- Beranda
- Stories from the Heart
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
...
TS
the.darktales
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...
Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.
Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.
Selamat menikmati...
Quote:
Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.
KARAKTER
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4BAGIAN 10
Spoiler for Karakter:
REVIEW
Spoiler for Review:
Quote:
Original Posted By gumzcadas►Udah lama sekali ga ngerasain sensasi mencekam di cerita horror, terakhir ngerasa gak nyamana baca kisah dikaskus itu, yg cerita sekian tahun tinggal dirumah hantu. Dan skrg gw ngerasain sensasinya lagi. Sehat2 terus ts. Setelah sekian tahun jd silent reader, akhirnya komen lagi dforum ini.
Quote:
Original Posted By ibunovi►Cara penulisan menggambarkan seolah2 qt ada d tempat itu....degdegan ane ga...mantapssss😌😌😌
Quote:
Original Posted By sempakloreng►Epic banget ceritanya gann
Quote:
Original Posted By aan1984►Menurut saya ceritanya sudah sangat bagus gan, gaya penulisannya bagus ane suka meskioun kdg ada typo dikit... Tetep semangat ya gan lanjutin cerita ini, ane bakal kecewa klo cerita ini ga brs
Quote:
Original Posted By erickarif93x►Well this is the one of the best story i've ever read. Terima kasih untuk narasumber yang bersedia untuk menceritakan cerita ini.
INDEX
CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
CHAPTER DUA: PEMBEBASAN
CHAPTER TIGA: PERBURUAN
Spoiler for Side-Story:
CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]
CHAPTER 5: TULAH
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 115 suara
Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"?
Bikinin gan ane penasaran!
69%Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
31%Diubah oleh the.darktales 28-06-2022 08:07
r4zor dan 259 lainnya memberi reputasi
238
303K
Kutip
2.6K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.4KThread•41.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
the.darktales
#905
BAGIAN 25
Maksud hati ingin apdet dua bab sekaligus, tapi apa daya...kerja dari jam setengah tujuh pulang jam enam sore bikin keinginan itu jadi tidak memungkinkan. Tapi lega juga, setidaknya TS bisa nyelesain bagian 25 ini dengan baik.
Silakan dinikmati agan-agan...
Silakan dinikmati agan-agan...
Quote:
Amsal terjebak. Terkapar di tengah sebuah ruangan remang. Lampu yang redup, terus menerus berkedip, tergantung di sebuah tali yang menjuntai dari atap ruangan yang tertutup kegelapan. Lampu itu terus bergoyang-goyang. Ke kanan, ke kiri lalu ke kanan lagi. Tak ubahnya seperti sebuah pendulum.
Pun, udara terasa begitu pengap. Lembab. Membuat dada Amsal terasa sesak. Paru-parunya naik turun, bekerja begitu keras untuk mengais-ngais oksigen yang tipis mengambang di sekelilingnya. Tak ada pintu keluar, tak ada jendela. Hanya tembok kusam yang mengelupas dimakan zaman, berdiri membentuk persegi sama sisi dengan luas tak lebih dari empat kali empat meter.
Kemudian, Amsal teringat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya kemudian mengangkat tangan kanannya sendiri, yang kini hanya memiliki tiga ruas jari. Jari telunjuk dan jari tengahnya hilang disantap perempuan gila brengsek yang wajah dan senyumnya tak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidup.
Aku cacat! Oh tidak, aku cacat!! Bagi anak berumur 12 tahun, kesadaran akan kenyataan sepahit itu memiliki daya hantam yang luar biasa hebat. Tak terkecuali bagi Amsal yang langsung mendorong mundur tubuhnya dengan kedua kaki, sampai punggung penuh lemak itu tersandar di tembok belakang. Dia berteriak. Benar-benar berteriak sekuat yang ia bisa.
Mamaaaaaa!!
Ah, tidak jadi. Amsal baru sadar kalau dia tidak boleh memanggil seseorang yang tidak ia punya. Maka dia berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan merevisi teriakannya. Kali ini dua kali lipat lebih kencang daripada sebelumnya.
Ibu Sariiiii!! Mbak Rissaaaaaa!! Nueeeeeell!! Mariaaaaaa!!
Tapi sia-sia. Suara Amsal terjebak di dalam ruangan. Menggema, membentur tembok kemudian terpental dan berbalik ke telinganya sendiri. Tak akan ada yang mendengar. Tak akan ada pertolongan yang datang. Amsal makin merana. Sudah dua jarinya putus, kini dia terjebak di ruangan sempit asing nan mengerikan seorang diri.
Hingga kemudian dia menyadari kalau nasib sial belum berhenti sampai di situ. Kulit punggungnya merasakan suatu sensasi yang aneh. Tembok yang berdiri kokoh tepat di belakang, terasa sedikit bergeser dari tempatnya. Amsal kaget, spontan dia lepaskan punggungnya dari sandaran dan menoleh ke belakang.
Melihat apa yang ditemukannya di sana, mata Amsal melotot lebar-lebar seperti mata ikan koi. Tembok itu bergerak maju perlahan-lahan. Dan setelah Amsal melihat sekeliling, ternyata ketiga sisi yang lain juga ikut bergerak maju. Ruangan menjadi kian menyempit. Udara kian pengap terasa. Amsal dipaksa terus mundur hingga berada di tengah ruangan.
Kondisi Amsal kian mengenaskan. Matanya basah kuyup, menangis karena dia tak mau mati dengan cara seperti ini. Dia tak mau mati dalam keadaan tubuh gemuknya tergencet sampai darah, daging, lemak dan tulang di dalamnya berceceran keluar. Tapi tembok-tembok itu tak punya belas kasihan. Mereka terus bergerak maju tak terhentikan.
Toloooooongg!!Alih-alih pertolongan itu datang, Amsal malah menemukan sesuatu terjuntai dari atap ruangan yang gelap tak tersentuh cahaya redup lampu. Awalnya dia kira itu adalah tali tambang yang dijatuhkan helikopter penyelamat untuk menariknya naik ke atas. Tapi semakin dekat, Amsal sadar itu bukan tali tambang.
Itu adalah sepasang kaki kurus dengan ujung-ujung jari yang menghitam. Sepasang kaki itu hanya terlihat sampai separuh betis, karena di bagian atasnya tertutupi oleh kain daster panjang dengan warna putih kekuningan. Ruangan kian menyempit, dan juntaian kaki itu terhenti di udara. Ujung jarinya melayang beberapa senti dari permukaan lantai.
Seketika, Amsal melolong ketika menyadari siapa si pemilik kaki ketika aroma prengus kambing yang pernah mampir di hidung dan ingatannya itu seketika menyeruak di udara.
AMPUUUUUUUNNN!!
Lalu dia tersentak. Terbangun dan kembali ke kenyataan, dimana dia tertidur di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan kiri dan berlapis perban di tangan kanan. Dan Nuel serta Maria adalah dua orang pertama yang Amsal temukan bersamanya di dalam kamar ini. Dua orang sahabat senasib sepenanggungan, yang seketika bangkit dari sofa di samping ranjang dan menarik kepala Amsal ke pelukan.
Pun, udara terasa begitu pengap. Lembab. Membuat dada Amsal terasa sesak. Paru-parunya naik turun, bekerja begitu keras untuk mengais-ngais oksigen yang tipis mengambang di sekelilingnya. Tak ada pintu keluar, tak ada jendela. Hanya tembok kusam yang mengelupas dimakan zaman, berdiri membentuk persegi sama sisi dengan luas tak lebih dari empat kali empat meter.
Kemudian, Amsal teringat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya kemudian mengangkat tangan kanannya sendiri, yang kini hanya memiliki tiga ruas jari. Jari telunjuk dan jari tengahnya hilang disantap perempuan gila brengsek yang wajah dan senyumnya tak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidup.
Aku cacat! Oh tidak, aku cacat!! Bagi anak berumur 12 tahun, kesadaran akan kenyataan sepahit itu memiliki daya hantam yang luar biasa hebat. Tak terkecuali bagi Amsal yang langsung mendorong mundur tubuhnya dengan kedua kaki, sampai punggung penuh lemak itu tersandar di tembok belakang. Dia berteriak. Benar-benar berteriak sekuat yang ia bisa.
Mamaaaaaa!!
Ah, tidak jadi. Amsal baru sadar kalau dia tidak boleh memanggil seseorang yang tidak ia punya. Maka dia berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan merevisi teriakannya. Kali ini dua kali lipat lebih kencang daripada sebelumnya.
Ibu Sariiiii!! Mbak Rissaaaaaa!! Nueeeeeell!! Mariaaaaaa!!
Tapi sia-sia. Suara Amsal terjebak di dalam ruangan. Menggema, membentur tembok kemudian terpental dan berbalik ke telinganya sendiri. Tak akan ada yang mendengar. Tak akan ada pertolongan yang datang. Amsal makin merana. Sudah dua jarinya putus, kini dia terjebak di ruangan sempit asing nan mengerikan seorang diri.
Hingga kemudian dia menyadari kalau nasib sial belum berhenti sampai di situ. Kulit punggungnya merasakan suatu sensasi yang aneh. Tembok yang berdiri kokoh tepat di belakang, terasa sedikit bergeser dari tempatnya. Amsal kaget, spontan dia lepaskan punggungnya dari sandaran dan menoleh ke belakang.
Melihat apa yang ditemukannya di sana, mata Amsal melotot lebar-lebar seperti mata ikan koi. Tembok itu bergerak maju perlahan-lahan. Dan setelah Amsal melihat sekeliling, ternyata ketiga sisi yang lain juga ikut bergerak maju. Ruangan menjadi kian menyempit. Udara kian pengap terasa. Amsal dipaksa terus mundur hingga berada di tengah ruangan.
Kondisi Amsal kian mengenaskan. Matanya basah kuyup, menangis karena dia tak mau mati dengan cara seperti ini. Dia tak mau mati dalam keadaan tubuh gemuknya tergencet sampai darah, daging, lemak dan tulang di dalamnya berceceran keluar. Tapi tembok-tembok itu tak punya belas kasihan. Mereka terus bergerak maju tak terhentikan.
Toloooooongg!!Alih-alih pertolongan itu datang, Amsal malah menemukan sesuatu terjuntai dari atap ruangan yang gelap tak tersentuh cahaya redup lampu. Awalnya dia kira itu adalah tali tambang yang dijatuhkan helikopter penyelamat untuk menariknya naik ke atas. Tapi semakin dekat, Amsal sadar itu bukan tali tambang.
Itu adalah sepasang kaki kurus dengan ujung-ujung jari yang menghitam. Sepasang kaki itu hanya terlihat sampai separuh betis, karena di bagian atasnya tertutupi oleh kain daster panjang dengan warna putih kekuningan. Ruangan kian menyempit, dan juntaian kaki itu terhenti di udara. Ujung jarinya melayang beberapa senti dari permukaan lantai.
Seketika, Amsal melolong ketika menyadari siapa si pemilik kaki ketika aroma prengus kambing yang pernah mampir di hidung dan ingatannya itu seketika menyeruak di udara.
AMPUUUUUUUNNN!!
Lalu dia tersentak. Terbangun dan kembali ke kenyataan, dimana dia tertidur di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan kiri dan berlapis perban di tangan kanan. Dan Nuel serta Maria adalah dua orang pertama yang Amsal temukan bersamanya di dalam kamar ini. Dua orang sahabat senasib sepenanggungan, yang seketika bangkit dari sofa di samping ranjang dan menarik kepala Amsal ke pelukan.
Quote:
Setengah jam sebelum Amsal tersadar, Rissa duduk termangu di kursi ruang tunggu Rumah Sakit. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan nyaring suara penyiar berita gosip itu terdengar keluar dari kotak televisi yang ditaruh sedikit di atas agar bisa ditonton bersama-sama. Tapi Rissa tak peduli pada berita apapun yang dikabarkan di sana. Kepalanya sudah terasa sedemikian berat oleh pikiran-pikiran dari kejadian semalam, walaupun sesekali dia masih mengalihkan perhatiannya ke arah kamar di dekat situ. Dimana Amsal tertidur pulas dengan ditemani Nuel dan Maria.
Semalam benar-benar kacau, Rissa kembali termangu. Kepalanya tersandar di telapak tangan, sambil membiarkan ingatannya kembali berkelana ke belakang. Masih jernih dalam memori Rissa, bagaimana Amsal terkapar di atas genangan darahnya sendiri. Merintih kesakitan sebelum akhirnya jatuh pingsan. Masih jernih pula, anak-anak terbangun dan kemudian menjerit-jerit ketakutan. Mas Joyo si tukang kebun dan tiga teman lelakinya tergopoh-gopoh masuk ke dalam panti, kemudian ikut ternganga melihat apa yang telah terjadi. Karena sebelumnya, Panti Kasih Bunda adalah tempat yang nyaman, tenang dan menyejukkan. Tapi entah kenapa, sejak kedatangan Yuli, tempat itu perlahan-lahan berubah menjadi neraka.
Bagaimana mungkin, di Panti yang dipenuhi oleh kayu Salib itu bisa hidup seorang perempuan gila yang mengunyah jari milik anak yatim piatu berumur 12 tahun? Bibir Rissa sampai bergetar hebat menahan amarah. Firasatnya kembali menjadi kenyataan untuk kesekian kalinya. Hanya bedanya, kali ini yang terjadi jauh lebih parah dari yang Rissa duga. Kehadiran Yuli tak hanya membuatnya tidak nyaman atau membuat takut anak-anak. Tapi lebih dari itu, sosoknya telah merusah otak dan akal sehat Ibu Sari.
Ibu Sari sudah kehilangan logika dan kontrol atas dirinya sendiri! Itu yang Rissa sadari, ketika mereka berdua terlibat dalam sebuah perdebatan sengit semalam. Sebuah perdebatan yang pertama kali terjadi selama 17 tahun Rissa hidup bersama dan dirawat oleh sang pemilik panti tersebut. Sebuah perselisihan yang Rissa sadari, telah melampaui batas dan pasti akan membuat hubungan keduanya tak akan lagi sama untuk selamanya.
Yang selanjutnya terjadi setelah itu, Rissa tidak tahu. Ibu Sari juga tidak tampak menyusul ke Rumah Sakit walau sekarang sudah nyaris masuk siang hari. Jadi buat apa dia harus menuruti keinginan nenek-nenek tua itu? Kenapa dia harus takut untuk menelepon dokter Herlambang? Malah Rissa pikir, sekarang adalah saat yang tepat untuk meminta bantuan. Yuli akan segera dievakuasi dan dibawa pergi dari Panti. Jadi, ketika nanti Amsal sudah sembuh dan boleh pulang, keadaan di sana sudah kondusif dan terkendali.
Tanpa buang waktu lagi, Rissa bangkit dari duduknya dan berjalan mantab ke arah telepon umum di dekat meja resepsionis. Dengan wajah yang telah berubah cerah dan penuh harapan, dia pencet deretan nomor yang sudah dia hafal di luar kepala.
"Halo, Dokter? Saya Rissa. Semalam, ada masalah di Panti. Ini tentang Yuli..."
Semalam benar-benar kacau, Rissa kembali termangu. Kepalanya tersandar di telapak tangan, sambil membiarkan ingatannya kembali berkelana ke belakang. Masih jernih dalam memori Rissa, bagaimana Amsal terkapar di atas genangan darahnya sendiri. Merintih kesakitan sebelum akhirnya jatuh pingsan. Masih jernih pula, anak-anak terbangun dan kemudian menjerit-jerit ketakutan. Mas Joyo si tukang kebun dan tiga teman lelakinya tergopoh-gopoh masuk ke dalam panti, kemudian ikut ternganga melihat apa yang telah terjadi. Karena sebelumnya, Panti Kasih Bunda adalah tempat yang nyaman, tenang dan menyejukkan. Tapi entah kenapa, sejak kedatangan Yuli, tempat itu perlahan-lahan berubah menjadi neraka.
Bagaimana mungkin, di Panti yang dipenuhi oleh kayu Salib itu bisa hidup seorang perempuan gila yang mengunyah jari milik anak yatim piatu berumur 12 tahun? Bibir Rissa sampai bergetar hebat menahan amarah. Firasatnya kembali menjadi kenyataan untuk kesekian kalinya. Hanya bedanya, kali ini yang terjadi jauh lebih parah dari yang Rissa duga. Kehadiran Yuli tak hanya membuatnya tidak nyaman atau membuat takut anak-anak. Tapi lebih dari itu, sosoknya telah merusah otak dan akal sehat Ibu Sari.
Ibu Sari sudah kehilangan logika dan kontrol atas dirinya sendiri! Itu yang Rissa sadari, ketika mereka berdua terlibat dalam sebuah perdebatan sengit semalam. Sebuah perdebatan yang pertama kali terjadi selama 17 tahun Rissa hidup bersama dan dirawat oleh sang pemilik panti tersebut. Sebuah perselisihan yang Rissa sadari, telah melampaui batas dan pasti akan membuat hubungan keduanya tak akan lagi sama untuk selamanya.
Quote:
"Ibu saged ningali sendiri to, sakniki?? Mriki sanes tempat yang tepat buat DIA!!" (Ibu bisa melihat sendiri kan sekarang? Di sini bukan tempat yang tepat buat DIA!!)
Mereka berdua berhadapan di taman tengah Panti. Rissa berkata tajam sambil melayangkan jari telunjuknya ke arah kamar Yuli, dimana saat itu dia menjerit-jerit ketika Mas Joyo dan ketiga temannya mengikat kaki dan tangan serta menyumpal mulutnya dengan kain. Sebuah perintah yang Rissa berikan karena ternyata dengan hanya tangan diikat, Yuli terbukti malah semakin berbahaya.
Tapi Ibu Sari bergeming. Dia melipat kedua tangannya di dada sambil membuang pandangan ke arah samping. Sebuah gestur yang semakin membuat Rissa terjebak emosi. Seakan, sosok yang ada di hadapannya saat ini sama sekali tak lagi dikenalinya. Ibu Sari berubah menjadi begitu asing di mata Rissa.
"Bu, saya menghormati dan sayang sama Ibu sepenuh hati saya. Tapi tolong..." Kali ini Rissa melunak. Nada bicaranya sedikit lebih halus, seperti memohon. "...tolong dipikirkan keselamatan anak-anak. Hari ini Amsal, besok mau siapa lagi? Kita harus telepon Dokter Herlambang sekarang biar Yuli dibawa ke Rumah Sakit Jiwa!"
Bahkan, Rissa tak menunggu jawaban atau persetujuan Ibu Sari terlebih dulu. Dia langsung melenggang menuju ruang kerjanya di lantai dua untuk menghubungi Sang Dokter, tak peduli walau saat itu sudah nyaris tengah malam.
Tapi, tanpa disangka, lengan Rissa dicekal dengan keras tepat ketika tubuhnya melewati Ibu Sari. Membuatnya menoleh tak percaya, dan ketika dia melihat bagaimana Ibu Sari memandangnya, Rissa tak akan pernah lupa betapa sepasang mata itu begitu tajam menusuk ke arah Rissa.
Ibu Sari tidak pernah memandang Rissa, atau siapapun, dengan cara seperti itu! Tidak pernah!
"Jangan berani-berani kamu telepon Herlambang Riss!" Suara itu pelan, nyaris berbisik, tapi begitu tajam dan mengancam. "Kamu ndak tahu kenapa aku mempertahankan Yuli. Kamu ndak tahu seluruh masa laluku!"
Lidah Rissa dibuat kelu. Selama ini, Ibu Sari selalu tampak begitu anggun, keibuan dan penuh kasih sayang. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, dia melihat Ibu Sari seperti kemasukan setan. Dan itu membuat Rissa menjadi gentar dan tidak nyaman.
"Bawa Amsal ke rumah sakit pakai mobilku. Biaya pengobatan seluruhnya biar aku yang menanggung." Ibu Sari melepaskan cengkeramannya sebelum melanjutkan kalimat. "Yuli tidak bisa diobati secara medis. Aku akan panggil kenalanku, Romo Frans, biar dia diobati secara rohani."
Selesai sudah. Benar-benar selesai sudah. Ibu Sari sudah terlampau jauh, dan Rissa memutuskan untuk tidak mau lagi ikut campur di dalamnya. Bahkan Rissa tak mencegah atau berbuat apapun, ketika dia berlalu menuju kamar Yuli sambil memberi perintah yang baru kepada Mas Joyo dan teman-temannya.
"Joyo, ikatannya tolong dilepas saja! Biar saya yang urus dia!"
Yang Rissa lakukan hanyalah menuju mobil dengan segera dan tergesa, dimana di sana Amsal, Nuel dan Maria sudah menunggunya. Mesin kemudian dinyalakan, dan mobil melaju kencang keluar dari Panti Kasih Bunda.
Mereka berdua berhadapan di taman tengah Panti. Rissa berkata tajam sambil melayangkan jari telunjuknya ke arah kamar Yuli, dimana saat itu dia menjerit-jerit ketika Mas Joyo dan ketiga temannya mengikat kaki dan tangan serta menyumpal mulutnya dengan kain. Sebuah perintah yang Rissa berikan karena ternyata dengan hanya tangan diikat, Yuli terbukti malah semakin berbahaya.
Tapi Ibu Sari bergeming. Dia melipat kedua tangannya di dada sambil membuang pandangan ke arah samping. Sebuah gestur yang semakin membuat Rissa terjebak emosi. Seakan, sosok yang ada di hadapannya saat ini sama sekali tak lagi dikenalinya. Ibu Sari berubah menjadi begitu asing di mata Rissa.
"Bu, saya menghormati dan sayang sama Ibu sepenuh hati saya. Tapi tolong..." Kali ini Rissa melunak. Nada bicaranya sedikit lebih halus, seperti memohon. "...tolong dipikirkan keselamatan anak-anak. Hari ini Amsal, besok mau siapa lagi? Kita harus telepon Dokter Herlambang sekarang biar Yuli dibawa ke Rumah Sakit Jiwa!"
Bahkan, Rissa tak menunggu jawaban atau persetujuan Ibu Sari terlebih dulu. Dia langsung melenggang menuju ruang kerjanya di lantai dua untuk menghubungi Sang Dokter, tak peduli walau saat itu sudah nyaris tengah malam.
Tapi, tanpa disangka, lengan Rissa dicekal dengan keras tepat ketika tubuhnya melewati Ibu Sari. Membuatnya menoleh tak percaya, dan ketika dia melihat bagaimana Ibu Sari memandangnya, Rissa tak akan pernah lupa betapa sepasang mata itu begitu tajam menusuk ke arah Rissa.
Ibu Sari tidak pernah memandang Rissa, atau siapapun, dengan cara seperti itu! Tidak pernah!
"Jangan berani-berani kamu telepon Herlambang Riss!" Suara itu pelan, nyaris berbisik, tapi begitu tajam dan mengancam. "Kamu ndak tahu kenapa aku mempertahankan Yuli. Kamu ndak tahu seluruh masa laluku!"
Lidah Rissa dibuat kelu. Selama ini, Ibu Sari selalu tampak begitu anggun, keibuan dan penuh kasih sayang. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, dia melihat Ibu Sari seperti kemasukan setan. Dan itu membuat Rissa menjadi gentar dan tidak nyaman.
"Bawa Amsal ke rumah sakit pakai mobilku. Biaya pengobatan seluruhnya biar aku yang menanggung." Ibu Sari melepaskan cengkeramannya sebelum melanjutkan kalimat. "Yuli tidak bisa diobati secara medis. Aku akan panggil kenalanku, Romo Frans, biar dia diobati secara rohani."
Selesai sudah. Benar-benar selesai sudah. Ibu Sari sudah terlampau jauh, dan Rissa memutuskan untuk tidak mau lagi ikut campur di dalamnya. Bahkan Rissa tak mencegah atau berbuat apapun, ketika dia berlalu menuju kamar Yuli sambil memberi perintah yang baru kepada Mas Joyo dan teman-temannya.
"Joyo, ikatannya tolong dilepas saja! Biar saya yang urus dia!"
Yang Rissa lakukan hanyalah menuju mobil dengan segera dan tergesa, dimana di sana Amsal, Nuel dan Maria sudah menunggunya. Mesin kemudian dinyalakan, dan mobil melaju kencang keluar dari Panti Kasih Bunda.
Yang selanjutnya terjadi setelah itu, Rissa tidak tahu. Ibu Sari juga tidak tampak menyusul ke Rumah Sakit walau sekarang sudah nyaris masuk siang hari. Jadi buat apa dia harus menuruti keinginan nenek-nenek tua itu? Kenapa dia harus takut untuk menelepon dokter Herlambang? Malah Rissa pikir, sekarang adalah saat yang tepat untuk meminta bantuan. Yuli akan segera dievakuasi dan dibawa pergi dari Panti. Jadi, ketika nanti Amsal sudah sembuh dan boleh pulang, keadaan di sana sudah kondusif dan terkendali.
Tanpa buang waktu lagi, Rissa bangkit dari duduknya dan berjalan mantab ke arah telepon umum di dekat meja resepsionis. Dengan wajah yang telah berubah cerah dan penuh harapan, dia pencet deretan nomor yang sudah dia hafal di luar kepala.
"Halo, Dokter? Saya Rissa. Semalam, ada masalah di Panti. Ini tentang Yuli..."
Quote:
Wajah Dokter Herlambang berubah resah dan tegang setelah meletakkan kembali telepon di ruangan kerjanya. Sejak awal dia memang sudah merasa bahwa Panti Sosial itu bukan tempat yang tepat untuk penderita kejiwaan dengan trauma akut seperti Yuli. Bahkan dia sempat menyarankan secara pribadi kepada Ibu Sari agar memindahkan Yuli ke Rumah Sakit Jiwa tempatnya praktek agar mendapatkan pengawasan dan penanganan langsung oleh dokter profesional.
Tapi Ibu Sari menolak. Dia berkata bahwa Panti ini adalah tempat yang paling tepat, dan dia merasa mampu sekaligus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga Yuli.
Dan kini masalah itu datang juga. Rissa, baru saja menelepon dari sebuah Rumah Sakit, mengabari bahwa semalam terjadi sebuah kekacauan berdarah di Panti Sosial Kasih Bunda. Dua jari Amsal digigit Yuli sampai putus, seusai si gendut itu menyusup secara sembunyi-sembunyi ke kamar Yuli entah untuk tujuan apa.
Rissa, masih dengan nada memelas dan bahkan nyaris menangis, juga meminta bantuan Dokter Herlambang untuk menjemput dan membawa Yuli keluar dari Panti. Sebuah permintaan yang berat, mengingat secara kode etik dan peraturan, seorang pasien tidak boleh dibawa paksa ke rumah sakit apalagi jika tanpa seijin orang tua atau wali. Dan dalam kasus ini, Ibu Sari adalah wali dari Yuli.
Aku harus menemukan cara. Gumam Dokter Herlambang pada dirinya sendiri. Karena di dalam lubuk hati yang paling dalam, dia setuju sepenuhnya pada keinginan Rissa. Apalagi setelah kondisi jadi separah ini, Yuli memang harus segera dibawa pergi dari Panti dan diamankan di Rumah Sakit Jiwa. Bahkan di sinipun, Dokter Herlambang akan langsung merekomendasikan perempuan itu untuk ditempatkan di kamar isolasi.
"Ada masalah, Dok?"
Hingga tiba-tiba, suara tebal dan berat dari seberang mejanya membuyarkan lamunan Dokter Herlambang. Suara yang berasal dari seorang pria dewasa yang masuk ke ruangannya lima belas menit sebelum telepon dari Rissa datang, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari sebuah yayasan besar di Jakarta.
"Oh, tidak apa-apa. Jadi tadi kita sampai mana ya, Pak?"
Walaupun pria ini sudah memberikan kartu nama dan mampu menjelaskan maksud dan tujuan dengan terperinci dan meyakinkan, Dokter Herlambang masih belum bisa sepenuhnya percaya. Entah karena bentuh wajahnya yang keras, dengan garis pipi tegas dan jambang yang memenuhi wajah. Membuat pria ini lebih mirip seperti preman daripada duta sebuah Yayasan Sosial.
Atau karena kebiasaan aneh yang sebenarnya cukup mengganggu Dokter Herlambang; Pria ini, sejak pertama kali membuka pintu dan duduk di hadapannya, terlihat tak pernah berhenti menarik nafasnya sendiri melalui hidung dengan cepat dan singkat. Seperti dia sedang mengendus sesuatu. Matanya juga terlalu sering menoleh ke arah sekeliling, walaupun kemudian dia meminta maaf dan beralasan bahwa dirinya dibuat terlalu kagum dengan kerapian ruangan Dokter Herlambang.
Pria ini benar-benar aneh. Dia seperti anjing pelacak, yang sedang mencari sesuatu dengan mengikuti jejak bau.
"Jadi seperti yang sudah saya jelaskan tadi, Yayasan kami mengajukan proposal untuk melakukan pendataan kepada penderita kejiwaan di Jawa Tengah. Beberapa Dokter dan Psikolog ternama sudah ikut dengan program ini seperti yang bisa Dokter baca di proposal kami. Harapan saya, Dokter Herlambang juga bersedia untuk setidaknya mempertimbangkan kerjasama ini, agar kami dapat dengan mudah memiliki databasepasien-pasien yang sedang Dokter tangani saat ini."
Dokter Herlambang tidak langsung menjawab. Fokusnya terbelah; antara Yuli, Panti, Ibu Sari dan tawaran dari pria aneh asal Jakarta yang terus mengendus-endus ini. Dia tak dapat berkonsentrasi, tapi di saat yang sama dia harus dituntut untuk membuat keputusan untuk dua hal yang berbeda.
Lalu kemudian, sebuah ide yang Dokter Herlambang anggap sebagai keputusan paling adil dan menguntungkan, muncul begitu saja di kepalanya. Sebuah ide yang membuat senyum di bibirnya merekah dan wajahnya berubah cerah.
"Begini Pak, saya langsung jujur saja. Saya sebenarnya masih belum bisa yakin dengan proposal yang Bapak bawa ke saya ini. Tapi saat ini, salah seorang pasien saya sedang mengalami masalah pelik. Dia dirawat di sebuah Panti Sosial di Kota Sebelah dan sekarang harus dijemput dan dibawa kesini karena sesuatu yang sifatnya darurat." Dokter Herlambang menatap Pria itu tajam sekali. "Bapak bisa ikut saya kesana, sekaligus membuktikan bahwa Bapak memang benar-benar datang dari Yayasan yang sudah lama concern di bidang psikologi dan kejiwaan seperti yang Bapak ceritakan panjang lebar kepada saya, dan bukan sekadar marketing liar atau pencari dana abal-abal. Bagaimana?"
Tepat setelah Dokter Herlambang mengajukan tawaran itu, Si Pria tiba-tiba berhenti mengendus. Dia balas menatap Dokter Herlambang, dan tersenyum penuh arti. "Kalau proposal dan nama besar Yayasan tidak cukup untuk meyakinkan Dokter, saya akan dengan senang hati ikut kesana. Kapan kita akan berangkat?"
"Nanti sore, Pak..." Sudut mata Dokter Herlambang sekilas mengintip ke arah kartu nama berwarna hitam yang tergeletak di atas meja, untuk mengingat kembali siapa nama Pria ini. "...Theo. Nanti sore kita kesana!"
Tapi Ibu Sari menolak. Dia berkata bahwa Panti ini adalah tempat yang paling tepat, dan dia merasa mampu sekaligus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga Yuli.
Dan kini masalah itu datang juga. Rissa, baru saja menelepon dari sebuah Rumah Sakit, mengabari bahwa semalam terjadi sebuah kekacauan berdarah di Panti Sosial Kasih Bunda. Dua jari Amsal digigit Yuli sampai putus, seusai si gendut itu menyusup secara sembunyi-sembunyi ke kamar Yuli entah untuk tujuan apa.
Rissa, masih dengan nada memelas dan bahkan nyaris menangis, juga meminta bantuan Dokter Herlambang untuk menjemput dan membawa Yuli keluar dari Panti. Sebuah permintaan yang berat, mengingat secara kode etik dan peraturan, seorang pasien tidak boleh dibawa paksa ke rumah sakit apalagi jika tanpa seijin orang tua atau wali. Dan dalam kasus ini, Ibu Sari adalah wali dari Yuli.
Aku harus menemukan cara. Gumam Dokter Herlambang pada dirinya sendiri. Karena di dalam lubuk hati yang paling dalam, dia setuju sepenuhnya pada keinginan Rissa. Apalagi setelah kondisi jadi separah ini, Yuli memang harus segera dibawa pergi dari Panti dan diamankan di Rumah Sakit Jiwa. Bahkan di sinipun, Dokter Herlambang akan langsung merekomendasikan perempuan itu untuk ditempatkan di kamar isolasi.
"Ada masalah, Dok?"
Hingga tiba-tiba, suara tebal dan berat dari seberang mejanya membuyarkan lamunan Dokter Herlambang. Suara yang berasal dari seorang pria dewasa yang masuk ke ruangannya lima belas menit sebelum telepon dari Rissa datang, dan memperkenalkan diri sebagai utusan dari sebuah yayasan besar di Jakarta.
"Oh, tidak apa-apa. Jadi tadi kita sampai mana ya, Pak?"
Walaupun pria ini sudah memberikan kartu nama dan mampu menjelaskan maksud dan tujuan dengan terperinci dan meyakinkan, Dokter Herlambang masih belum bisa sepenuhnya percaya. Entah karena bentuh wajahnya yang keras, dengan garis pipi tegas dan jambang yang memenuhi wajah. Membuat pria ini lebih mirip seperti preman daripada duta sebuah Yayasan Sosial.
Atau karena kebiasaan aneh yang sebenarnya cukup mengganggu Dokter Herlambang; Pria ini, sejak pertama kali membuka pintu dan duduk di hadapannya, terlihat tak pernah berhenti menarik nafasnya sendiri melalui hidung dengan cepat dan singkat. Seperti dia sedang mengendus sesuatu. Matanya juga terlalu sering menoleh ke arah sekeliling, walaupun kemudian dia meminta maaf dan beralasan bahwa dirinya dibuat terlalu kagum dengan kerapian ruangan Dokter Herlambang.
Pria ini benar-benar aneh. Dia seperti anjing pelacak, yang sedang mencari sesuatu dengan mengikuti jejak bau.
"Jadi seperti yang sudah saya jelaskan tadi, Yayasan kami mengajukan proposal untuk melakukan pendataan kepada penderita kejiwaan di Jawa Tengah. Beberapa Dokter dan Psikolog ternama sudah ikut dengan program ini seperti yang bisa Dokter baca di proposal kami. Harapan saya, Dokter Herlambang juga bersedia untuk setidaknya mempertimbangkan kerjasama ini, agar kami dapat dengan mudah memiliki databasepasien-pasien yang sedang Dokter tangani saat ini."
Dokter Herlambang tidak langsung menjawab. Fokusnya terbelah; antara Yuli, Panti, Ibu Sari dan tawaran dari pria aneh asal Jakarta yang terus mengendus-endus ini. Dia tak dapat berkonsentrasi, tapi di saat yang sama dia harus dituntut untuk membuat keputusan untuk dua hal yang berbeda.
Lalu kemudian, sebuah ide yang Dokter Herlambang anggap sebagai keputusan paling adil dan menguntungkan, muncul begitu saja di kepalanya. Sebuah ide yang membuat senyum di bibirnya merekah dan wajahnya berubah cerah.
"Begini Pak, saya langsung jujur saja. Saya sebenarnya masih belum bisa yakin dengan proposal yang Bapak bawa ke saya ini. Tapi saat ini, salah seorang pasien saya sedang mengalami masalah pelik. Dia dirawat di sebuah Panti Sosial di Kota Sebelah dan sekarang harus dijemput dan dibawa kesini karena sesuatu yang sifatnya darurat." Dokter Herlambang menatap Pria itu tajam sekali. "Bapak bisa ikut saya kesana, sekaligus membuktikan bahwa Bapak memang benar-benar datang dari Yayasan yang sudah lama concern di bidang psikologi dan kejiwaan seperti yang Bapak ceritakan panjang lebar kepada saya, dan bukan sekadar marketing liar atau pencari dana abal-abal. Bagaimana?"
Tepat setelah Dokter Herlambang mengajukan tawaran itu, Si Pria tiba-tiba berhenti mengendus. Dia balas menatap Dokter Herlambang, dan tersenyum penuh arti. "Kalau proposal dan nama besar Yayasan tidak cukup untuk meyakinkan Dokter, saya akan dengan senang hati ikut kesana. Kapan kita akan berangkat?"
"Nanti sore, Pak..." Sudut mata Dokter Herlambang sekilas mengintip ke arah kartu nama berwarna hitam yang tergeletak di atas meja, untuk mengingat kembali siapa nama Pria ini. "...Theo. Nanti sore kita kesana!"
Diubah oleh the.darktales 03-10-2021 14:12
jondero dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Kutip
Balas
Tutup