husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
Rakha (Penjara Pemilik Surga)
Cerbung



Prolog

1998

Di sudut kamar, ibu menangis meraung-raung. Sementara adik di atas kasur tak kalah kencangnya menangis.

Aku berlari, menghambur ke arah ibu, bermaksud menenangkannya. Namun, respon ibu di luar dugaan. Ia justru mendorong tubuhku yang ingin memeluknya, hingga aku terjerembab di lantai.

"Pergi! Anak pembawa sial, gara-gara kamu, ayah pergi. Ibu benci kamu, benci!"

Aku hanya bisa menangis, kemudian keluar kamar. Menggendong adik dan menenangkannya, sampai Henry tertidur pulas karena lelah.

*****

2015

Aku pulang dengan semringah. Ijazah SMA telah ada di tangan. Meskipun tidak termasuk siswa berprestasi ada kebanggaan tersendiri bisa lulus sekolah.

Ibu sudah menunggu di pintu rumah, dengan sesungging senyum di sudut bibirnya. Tanpa kata, ia mengambil map di tanganku, kemudian membukanya dengan tergesa.

"Besok, siapkan lamaran, biar cepet kerja!" ucap Ibu penuh penekanan. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

*****

Agustus, 2016

Rasanya berat sekali pulang ke rumah dengan membawa kabar buruk. Gagal dalam tes interview, membuatku kehilangan kesempatan untuk bisa bekerja di sebuah perusahaan. Bukan sekali ini terjadi puluhan kali.

Namun, tak tau kemana harus pergi selain ke rumah, hingga tanpa sadar aku sudah di depan pintu.

Ibu keluar, ia seperti sudah tau apa yang terjadi.

"Gagal lagi?" Pertanyaan menohok meluncur dari mulutnya.
Aku hanya bisa diam menunduk tak menjawab.

"Ya udah, bantuin ibu di toko!" Perintahnya sambil memakai sendal jepit dan melangkah pergi.

"Muka Bos, nasib Jongos!" umpat ibu sambil berlalu, terdengar begitu menyakitkan. Namun, aku tak bisa menyangkal. Hanya bisa diam, membiarkan kata-kata itu tenggelam di lubuk terdalam. Menjadi racun yang terus mengikis rasa percaya diri dari waktu ke waktu.



Part 1


Eforia lulus SMA hanya bertahan seminggu. Hari-hari selanjutnya kulalui dalam kebimbangan. Seandainya saja otakku cemerlang mungkin aku bisa kuliah dengan beasiswa. Sementara aku, Rakha Prakasa harus berucap lega, ketika dinyatakan lulus dari SMA.

Fisik tampan, tinggi ideal tidak membuat hidup menjadi lebih mudah. Mungkin karena kemampuan otak pas-pasan, dan aku juga punya masalah kepercayaan diri.

Gagal di tahap interview sering kali menjadi hambatan untuk mendapat pekerjaan. Rasanya sudah habis perusahan di Bandung kujajaki, tak satu pun yang menerimaku sebagai karyawan.

Menjadi pengangguran, sekadar membantu ibu berjualan di toko kelontongan, menjadi pilihan.

Ibu cerewet dan otoriter. Ia kecewa, karena aku tak bisa memenuhi harapannya menjadi sukses dan kaya. Membuatnya semakin hilang kendali dalam berkata-kata. Meski aku tahu ia sayang, tetapi hatiku bukan batu yang tak merasakan pilu.

"Aa!"

Aku terkejut, saat suara ibu memanggil, membuat sesendok gula pasir yang tengah kuisikan ke dalam plastik tak masuk sasaran. Justru jatuh ke lantai berserakan.

"Gawat, ibu pasti marah besar karena hal kecil ini," gumamku.

Aku beranjak dari tempatku duduk, dan bergegas menghampiri ibu di depan toko. Seorang lelaki baru saja pergi, tampak punggungnya saja, tak sempat kulihat siapa.

Aneh, wajah ibu tampak berseri. Ada gurat bahagia yang berbeda dari senyum ibu. Siapa lelaki itu?

"Aa, kadie. Ibu mau bicara," ucap Ibu datar.

Aneh, biasanya ibu bicara kasar, tetapi kali ini nada suara ibu terdengar lebih lembut. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang ingin ibu bicarakan?

"Duduk sini," ucap Ibu lagi, sambil mempersilahkanku duduk di kursi plastik di depannya.

Aku menuruti perintah ibu, dan siap mendengarkan segala ucapannya.

Bersambung

Part.2

Gambar Pinterest edit by Canva

Ruji, 24 Juli 2020

gambar

Indeks
Diubah oleh husnamutia 09-09-2020 21:25
redrices
inginmenghilang
manik.01
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
41
26.3K
1.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Tampilkan semua post
husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
#245
Rakha, Part 26
Ia terdiam, mendengarkan ucapan seseorang di sebarang sana. "Iya," jawab Liana melirik ke arahku. Aku hanya duduk di ujung sofa, menunggunya selesai menelepon.

Liana menurunkan ponsel yang menempel di telinganya. Gestur tubuhnya terlihat gusar. Pelan bibirnya bergerak mengucap.

"Rakha, ayah ingin bicara denganmu."

"Oh."
Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Sudah dapat diterka, cepat atau lambat hal itu memang harus terjadi. Hanya saja, belum terpikir rencana. Jika ayah Liana telah meminta, pantang untuk mundur.

"Rakha, ayah ingin kamu menemuinya di rumah."

"Iya, tapi gak harus sekarang kan?"

"Ya, enggak sih," jawab Liana. Wajahnya murung. Kemudian ia tampak serius memperhatikan televisi. Tangan kanan meraih remote sementara tangan kirinya menopang dagu.

"Ih, Rakha," teriaknya saat aku tiba-tiba meraih tubuh dan mencium pipinya berkali-kali.

"Nanti Bibi sama Elin Liat." Liana mendorong dan melepaskan diri dari pelukanku. Ia tampak terkejut saat matanya memandang ke arah belakangku. Penasaran aku pun menoleh mengikuti arah matanya. Namun tiba-tiba Liana mencium pipiku singkat dan berlari ke lantai atas sambil tertawa.

Aku mengejarnya, rasanya gemas sekali dengan tingkahnya. Aku mengikuti Liana masuk ke kamar dan langsung keluar dan berhenti di balkon. Dari atas sini, tampak jelas keadaan teras kosanku. Kontras dengan rumah Liana.

Langit senja semakin nyata. Kawanan burung tampak terbang melintasi awan. Sebentar lagi hari berganti malam.

"Rakha, kapan mau menemui ayah?" tanya Liana tanpa menoleh. Pandangannya lurus ke depan, mungkin ia tengah menikmati indahnya semburat mega merah. Atau justru ia tengah sibuk berpikir tentang masa depan hubungan ini.

"Minggu depan, mungkin?" jawabku.

"Hhh," dengusan kecil keluar dari mulut Liana. Entah respon atas jawabanku atau justru karena tubuhnya kupeluk erat dari belakang. Wangi shampo menguar lembut dari rambut Liana mengusik indera penciumanku. Rasanya nyaman sekali berada dalam posisi seperti ini. Liana wanita pertama, yang benar-benar membuatku merasa jatuh cinta sepenuhnya.

Jiwa dan ragaku telah terbiasa dengan Liana. Wangi tubuhnya, suara, sentuhannya bahkan sifat dan tingkah lakunya yang kerap berubah-ubah. Terkadang begitu santun dan dewasa tetapi kadang manja tak terkira.

"Rakha, jalan yu."

"Yu," sahutku cepat, lantas menggedong tubuhnya.

"Rakha, turunin," pinta Liana, tetapi kedua tangannya melingkar di leherku.

"Katanya minta turun, kok pegangan."

"Takut jatuh."

"Gak mau lepas kali," ledekku. Liana cemberut.
Terdengar mobil berhenti, aku dan liana saling pandang. Penasaran. Liana turun dari gendonganku dan melongok ke arah bawah memastikan siapa yang datang. Belum sempat aku melihat siapa yang datang, Liana menarik lenganku masuk ke kamar.

"Siapa Li?" tanyaku.

"Sepertinya ayah. Gimana ini?" Liana tampak panik.

"Berati bagus dong Li, aku bisa menemuinya di sini."

"Tapi, Rakha!"

"Sudahlah. Ayo turun!" ajakku.

Liana menurut. Kugenggam tangannya sambil berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu. Memang tak menyangka akan secepat ini bertemu dan berbicara dengan ayah Liana. Namun untuk lari dan menghindar tak ada dalam kamus hidupku.

"Non, ada tamu?" ucap Bi Marni yang berdiri, di bawah tangga.

"Siapa Bi?" tanya Liana.

"Gak tahu Non."

Liana memandang ke arahku. Ada kelegaan di sorot matanya, sama seperti yang kurasakan. Ternyata bukan ayah Liana yang datang. Bagaimana pun juga, aku belum siap jika harus bertemu secepat ini.

Di ruang tamu tampak seseorang duduk membelakangi kami. Hanya terlihat bagian kepala dan punggungnya saja.

"Hendra!" pekik Liana begitu melihat siapa yang datang. Wajah Liana sumringah sama seperti tamunya. Sepersekian detik keduanya berjabat tangan dan saling menatap satu sama lain.

"Eh, kenalin. Ini Rakha," ucap Liana gugup.

Kami saling berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Kemudian duduk setelah Liana mempersilahkan. Terasa canggung dan formal.

"Apa kabarmu? Gila! Lama banget kita gak ketemu. Ada kali sepuluh tahunan."

"Iya, sejak lulus. Kita gak ketemu lagi."

"Eh kok bisa tahu rumahku di sini?"

"Dari ayahmu. Tadi aku ke rumah dulu."

"Oh Pantesan."
Obrolan keduanya terjeda, saat Bi Marni datang membawa minuman dan cemilan. Aku hanya diam sesekali tersenyum mendengar obrolan keduanya. Teman SMA. Kesimpulan dari perbincangan keduanya.

Darah ini sedikit terasa panas melihat keakraban sepasang sahabat itu. Meskipun Liana duduk di sebelahku, dan sesekali tangannya menggenggam tangan ini. Tetap saja hati merasa jengah.

"Ada angin apa nih, tiba-tiba ingat aku?" tanya Liana.

"Seperti janjiku dulu. Aku akan menemuimu jika ... "

Hendra menghentikan ucapannya. Ia terlihat mencari sesuatu di dalam tas hitam yang berada di sampingnya. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari sana dan menyodorkan pada Liana.

"Wahh, kamu mau menikah?" pekik Liana. Sambil membuka sampul undangan. Sementara Hendra hanya tersenyum dengan sikap Liana.

"Besok? Gila, mendadak begini sih!" protes Liana sambil membaca undangan di tangannya.

"Gereja Santa Theresia! Ya Ampun, itu kan Gereja...," Liana tidak melanjutkan ucapannya. Ia justru menoleh ke arahku, hingga jelas terlihat pipinya merona tak jauh berbeda dengan Hendra yang tersenyum penuh arti.

"Lian, kamu harus dateng yah!"

"Iya, pasti aku datang," jawab Liana kemudian menatapku seolah minta persetujuan.

Hampir satu jam Hendra bertamu. Akhirnya ia pamit untuk pulang.

"Hendra, mantanmu ya?" tanyaku setelah Mobil Hendra menghilang di ujung jalan.

"Iya," Liana tersenyum. Semburat rona merah tampak di kedua pipinya.

"Besok temenin aku ke sana yah?" rajuk Liana.

"Gak."

"Rakha." Sontak Liana. Sepasang matanya membulat menatapku.

"Gak kubiarkan kamu pergi sendirian," lanjutku.

"Rakha, ih." Tangan Liana yang hendak mencubit kutangkap dan menariknya. Hingga tubuh kami saling menempel.

"Li, kamu harus dapat hukuman. Sudah mengabaikan aku gara-gara Hendra," bisikku di telinganya.

"Mama!" nyaring suara Elin dari dalam rumah memanggil. Membuatku membatalkan aksi memberi hukuman pada Liana.

"Iya, sayang," sahut Liana sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Awas, yah nanti!" ancamku. Liana berlalu setelah menjulurkan lidahnya. Menggemaskan.

Bersambung

Part 27

Ruji, 25 September 2020

_______________________________________
Selamat sore readers, mohon maaf updatenya lama, jadi kangen ya? emoticon-Malu

Untuk kamu para SR, ayo dong tampakan dirimu. Biar akunya semangatemoticon-Malu

Terima kasih.
Diubah oleh husnamutia 02-10-2020 14:03
oceu
OkkyVanessaM
redrices
redrices dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.