- Beranda
- Stories from the Heart
Jurnal Terlarang Aryo
...
TS
dimasaria39
Jurnal Terlarang Aryo

Gambar dicomot dari google.com dan diedit sedemikian rupa.
Quote:
Quote:
Quote:
Selamat pagi, siang, sore, ataupun malam untuk para agan dan aganwati sekalian serta para mimin ataupun momod yang bertugas.
Cerita ini berisi suatu informasi yang bisa dikatakan sangat teramat jarang diketahui dan mungkin seharusnya 'Terlarang' untuk disebar kepada khalayak umum.
Apakah ini benar-benar nyata? Ataukah hanya sebuah karangan belaka? Semua saya kembalikan kepada agan dan sista sekalian. Meskipun agan atau sista berkata ini hanyalah karangan belaka, tetaplah ingat bahwa ‘mereka’ yang tak terlihat dengan mata manusia normal itu ada.
Harap mematuhi peraturan yang berlaku di forum KasKus, Heart to Heart, Stories from the Heart, dan tentunya Indonesia tercinta.
Ini merupakan kisah nyata dari pengalaman pribadi dan telah dimodifikasi sedemikian rupa.

Secara garis besar, kejadian yang tertulis setidaknya memiliki kesesuaian 70-90% dengan pengalaman penulis.
Cerita, nama tokoh, bisnis, karakter, kejadian ataupun insiden merupakan hasil dari pengalaman nyata atau realita penulis, dan informasi yang dimiliki oleh sang penulis. Persamaan cerita, karakter ataupun kejadian adalah murni ketidaksengajaan.
Intinya, ini adalah karya semi-fiksi. Hanya untuk hiburan semata. Jika ada yang tersinggung dengan cerita ini, saya mohon maaf.
Jika ada kesalahan penulisan atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan di lapangan, saya mohon maaf.
POV Mira atau karakter lain selain Dimas Aryo (Saya sendiri) merupakan 99% Fiksi, kecuali ada keterangan. Jangan pernah dipercaya. Kejadian sesungguhnya seringkali belum diketahui hingga saat ini.
Silahkan dinikmati sembari meminum segelas kopi atau apapun itu.
Mohon kebijaksanaannya untuk dapat membedakan mana bagian yang 99% fiksi, semi-fiksi, ataupun realita.
Update jika sempat untuk menulis lanjutannya.
Bukan, ini bukan horor.
Tetapi supranatural dan slice of life.
-------
Quote:
-------
Spoiler for Index:
New Chapter(19-10-2022)
Chapter XXXVII
Spoiler for Mira pas lagi diam. Mirip gini lah.:
Spoiler for Dave kalau tanpa baju. Mirip gini lah.:
Diubah oleh dimasaria39 19-10-2022 20:53
arieaduh dan 76 lainnya memberi reputasi
73
72.7K
3.3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dimasaria39
#167
Chapter XXIII
Sekarang kami kembali berada di dalam ruangan konseling yang beberapa saat lalu kutinggalkan. Awalnya, Sarah tidak diperbolehkan untuk masuk dan diperintah untuk kembali ke kelas oleh guru perempuan yang menyeretku tadi. Tapi dia bersikeras untuk ikut masuk dan berkata bahwa dia adalah seorang saksi. Luka di pelipis kananku saat ini sudah dibersihkan dan diobati oleh Sarah yang tadi mampir ke UKS.
Tak lama kemudian, Pak Arief yang sepertinya tadi mengajar di salah satu kelas 8 masuk.
“Loh, Dimas sama Sarah? Ada apa lagi?”
“Saya tadi melihat dia bertengkar sama tiga orang anak, Pak Arief. Tiga-tiganya dipukul hingga berdarah. Ada yang tangannya putus juga, Pak!” ucap Bu Guru yang menyeretku.
Pak Arief menatapku dengan tidak percaya untuk beberapa saat.
“Ibu bisa kembali ke kelas, biar saya yang mengurusnya.”
“Dia sama sekali tidak menyesal! Saya minta dia untuk dikeluarkan, Pak! Sekolah ini tidak butuh jagoan seperti dia!” kata Bu Guru sebelum pergi meninggalkan ruang BK.
“Dimas, apa benar seperti itu?” tanya Pak Arief.
“Enggak, Pak. Tangannya patah, bukan putus,” ujarku dengan tangan sedikit gemetaran; efek dari perkelahian tadi.
“Kamu baru saja keluar dari sini loh. Kenapa sekarang bikin masalah?”
Sebelum aku menjawab, Sarah sudah membuka mulutnya, “Dimas enggak buat masalah, Pak. Mereka yang nyerang duluan! Saya saksinya.”
“... Bagaimana ceritanya? Siapa yang kamu pukul?”
“... Ceritanya seperti ini, Pak.” Kali ini aku yang membuka mulut.
“Tadi Saya sama Sarah kan baru keluar dari sini. Kami berdua jalan ke arah kantin, mau beli roti terus balik ke kelas. Nah, di dekat kantin, ada Haidar sama dua temannya-“
“Oh ... Saya mulai paham.”
“Kami putar balik, Pak. Mau lewat depan buat menghindar dari mereka. Terus Haidar ngatain saya, Pak. Cepu lah, pengecut lah, banci lah. Pas itu saya biarin mereka, Pak. Terus dia ngatain saya anak pramuria, Pak. Dia juga ngancam mau bunuh saya, Pak,” jelasku.
“Iya, Pak! Si Haidar juga yang mukul duluan seperti tadi, Pak! Terus Dimas membalas, Pak!” Sarah menimpali.
Pak Arief menghela nafas dan menggaruk kepalanya beberapa kali saat mendengar penjelasan dari kami.
“Tunggu sebentar, ya. Bapak mau menghubungi orangtuamu dulu,” kata Pak Arief.
Lima belas menit kemudian, ayahku datang ke sekolah.
“Dimas! Kamu kena masalah apa? Kata gurumu, kamu habis mematahkan tangan murid lain, ya?!” tanya Ayahku dengan nada agresif.
“Memang bener, tapi ceritanya seperti ini, Pa.” Aku menceritakan segala hal yang terjadi dengan cukup detail kepada beliau. Alih-alih memarahiku, Ayahku memuji tindakanku. Padahal aku baru saja melukai tiga anak orang dengan cukup parah.
Tak lama kemudian, orangtua dari tiga anak tadi datang bergantian. Mereka marah-marah kepada pihak sekolah dan kepadaku. Mereka sama sekali tidak terima dengan perlakuanku kepada mereka. Pak Arief selaku bagian ketertiban dan Guru BK, menengahi kami. Beliau juga menjelaskan kejadian dengan rinci kepada mereka. Awalnya terjadi acara debat di tempat ini. Setiap orang tua tetap marah dan tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini, termasuk Ayahku.
Setelah debat pendek, orangtua dari dua siswa yang tidak mengalami patah tulang, tidak melanjutkan amarah mereka karena mulai paham kalau ini salah anak mereka. Sedangkan orangtua dari Haidar, tidak. Ibu tersebut masih tetap marah dan tidak terima anaknya mengalami patah tulang.
“Aku tetap tidak terima! Aku yang membesarkannya dari kecil hingga sekarang! Terus dia mematahkan tulang anakku! Tentu saja aku tidak terima!” ucap Ibu itu sambil menunjuk-nunjukku.
'Ini kalau enggak di skak, enggak akan ada habisnya.’
Tanpa disuruh, aku membuka seragamku dan menunjukkan lebam-lebam biru ditubuhku.
“Bu, anak Anda pertama mukul saya tanpa sebab loh. Habis saya ngelapor ke guru, dia malah ngeroyok saya loh. Dia ngatain saya anak pramuria loh, Bu. Kalau ibu saya hina pramuria, pasti marah kan? Dia juga ngancam mau bunuh saya loh. Ada saksinya juga, bu.”
“Tapi kamu enggak perlu sampai matahin tangannya anakku! Kamu mau kalau tanganmu dipatahin, hah?” sentak Ibu itu.
“Terus ibu mau apa?! Saya tetap diam terus mati gitu?!” sentakku balik.
Ibu itu terdiam mendengar sentakkanku, sepertinya sedang berpikir.
“Anda dengar ucapan anak saya? Kalau Anda masih tidak terima, kita bawa ini ke polisi,” tantang Ayahku.
Mendengar tantangan ayahku, ibu tersebut panik dan ketakutan.
“Sudah, sudah, sudah. Jangan dibesar-besarkan lagi. Kamu minta berapa? Kita damai saja,” kata Ibu tersebut kepadaku.
’Weeew ... untung dia kicep. Kalau beneran dibawa ke polisi, terus lebamku di visum, bisa berabe nih,’ batinku lega.
“Heeee?” Mira yang mendengar kalimat yang keluar dari ibu itu langsung menyeringai lebar.
“Mintain sejuta!” bisik Mira kepadaku.
Aku berpikir sejenak ketika Mira berbisik kepadaku, “Tabungan ibu ada berapa?” sepertinya sifat mata duitan Mira sudah mencemariku dengan berlebihan.
Semua yang ada diruangan itu terkejut tidak percaya mendengar pertanyaanku, termasuk Mira. Ibu Haidar dengan cepat meraih dompet yang ada di dalam tasnya dan memberikan semua lembar uang bernominal besar kepadaku dan hanya menyisakan selembar biru di dompetnya.
“Ini, ini. Aku cuma bisa ngasih satu juta ke kamu. Tolong maafkan Haidar ya, Nak?”
“Saya sih bisa memaafkan anak ibu. Tapi apa anak ibu bisa memaafkan saya? Saya takut nanti setelah sembuh dia nyerang saya lagi sama teman-temannya yang lebih banyak.”
“Nanti biar tak marahi si Haidar itu. Biar dia enggak bikin ulah lagi.”
Aku menolehkan kepalaku ke arah orangtua yang lain, meminta suatu jawaban kepada mereka. Mereka juga mengatakan hal yang sama kepadaku.
“Sudah. Kamu tenang saja. Sekolah nanti yang ngurus,” kata Pak Arief.
Sebenarnya, masih ada beberapa perbincangan yang terjadi, tapi menurutku tidak penting untuk diceritakan. Orangtua dari dua anak lain tadi juga memberiku beberapa lembar uang dan memintaku untuk tidak memperbesar serta melanjutkan masalah ini sebelum mereka meninggalkan ruang BK.
Masalah hari ini selesai.
Sebenarnya, aku tidak terlalu percaya dengan ucapan Pak Arief. Tadi, baru saja Haidar keluar dari ruangan ini, dia langsung melabrakku dan mengeroyokku. Aku takut jika nanti kelompoknya yang berjumlah lebih dari tiga dan teman-teman mereka yang berasal dari luar sekolah datang mengeroyokku karena masalah ini.
***
Pihak sekolah meliburkanku selama tiga hari agar aku bisa memulihkan diri. Sepertinya pihak sekolah juga ingin menjauhkanku dari pertikaian yang mungkin akan terjadi setelah aku berhasil mengalahkan para pendekar sekolah. Ada kemungkinan juga pihak sekolah akan melakukan pencerahan pada setiap kelas agar para siswa tidak melakukan kekerasan fisik lagi. Semoga. Please. Aku sama sekali tidak mau dikeroyok. Aku tidak akan bisa melakukan hal yang sama seperti kemarin jika ada lebih dari tiga orang yang mengeroyokku.
***
Selama tiga hari, yang aku lakukan hanyalah makan, tidur, mandi, bermain game dan mengerjakan PR yang di kirimkan oleh teman-temanku via Facebook. Aku juga memikirkan tentang hal-hal buruk yang akan terjadi kepadaku saat aku kembali ke sekolah hingga membuatku susah untuk tidur. Selama tiga hari, aku juga tidak melakukan latihan fisik karena dilarang oleh Mira. Dia juga memarahiku untuk beberapa hal.
“Aku ngajari Aria itu untuk melindungi diri! Bukan buat bunuh anak orang! Nanti urusan sama polisi! Ribet tau!” bentak Mira.
’Tapi, dia mengancamku! Kamu sendiri juga yang bilang untuk jangan mengampuni musuh!’ sanggahku.
“Sebenarnya Aria itu pintar atau gimana sih?! Konteksnya beda o’on! Kalau musuhnya pakai gaib, jangan diberi ampun! Kalau musuhnya fisik, face to face, jangan dibunuh! Ribet sendiri nanti!”
“Kepalanya keparat itu aslinya ga perlu diinjak-injak tau! Tangannya patah itu sudah pasti bikin dia kapok, tau ga?! Aria bodoh!”
“....” Aku hanya bisa diam dan mengalihkan mataku darinya.
Dia benar. Setelah aku pikir-pikir, apa yang aku lakukan kemarin terlalu berlebihan. Setelah mereka tumbang, seharusnya aku menghentikan seranganku. Sepertinya aku masih kurang bijaksana.
“Terus, kalau minta uang itu yang ngotak dikit, dong! Yang Aria lakuin kemarin itu sama aja kayak ngerampok, tau ga?!”
“... Maaf.”
Mira menghela nafasnya sekali.
“Aria ga perlu takut dikeroyok besok. Kan ada aku. Kalau mereka mau ngeroyok, artinya berurusan sama aku.”
“... Terimakasih, Mir,” ucapku tanpa menatapnya.
*bonk*
“Aduh!” Aku sedikit meringis kesakitan saat Mira memukul pelan kepalaku dengan tongkat hitamnya.
“Pikirin kenapa aku marahin Aria. Aku mau Aria jadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.”
“Aku mau pergi dulu, ada urusan. Aria jangan aneh-aneh loh!” ujar Mira sebelum pergi meninggalkanku sendirian di dalam kamarku.
***
Esok harinya aku kembali pergi ke sekolah bersama Mira yang sudah kembali. Di depan gerbang sekolah, aku melihat ada beberapa guru yang sedang berjaga seperti biasa. Salah satunya adalah Pak Arief. Aku turun dari sepedaku dan mulai menuntunnya ke arah gerbang sekolah.
“Eh, Dimas. Gimana? Sudah enakan?” sapa Pak Arief sekaligus menanyaiku.
“Ya ... aslinya masih terasa nyeri sih, Pak,” jawabku sembari menunjuk luka di pelipis yang telah mengering.
“Oh ... yaudah. Yang hati-hati. Jangan buat masalah loh, ya?”
“Saya enggak akan mukul kalau enggak di pukul dulu kok, Pak.” Aku pun masuk ke dalam sekolah.
Saat aku sedang menuntun sepedaku, aku bisa melihat ada beberapa siswa yang menatapku. Aku juga bisa melihat beberapa anggota OSIS yang sedang mengecek kelengkapan seragam para siswa berbisik dan sesekali melihat serta menunjuk ke arahku. Selama perjalanan menuju kelas setelah aku memarkir sepedaku pun, aku bisa melihat para siswa yang menatapku. Saat mata kami bertemu, mereka langsung mengalihkan pandangan dan pergi dari tempatnya. Haaah, sepertinya sekarang aku ditakuti.
Aku pun masuk ke dalam kelas yang sudah cukup ramai dan mendengar-
“Woooo!!! Takiya Genji sudah kembali!! Buka jalan! Buka jalan!”
Ya. Aku mendengar suara salah satu sahabatku, Vano (samaran) menyambutku. Dia mendekatiku dan mempersilahkanku masuk seperti seorang bawahan menyambut bosnya.
“Selamat datang, bos geng!”
“Matamu bos geng,” ucapku dengan sedikit tersenyum.
“Kukira si Dimas anak baik-baik, Van. Ternyata bos geng!” kata salah satu sahabatku yang lain, Samuel(samaran), sembari tertawa.
“Gimana ceritanya, Dim. Sampai Haidar kau patahkan tulangnya?” tanya Samuel.
Aku menceritakan semuanya dari awal hingga akhir dengan kepada Vano, Samuel, dan beberapa orang lain yang sepertinya penasaran dengan cerita dariku.
“Kejem juga kau, Dim. Beneran mirip bos geng!” kata Vano.
“Tapi aku takut kalau nanti mereka mengeroyokku dengan lebih banyak orang,” ujarku.
“Santai saja brrrroooooo. Kubantu nanti kalau mereka main keroyokan,” jawab Samuel.
“Yoi, Dim. Kau tinggal bilang aja,” timpal Vano.
“Tengkyu bro.”
Aku bisa lebih tenang karena ucapan mereka, bagaimana tidak? Tubuh mereka lebih besar daripada diriku dan tentunya lebih berotot juga. Yang satu merupakan atlit tingkat provinsi, dan satunya pernah menjuarai kejuaraan Taekwondo meskipun juga masih tingkat provinsi.
Tak lama kemudian Sarah masuk ke dalam kelas. Tidak seperti biasanya dia datang lebih siang seperti kali ini.
“Woooo!!! Pacarnya bos geng datang!!” sambut Vano.
“Apaan sih! Aku enggak punya pacar!” sahut Sarah dengan wajah sedikit memerah.
“Dimas! Kamu sudah sehat?” tanya Sarah sembari mendekatiku.
“Bisa dibilang gitu,” jawabku.
“Ciee ciee, nyonya bos geng perhatian cieee,” goda Samuel yang dibalas dengan sebuah pukulan oleh Sarah.
Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuan mereka. Seandainya saja masa-masa ini tak pernah berakhir.
Hari demi hari berlalu, Haidar dan dua pelaku lainnya sudah kembali bersekolah setelah dirawat beberapa hari entah dimana. Mungkin di puskesmas, rumah sakit, ataupun tukang urut, aku tak tau. Dia dan kelompoknya sepertinya sama sekali tidak memiliki rencana untuk mengeroyokku. Sepertinya mereka takut. Bahkan, ketika tatapanku bertemu dengan tatapan Haidar atau kelompoknya, mereka langsung mengalihkan pandangannya dan sama sekali tidak mau menatapku. Aku masa bodoh sih dengan hal itu. Bukan urusanku juga.
Dan tahun keduaku di sekolah ini berakhir.
Sekarang kami kembali berada di dalam ruangan konseling yang beberapa saat lalu kutinggalkan. Awalnya, Sarah tidak diperbolehkan untuk masuk dan diperintah untuk kembali ke kelas oleh guru perempuan yang menyeretku tadi. Tapi dia bersikeras untuk ikut masuk dan berkata bahwa dia adalah seorang saksi. Luka di pelipis kananku saat ini sudah dibersihkan dan diobati oleh Sarah yang tadi mampir ke UKS.
Tak lama kemudian, Pak Arief yang sepertinya tadi mengajar di salah satu kelas 8 masuk.
“Loh, Dimas sama Sarah? Ada apa lagi?”
“Saya tadi melihat dia bertengkar sama tiga orang anak, Pak Arief. Tiga-tiganya dipukul hingga berdarah. Ada yang tangannya putus juga, Pak!” ucap Bu Guru yang menyeretku.
Pak Arief menatapku dengan tidak percaya untuk beberapa saat.
“Ibu bisa kembali ke kelas, biar saya yang mengurusnya.”
“Dia sama sekali tidak menyesal! Saya minta dia untuk dikeluarkan, Pak! Sekolah ini tidak butuh jagoan seperti dia!” kata Bu Guru sebelum pergi meninggalkan ruang BK.
“Dimas, apa benar seperti itu?” tanya Pak Arief.
“Enggak, Pak. Tangannya patah, bukan putus,” ujarku dengan tangan sedikit gemetaran; efek dari perkelahian tadi.
“Kamu baru saja keluar dari sini loh. Kenapa sekarang bikin masalah?”
Sebelum aku menjawab, Sarah sudah membuka mulutnya, “Dimas enggak buat masalah, Pak. Mereka yang nyerang duluan! Saya saksinya.”
“... Bagaimana ceritanya? Siapa yang kamu pukul?”
“... Ceritanya seperti ini, Pak.” Kali ini aku yang membuka mulut.
“Tadi Saya sama Sarah kan baru keluar dari sini. Kami berdua jalan ke arah kantin, mau beli roti terus balik ke kelas. Nah, di dekat kantin, ada Haidar sama dua temannya-“
“Oh ... Saya mulai paham.”
“Kami putar balik, Pak. Mau lewat depan buat menghindar dari mereka. Terus Haidar ngatain saya, Pak. Cepu lah, pengecut lah, banci lah. Pas itu saya biarin mereka, Pak. Terus dia ngatain saya anak pramuria, Pak. Dia juga ngancam mau bunuh saya, Pak,” jelasku.
“Iya, Pak! Si Haidar juga yang mukul duluan seperti tadi, Pak! Terus Dimas membalas, Pak!” Sarah menimpali.
Pak Arief menghela nafas dan menggaruk kepalanya beberapa kali saat mendengar penjelasan dari kami.
“Tunggu sebentar, ya. Bapak mau menghubungi orangtuamu dulu,” kata Pak Arief.
Lima belas menit kemudian, ayahku datang ke sekolah.
“Dimas! Kamu kena masalah apa? Kata gurumu, kamu habis mematahkan tangan murid lain, ya?!” tanya Ayahku dengan nada agresif.
“Memang bener, tapi ceritanya seperti ini, Pa.” Aku menceritakan segala hal yang terjadi dengan cukup detail kepada beliau. Alih-alih memarahiku, Ayahku memuji tindakanku. Padahal aku baru saja melukai tiga anak orang dengan cukup parah.
Tak lama kemudian, orangtua dari tiga anak tadi datang bergantian. Mereka marah-marah kepada pihak sekolah dan kepadaku. Mereka sama sekali tidak terima dengan perlakuanku kepada mereka. Pak Arief selaku bagian ketertiban dan Guru BK, menengahi kami. Beliau juga menjelaskan kejadian dengan rinci kepada mereka. Awalnya terjadi acara debat di tempat ini. Setiap orang tua tetap marah dan tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini, termasuk Ayahku.
Setelah debat pendek, orangtua dari dua siswa yang tidak mengalami patah tulang, tidak melanjutkan amarah mereka karena mulai paham kalau ini salah anak mereka. Sedangkan orangtua dari Haidar, tidak. Ibu tersebut masih tetap marah dan tidak terima anaknya mengalami patah tulang.
“Aku tetap tidak terima! Aku yang membesarkannya dari kecil hingga sekarang! Terus dia mematahkan tulang anakku! Tentu saja aku tidak terima!” ucap Ibu itu sambil menunjuk-nunjukku.
'Ini kalau enggak di skak, enggak akan ada habisnya.’

Tanpa disuruh, aku membuka seragamku dan menunjukkan lebam-lebam biru ditubuhku.
“Bu, anak Anda pertama mukul saya tanpa sebab loh. Habis saya ngelapor ke guru, dia malah ngeroyok saya loh. Dia ngatain saya anak pramuria loh, Bu. Kalau ibu saya hina pramuria, pasti marah kan? Dia juga ngancam mau bunuh saya loh. Ada saksinya juga, bu.”
“Tapi kamu enggak perlu sampai matahin tangannya anakku! Kamu mau kalau tanganmu dipatahin, hah?” sentak Ibu itu.
“Terus ibu mau apa?! Saya tetap diam terus mati gitu?!” sentakku balik.
Ibu itu terdiam mendengar sentakkanku, sepertinya sedang berpikir.
“Anda dengar ucapan anak saya? Kalau Anda masih tidak terima, kita bawa ini ke polisi,” tantang Ayahku.
Mendengar tantangan ayahku, ibu tersebut panik dan ketakutan.
“Sudah, sudah, sudah. Jangan dibesar-besarkan lagi. Kamu minta berapa? Kita damai saja,” kata Ibu tersebut kepadaku.
’Weeew ... untung dia kicep. Kalau beneran dibawa ke polisi, terus lebamku di visum, bisa berabe nih,’ batinku lega.
“Heeee?” Mira yang mendengar kalimat yang keluar dari ibu itu langsung menyeringai lebar.
“Mintain sejuta!” bisik Mira kepadaku.
Aku berpikir sejenak ketika Mira berbisik kepadaku, “Tabungan ibu ada berapa?” sepertinya sifat mata duitan Mira sudah mencemariku dengan berlebihan.
Semua yang ada diruangan itu terkejut tidak percaya mendengar pertanyaanku, termasuk Mira. Ibu Haidar dengan cepat meraih dompet yang ada di dalam tasnya dan memberikan semua lembar uang bernominal besar kepadaku dan hanya menyisakan selembar biru di dompetnya.
“Ini, ini. Aku cuma bisa ngasih satu juta ke kamu. Tolong maafkan Haidar ya, Nak?”
“Saya sih bisa memaafkan anak ibu. Tapi apa anak ibu bisa memaafkan saya? Saya takut nanti setelah sembuh dia nyerang saya lagi sama teman-temannya yang lebih banyak.”
“Nanti biar tak marahi si Haidar itu. Biar dia enggak bikin ulah lagi.”
Aku menolehkan kepalaku ke arah orangtua yang lain, meminta suatu jawaban kepada mereka. Mereka juga mengatakan hal yang sama kepadaku.
“Sudah. Kamu tenang saja. Sekolah nanti yang ngurus,” kata Pak Arief.
Sebenarnya, masih ada beberapa perbincangan yang terjadi, tapi menurutku tidak penting untuk diceritakan. Orangtua dari dua anak lain tadi juga memberiku beberapa lembar uang dan memintaku untuk tidak memperbesar serta melanjutkan masalah ini sebelum mereka meninggalkan ruang BK.
Masalah hari ini selesai.
Sebenarnya, aku tidak terlalu percaya dengan ucapan Pak Arief. Tadi, baru saja Haidar keluar dari ruangan ini, dia langsung melabrakku dan mengeroyokku. Aku takut jika nanti kelompoknya yang berjumlah lebih dari tiga dan teman-teman mereka yang berasal dari luar sekolah datang mengeroyokku karena masalah ini.
***
Pihak sekolah meliburkanku selama tiga hari agar aku bisa memulihkan diri. Sepertinya pihak sekolah juga ingin menjauhkanku dari pertikaian yang mungkin akan terjadi setelah aku berhasil mengalahkan para pendekar sekolah. Ada kemungkinan juga pihak sekolah akan melakukan pencerahan pada setiap kelas agar para siswa tidak melakukan kekerasan fisik lagi. Semoga. Please. Aku sama sekali tidak mau dikeroyok. Aku tidak akan bisa melakukan hal yang sama seperti kemarin jika ada lebih dari tiga orang yang mengeroyokku.
***
Selama tiga hari, yang aku lakukan hanyalah makan, tidur, mandi, bermain game dan mengerjakan PR yang di kirimkan oleh teman-temanku via Facebook. Aku juga memikirkan tentang hal-hal buruk yang akan terjadi kepadaku saat aku kembali ke sekolah hingga membuatku susah untuk tidur. Selama tiga hari, aku juga tidak melakukan latihan fisik karena dilarang oleh Mira. Dia juga memarahiku untuk beberapa hal.
“Aku ngajari Aria itu untuk melindungi diri! Bukan buat bunuh anak orang! Nanti urusan sama polisi! Ribet tau!” bentak Mira.
’Tapi, dia mengancamku! Kamu sendiri juga yang bilang untuk jangan mengampuni musuh!’ sanggahku.
“Sebenarnya Aria itu pintar atau gimana sih?! Konteksnya beda o’on! Kalau musuhnya pakai gaib, jangan diberi ampun! Kalau musuhnya fisik, face to face, jangan dibunuh! Ribet sendiri nanti!”
“Kepalanya keparat itu aslinya ga perlu diinjak-injak tau! Tangannya patah itu sudah pasti bikin dia kapok, tau ga?! Aria bodoh!”
“....” Aku hanya bisa diam dan mengalihkan mataku darinya.
Dia benar. Setelah aku pikir-pikir, apa yang aku lakukan kemarin terlalu berlebihan. Setelah mereka tumbang, seharusnya aku menghentikan seranganku. Sepertinya aku masih kurang bijaksana.
“Terus, kalau minta uang itu yang ngotak dikit, dong! Yang Aria lakuin kemarin itu sama aja kayak ngerampok, tau ga?!”
“... Maaf.”
Mira menghela nafasnya sekali.
“Aria ga perlu takut dikeroyok besok. Kan ada aku. Kalau mereka mau ngeroyok, artinya berurusan sama aku.”
“... Terimakasih, Mir,” ucapku tanpa menatapnya.
*bonk*
“Aduh!” Aku sedikit meringis kesakitan saat Mira memukul pelan kepalaku dengan tongkat hitamnya.
“Pikirin kenapa aku marahin Aria. Aku mau Aria jadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.”
“Aku mau pergi dulu, ada urusan. Aria jangan aneh-aneh loh!” ujar Mira sebelum pergi meninggalkanku sendirian di dalam kamarku.
***
Esok harinya aku kembali pergi ke sekolah bersama Mira yang sudah kembali. Di depan gerbang sekolah, aku melihat ada beberapa guru yang sedang berjaga seperti biasa. Salah satunya adalah Pak Arief. Aku turun dari sepedaku dan mulai menuntunnya ke arah gerbang sekolah.
“Eh, Dimas. Gimana? Sudah enakan?” sapa Pak Arief sekaligus menanyaiku.
“Ya ... aslinya masih terasa nyeri sih, Pak,” jawabku sembari menunjuk luka di pelipis yang telah mengering.
“Oh ... yaudah. Yang hati-hati. Jangan buat masalah loh, ya?”
“Saya enggak akan mukul kalau enggak di pukul dulu kok, Pak.” Aku pun masuk ke dalam sekolah.
Saat aku sedang menuntun sepedaku, aku bisa melihat ada beberapa siswa yang menatapku. Aku juga bisa melihat beberapa anggota OSIS yang sedang mengecek kelengkapan seragam para siswa berbisik dan sesekali melihat serta menunjuk ke arahku. Selama perjalanan menuju kelas setelah aku memarkir sepedaku pun, aku bisa melihat para siswa yang menatapku. Saat mata kami bertemu, mereka langsung mengalihkan pandangan dan pergi dari tempatnya. Haaah, sepertinya sekarang aku ditakuti.
Aku pun masuk ke dalam kelas yang sudah cukup ramai dan mendengar-
“Woooo!!! Takiya Genji sudah kembali!! Buka jalan! Buka jalan!”
Ya. Aku mendengar suara salah satu sahabatku, Vano (samaran) menyambutku. Dia mendekatiku dan mempersilahkanku masuk seperti seorang bawahan menyambut bosnya.
“Selamat datang, bos geng!”
“Matamu bos geng,” ucapku dengan sedikit tersenyum.
“Kukira si Dimas anak baik-baik, Van. Ternyata bos geng!” kata salah satu sahabatku yang lain, Samuel(samaran), sembari tertawa.
“Gimana ceritanya, Dim. Sampai Haidar kau patahkan tulangnya?” tanya Samuel.
Aku menceritakan semuanya dari awal hingga akhir dengan kepada Vano, Samuel, dan beberapa orang lain yang sepertinya penasaran dengan cerita dariku.
“Kejem juga kau, Dim. Beneran mirip bos geng!” kata Vano.
“Tapi aku takut kalau nanti mereka mengeroyokku dengan lebih banyak orang,” ujarku.
“Santai saja brrrroooooo. Kubantu nanti kalau mereka main keroyokan,” jawab Samuel.
“Yoi, Dim. Kau tinggal bilang aja,” timpal Vano.
“Tengkyu bro.”
Aku bisa lebih tenang karena ucapan mereka, bagaimana tidak? Tubuh mereka lebih besar daripada diriku dan tentunya lebih berotot juga. Yang satu merupakan atlit tingkat provinsi, dan satunya pernah menjuarai kejuaraan Taekwondo meskipun juga masih tingkat provinsi.
Tak lama kemudian Sarah masuk ke dalam kelas. Tidak seperti biasanya dia datang lebih siang seperti kali ini.
“Woooo!!! Pacarnya bos geng datang!!” sambut Vano.
“Apaan sih! Aku enggak punya pacar!” sahut Sarah dengan wajah sedikit memerah.
“Dimas! Kamu sudah sehat?” tanya Sarah sembari mendekatiku.
“Bisa dibilang gitu,” jawabku.
“Ciee ciee, nyonya bos geng perhatian cieee,” goda Samuel yang dibalas dengan sebuah pukulan oleh Sarah.
Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuan mereka. Seandainya saja masa-masa ini tak pernah berakhir.
Hari demi hari berlalu, Haidar dan dua pelaku lainnya sudah kembali bersekolah setelah dirawat beberapa hari entah dimana. Mungkin di puskesmas, rumah sakit, ataupun tukang urut, aku tak tau. Dia dan kelompoknya sepertinya sama sekali tidak memiliki rencana untuk mengeroyokku. Sepertinya mereka takut. Bahkan, ketika tatapanku bertemu dengan tatapan Haidar atau kelompoknya, mereka langsung mengalihkan pandangannya dan sama sekali tidak mau menatapku. Aku masa bodoh sih dengan hal itu. Bukan urusanku juga.
Dan tahun keduaku di sekolah ini berakhir.
Diubah oleh dimasaria39 06-11-2021 19:57
hendra024 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
Tutup


