga dari tujuh suku asli Papua di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. Konflik yang mengatasnamakan kelompok etnis atau marga orang asli Papua itu nyatanya hanya merugikan orang asli Papua.

“Orang Papua harus menyadari bahwa perang suku bukan sebuah jalan positif untuk selesaikan masalah. Malahan, dengan perang akan melahirkan masalah dan soal baru,” katanya.

Adii mengatakan Sekertariat Bersama Dewan Adat Suku-Suku Papua terus berupaya melawan pemahaman bahwa perang suku adalah adat dan budaya orang asli Papua. “Sebab dengan bahasa [“perang suku”] itu masyarakat baku bunuh. [Mereka] mengikuti hukum suku, seakan-akan suku yang biasa hidup dalam dunia perang itu hidup di negara sendiri. Seharusnya hukum positif ditegakkan, bukan lagi hukum baku bunuh membunuh, baku balas membalas,” katanya.

Adii juga mengkritik aparat penegak hukum yang tidak tegas menegakkan hukum positif Indonesia untuk mencegah meluasnya pertikaian antar kelompok orang asli Papua. “Di [depan] mata aparat keamanan, [kelompok yang bertikai] baku serang menyerang, baku bertikai, baku panah memanah, baku bunuh. Akan tetapi aparat penegak hukum tidak biasa tegakkan hukum positif yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.

Adii mengajak setiap warga masyarakat menyadari bahwa kekerasan dan bunuh-membunuh menyalahi hukum Tuhan. “Dalam perang saudara atau perang suku itu, siapa yang rugi, siapa yang menangis, siapa yang berduka, siapa yang beruntung setelah kita perang? Bukan orang lain, kita yang menangis, kitalah yang berduka, dan kitalah yang rugi. Sadarlah diri sebagai anak adat,” katanya.

Adii mengatakan pertikaian antar kelompok orang asli Papua yang terjadi di Kabupaten Puncak dan Kabupaten Jayawijaya juga menyebabkan kerugian besar bagi orang asli Papua. Pertikaian itu membuat banyak rumah warga dibakar, anak tidak bersekolah, orang tidak bisa beribadah, warga hidup dalam ketakutan serta trauma, dan puluhan orang tewas atau terluka.

Adii mengingatkan bahwa pertikaian antar kelompok orang asli Papua menimbulkan korban yang sia-sia. “Perang suku [menimbulkan] trauma yang hebat, menelan puluhan orang [korban] yang jatuh korban sia-sia. Bahwa kami selaku tokoh adat menyerukan masyarakat adat harus berdamai dalam keadaan sadar. Tidak boleh lagi [ada] korban dalam konflik saudara maupun konflik suku,” kata Adii.

Adii menyatakan anak adat Papua seharusnya tidak lagi membawa-bawa senjata tradisional seperti busur dan panah, dan berharap senjata tradisional seperti busur dan panah tidak lagi perjualbelikan. Ia meminta aparat penegak hukum tegas melarang orang membawa senjata tradisional.

“Kami memohon agar jaga ketat di bandara, dan tidak izinkan bawa naik [busur dan anak panah]. Kami menolak konflik sosial diselesaikan dengan cara baku balas yang bisa menelan korban puluhan jiwa manusia. Diharapkan agar penegak hukum tegakkan hukum positif,” katanya.

Perwakilan Pengurus Himpunan Mahasiswa Pelajar Jayawijaya, Imanus Komba juga berharap konflik antar kelompok orang asli Papua tidak berulang lagi. “Sebagai orang Papua, kami perlu bersama-sama menjaga kedamaian di Tanah Papua. Harapan kami, persoalan [yang ada] harus diselesaikan dengan pola pikir yang melihat lebih jauh ke depan,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G


https://jubi.co.id/pertikaian-mengat...sli-papua/amp/

Betul

selain orang Papua masih ada banyak tradisi penyelesaiannya masalah di berbagai suku di Indonesia yang berujung bunuh-bunuhan emoticon-Big Grin
serapionIeo
kelayan
nomorelies
nomorelies dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.3K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Tampilkan semua post
judogalAvatar border
judogal
#2
Perang suku adalah kearifan lokal di papua. Janganlah kita yg bukan OAP melarang atau mencaci maki. Harus kita lestarikan dan manfaatkan sebagai unsur budaya lokal yg bisa menarik wisatawan manca.
serapionIeo
muhamad.hanif.2
Cikklancang
Cikklancang dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.