yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Belajar Ilmu Pengetahuan Itu Mesti Asyik, Dong!

WELCOME TO MY THREAD!


Kali ini, tidak seperti biasanya yang menuliskan sebuah kisah cerita yang berasal dari kejadian sebenarnya, saya datang dengan tulisan yang lebih ke opini, mengenai sedikit keresahan saya terhadap skema pendidikan di negeri ini. Sila di baca-baca ya, mana tau bisa jadi bahan diskusi buat gansis yang baca. Happy readingemoticon-Toast


Sejatinya, kalau kita melihat secara lebih dalam, kita bisa belajar banyak dari kesuksesan dunia hiburan, entah itu di tanah air maupun di luar negeri sana. Kita bisa belajar atau mengambil ilmu dari kemampuan dunia hiburan menanamkan mindset ke orang banyak bagaimana mereka dengan kata kunci ‘fun’, mereka bisa merajai semuanya.

Saat sekarang ini, mungkin juga dari jaman dulu sampai nanti puluhan tahun kedepan, akan selalu banyak orang menikmati segala sesuatu yang berkaitan dengan hiburan. Karena apa? Karena orang-orang butuh ‘fun’. Keriaan yang membuat hati dan pikiran menjadi segar adalah kunci sukses. Lalu saya berpikir, ‘kalau hiburan bisa membuat orang senang dengan kunci menyenangkan atau funtadi, mengapa belajar ilmu-ilmu pengetahuan tidak bisa dibuat seperti itu juga?’

Bahasan kemudian beralih kepada kemampuan akademik. Tidak ada orang yang terlahir bodoh, menurut hemat saya. Tidak ada orang yang terlahir tanpa kemampuan-kemampuan khusus. Semuanya bisa dipelajari. Semua dapat diamati, diamalkan, ditiru, dimodifikasi, atau diciptakan sesuai dengan keinginan. Sekarang bagaimana perjalanan manusia itu sendiri dalam melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.






Semua orang di seluruh dunia pasti memiliki minat-minat tertentu dalam menjalani kehidupannya. Tetapi untuk memancing minat ini keluar, apakah semua orang bisa memiliki kesempatan dan tahu bagaimana caranya? Saya rasa tidak. Tidak semua orang bisa menemukan minat yang kemudian dipadu dengan bakat alamnya, dan pada akhirnya berakhir pada kesuksesan hidup, bukan perkara materi, tapi kebahagiaan.

Minat seharusnya dapat digali Ketika manusia mempelajari segala sesuatu yang baru dari pengalaman hidupnya di dunia. Mulai dari bayi sampai akhirnya menjadi dewasa, setiap langkah dapat berarti pengalaman baru. Hanya saja, ada beragam cara yang mudah untuk menemukan minat ini. Sekolah, misalnya.




Sekolah umum biasanya menawarkan yang beragam subjek yang dapat dijalankan oleh setiap siswanya. Mulai dari eksakta murni, olahraga sampai ilmu-ilmu sosial dan Bahasa. Semua tersedia di sekolah. Biasanya juga calon peserta didik di sekolah akan dilibatkan pada semua subjek pelajaran yang disusun dalam sebuah kurikulum. Niatnya untuk mengembangkan minat, bakat serta kemampuan. Namun, seringkali kurikulum ini menjadi ajang untuk pintar-pintaran, alih-alih menjadi penemu bakat dan minat pada setiap individu.

Adanya sistem peringkat di sekolah, yang katanya bertujuan untuk menambah motivasi belajar para siswa, malah jadi ajang untuk unjuk kepintaran siswa dalam subjek tertentu. Keadaan ini diperparah dengan mindsetyang ditanamkan oleh orangtua di rumah maupun guru di sekolah, yakni kalau bisa dan sukses dalam ilmu-ilmu eksakta alias ilmu pasti, sudah barang tentu kamu akan dianggap pintar di sekolah. Sanjungan, pujian, dan tidak jarang juga jadi bahan perbanding anak lain untuk dipaksa berprestasi membuat keadaan peserta didik menjadi semakin jauh dari penggalian minat. Adanya bukan menemukan minat di bidang yang dia suka dan nantinya berharap menguasainya secara utuh, malah terpacu untuk mengejar ketertinggalan dalam subjek-subjek yang sebenarnya manfaatnya tidak selalu dirasakan di masa depan ketika terjun ke masyarakat kelak.




Hal ini menyebabkan munculnya anggapan kalau tidak pintar subjek eksakta, maka akan di anggap tidak pintar, kalau tidak mau disebut bodoh. Padahal, seorang anak yang tidak paham matematika belum tentu tidak berminat di bidang lain yang mungkin bisa lebih hebat dari seorang anak yang sangat jago matematika sampai bisa memenangi olimpiade sains sekalipun. Sebagai contoh mudahnya adalah Ketika para mekanik otodidak dari sebuah bengkel motor kecil dipinggiran jalan raya, mampu menyelesaikan permasalahan mesin motor yang mogok menjadi baik kembali, padahal secara teori matematika mereka belum tentu jago. Sedang dalam pembuatan sebuah kendaraan seperti sepeda motor ada hitung-hitungan matematika dan derivatnya, seperti fisika. Mereka-mereka yang tidak pintar matematika bisa menyelesaikan sesuatu yang dibuat dengan perhitungan matang, yang ilmunya berasal dari matematika. Hal ini karena para montir atau mekanik otodidak ini mampu menemukan minatnya dalam bidang modifikasi, perbaikan dan segala macam yang berhubungan dengan sepeda motor. Mereka ahli tanpa harus mendapat nilai bagus di matematika.

Subjek seperti matematika kemudian menjadi momok tersendiri dalam penemuan minat di hampir setiap peserta didik di sekolah. Itu karena mindset yang ditetapkan oleh orangtua dan guru yang walaupun tidak semua begitu, tetapi banyak yang menjebak anak-anak ini dalam anggapan ‘nggak bisa matematika, berarti lo nggak pintar’. Kemudian anak-anak seakan dipaksa supaya berprestasi mendapatkan nilai bagus, bukannya mendapatkan ilmu sesuai dengan minat. Pada akhirnya matematika hanya dianggap menyusahkan, padahal ilmunya sendiri penting sekali untuk dipelajari, minimal dasar-dasarnya.

Setelah gagal menggali minat peserta didik, apakah bisa sekolah mengakomodir kemampuan para peserta didiknya? Saya rasa, jika minat saja gagal digali, apalagi kemampuan. Semua hanya terkunci kepada urusan bagaimana mendapatkan nilai bagus, supaya bisa dapat anggapan positif dari orangtua dan guru serta teman-teman sebaya. Sekolah atau Lembaga akademik sejenis pada akhirnya tidak pernah menjadi pembuka jalan bagi mereka-mereka yang tidak memiliki minat dan kemampuan memadai di bidang eksakta.

Perkembangannya, sudah banyak sekolah di Indonesia saat ini yang sangat sadar akan hal ini. Pihak sekolah pada akhirnya mungkin sedikit banyak mengadopsi sistem pembelajaran yang ada di perguruan tinggi. Nilai tidak lagi jadi acuan untuk mendapatkan peringkat di kelas atau bahkan standar berprestasi seorang peserta didik. Banyak parameter yang bisa diperhitungkan, selain nilai. Acuan nilai agaknya sudah kurang relevan mengingat bagaimana kurikulum yang sudah berulang kali berubah ini tidak juga menciptakan solusi bagaimana agar para peserta didik bertindak jujur, tidak curang, atau dengan kata lain, tidak mencontek. Mencontek sendiri menurut saya muncul karena dipicu untuk memperoleh nilai, bukan memperoleh ilmu. Mencontek adalah fenomena yang selalu terjadi di dunia Pendidikan. Mencari ilmudan Mencari nilai dapat dibedakan dengan urusan mencontek ini kalau kata saya.

Mencontek menjadi semacam kewajiban bagi peserta didik yang kurang berminat dan mampu dalam satu subjek, tetapi dipaksa untuk mendapatkan standar nilai yang baik di subjek tersebut. Akhirnya, jalan pintas pun ditempuh. Hadirlah istilah mencontek ini seperti yang kita kenal saat ini. Coba kalau seandainya nilai diatas kertas bukan jadi tujuan utama, melainkan ilmu yang akan menaikkan derajat diri agar lebih bernilai di mata orang lain, pasti kehadiran mencontek tidak akan pernah terjadi.
   

Keadaan yang sudah toksik seperti itu, maka akan mustahil untuk menggali potensi dan mengembangkan kemampuan individu. Semuanya di rangsang untuk mendapatkan nilai-nilai baik diatas kertas, tapi menjadi abai dengan nilai-nilai aktual yang bisa mereka dapatkan dengan belajar di Lembaga Pendidikan, bahkan diluar. Belajar tidak melulu harus di sekolah. Kita bersenggolan dengan pengemudi motor di jalan saja dan kemudian terjadi cekcok bisa menjadi sebuah pelajaran yang bisa diambil sisi positif dan negatifnya. Tetapi Lembaga Pendidikan sepertinya malah menjadi sebuah Lembaga yang mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi pintar dan tolok ukurnya adalah nilai - nilai di atas kertas.

Sebelum kita beralih kepada penggalian kemampuan, seharusnya solusi permasalahan dalam pengantaran keilmuan di jenjang sekolah dasar dan menengah ditemukan dulu. Bagaimana kita bisa menggali kemampuan seseorang dan memolesnya menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain kalau metode yang dipakai untuk penggalian tersebut saja selalu tidak konsisten? Jangankan menggali kemampuan, menemukan minat saja tidak akan mampu. Indikatornya adalah, ya atraksi contek mencontek yang sudah lumrah terjadi Ketika ujian atau ulangan harian bahkan sampai karya ilmiah level perguruan tinggi saja ada yang plagiat.

Komunikasi sains sebagai solusi alternatif.


Banyak diantara masyarakat di Indonesia dewasa ini mengeluhkan sulitnya menerima ilmu atau Pendidikan yang ada di Lembaga Pendidikan itu sendiri. Terbukti dari menjamurnya alternatif belajar seperti bimbel baik offlinemaupun online sampai banyak orang-orang yang akhirnya menggratiskan ilmu mereka dan dibagikan di platform sosial media yang lebih familiar dikalangan peserta didik.





Hal ini tentunya menunjukkan sebuah titik gelap muramnya komunikasi yang diterapkan di Lembaga-lembaga Pendidikan negeri ini. Banyaknya kreator digital yang mengisi laman kontennya dengan berbagai keilmuan yang mereka punya menunjukkan ketidakmampuan Lembaga Pendidikan formal dalam mengakomodir minat dan kemampuan peserta didiknya.

Sekolah-sekolah atau kampus tinggal diam dengan fenomena seperti ini? Tentunya tidak. Mereka juga bergerak dan bergerilya serta mencoba apa yang dilakukan oleh mereka-mereka yang lebih dulu eksis. Tetapi kenyataannya adalah, nilai masih menjadi tolok ukur utama sebuah Lembaga Pendidikan formal menjadi batu sandungan yang paling besar. Padahal, minat dan kemampuan individu tidak bisa dinilai hanya dengan sebuah angka dengan parameter sempit saja.

Komunikasi menjadi kunci sukses transfer informasi. Semakin baik komunikasi, maka semakin lancar pula penyampaian informasinya. Ini berlaku untuk segala macam bidang, tidak hanya keilmuan saja. Tetapi saya hanya akan beropini tentang model komunikasi yang berkaitan erat dengan penyampaian ilmu pengetahuan, menurut versi saya sendiri.

Kita perlu berandai-andai dulu disini. Seandainya sekolah atau kampus memiliki guru atau dosen yang asyik, maka siswa atau mahasiswanya akan lebih mudah menangkap ilmu yang disampaikan bukan? Banyak sekali istilah, ‘kalo gurunya A, gue jadi lebih ngerti.’ Atau ‘kalo dosennya Pak B, gue malah jadi semangat, padahal aslinya gue nggak ngerti sama sekali’. Kalimat-kalimat bernada complimentseperti ini tentunya sering sekali terdengar bukan? Saya sendiri pun mengalaminya. Saya adalah orang yang sangat menyukai pelajaran-pelajaran bertemakan ilmu pengetahuan sosial. Tetapi karena nilai saya, iya nilai, dalam bidang sains saat SMA dulu cukup baik, maka keinginan saya untuk masuk jurusan IPS pupus. Sekolah saya sangat mengagung-agungkan IPA seolah tanpa IPA sekolah saya hanya sekolah medioker. Padahal pada kenyataannya, dalam sejarah sejak sekolah saya berdiri pada awal tahun 90’an, lebih banyak prestasi yang di ukir dalam bidang IPS dibanding IPA. Bahkan untuk kegiatan ekskulnya sendiri lebih banyak menyumbang piala di ruang piala daripada piala kejuaran-kejuaran bertema IPA.   
  

Saya tidak menyukai matematika dan fisika. Kimia dan biologi pun so, so. Tetapi saya dipaksa untuk selesai dengan hasil baik didalam subjek-subjek sains murni tersebut. Dalam hati saya menolak, karena bagi saya, ilmu sains yang terlalu dalam juga tidak akan dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Lebih terpakai ilmu sosial daripada ilmu sains menurut saya kala itu, dan sampai saat ini pun pola pikir saya tidak berubah. Tetapi semuanya akhirnya bisa saya lalui dengan cukup baik, tidak wah, tapi cukup baik saja, karena guru-guru yang mengajar saya di subjek-subjek tersebut ternyata memiliki metode penyampaian dan cara mengajar yang enak menurut saya. Otomatis, tumbuh minat dari dalam diri saya. Tetapi apa kemampuan saya terakomodir? Tentu saja tidak. Saya hanya berminat sedikit ke ilmu-ilmu sains tersebut, tetapi saya tidak pernah mengasah kemampuan saya di dunia Pendidikan formal.

Seperti banyak siswa lainnya, saya mengasah kemampuan saya di luar sekolah. Saya senang menyanyi, saya membentuk sebuah band dari teman-teman sekolah saya sendiri, kemudian berlatih diluar tanpa dukungan sekolah. Saya senang menulis, saya menyalurkan kemampuan ini dengan menulis di berbagai platformdigital pribadi, salah satunya Kaskus ini. Tidak ada hubungan dengan sekolah. Saya sekolah karena saya dituntut agar dapat nilai bagus, bisa diterima di perguruan tinggi negeri favorit, yang mana akhirnya juga saya bisa dapatkan, dan utamanya adalah membantu sekolah saya mendapatkan akreditasi atau nama baik sebagai sekolah bagus di kota saya dan menghasilkan peserta didik yang banyak masuk universitas negeri. Rasa-rasanya seperti itu saja. Saya kira banyak pula sekolah-sekolah lain yang seperti ini. Karena mungkin memang kurikulumnya seperti itu, ketika saya sekolah dulu. Nilai adalah segala-galanya.

Lembaga Pendidikan tidak banyak yang memiliki metode mengasyikkan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru-guru juga seperti terkekang oleh aturan-aturan dan cara mengajar yang harus sesuai SOP. Ada inovasi sedikit, kena tegur. Persaingan antara pengajar muda dan tua pun membuat keadaan lingkungan Pendidikan di sekolah atau  universitas menjadi tidak kondusif. Ketidakkompakan mereka dalam menyampaikan ilmu memperburuk proses belajar mengajar. Siapa yang terkena imbas? Tentulah peserta didik. Lumrah terjadi Ketika banyak pengajar yang berbeda sedikit pola mengajarnya, kemudian menjadi favorit peserta didik, pada akhirnya disingkirkan pelan-pelan oleh koleganya sendiri. Pengalaman tersebut saya dapati Ketika sekolah SMA dan Ketika saya menjadi seorang mahasiswa. Perpolitikan diantara guru-guru atau dosen-dosen perlahan merusak tatanan keilmuan itu sendiri.



Adanya kisruh tidak penting tersebut menyebabkan orang-orang baik dan keren secara komunikasi sains malah tersingkir dan eksistensi pengajar yang buruk dalam penyampaian keilmuannya terus ada. Pada akhirnya, ilmu-ilmu yang seharusnya jadi menyenangkan, malah tetap menjadi momok menakutkan bagi Sebagian peserta didik dengan bekal kemampuan yang berbeda-beda. Banyak solusi yang diciptakan pengajar untuk memudahkan peserta didiknya menyukai sampai akhirnya meminati satu subjek menakutkan, berujung pada menguapnya harapan tersebut karena terhalang sistem, SOP dan intrik internal diantara para pengajar sendiri.

Carut marut seperti ini yang membuat Pendidikan di negeri ini masih saja jalan ditempat dari jaman saya sekolah dan kuliah dulu, sampai sekarang. Belum lagi degradasi etika yang melanda peserta didik saat sekarang ini, makin menambah carut marut ini. Komunikasi yang tidak lancar membuat etika dan kesopanan yang menjadi tidak terjaga, suka-sukanya, semakin memperburuk citra Pendidikan di negeri ini. Seharusnya semuanya bisa diselesaikan dengan menggaungkan komunikasi sains yang lebih baik lagi. Kalau semua pihak yang terlibat, terutama sebagai penentu kebijakan, sadar akan hal ini.

Ilmu harus menyenangkan. Ilmu harus disampaikan dengan Bahasa-bahasa yang mudah dimengerti. Ambil batas bawah kemampuan natural individu peserta didik sehingga penyampaian keilmuan tersebut menjadi merata. Minat dan pada akhirnya asah kemampuan pun menjadi lancar. Finalnya, jangan selalu berpaku kepada nilai-nilai. Mulailah kita meninggalkan angka-angka sebagai acuan pintar tidaknya, atau mampu tidaknya individu dalam menjalani kehidupannya. Mulainya nilai dari minat dan kemampuannya. Jangan katakan bodoh kepada orang yang tidak pintar matematika tapi jago main bass, atau jangan katakan bodoh pada orang yang tak pandai menghafal sistem periodik dunia kimia tetapi sangat mahir bermain sepak bola. Semua punya minat dan kemampuan masing-masing. Tinggal bagaimana cara menyampaikan ilmu-ilmu yang tersedia untuk memunculkan minat dan mengasah kemampuan.

Sumber : Opini Pribadi

Kunjungi juga trit saya yang lain ya : 
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] Season 1
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] Season 2
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] Season 3
AMOR & DOLOR [TRUE STORY] - ONGOING


rakatanaka707
iskrim
totok.chantenk
totok.chantenk dan 21 lainnya memberi reputasi
22
4.5K
78
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Tampilkan semua post
jiyanqAvatar border
jiyanq
#2
Wah, menarik juga sisi lain seorang Ija. Kayaknya emang gak salah kalo ente jadi pengajar, kelihatan udah 'menguasai' bidangnya.
kotanunukank184
kotanunukank184 memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.