aldirizaAvatar border
TS
aldiriza
Antara Rasa dann Logika ( Final Chapter ) [ TRUE STORY ]
Quote:
.









Quote:


Part 1


Hai pagi. Apa kabar denganmu? Bagaimana dengan bulir embun yang menggenang di atas daun lalu jatuh perlahan dari sudutnya? Apakah sudah menyentuh membuat sedikit tanah menjadi kecoklatan lebih tua dari sisi lainnya? Ah, tentu saja begitu. Apakah kau tahu bahwa ada perempuan yang kini setia menunggumu, pagi? Harusnya kau tahu. Perempuanku saat ini sangat menyukaimu.

Semilir angin masuk melalui sela-sela jendela yang sedikit menganga. Udara yang segar menyeruak keseluruh sudut kamar. Kamar kami. Gue kerjip kan mata. sinar matahari pagi yang menelusup melewati tirai yang sudah tidak menutupi jendela sebagian membuat silau. Tentu saja, dia pasti yang melakukan ini. Ah, gue lupa kalo tadi sehabis shalat subuh, malah terlelap lagi.

Gue melirik ponsel di atas nakas. Menyambarnya. Menyipitkan mata lalu menatapnya. Pukul 06.15. masih ada satu jam lebih untuk bermalas-malasan. Tapi suara remaja tanggung itu membuat mata enggan untuk menutup lagi. Gue sibakan selimut. Duduk. lalu berjalan keluar dan berdiri di bawah bingkai pintu.

"Ini bekal nya udah teteh masukin di tas. Jangan lupa dimakan kalo istirahat. Terus, inget, jangan kebanyakan jajan. Ditabung uangnya, ya?" Ujar perempuan yang kini menjadi teman hidup gue ke ramaja tanggung itu. Membereskan tasnya. Lalu memberikannya.

Remaja tanggung itu menyandang tasnya lalu melempar senyum lebar, "siap bos," seraya menggerakan tangannya layaknya hormat kepada komandan. Seragam putih birunya terlihat sedikit kebesaran. Membuatnya agak lucu. Tapi tak apalah.

"Yaudah gih, nanti telat" balasnya tersenyum. Membelai kepalanya lembut.

"Assalamu'alaikum" lalu meraih tangan perempuan itu untuk menyaliminya.

Remaja tanggung itu lekas berjalan. Melirik gue. Dan mengurungkan langkahnya menuju pintu depan. Lalu berjalan menghampiri gue.

"A, aku berangkat dulu"

Gue tersenyum lalu mengangguk. Telapak tangannya yang lebih kecil dari gue kini menggenggam tangan gue, lalu diarahkannya punggung tangan gue ke keningnya. Beberapa detik. Ia lepaskan kembali. "assalamu'alaikum". Lalu berjalan keluar.

"Wa'alaikumsalam. Hati hati dijalan"

Ah, mungkin sekolah adalah hal menyenangkan untuknya sekarang. Hal baru dia dapatkan. Teman baru. Terutama ilmu. Suatu saat nanti ia akan menjadi orang hebat. Sehebat perempuan yang berada di samping gue saat ini.

Teringat waktu itu. Beberapa bulan yang lalu. Gue dan istri mendapati remaja tanggung itu duduk di tepi pelataran masjid tempat dia berteduh. Duduk memeluk lututnya. Membenamkan wajah diantara lututnya. Sepertinya hari itu adalah hari ke-tidak beruntungannya. Langit malam pekat. Tersaput awan. Tidak seperti biasanya. Bintang tidak menunjukan jati dirinya. Bahkan formasinyapun entah kemana.

Remaja tanggung itu terisak. Terisak dalam.

Istri gue menepuk pundaknya. Remaja tanggung itu Mengangkat wajahnya pelan. Sangat pelan. Matanya basah. Bibirnya bergetar. Nafasnya tercekat. Ia duduk di sampingnya. Membelai wajahnya lalu memeluknya. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. "Ibu meninggal teh". Ucapnya bergetar. Hampir tidak terdengar. Istri gue menatap kosong ke arah depan. Tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca. Lalu memeluk remaja tanggung itu semakin erat. Sejak itulah, istri gue membawanya ke rumah ini. Menjadi bagian dari keluarga kecil kami. Memberi warna baru setiap hari. Tawa nya. Candanya. Ocehannya. Ah, itu semua sudah bagian dari kami. Gue tahu, istri gue sangat menyayangi remaja tanggung yang tubuhnya tak sesuai dengan usianha kebanyakan. Ia terlalu kecil. Ringkih. Dengan kulit kecoklatan.

Istri gue sudah menyiapkan kopi hitam di atas meja makan lengkap dengan sebungkus rokok.

Dia tentu tahu betul kebiasaan gue. Kopi, rokok, itu sudah menjadi bagian dari pagi. Bagian dari cahaya matahari yang sedikit memberi warna kuning pucat di kaki cakrawala.

"Kamu kok gak bangunin aku sih?"

"Udah, tapi dasar kamunya aja yang kebo, malah tidur lagi!" Cibirnya.

"Yee, enggak ya, tadi subuhkan udah bangun" balas gue.

"Tetep aja, udah gitu ngebo lagi." Cibirnya lagi.

Ups, itulah kelemahan gue. Selepas subuh, malah ketiduran. Atau lebih tepatnya sengaja terlelap lagi.

Gue hanya tersenyum lebar. Menggaruk tengkuk yang gak gatal.

Senyum nya yang hangat mengalahkan hangatnya matahari yang baru muncul ke permukaan

***

Jam 07.15. waktunya menemui setumpuk kerjaan di kantor. Menemui hiruk pikuknya dunia demi sesuap nasi.
Jam 07.50. gue sudah berada di lobi. Pak Yanto, Office boy di kantor gue menyapa dengan senyuman dan anggukan. Gue membalasnya. Berjalan Melewati koridor yang tiap sisinya adalah ruangan staff dan pegawai lainnya.

Gue sampai di meja. Menyimpan tas. Mengeluarkan flashdisk. Menancapkannya pada lubang USB di PC. Ah, tentu saja pekerjaan kemarin telah menunggu.




Lanjut ke part 2 gan-sisemoticon-Cendol Gan
Diubah oleh aldiriza 14-11-2020 23:53
buahsabar
workshop486
ilesha
ilesha dan 54 lainnya memberi reputasi
49
74.6K
719
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Tampilkan semua post
aldirizaAvatar border
TS
aldiriza
#235
Part 44


Hari semakin gelap. Gue baru aja selesai mandi. Duduk di ruang tengah sambil mainin ponsel. Gue buka chat dengan Moci yang udah berada di deretan bawah. Foto profilnya udah dia ganti ternyata.

"Lo cocok banget sama Bastian, Ci."

Iya, di foto profil itu, Moci lagi sama Bastian. Selfie bareng ke arah kamera. Couple yang menawan. Cantik dan tampan.

Gue tersenyum tipis.

Bisa-bisanya Moci bikin cowok seganteng Bastian pusing tujuh keliling. Dan gue gak ngerti, dari mana Bastian tahu soal itu.

Gue terdiam, teringat percakapan kami tadi sore di cafe.

"Ini soal Aurel."

Gue mengerutkan dahi, "Soal Aurel?"

Bastian mengangguk.

"Iya, soal Aurel."

"Lo lagi ada masalah sama dia?" Tanya gue penasaran sambil gak enak hati.

"Lo tau kita mau married?"

Gue mengalihkan bola mata.

"Tau, sih, dia yang bilang sendiri. Terus masalahnya di mana? Harusnya lo seneng, dong?" Jawab gue.

"Harusnya, sih, gitu. Tapi kemaren siang gue berantem sama dia."

"Berantem? Kok bisa?" Sambar gue.

"Gue tau kalo hati dia bukan untuk gue."

Wajah gue serasa di tampar secara gak langsung. Gue menelan ludah.

"Ma-maksud lo?"

"Gue tau dia pernah ke rumah lo beberapa waktu lalu. Gue buntutin dia. Akhirnya gue desak dia supaya cerita. Ada apa sebenernya antata lo dan Aurel. Dia ceritain semuanya sama gue, Le. Gue udah tau semuanya. Tapi santai aja, gue di sini bukan untuk menghakimi."

Gue gagap menyeruput kopi.

"Gue sama kayak, lo. Laki-laki biasa yang gak bisa memaksakan hati satu perempuan."

Bastian lalu terdiam sejenak. Mungkin dia sedang menyusun kata-katanya.

"Kalo gue tau dari awal soal ini, mungkin semuanya gak akan kayak gini, Le. Gue bener-bener sayang sama dia. Gue udah berusaha agar dia gak nyalahin dirinya sendiri soal keadaan ini." Lanjut Bastian kemudian.

"Gue gak ngerti, maksud ..."

"Aurel mutusin gue, Le."

Dada gue serasa di hujam parang berpuluh-puluh kali. Apa ini semua gara-gara gue? Astaga, gue udah jadi perusak hubungan orang sekarang. Bahkan merusak rencana mereka yang akan menikah. Apa yang harus gue lakuin?

Gue membenarkan duduk. Mematikan rokok di atas astray.

"Gue belum bilang soal ini sama keluarga. Gue harap, Aurel bisa merubah pikirannya. Ini bukan soal perasaan aja, Le. Tapi nama baik keluarga."

"Gue ngerti, Bas. Gue bakal ngomong sama dia. Lo tenang aja. Gue bakal lakuin semampu gue." Gue mantap. Meskipun gak tahu nanti hasilnya akan seperti apa.

Mungkin besok, atau lusa, gue akan ke tempat kerja Moci. Akan membicarakan persoalan yang menyangkut gue di dalamnya. Gue harap semua akan selesai. Meskipun hasilnya akan lebih buruk dari apa yang gue pikirin, tapi gue akan berusaha semaksimal mungkin agar Moci membatalkan keputusannya untuk tidak menikah dengan Bastian.

Kenapa, sih, masalah kayak gini harus menimpa gue?

Gue menyandarkan punggung di sofa. Menatap layar ponsel yang masih menampilkan foto Moci dengan Bastian.

"Lo gila apa, Ci, mau ngebatalin pernikahan cuma gara-gara gue!" Maki gue.

***

Gue turun dari mobil. Mengantar Yoshi sampai teras rumahnya.

"Eh, lo jangan dulu balik. Gue kenalin sama sodara jauh gue. Gue baru tau kalo dia ada di Bandung."

"Aduh, ngapain, sih, ntar-ntar aja lah. Gue ada urusan." Dalih gue. Tapi emang gue ada urusan, sih.

"Bentaran doang, napa. Gak akan ngabisin waktu berjam-jam, kok."

Gue menghela napas. Yaudahlah, mending ngalah dari pada cewek satu ini ngoceh terus.

"Iya-iya. Bawel!"

"Nah, gitu, dong. Jarang-jarang loh gue ngenalin cowok sama sodara gue." Yoshi sumeringah sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

Gue memutar bola mata, ikut melangkah.

"Lo duduk dulu, biar gue bikinin kopi item."

"Nah gitu dong, pengertian." Jawab gue sekenanya.

Gue yang gak tenang, sedari tadi melirik jam tangan. Bukan apa-apa, takutnya Moci udah balik.

Gak lama kemudian, Yoshi datang dengan secangkir kopi hitam yang mengepul dan mengeluarkan aroma khasnya. Sedap banget.

"Wihh wanginya, aduhai. Pasti kopi sasetan."

"Enak aja, ini gue ngeracik sendiri, ya, mon maaf!" Sewot Yoshi.

Tok Tok Tok

Suara pintu diketuk membuat perselisihan kami terhenti.

"Nah, ini pasti sodara gue. Bentar gue ke depan dulu."

Gue mengangguk. Yoshi segera berjalan menuju pintu depan.

"Hai! Gila udah lama banget gak ketemu! Kok lo makin cantik aja, sih!"

"Lo lagi yang makin cantik. Gue mah gini-gini aja."

Samar terdengar suara Yoshi dan ... kayaknya lawan biacara Yoshi gue gak asing sama suaranya.

Langkah mereka berdua beradu, mendekat ke arah gue.

"Aldi, nih, kenalin sodara gue."

Gue menoleh.

Betapa terkejutnya gue ketika melihat sosok cewek yang sedang di rangkul oleh Yoshi.

"Rel, kenalin ini temen gue, Aldi."

Moci?

Ada apa sebenarnya dengan semua ini?
Diubah oleh aldiriza 14-04-2021 20:03
khodzimzz
kaduruk
delet3
delet3 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.