Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
“Kenapa? apanya yang sakit?” gua bertanya kepadanya sambil memperhatikan bagian bawah punggungnya yang sejak tadi ia sentuh. Larissa masih nggak menjawab, ia tetap menunduk dan meringis kesakitan. Suara isak tangis mulai terdengar.
Gua buru-buru ke kamar, mengambil sweater dan dompet, kemudian kembali lagi ke sofa. Larissa masih dalam posisi seperti sebelumnya. Gua mengangkat dan menggendongnya, bersiap untuk keluar, ke rumah sakit.
Saat berada di gendongan, ia memukul-mukul lengan gua pelan. “Turunin… turunin…” Ucapnya pelan. Gua menghentikan langkah, kemudian berbalik dan menuju ke kamar, lalu menurunkan Larissa di atas ranjang. Ia berguling, berbaring dalam kondisi miring ke arah gua, sementara tangannya masih di bagian bawah punggungnya.
Ia menghentikan rintihannya, namun terlihat dari wajahnya ia tengah melawan rasa sakit yang luar biasa.
“Ngomong Sa, yang sakit apa? Bilang gua harus gimana?” Tanya gua sambil membelai rambut di dahinya.
Larissa tersenyum kemudian meraih tangan gua; “Gapapa Bi…”
Ia kemudian berbalik memunggungi gua. Pelan, ia menyingkap bajunya, memperlihatkan bagian belakang pinggulnya. Tepat di tengah pinggul, terdapat bekas luka yang dibalut perban. Sedikit meraba, dengan tangannya ia mulai melepas balutan perban tersebut. Lalu, terlihat sebuah lubang kecil berdiameter setengah senti. Di Dalam lubang tersebut terdapat sebuah sesuatu, terlihat seperti selongsong berbahan plastik berwarna biru.
Buru-buru gua meraih perban yang masih dipegangnya kemudian kembali menutup lubang tersebut dan menurunkan kaosnya.
“Sakit Sa?” Tanya gua.
“Sakiiiit….” Jawabnya lirih kemudian kembali menangis. Gua merebahkan diri di sebelahnya dan memeluknya dengan hati-hati agar tak menyentuh lubang di pinggulnya.
“Bisa nggak sakitnya di pindahin ke gua…” Gua menggumam sambil menatap bagian belakang kepalanya.
Rambutnya yang indah kini terlihat lebih tipis dari biasanya, namun tetap harum dan lembut.
“Jangan Bi.. sakitnya biar gua aja yang nanggung sendiri…” Ucapnya, masih sambil terisak. Sesekali ia menyeka hidungnya dengan punggung tangan.
“...”
“...Soalnya lo nanti bakalan ngerasain sakit yang luar biasa saat kehilangan gw…” Tambahnya.
“Emang lo mau kemana?”
Larissa menoleh ke arah gua; “Kan gw mau jadi bintang yang terus ngawasin lo dari pagi sampe malem…” Ucapnya sementara matanya masih berlinang.
“...”
“... from Am to PM…” Tambahnya.
Seakan nggak mau kehilangannya, Gua menggenggam punggung tangannya, erat. Larissa lalu mencubit lengan gua; “Kita jadi jalan-jalan kan Bi?” tanyanya pelan.
“Nggak!” gua menjawab singkat.
“Yaaah… yaudah mana balikin vouchernya…” Pinta Larissa sambil menadahkan tangannya ke arah gua.
Gua mencari-cari ‘voucher’ potongan kertas yang tadi diserahkan Larissa dan nggak menemukannya. Masih sambil memeluknya dari belakang, gua berbisik; “Jalan-jalannya nggak mau dituker pelukan ini aja?” Tanya gua.
“Pelukan ini kan harusnya gratis…” Jawabnya sambil memindahkan lengan gua dan memposisikannya di bawah kepala untuk digunakan sebagai alas.
Nggak butuh waktu lama, hingga akhirnya Larissa jatuh tertidur.
Gua menatap wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya, merasakan setiap hembusan nafas dan detak jantungnya. Mimpi apa gua bisa sedekat ini dengan dirinya, dengan Larissa, si gadis populer yang harus ‘terjebak’ dengan cowok kurang pergaulan seperti gua. Dan, worst case scenario yang selalu digadang-gadang oleh Larissa; kalau dia bakal ‘pergi’, jelas nggak bisa gua terima. Bagaimana mungkin gua harus melepaskan kebahagiaan yang baru gua rasakan sebentar.
Hampir tiga jam Larissa terlelap, sementara tak berkurang sedikitpun rasa bosan memandangnya. Hanya saja, lengan gua yang ia jadikan bantalan kini mulai mati rasa. Larissa membuka matanya, lalu langsung tersenyum begitu kedapatan gua tengah menatapnya; “Jam berapa?” tanyanya dengan suara serak.
“Jam 1…” Gua menjawab.
Larissa mencoba bangkit, kini ia dalam posisi duduk diatas ranjang, memegangi perutnya dan mulai (kembali) meringis.
“Masih sakit?” Tanya gua. Ia menggeleng kemudian berbisik; “Laper…”
Gua tersenyum beranjak dari kasu dan berniat untuk menuju ke dapur, mengambilkannya sesuatu untuk dimakan. Namun, tangan kanan gua nggak dapat digerakan; kesemutan.
“Aarghhh….”
“Kenapa? Kesemutan yah?” Tanya Larissa penasaran sambil memandangi lengan kanan gua. Ia lalu menyentil ujung jari-jari tangan gua. Menyebabkan sensasi seperti tersengat listrik.
“Awww…. Udah Sa, udah…” Rintih gua sambil memohon agar Ia menghentikan sentilannya. Namun bukannya berhenti, ia malah semakin semangat melakukannya, senyumnya pun semakin lebar.
“Eh, makan di luar aja yuk Bi…” Tiba-tiba Larissa menghentikan penyiksaannya terhadap gua dan melayangkan sebuah ide. Ide yang tentu saja ia tau bakal gua tolak, mengingat kejadian yang menimpanya tadi.
Gua menggeleng.
“Yaah…” Keluhnya, sambil pasang tampang cemberut. Ekspresi yang tentu saja bakal meluluhkan pria manapun yang melihatnya.
“Emang mau makan apa?” Tanya gua.
“Nasi goreng…” Ia menjawab.
“Boleh, tapi jam segini belom ada tukang Nasi gorengnya…”
“Yaaah…”
“Kalo mau nasi goreng, ya gua masakin aja disini, dirumah…”
“Emang lo bisa?” Tanyanya, seakan meragukan kemampuan gua memasak.
Gua mengangguk, yakin.
“Yaudah, voucher yang buat jalan-jalan tadi, ganti buat bikinin gw nasi goreng aja…” Ucapnya.
“Ok..” Gua menjawab singkat sambil mencoba mengangkat lengan kanan gua yang kini sepertinya sudah bisa berfungsi kembali.
---
“Bi…” Panggil Larissa.
Gua yang tengah mengupas bawang merah, kemudian berpaling. Larissa berdiri, bersandar pada dinding yang memisahkan dapur dengan ruang keluarga. “Lah, ngapain? udah tunggu di kamar aja…”
Ia menggeleng, Mendekat ke arah gua, menarik salah satu kursi di meja makan dan duduk. Dari pantulan kaca jendela belakang, terlihat Larissa tengah memandangi gua sambil kedua tangan menopang dagunya. Ia tersenyum.
“Mau belajar?” Gua menoleh dan bertanya kepadanya.
“Boleh?” Ia bertanya.
Gua mengangguk. Kemudian mulai memindahkan talenan dan keranjang bambu kecil berisi bawang merah ke atas meja makan, tepat di hadapannya.
Ia meraih gagang pisau dan sebutir bawang merah dari keranjang bambu kecil. Lama, ia membolak-balik bawang merah tersebut, seperti mencari cara untuk mengupasnya.
“Belom pernah ngupas bawang?” Tanya gua. Yang lalu diresponnya dengan gelengan kepala dan sebuah senyuman.
Gua meraih pisau dari tangannya dan memberinya contoh. Matanya berbinar kala melihat gua mengupas bawang; “Waah, hebat…” ucapnya sambil kemudian bertepuk tangan.
“Apanya yang hebat, ini cuma ngupas bawang…” Ucap gua sambil mengembalikan pisau kepadanya.
Percobaan pertama Larissa mengupas bawang merah: Lebih banyak bagian yang kebuang. Percobaan berikutnya: Masih sama. Begitu pula dengan beberapa percobaan selanjutnya. “Bisa nggak kalo nggak usah dikupas?” Tanyanya sambil meletakkan pisau di atas meja.
“Sini, gua yang ngupas, ntar lo yang ngiris-ngiris…” Gua memberikan solusi.
Namun, ternyata mengiris bawang merah juga bukan merupakan hal gampang buatnya. Beberapa kali, ia kedapatan mengucek matanya yang mulai berair dengan punggung tangan. Sementara, gua hanya tertawa melihatnya. “Ada cara laen nggak bi, biar nggak bikin nangis gini…” Tanyanya, sementara tangannya masih berusaha mengiris bawang.
Gua hanya tersenyum, nggak menjawab pertanyaannya. “Udah sini gua aja.. Cuci tangan sana…”
“Gapapa, gw aja…” ucapnya, masih sambil berlinang air mata. Kemudian melanjutkan mengiris bawang.
Sepuluh menit berikutnya Larissa telah selesai mengiris 3 butir bawang merah. Ya, memang sih waktu yang kebangetan lama hanya untuk mengiris 3 butir bawang merah. Tapi, sepertinya usaha Larissa patut di apresiasi. “Yeay.. berhasil… Fyuh…” Ucapnya sambil mencuci tangan. Sementara gua mengambil dua butir bawang putih dari keranjang kecil lain dan meletakkannya di atas talenan kayu. Melihat hal itu, Larissa menatap gua, matanya penuh kepanikan; “Hah, masih ada lagi?” Tanyanya.
“Iya, bawang putih…” Ucap gua.
“Yaaah…” Keluh Larissa. Ia kemudian kembali duduk dan mengambil pisau.
“Bawang putih mah gampang, Sa…” Ucap gua sambil memberi contoh kepadanya.
“Ih, bawang putih cuma di geprek gini doang udah kebuka kulitnya yaaah…” Ujarnya, kekaguman terpancar dari wajahnya.
“Pantesan ya Bi, Bawang merah tuh jahat… suka bikin nangis orang. Liat nih bawang putih, nggak penah nyusahin…” Tambahnya berkelakar.
“Hahahaha….” Gua tertawa. Joke pertama Larissa yang lucu.
Proses memasak nasi goreng berlanjut. Gua menuang sedikit minyak kedalam wajan, menunggu sebentar hingga cukup panas dan memasukkan bawang putih, disusul bawang merah kedalamnya. Sejatinya, masak nasi goreng lebih nikmat jika bumbunya dihaluskan, namun sejak dulu gua selalu memasak nasi goreng dengan bumbu yang diiris, lebih cepat dan praktis. Tentu saja faktor kecepatan jadi hilang kala memasaknya bersama Larissa.
“Sini.. sini gua aja…” Ucap Larissa sambil merebut spatula dari tangan gua. Sementara gua nggak bisa berbuat apa-apa, hanya mundur perlahan dan memberikannya instruksi dari belakang.
“Uoooo… Kereeeeeeen….” Puji Larissa saat melihat gua memecahkan dan memasukkan telur ke dalam wajan hanya dengan satu tangan.
“... Lagi bi, lagi…” Pintanya.
“Itu kan udah dua telornya, sa…” Jawab gua.
“Satu lagi, plisss….” Ia memohon. Gua membuka pintu kulkas, mengambil sebutir telur yang tersisa dan kembali memperlihatkan cara memecahkan telur dengan satu tangan. Sementara, Larissa menghentikan kegiatannya dan memperhatikan dengan seksama. Dan seakan nggak kehilangan ketertarikan, Ia tetap terpukau walaupun sudah melihatnya untuk kali ketiga.
“Uoooo… Kereeeeeeen….” Ucapnya.
Nggak seberapa lama, akhirnya nasi goreng buatan Larissa selesai. Gua membantunya memindahkan nasi goreng keatas piring. Sementara, Larissa duduk di kursi meja makan, ia terlihat gugup dan sedikit tegang. “Moment of truth, nih bi…” Ucapnya sambil menggosok-gosok telapak tangan saat gua menyajikan porsi nasi goreng dihadapannya.
Perlahan, Larissa mulai menyantap nasi goreng buatannya sendiri. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya, sementara bola matanya berputar-putar. “Lumayan lah ya…” Ucapnya pelan, seakan bicara dengan dirinya sendiri.
Gua mulai mencobanya. Dan… rasanya, sama aja seperti nasi goreng yang biasa gua buat.
“Enak kan, Bi…” Tanyanya. Yang lalu gua jawab dengan anggukan kepala. Terlihat Larissa dengan matanya yang tajam menatap ke arah hidung gua. Mencoba mencari ada tidaknya kebohongan yang gua lontarkan.
“Udah sih, nggak usah selalu ngecek gua boong apa nggak lewat idung…” Keluh gua sambil menutup hidung dengan tangan.
“Hehehe… Abisnya, lo kalo boong jelas banget keliatan, idung lo megar-megar…”
“...”
“Oiya, By the way… mana vouchernya tadi balikin…” tagih Larissa, sementara tanganya disodorkan ke gua.
“Lah, kan udah di tuker buat ngajarin lo masak nasi goreng…” Gua menjelaskan.
“Kan tadi lo bilang nya masakin, bukan ngajarin. Yang masak tetep gw… udah mana balikin…”
Gua meraih potongan kertas lecek, yang tadi gua temukan di ruang TV dan menyerahkannya kembali ke Larissa. Dengan cepat ia meraih potongan kertas voucher tersebut sambil bicara; “Makanya kalo bikin voucher, syarat dan ketentuannya harus jelas..”
---
Gua duduk di sofa, sementara Larissa berbaring di pangkuan, kamu berdua menghadap ke arah yang sama; layar televisi yang tengah menayangkan acara reality show berisi setingan orang-orang yang minta tolong tim dari televisi untuk menyatakan perasaan cintanya.
“Bi, kemarin liburan ngapain aja? Cerita dong…” Larissa membuka obrolan, sementara matanya tetap menatap ke layar televisi.
“Maen sama Tile…” Jawab gua.
“Iya, itu gw udah tau… maksudnya ceritain detailnya….” Pinta Larissa sambil mencubit paha gua dengan Signature pinch-nya.
Gua meringis kesakitan, sambil mengelus paha bekas cubitannya, gua mulai bercerita. kali ini, gua sudah mulai mampu menata urutan cerita dengan kata dan kalimat yang lebih baik daripada sebelumnya. Mendengar cerita gua, beberapa kali Larissa tersenyum dan tertawa, sesekali ia bersiap dengan cubitannya saat gua bercerita tentang cewek-cewek di Parkir Timur Senayan.
“Trus, yang pas sama anak-anak Taekwondo kemaren, kan ke tempat rame. Pusing nggak?” Tanyanya.
“Pusing…”
“Terus.. terus…?”
“Ya ditahan…” Jawab gua.
“Hebaaat…” Pujinya, sambil mengacungkan ibu jarinya ke atas.
“Seneng deh, denger lo udah mau terbuka sama dunia luar…” Tambahnya.
“Gantian dong, sekarang lo yang cerita…” Pinta gua. Larissa memalingkan wajahnya dari layar televisi ke wajah gua dan mulai bercerita.
“Tunggu… gua mau denger cerita, gimana ini bisa sampe bolong gitu?” Tanya gua sambil menunjuk ke arah bagian belakang pinggulnya.
“Jadi… ini tuh bolongan buat inject obat kemo. Tau nggak Bi, itu tuh jarumnya segini panjangnya.. serem…” Ucapnya, sementara tangannya memperagakan ukuran sepanjang 15 senti.
“...”
“..Trus, pas udah disuntik, si jarum nya dicabut. Nah selongsongnya itu emang sengaja ditinggal disitu. Biar nanti pas masukin obat nggak ditusuk-tusuk lagi…” Tambahnya.
“Sakit?”
“Banget..”
“Emang nggak dibius?”
“Dibius, tapi bius lokal, cuma di area yang mau disuntik aja yang kebas..”
“Duh, kalo gua pasti udah pingsan tuh…” Ucap gua sambil bergidik membayangkan jarum sepanjang itu menembus kulit.
“Yeee, itu gw juga pingsan sebelum di suntik, Pingsan bukan karena sakit, karena ngeliat jarumnya….”
“Trus itu tadi kenapa, lo kesakitan…” Gua bertanya tentang penyebab bekas lukanya yang sakit tadi.
“Kayaknya kebanyakan gerak, jadi nyeri lagi…”
“Makanya, jangan pecicilan jadi orang…” Gua memberi nasihat sambil membelai rambutnya.
“Iya, bos…” Responnya sambil tangannya diletakan di dahi, seperti memberi hormat.
“By the way, selamat ulang tahun ya, Sa…”
Ia tersenyum sambil menatap gua, kemudian meraih tangan gua yang masih membelai rambutnya; “Nanti pas lo ulang taun mau dikasih kado apa?” Tanyanya.
“Lo Sehat aja…”
“Udah itu doang? nggak mau CD, Buku, PS?
Gua menggeleng, kemudian kembali mengulang kalimat gua sebelumnya; “Lo tetep Sehat aja..”
“...”
“Emang lo tau kapan ulang tahun gua?” Tanya gua, lalu dijawab dengan gelengan kepala olehnya.
“Emang lo nggak mau ngasih tau?” Ia balik bertanya.
“Mau…” Gua menjawab singkat.
“Kapan?” tanyanya.
“5 Juli…” Gua memberinya jawaban. Mendengarnya, sontak Larissa terkejut dan bangkit dari pangkuan kemudian menatap gua; “Bohong?” Tanyanya.
Gua menggeleng. “Liat aja idung gua…”
“Masa ulang taun kita bareng siiiiih….?”
Larissa lalu merebahkan kepalanya di pundak gua, sambil memainkan rambutnya dia mulai menggumamkan lagu Selamat Ulang Tahunnya Jamrud yang baru saja beberapa bulan yang lalu dirilis.
“Eh berarti lo Sweet Seventeen dong ya Bi?” Tanyanya, yang lalu gua jawab dengan anggukan.
“Ya elu juga kan?” Kali ini gua balik bertanya.
“Gw baru 16, kan saking pinternya, gw masuk sekolah lebih cepet setahun..” Jelasnya.
Kemudian ia mulai bercerita tentang bagaimana Larissa kecil yang merengek ikut minta masuk sekolah, kala melihat Kakaknya; Resti yang sudah mulai bersekolah lebih dulu.
“Bikin SIM bi, biar bisa ngajak gw jalan-jalan…” Usul Larissa.
“Iya, nanti rencananya gua mau buat SIM..”
“Asiiik, ntar kalo lo udah punya SIM, kita ke Bandung ya; Naek kuda Poni.. trus ke Pantai, Abis itu ke… mmm, kemana lagi ya…” Larissa sibuk mengatur rencana sementara tangannya ia letakkan di bibir dan matanya menerawang ke langit-langit.
“Emang harus Kuda Poni? Kalo kuda biasa nggak mau?” Tanya gua.
“Ih kalo kuda biasa kan tinggi bi.. gw takut naeknya… Tapi kalo kuda biasa yang masih anak, gw berani sih..” Jawabnya
“Kuda masih anak, mana mampu nahan berat lo…”
“Apa?! Bilang sekali lagi?” Ancam Larissa begitu gua mengungkit masalah berat badannya. Tangannya menjambak rambut gua dan menariknya ke arah belakang, membuat gua sedikit mendongak.
“Kan cuma bercanda, Sa…” Gua memohon.
“Bilang apa?”
“Maap, Sa… Maap…” Ucap gua, ia kemudian perlahan melepas jambakan rambutnya. Kembali duduk manis dan tenggelam dalam rencana-rencana yang tadi sempat ia susun. Kemudian meraih tas punggung yang sejak tadi ia letakkan di bawah sofa, mengeluarkan catatan Hello Kitty miliknya, dan mulai mencatat.
Gua melirik ke arah catatanya. Larissa tengah mencoret salah satu daftar dari Bucket List miliknya yang berisi; ‘Belajar Memasak’.
“Baru mulai belajar masak nasi goreng sekali kenapa udah dicoret aja?” Tanya gua.
Larissa berpaling dari catatannya dan menatap gua tajam; “Lah, ini kan di listnya ‘Belajar Masak’ bukannya ‘Jadi jago Masak” jawabnya ketus, kemudian menjulurkan lidahnya; “Wlee”
“Berarti naik kuda poni juga cuma sekali doang kan?” Tanya gua.
“Nggak!, gw mau jadiin alat transportasi sehari-hari..” Jawabnya.
“Hahaha… kenapa gua bayanginnya lucu ya, lo naek kuda ke sekolah, trus tuh kuda di iket di parkiran motor…”
Larissa nggak merespon kelakar gua dengan kata-kata. Ia hanya terdiam, matanya menatap gua tajam, seperti siap menerkam. Buku catatannya ia jatuhkan ke lantai, kemudian berdiri. Tangan kanannya ia kepalkan dan mulai meninju telapak tangan kirinya. Melihat gelagatnya, perlahan gua menggeser mundur posisi duduk, hingga ke ujung sofa; “Ampun Sa… Ampun, bercanda Sa, Kan cuma bercanda Sa…” Gua memohon sambil mengangkat kedua tangan.
Ia mendekat dan mulai memukuli lengan gua, sesekali menggunakan jarinya untuk mencoba menyentil bagian dahi gua, namun selalu gagal karena bagian wajah selalu gua lindungi dengan kedua telapak tangan. Setelah, lelah karena memukuli gua, Larissa menjatuhkan dirinya di atas dekapan gua.
“You smell so good…” Ucapnya lirih, sementara kepalanya ia sandarkan di dada. Gua menarik leher baju gua dan mulai mengendusnya; Gua kan belom mandi dari pagi, tapi nggak bau sih. Lalu kembali membelai rambutnya sambil berbisik; “..and to my mind everything stinking, stinking without you…
Baby I Love Your Way - Peter Frampton
Shadows grow so long before my eyes
And they're moving across the page
Suddenly the day turns into night
Far away from the city
But don't hesitate
'Cause your love won't wait, hey
Ooh, baby I love your way, every day
Wanna tell you I love your way, every day
Wanna be with you night and day, hey
Moon appears to shine and light the sky
With the help of some fireflies
Wonder how they have the power to shine, shine, shine
I can see them under the pine
But don't hesitate
'Cause your love won't wait, hey
Ooh, baby I love your way, every day
Wanna tell you I love your way, ooh
Wanna be with you night and day, ooh, yeah
Well, don't hesitate
'Cause your love won't wait
I can see the sunset in your eyes
Brown and gray, blue besides
Clouds are stalking islands in the sun
I wish I could buy one out the season
But don't hesitate
'Cause your love won't wait, hey
Ooh, baby I love your way, every day
Wanna tell you I love your way, ooh
Wanna be with you night and day
Ooh, baby I love your way, every day
Wanna tell you I love your way, ooh
Wanna be with you night and day, hey