aniedatannishaAvatar border
TS
aniedatannisha
PEMBANTU RASA ISTRI
JANDA SUKSES DARI BOJONG KENCES


Suasana kampung Bojong Kences mendadak ramai dan heboh, hal itu dipicu dengan tersiarnya kabar bahwa salah satu warganya yang telah sukses bekerja di kota akan datang. Tampak Somad dan sang istri sudah duduk manis di teras, menanti putrinya yang akan datang sebentar lagi.

Sudah lima tahun anak sulung dari pasangan suami istri paruh baya itu mengadu nasibnya di kota sebagai seorang pembantu rumah tangga. Dia adalah Rohaeti, janda Bojong Kences yang sukses. Perceraian yang terjadi enam tahun lalu membuatnya nekat untuk berangkat ke kota metropolitan. Dan hari ini, Rohaeti kembali untuk menengok kedua orang tua dan juga untuk melepaskan rasa rindu kepada adik-adik serta sanak saudaranya di tanah kelahirannya.

Tidak heran, semua orang rela meninggalkan segala aktifitas serta pekerjaannya untuk sementara waktu, demi dapat bertemu dengan sosok yang digadang-gadang telah meraih kesuksesan tersebut. Mereka tahu sejarah perjuangan Rohaeti seperti apa, rumahnya saja yang semula hanya sebuah gubuk, kini telah berubah menjadi rumah permanen yang kokoh, walaupun tidak mewah, tapi sangat layak dan bersih.

Diantara kerumunan warga kampung yang berdesak-desakan, tampak seorang gadis berpakaian lusuh dan dekil, dengan susah payah ia menggerakan kakinya menuju barisan paling depan. Setelah berjuang selama setengah jam lamanya, akhirnya gadis berusia tiga belas tahun tersebut berhasil menjadi yang terdepan.

Tak peduli peluh membanjiri tubuh, wajah anak gadis berusia tanggung itu berseri karena ia sebentar lagi bisa melihat dari dekat sosok orang sukses yang sedang dinanti oleh seluruh masyarakat kampung Bojong Kences.

"Minggir ... Minggir! Mobil yang ditumpangi Neng Roroh mau lewat," teriak seorang pria gemuk berseragam hansip.

"Tin ... Tin!" suara klakson mobil Avanza hitam memecah kerumunan warga yang saling berebut ingin melihat sang idola kampungnya lewat.

Kaca mobil perlahan dibuka oleh wanita yang berdandan heboh, ia menebarkan pesona kepada seluruh warga yang berkumpul di depan tempat tinggalnya.

Tangan kanannya melambai-lambai keluar, memamerkan sederetan gelang keroncong yang berbunyi saat digerakkan.

"Neng Roroh, eduuuuunnn keren pisan!"

"Gustiiii, itu si Roroh kenapa jadi kaya artis gitu ya? Cantik, bening dan hebat euy!"

Suasana menjadi riuh. Tepuk tangan pun terdengar meriah membuat keadaan menjadi semakin panas. Begitu pula dengan anak kumel tadi. Ia tak henti berteriak memanngil Rohaeti. Namun apa daya, tubuhnya yang mungil dan kurus itu semakin lama semakin tersingkir. Orang-orang dewasa di sekelilingnya berdesakan ingin maju ke depan.

Rohaeti yang berbalut dress sepaha motif macan tutul bak artis dangdut itu, turun dari mobil yang ditumpanginya. Senyum mengembang memamerkan deretan gigi yang berselimut kawat pembatas warna-warni bertegangan tinggi. Bibirnya yang tebal dipoles gincu berwarna merah cabe-cabean, terlihat seperti vampire yang habis minum darah.

Sambil terus tersenyum menggoda, janda montok itu membuka kaca mata hitam berbentuk segi lima. Kelopak matanya menyilaukan karena dibubuhi blao, eh ... Eyeshadow biru maksudnya, hehe, dengan tambahan bulu mata anti tsunami yang melambai manjah membuat tampilan matanya semakin wah dan glamour.

Tidak sampai disitu, kedua pipinya yang disapu blush on merah keunguan nampak seperti pencuri ayam yang babak belur habis dihajar warga. Bukan Rohaeti namanya jika tidak PD. Kepercayaan diri yang tinggi, membuat wanita itu masih betah menjadi janda. Ia tak segan menyapa dengan gayanya yang genit, bak artis ibu kota.

Setelah puas beramah tamah, ia pun berjalan melenggak-lenggok bak pragawati menghampiri kedua orang tuanya. Dengan sopan, ia mencium tangan pria dan wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya.

"Emak, Abah, bagaimana kabarnya?" tanya Rohaeti menatap kearah ayah dan ibunya.

"Alhamdulillah Roroh, Emak jeung Abah sehat, kamu sendiri bagaimana?" jawab sang ibu sambil memeluk putri sulungnya.

"Alhamdulillah, Mak, Bah, seperti yang kalian lihat. Roroh sehat wal'afiat."

"Syukurlah, Roh. Abah bahagia melihat kamu sekarang."

"Semua berkat doa Emak dan Abah."

Ketiganya mengulas senyum bahagia, lalu sang ayah pun berpamitan untuk masuk kepada seluruh warga kampung yang masih berkumpul di halaman rumahnya.

"Bentar, Bah! Roroh mau bicara sebentar sama warga."

Rohaeti pun kembali menyapa para warga yang masih dengan setia stay tuned berdiri demi dapat melihatnya lebih lama, walau terik matahari menyengat tidak mereka pedulikan. Dengan sengaja ia menggeliat nakal, tiga kalung emas yang dipakainya mengayun ke kiri dan kanan mengikuti liukan tubuhnya.

"Assalamualaikum para warga tercintah, Roroh ucapin banyak terimaksih atas penyambutannya yang sangat meriah ini. Roroh sangat terharu dan bangga atas apa yang telah kalian lakukan ini, tapi beribu maaf Roroh ucapin ya para warga semuah, sekarang Roroh mau pamit istirahat karena habis perjalanan jauh."

"Huuuuu ...." Warga kecewa.

"Tenang, para warga semuah. Roroh dua minggu berada di kampung ini, ingsa Alloh nanti Roroh akan adain OPEN HOUSE alias jumpa penggemar dengan kalian semua, nanti akan ada orgen tunggal dan makan-makan, pokoknya mah keren pisan."

Wajah warga Bojong Kences seketika berubah bahagia. Mereka bersorak kegirangan, tepuk tangan pun kembali memeriahkan suasana.

"Ya udah atuh yah, Rorohnya mau istirahat dulu. Sok kalian pulang aja yah, yang mau ke sawah sok ke sawah, yang mau lanjut ke kebun sok dilanjut deui, dan emak-emak yang mau ke pasar dan mau masak sok mangga."

Tanpa dikomando, para warga pun bubar, mereka kembali melanjutkan rutinitasnya. Kebanyakan diantara mereka membicarakan sejarah masa lalu Rohaeti saat diselingkuhi oleh suaminya, Ajat.

Ajat berselingkuh dengan seorang janda beranak satu bernama Tinah, yang ditinggal mati oleh suaminya akibat penyakit panu menahun yang dideritanya. Pria yang sehari-hari berjualan sayur di pasar itu nekat bunuh diri dengan menenggak kopi yang telah dicampur dengan racun tikus.

Hal itu dilakukannya lantaran putus asa karena penyakit panunya tersebut tidak kunjung sembuh, sang istri pun menjadi acuh tak acuh terhadapnya, melalaikan segala kewajibannya.

Namun menurut desas-desus yang beredar, Ujang, suami Tinah itu meninggal bukan karena bunuh diri. Melainkan diracun oleh istrinya sendiri, lantaran wanita bertubuh montok itu sudah ingin terbebas dari kekangan sang suami yang dianggapnya sudah tidak beguna lagi.

Cerita mana yang benar, entahlah! Hanya Allah dan Tinah yang tahu.

"Meni keren pisan ya sekarang si Roroh," puji Parman, teman masa kecil Rohaeti.

"Bukan keren lagi, Man! Tapi eduuuunn, udah kaya artis ya penampilannya. Emasnya aja banyak, kamu lihat nggak tadi kalungnya meni ada tiga, dari yang terpendek sampai yang terpanjang," timpal agus, tidak mau kalah memuji.

"Iya Gus, Man, badannya saja sekarang ngisi, montok eplok cendol," tambah Oded sembari meliuk-liukan kedua tangannya, menggambarkan body Rohaeti yang aduhai.

"Si Ajat kalau tadi ada dan lihat mantan istrinya sukses begitu, pasti nyesel da dulu pernah selingkuh sama si Tinah yang bawelnya minta ampun, galak dan mata duitan, ih amit-amit aing mah da punya istri kaya gitu, haha!" seloroh Maman, diikuti oleh suara gelak tawa dari ketiga temannya.

Keempat pria berusia tiga puluhan itu merupakan tetangga sekaligus masa kecil Rohaeti, mereka adalah para PEJABAT (pengangguran Jawa Barat) yang pintar dalam hal memproduksi anak, tanpa memikirkan biaya hidup serta biaya pendidikannya. Untuk biaya hidup dan makan sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orang tua juga mertuanya masing-masing.

Maka tidak heran, saat melihat kawannya sukses mengadu nasib di kota, mereka pun berkeinginan agar para istrinya mau mengambil jalan seperti Rohaeti, mereka tidak keberatan jika nantinya harus menjadi seorang "Bapak Rumah Tangga".

Tidak hanya mereka berempat yang berkeinginan bernasib sama dengan Rohaeti, seorang anak gadis berusia tanggung yang tadi ikut berdesak-desakan bersama para warga lainnya pun memiliki keinginan yang kuat untuk mengadu nasibnya di kota.

Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.

"Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?" tanya sang Ibu.

"Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik," kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.

Ya, semenjak dirinya menjadi "pengangguran" akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.

"Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae."

"Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu."

"Tapi, Mae...."

"Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya."

Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya. Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.

"Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu."

"Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae."

Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya.

"Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?"

Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.

"Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat."

"Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta."

"Amiin," ucap ketiganya bersamaan.










bonita71
enjihalala25
Araka
Araka dan 62 lainnya memberi reputasi
59
33.7K
162
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Tampilkan semua post
mr..drAvatar border
mr..dr
#79
kasihan sekali para kaskuser disini dibikin kentang sama penulis profesional
menyedihkan sekali melihat kalian memohon pada TS supaya dilanjut,
kalian pikir nulis cerita itu gak perlu biaya?
emoticon-Blue Guy Bata (L) emoticon-Blue Guy Bata (L) emoticon-Blue Guy Bata (L)











untung ane cuma baca bab 1 aja
emoticon-Ngakak emoticon-Ngakak
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.