indrag057
TS
indrag057
WULAN [Dendam Kesumat Dari Masa Silam]
Spoiler for :




WULAN
[Dendam Kesumat Dari Masa Silam]

(TAMAT)







Part 1:
Wulan Si Gadis Bengal



Spoiler for Intro:



Gadis kecil itu berjalan berjingkat jingkat sambil bersenandung pelan. Rambut kepang duanya bergoyang goyang, mengikuti irama langkah kakinya. Begitu juga dengan tas selempang yang tergantung di pundaknya. Wajahnya terlihat sangat ceria, meski sengatan sinar matahari musim kemarau membakar kulitnya. Keringat membanjir di sekujur tubuhnya, membasahi seragam putih merah yang dikenakannya.

"Maaakkk!!! Wulan pulaaaannnggg ...!!!" seru gadis itu saat memasuki pintu sebuah pondok kayu sederhana di tengah ladang singkong itu.

"Wulan! Kebiasaan kamu ya! Pulang sekolah bukannya mengucap salam malah teriak teriak begitu," terdengar seruan sang ibu dari arah dapur.

"Hehe, lupa Mak!" gadis itu tertawa, melemparkan tas sekolahnya ke atas kursi, lalu menyambar sepotong tempe goreng yang terhidang di atas meja dan mengunyahnya dengan rakus. "Lapar Mak!"

"Wulan! Bukannya ganti baju dulu,..." Romlah, emak dari si gadis kecil itu muncul dari arah dapur. "Dan kenapa bajumu lecek begitu? Kamu berantem lagi di sekolah?"

"Enggak Mak," jawab Wulan seenaknya, sambil duduk di kursi dan melepas sepatunya.

"Jangan bohong sama Emak!" seru Romlah lagi sambil meletakkan sepanci sayur yang dibawanya diatas meja.

"Iya iya," lagi lagi gadis itu menjawab sekenanya. "Tapi bukan Wulan yang bikin masalah Mak. Mereka duluan yang menganggu Wulan."

"Wulan, kamu ini anak perempuan lho nduk," Romlah menatap sang anak sambil menggeleng gelengkan kepalanya. "Mbok ya jangan suka berkelahi gitu. Ini sudah yang kelima kalinya lho, kamu berantem di sekolah."

"Mereka duluan yang mulai Mak," gadis kecil itu masih tetap membela diri. "Masa Wulan diam saja kalau mereka berani mendorong dan menjambak rambut Wulan."

"Ada saja alasan kamu!" Romlah ikut duduk disamping anak gadisnya itu. "Pokoknya emak nggak suka kalau kamu suka berantem gitu. Sudah empat kali lho, bapakmu dipanggil ke sekolah gara gara kamu. Apa kamu ndak kasihan? Kali ini sama siapa lagi kamu berantem?"

"Tomy Mak," sahut anak itu sambil melepas baju seragamnya dan menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek sebatas lutut.

"Tomy anaknya Pak Darsa?" Romlah mengernyitkan keningnya.

"Iya kali," sahut anak itu singkat. Seolah tak memperdulikan kecemasan sang emak, gadis kecil itu justru segera bangkit dan meraih piring, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang telah terhidang di atas meja.

Piring berukuran besar itu nyaris tak muat menampung semua makanan yang diambil oleh si gadis kecil itu. Sambil duduk dan mengangkat sebelah kakinya keatas kursi, gadis kecil itu makan dengan lahapnya.

"Wulan! Yang sopan kalau makan!" lagi lagi Romlah menghardik anak semata wayangnya itu.

"Hehe, iya. Maaf Mak," gadis itu terkekeh dan segera menurunkan kakinya.

Lagi lagi Romlah hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkah anak semata wayangnya itu.

****

"Wulaaannn...!!! Main yuk!" sebuah suara yang sangat familiar terdengar dari luar pondok. Wulan segera menjejalkan suapan terakhir kedalam mulutnya, meletakkan piring yang kini telah kosong, lalu mengelap tangannya dengan ujung kaos yang dipakainya.

"Mak! Wulan main ya," lagi lagi gadis kecil itu berteriak kepada emaknya yang masih sibuk di dapur.

"Wulan! Mau ..., Astaghfirullahhaladziiiimmmm...!" Romlah kembali hanya bisa geleng geleng kepala saat menyadari bayangan sang anak telah lenyap entah kemana.

"Jangan jauh jauh mainnya! Dan jangan bermain di dekat kali!" entah teriakan Romlah kali ini masih didengar atau tidak oleh Wulan, karena gadis kecil itu kini telah berada diluar pondok.

"Lan, main yuk," seorang anak laki laki berbadan gempal telah duduk di bangku kayu yang ada di teras pondok itu.

"Main kemana? Masih panas gini, males aku!" gadis itu ikut duduk disebelah si anak laki laki.

"Kerumahku saja. Aku punya mainan baru, baru dibelikan sama emakku kemarin," kata Lintang, si anak laki laki bertubuh gempal itu.

"Males ah, emakmu galak! Aku ndak suka main kerumahmu. Mending kita main ke kali Salahan saja. Panas panas gini kan enak mandi di kali sambil nyari ikan," kata gadis cilik itu.

"Eh, tapi kan emakmu tadi bilang ...."

"Alaaahhh, ndak usah di dengerin. Toh emak juga ga bakalan tau kalau kita main di kali. Berangkat yuk, keburu sore," gadis kecil itu melompat turun dari bangku bambu yang didudukinya, lalu dengan riangnya ia berjalan berjingkat jingkat meninggalkan Lintang. Lintang hanya geleng geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu. Wulan memang anak yang lincah. Lihat saja cara berjalannya, berjingkat jingkat begitu, setengah berlari setengah melompat lompat.

"Pelan pelan dong jalannya," seru Lintang sambil mengikuti langkah Wulan. Gadis itupun menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan menatap ke arah Lintang dengan mata melebar galak.

"Hey, kamu ngapain? Kamu ndak boleh ikut! Aku ndak mau main sama kamu! Kamu jorok! Badanmu bau! Wajahmu jelek! Dan kamu telanjang gitu! Jijik aku melihatmu!" suara Wulan yang meninggi itu sukses membuat Lintang juga menghentikan langkahnya.

"Eh, kenapa ...."

"Bukan kamu Lintaanngg, tapi dia!" Wulan menunjuk kearah belakang Lintang, lalu mengambil sebongkah batu berukuran sekepalan tangan yang tergeletak di pinggir jalan. "Pergi nggak? Kulempar pakai batu nih kalau nggak mau pergi!"

Ah, pasti anak itu melihat sesuatu yang aneh lagi, batin Lintang sambil mengusap tengkuknya yang tiba tiba merinding. Bukan sekali dua kali Wulan bertingkah aneh begitu. Kalau bukan Lintang, pasti sudah berpikir kalau gadis kecil itu tak waras. Tapi Lintang sudah paham. Sahabatnya yang satu ini memang bukan anak yang biasa biasa saja. Dia istimewa.

"Yuk, kita jalan lagi. Anak aneh itu sudah pergi," Wulan membuang batu yang dipegangnya, lalu kembali melangkah dengan cara berjalannya yang unik.

Lagi lagi Lintang hanya bisa geleng geleng kepala sambil mengikuti langkah gadis kecil itu, menyusuri jalanan berbatu yang berdebu itu menuju ke arah utara.

Tak lama, keduanya sudah asyik bermain main di kali kecil itu, tanpa memperdulikan orang orang yang memperhatikan mereka. Kalau bukan Wulan, pasti orang orang itu sudah mengusir jauh jauh siapapun yang berani datang ke kali itu di siang hari bolong. Bukan karena tak suka, tapi justru karena mereka peduli. Kali kecil itu sudah sangat terkenal dengan keangkerannya. Ada waktu waktu tertentu yang dianggap pamali untuk datang ke kali itu. Salah satunya disaat tepat tengah hari seperti sekarang ini. Namun orang orang itu tahu siapa Wulan. Jadi mereka mengacuhkannya begitu saja saat Wulan asyik bermain di kali kecil yang terkenal angker itu. Wulan lebih angker daripada dedhemit penghuni kali itu, begitu sering orang orang berseloroh.

Sedang asyik asyiknya kedua anak itu bermain di kali, datang segerombolan anak laki laki yang sepertinya ingin bermain bola di areal sawah yang mengering di pinggir kali itu. Melihat Wulan yang bermain di kali, muncul sifat usil dari anak anak itu.

"Eh, lihat, ada si nenek sihir sama kacungnya lagi berendam di kali," celetuk salah seorang dari anak itu. Anak anak lainnya menyambut celetukan itu dengan tawa berderai, membuat telinga Wulan panas seketika.

"Hei, siapa yang kau sebut nenek sihir?!" gadis kecil itu bertolak pinggang.

Huuuuu ...!!! Takuuuuuttttt ...!!! Ada yang marah nih sepertinya!" seru anak itu lagi, membuat telinga Wulan semakin panas.

"Sialan!" Wulan meradang. Dengan cepat gadis itu melompat naik keatas tanggul sungai, lalu menghampiri gerombolan anak laki laki itu. "Coba kaubilang sekali lagi, siapa yang nenek sihir dan siapa yang jadi kacung?!"

"Wulan! Tunggu!" Lintang dengan susah payah mencoba melerai pertengkaran itu.

"Wah, si kacung membela tuannya nih."

"Kacung katamu?!" Wulan semakin meradang. "Nggak pernah ngaca kamu ya? Siapa yang pantas disebut kacung? Nggak sadar kalau kamu sendiri lebih mirip kacung. Sudah wajah item kayak pantat kuali. Pasti pantatmu lebih item lagi, lebih item daripada pantat wajan gosong!"

"Eh, nenek sihir! Berani kamu ...!"

"Plak!!!" ucapan anak laki itu terhenti saat dengan tiba tiba tangan Wulan terayun menampar wajahnya.

"Berani kau menamparku?!" bentak anak itu, sambil mengusap usap pipinya pipinya yang memerah.

"Kenapa enggak? Jangankan menamparmu, menghajarmu sampai babak belurpun aku berani!" sentak Wulan, sambil tetap berkacak pinggang.

"Brengsek!!!" anak laki laki itu meradang. Tangannya terjulur, mencoba meraih rambut ekor kuda milik Wulan. Namun ia kalah gesit. Tangan Wulan segera menyambar dan memelintir tangan anak itu, membuat anak itu menjerit kesakitan.

"Aawwww ...!!!"

"Mau aku patahin tanganmu hah?!"

"Wulaaannn ...!!!"

"Hei hei, ada apa ini? Kenapa pada berkelahi hah?" sebuah sepeda motor yang kebetulan melintas berhenti di dekat mereka. Pengendaranya turun dan segera melerai yang sedang berkelahi.

Wulan melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan anak itu, lalu mendorong tubuh si anak laki laki itu sampai jatuh tersungkur.

"Dia yang mulai Pak!" dengus Wulan sambil menunjuk wajah anak itu.

"Sudah sudah! Bubar! Nggak malu kalian berantem sama anak perempuan?!" bentak bapak bapak itu. Gerombolan anak laki laki itu segera bubar. Sedang Wulan masih menatap mereka dengan pandangan garang.

"Pengecut!" desis Wulan, masih sambil bertolak pinggang.

"Sudah Lan, kita pulang saja yuk," ajak Lintang. "Terima kasih ya Pak, sudah dipisahin. Kalau enggak ...."

"Iya. Lain kali jangan diulangi lagi ya. Nggak baik berantem gitu, apalagi sama teman sendiri," ujar laki laki itu. "Oh ya, kamu Wulan kan? Anaknya Pak Joko yang tinggal diatas tanjakan sana?"

"Darimana bapak tahu?" tanya Wulan heran.

"Hahaha, siapa yang tak mengenal cucunya mbah Kendhil yang tersohor itu. Sebentar, aku punya sesuatu buat kalian," laki laki itu mengambil bungkusan kantong plastik yang tergantung di stang motornya.

"Ini untuk kalian." laki laki itu menyodorkan bungkusan plastik di tangannya, yang segera disambut oleh Lintang.

"Apa ini Pak?" Lintang buru buru menerima bungkusan itu dan mengintip isinya. "Wah, ayam panggang! Terima kasih banyak ya Pak."

"Iya. Ya sudah, kalian pulang saja sana. Nanti disini malah berantem lagi sama mereka," ujar laki laki itu sambil menyalakan mesin motornya.

"Kenapa kau ambil makanan itu? Kita kan tidak kenal sama orang itu?!" tegur Wulan saat mereka berjalan pulang.

"Rejeki nggak boleh ditolak Lan. Kapan lagi bisa makan ayam panggang secara cuma cuma," jawab Lintang.

"Huuuuu ...! Dasar gembul! Kalau lihat makanan enak, matanya langsung ijo!" sungut Wulan, yang disambut dengan tawa terkekeh oleh Lintang.

*****
Diubah oleh indrag057 30-03-2022 11:16
azhuramasdariri49suryaassyauqie3
suryaassyauqie3 dan 193 lainnya memberi reputasi
190
98.3K
2.4K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Tampilkan semua post
jiyanq
jiyanq
#3
@indrag057Mantaaaap. Semangat! emoticon-Toast
schlafe
schlafe memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.