skydavee
TS
skydavee
Mengenal Eufemisme: Antara Tata Krama dan Penipuan Makna
source:googleimage

Coba bayangkan pada saat sedang bersantap malam dengan calon mertua, tiba-tiba perut tidak bisa diajak kompromi. Karena biasanya bertemu dengan calon mertua bisa menimbulkan sikap gugup, dan sikap ini bisa merusak tatanan metabolisme di dalam tubuh. Kalimat apa yang akan terucap?

Betul. Bagi yang masih waras, pasti lebih memilih kalimat seperti ini: "Maaf, permisi mau ke kamar kecil". Atau bisa juga dengan kalimat sepadan semisal: "Saya izin ke kamar kecil dulu ya?"

Penggunaan kalimat tersebut di atas, cukup mewakili apa yang hendak dilakukan oleh seseorang tanpa penjelasan tambahan. Semua orang bakal memahami bila pelaku berniat membuang sisa sampah di tubuhnya. Pilihannya adalah antara buang air kecil, atau buang hajat. Begitulah fungsi kamar mandi bagi tamu.

Penulis yakin, tidak ada yang memilih untuk menggorok lehernya sendiri di depan calon mertua dengan lebih memilih kalimat seperti:
"Maaf, saya mau ke toilet. Lagi mencret neh!"

Juga, tidak akan ada yang bersedia melepas kesan sebagai calon menantu idaman dengan memakai kalimat, misalnya: "Maaf, saya mau berak dulu".

Apalagi kalimat yang terkesan lancang itu tercetus pada saat momen perjamuan makan sedang berlangsung. Bila nekat, bisa jadi kejadian makan bersama dengan calon mertua benar-benar akan menjadi perjamuan yang terakhir.


source:googleimage

Selain menjadi lebih indah terdengar layaknya semilir suara dari surga, majas eufimisme ternyata bisa digunakan untuk menutupi kejadian yang sebenarnya, bahkan terjadi penipuan dari sebuah makna.


Mari kita bedah bersama.

Istilah Keluarga Pra Sejahtera dahulu tenar dijadikan sebagai pengganti keluarga yang dianggap miskin. Frasa tersebut, jelas terdengar begitu indah dibandingkan diksi kata "miskin". Biasanya, kata-kata ini sering digunakan oleh pemerintah demi menutupi kesan ketidakbecusan mengelola jumlah masyarakat miskin yang masih hidup dan nyaris terdegradasi dari kompetisi kehidupan.

Dengan menggunakan sebutan Keluarga Pra Sejahtera, pemerintah akan mendapatkan sebuah kesan yang positif. Terdengar sangat renyah, namun akan membuat persoalan pengentasan kemiskinan menjadi lamban. Mengapa? Ya karena dianggap bukan bagian dari masalah serius sehingga tidak menjadi skala prioritas untuk dituntas.

Masih ingat dengan program beberapa daerah yang menggunakan stiker bertuliskan kalimat yang bunyinya kira-kira begini: "Keluarga Miskin Penerima Bantuan". Dan lihat dampaknya. Diantara mereka, yang rumahnya ditempeli stiker tersebut, banyak yang menolak dan memilih untuk melepas stikernya, atau bahkan berniat untuk tidak menerima bantuan. Bandingkan jika stiker yang ditempelkan berbunyi Keluarga Pra Sejahtera. Ceritanya tentu akan berbeda.


source:googleimage

Meski terdengar tidak menyenangkan, namun pemilihan kata "Miskin" dibanding "Pra Sejahtera", membuat beberapa efek yang tidak terduga. Keluarga yang sebenar-benarnya miskin, tentu tidak akan keberatan depan rumahnya ditempeli stiker tersebut. Karena memang demikian adanya.

Contoh lain adalah sebutan untuk wanita penghibur. Banyak istilah yang disematkan bagi perempuan yang menjual kehangatan tubuhnya demi ditukar dengan segelintir materi. Misalnya Wanita Tuna Susila, Pekerja Seks Komersil, hingga panggilan yang super halus seperti Kupu-kupu Malam. Halus bukan?

Contoh terakhir adalah kata "DIAMANKAN".
Istilah "diamankan" populer pada masa Orde Baru. Bila beberapa contoh di atas hanya sebagai bentuk pilihan kata lain supaya terdengar begitu manis, kata "diamankan" justru benar-benar berkebalikan antara kata dan tindakan yang dilakukan.

Justru kata "diamankan" bisa menjadi sebuah petunjuk dimana objek yang dimaksud akan tampil sebagai model khusus di buku Yasin. Atau tiba-tiba saja menghilang dari peredaran. Jika sempat, dipersilakan browsing nama-nama mereka yang pusaranya hingga saat ini bahkan belum ditemukan. Begitulah dahsyatnya dampak dari "diamankan" pada masa lalu.


oOo

Menurut KBBI, definisi Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan.

Ilustrasi di atas adalah contoh dari penggunaan majas eufemisme, yang berfungsi sebagai pengganti kalimat yang dianggap tidak pantas.

Dengan kata lain, kalimat pengganti yang lebih halus, lebih sopan, namun dengan tujuan yang sama. Hal tersebut menunjukkan etika dan tata krama pada saat berbicara di depan orang yang dianggap lebih bermartabat, lebih tua, semisal calon mertua. Begitulah pelajaran moral yang sering diajarkan oleh guru dan orangtua kepada anak-anaknya tatkala berbicara kepada orang-orang yang perlu dihormati.

Eh, bener gak sih?



©Skydavee 2020
Diubah oleh skydavee 04-10-2020 04:29
sekelekescreamo37yusuf2210
yusuf2210 dan 34 lainnya memberi reputasi
33
6.3K
92
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Tampilkan semua post
ziont
ziont
#6
jadi berasa belajar bahasa indonesia lagi jaman sma emoticon-Matabelo
skydavee
skydavee memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.