NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Kematian Multikulturalisme Pancasila dari Tanah Minang
Spoiler for SMKN 2 Padang:


Spoiler for Video:


Elianu Hia, seorang wali murid SMKN 2 Padang, Sumatera Barat tiba-tiba dipanggil pihak sekolah lantaran anaknya tidak mengenakan jilbab. Saat pertemuan dengan pihak sekolah, Elianu beradu argumen soal peraturan penggunaan jilbab di sekolah. Menurutnya aturan itu tak pantas dilekatkan pada anaknya yang bernama Jeni Cahyani lantaran mereka bukanlah muslim.

Kasus ini menjadi viral ketika Elianu mengunggah surat pernyataan yang dibuatnya terkait kasus itu. Dalam surat pernyataan, yang juga ditandatangani oleh orang tuanya, Jeni menegaskan bahwa ia tidak bersedia memakai kerudung seperti yang digariskan oleh peraturan sekolah.

Elianu pun turut membagikan video berisi rekaman pertemuan dengan pihak SMKN 2 Padang. Video itu mendapat perhatian publik karena ada dugaan pemaksaan berpakaian muslim kepada siswi nonmuslim. Bahkan Elianu telah berkoordinasi dengan pengacaranya untuk menyurati Komnas HAM dan Mendikbud.

Peristiwa yang viral serta reaksi yang keras terhadap pihak sekolah menyebabkan Dinas Pendidikan Sumbar menurunkan tim investigasi ke SMKN 2 Padang. Kepala Dinas Pendidikan Sumbar, Adib Alfikri mengatakan, jika nanti tim menemukan penyimpangan yang tak sesuai dengan aturan, maka pihaknya akan memproses pihak sekolah.

Adib juga menambahkan bahwa Dinas Pendidikan Sumbar akan memeriksa SMA/SMK seluruh Ranah Minang untuk melihat ada atau tidak aturan lain yang serupa. Jika ditemukan ada sekolah menerapkan hal yang sama maka pihaknya akan meminta penyelenggara sekolah untuk merevisi aturan yang dimaksud.

Usut punya usut aturan tersebut sebenarnya adalah aturan lama. Aturan yang telah berlaku sejak zaman Wali Kota Padang Fauzi Bahar tahun 2005. Namun baru kali ini saja diprotes. Selanjutnya, Dinas Pendidikan Sumbar akan mengevaluasi aturan tersebut.

Sumber : Kompas[Kontroversi Aturan Jilbab untuk Siswi Non-Muslim SMKN 2 Padang, Berujung Laporan ke Mendikbud hingga Menuai Kritik DPR]

Akibat kasus yang viral, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi akhirnya menyampaikan permintaan maaf.

"Dalam menangani dan memfasilitasi keinginan dari ananda Jeni Cahyani kelas X untuk berseragam sekolah yang disebutkan dalam surat pernyataan, saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran serta Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling dalam penetapan aturan dan tata cara berpakaian siswi," kata Rusmadi pada 22 Januari 2021 lalu.

Sumber : CNN Indonesia [Siswi Disuruh Berjilbab, Kepala SMKN 2 Padang Minta Maaf]

Indonesia adalah negara Multikultur. Tapi anda salah jika tulisan ini bermaksud mendukung permintaan maaf dari pihak sekolah SMKN 2 Padang. Penulis bahkan merasa aneh dengan permintaan maaf itu. Bukankah pihak sekolah hanya menegakkan aturan yang berlaku di sana?

Kemungkinan jawabannya adalah tekanan dari pihak yang mengagung-agungkan multikulturalisme namun gagal paham definisi dari multikulturalisme itu sendiri.

When in rome, do as the romans do,” adalah sebuah ungkapan yang mengharuskan seseorang untuk mengikuti kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Dengan kata lain, tiap norma, adat, peraturan yang berlaku di suatu tempat seharusnya ditaati oleh mereka yang datang ke tempat itu.

Mari kita rubah posisinya. Andaikan Elianu Hia dan anaknya memutuskan untuk tinggal dan menjalani hidup di wilayah Badui Dalam yang menolak listrik, melarang pengambilan foto, serta melarang penggunaan sabun maupun detergen. Lantas apakah ia, seorang pendatang bisa memprotes dan bersikeras memasang listrik sendiri di wilayah Badui? Apakah ia boleh mengambil foto, menggunakan sabun, maupun detergen? Bolehkah ia melanggar pantangan tersebut berdasarkan nilai yang ia anut di tempat tinggal sebelumnya atas nama kebebasan dan liberalisme?

Hal yang kemungkinan besar bakal terjadi, posisi Elianu Hia akan terbalik. Ia akan mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, sebab telah melanggar aturan yang berlaku di sana. Namun hal itu ternyata tak berlaku bagi SMKN 2 Padang. Aturan yang telah mereka terapkan selama kurang lebih 15 tahun akan dihapuskan, sesuai dengan kacamata Jakarta.

Bukankah aturan yang berbeda dengan daerah lain merupakan buah hasil kearifan lokal yang dianut masyarakat di daerah tersebut? Tapi tekanan terhadap pihak sekolah menunjukkan kacamata Jakarta hendak diterapkan secara universal di seluruh wilayah Indonesia tanpa memandang batas adat istiadat.

Gila !

Banyak pihak, terutama sebagian dari pendukung Jokowi merasa dirinya sangat demokratis, liberal, sekuler, dan multikultural. Akan tetapi, dalam implementasinya, gagal paham bagaimana penerapan liberalisme secara multikultural. Pemaksaan nilai kebudayaan mengikuti kacamata Jakarta.

Jika begitu, apa gunanya demokrasi? Lambat laun sudut pandang multikultural dengan kacamata Pemerintahan Pusat hanya akan berubah wujud menjadi Kediktatoran Baru. Kediktatoran Liberalisme Sentralistik, yang mencoba memaksakan seluruh manusia di Indonesia memakai kacamata dirinya.

Ketika hak suatu individu lebih diutamakan dibandingkan nilai suatu komunitas, maka Badui Dalam tidak boleh protes ketika ada orang yang ingin mengambil foto, menggunakan listrik, atau pantangan lainnya. Hiburan malam di Jakarta tidak boleh protes jika ada penyewa ruangan di kelab tersebut yang inginkan gelar pengajian di sana. Pengurus dan publik pengguna Masjid tidak boleh protes jika ada sepasang muslim suami istri ingin bercinta di dalam masjid yang pembangunannya dan bangunannya ia danai dan miliki.

Tentu tidak masuk akal bukan? Sebab, tiap komunitas memiliki nilainya masing-masing. Jika negeri ini benar-benar mengagungkan multikulturalisme, maka FPI tidak bisa memaksakan ketentuan berdasarkan ketetapan kultur mereka (fait accompli) di kultur tempat hiburan malam yang ada di Jakarta. Non-Badui tidak dapat lakukan fait accompli di kultur Badui Dalam. Non-Papua tak dapat lakukan fait accompli di kultur Papua. Tapol Papua tak dapat lakukan fait accompli di kultur tanpa koteka Jakarta.

Jika massa minoritas muslim Jafar Umar Thalib berposisi salah terhadap mayoritas kristiani Papua, maka massa minoritas non-muslim berposisi salah terhadap mayoritas muslim Sumbar.

Kita benar jika mengatakan di Tanah Jawa, bahwa Sholat 3 waktu sebagai Bertentangan dengan Islam. Namun kita salah jika mengatakan di tanah NTB, bahwa Sholat 3 waktu bertentangan dengan Islam.

Mari kita kembali lagi ke kasus SMKN 2 Padang. Bukankah kaum sekuler liberalis pendukung kacamata pusat tentang multikulturalisme selama ini menganggap jilbab hanya pakaian hasil budaya Arab, bukan bagian dari keyakinan. Ketika Sumbar menerapkan wajib jilbab di sekolah, mengapa kaum ‘multikultural’ tidak melihatnya sebagai kewajiban model seragam di sekolah itu?

Dalam hal ini kaum liberal “gagal paham” dan telah mendukung non-muslim melakukan fait accompli di kultur jilbab Sumbar.

Fenomena gagal paham multikulturalisme ini pun diungkapkan oleh tokoh intelektual NU Nadirsyah Hosen. Lewat cuitannya di Twitter ia mempertanyakan pihak yang heboh saat siswi non-muslim dipaksa menggunakan jilbab. Namun pihak yang heboh itu diam saja ketika siswa dipaksa tidak boleh gondrong, bahkan kena hukuman jika membiarkan rambutnya panjang.

Sungguh aneh ketika kita memfasilitasi protes non-muslim untuk berjilbab di sebuah sekolah yang bertahun-tahun menetapkan aturan berjilbab. Sementara kita tidak memfasilitasi protes pada murid yang tak patuh terhadap aturan memendekkan rambut yang telah bertahun-tahun diterapkan di sekolah, yakni tidak boleh gondrong.





Hal yang tak perlu dipermasalahkan menjadi persoalan. Contohlah mahasiswi beragam Hindu yang menjadi sarjana dan dokter pertama menggunakan jilbab di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Ia paham aturan di sana harus menggunakan jilbab. Ia tetap ikuti aturan tersebut, dan itu tak mengubah keyakinannya terhadap agamanya sendiri. Ia tak menolak multikulturalisme tapi tetap mempertahankan keyakinannya.

Sumber : Suara[Air Mata Dosen Menetes, Mahasiswi Beragama Hindu Harus Memakai Jilbab]

Namun jika kita menolak multikulturalisme, maka Orde Baru sudah benar menerapkan Keseragaman Universal untuk Indonesia. Apakah gelagat pendukung Jokowi menunjukkan Jokowi adalah Orde Terbaru dari Orde Baru Cendana?
Diubah oleh NegaraTerbaru 25-01-2021 13:40
telah.ditipu
pulaukapok
pulaukapok dan telah.ditipu memberi reputasi
0
1.2K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Tampilkan semua post
deravengersAvatar border
deravengers
#3
FIX TS Kadrun Akut.
jangan bandngkan pemalsaan pakai jilbab dengan tidak adanya listrik di tanah badui.
harus apple to apple!

Gimana sekarang kalo Anak muslim yg sekolah di sekolah kristen dipaksa pakai pakaian biarawati? apa kalian terima?
bukamya orang muslim pakai atribut natal kaum onoh udah kebakaran jenggot g terima?

Sebelum bikim trit menghasut model gini mikir dulu drun. otak dipake
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.